Pengembara Abadi


Pengembara Abadi
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Hari-hari terakhir ini tugas kuliahku menumpuk. Pikiranku kacau. Badanku sering sakit-sakitan. Malam ini sengaja aku memilih istirahat. Aku tidak sempat berfikir apa yang terjadi esok ketika tugasku belum selesai. Yang terpenting untuk saat ini aku tidak ingin dibuat pusing oleh banyaknya tugas itu. 

Malam ini, semilir angin dari jendela kamar seakan menemani kesendirianku. Hingga dingin kota Malang yang tanpa permisi menusuk tulang-tulang persendianku. Tiada kuhiraukan. Ku lihat buku dayri-ku yang tergeletak di meja belajar. 

Entah mengapa, di saat pikiranku kacau seperti ini aku lebih memilih menulis dayri. Dayri seakan telah menjadi ‘sobat’ dan teman bicaraku yang tak pernah protes walau aku menulis banyak pertanyaan di tubuhnya, dan memang tak mungkin ia bisa menjawabnya dan selamanya tak akan pernah bisa bicara. Dalam galau perlahan kubuka dayri-ku, yang senantiasa menemani hari-hariku, yang tak pernah bosan mendengarkan curahan hatiku.

Setelah sekian lama terdiam dalam kebekuan, perlahan mulai kubuka penutup pena, lalu kurangkai kata demi kata.

***
06 November 2013
Dear dayri.
Sorry, di keheningan malam ini, kembali aku harus membangunkanmu, karena aku merasa sudah tidak kuasa menanggung beban ini sendirian. Aku berharap dengan menceritakan semuanya padamu, beban yang saat ini kurasakan bisa sedikit terkurangi.

Dayri. Kurasa kau suda tahu, karena memang semuanya sudah tertulis dalam lembar-lembar dirimu yang lalu. Dosenku akhir-akhir ini tak pernah memberiku kesempatan untuk istirahat. Namun aku tetap bersyukur. Sebab dengan kesibukan ini dapat menolongku sedikit untuk melupakannya, meskipun tidak seluruhnya. Sebenarnya bukan tugas yang membuat pikiranku menjadi kacau, melainkan dia. Ya, semua tentangnya. Juga dengan semua misteri yang sempat menghuni kepalaku ini.

Belum sempat selesai aku menulis dayri, penaku mulai bergerak ke sana dan kemari. Aku menguap berkali-kali. Buku dayri-ku yang semula rapi kini kulihat banyak corat-coret di sana sini. Aku terhenyak. Aku selalu sebal melihat kebodohanku ini. Namun malam semakin larut saja dan rasa kantukpun mulai menyerang hingga kemudian akupun telah terbuai dalam alam mimpi. Tubuhku terasa ringan. Akupun terbang menembus awan, menuju puncak tertinggi alam semesta.

* * *
Aku tak mengerti, mengapa aku bisa berada di tempat seaneh ini. Belum pernah ku temukan tempat seasing ini. Tak ada tanaman. Tak ada bangunan. Tak ada apapun sama sekali. Di mataku semuanya putih. Lalu aku berteriak sekeras-kerasnya, namun tak ada yang menjawab. Di manakah aku saat ini?

Tak seberapa lama kulihat sesuatu yang tak asing di mataku. Aku mencoba mempertajam penglihatanku. Dan benar. Tulisan-tulisan dayri-ku yang sempat kutulis beberapa hari yang lalu berterbangan di hadapanku. Aku mencoba untuk mengejar tulisan-tulisanku itu. Dan aku berhasil menangkapnya.  Dengan gemetar aku membacanya.

04 November 2013
Dear dayri.
Memang benar, Dayri. Zaman telah berubah. Di sini, aku benar-benar serasa asing. Pada setiap persimpangan jalan, selalu saja kutemukan misteri yang tak mampu diterima oleh nuraniku. Dan anehnya, aku belum kunjung mengerti juga. Aku atau mereka yang benar. Aku atau mereka yang salah. Aku atau mereka yang munafik. 

Dayri, tahukah kau. Mungkin prasangka mereka benar, tapi yang pasti tak sepenuhnya benar, karena selama ini aku sama sekali tidak punya maksud untuk tidak peduli. Hanya aku yang selalu saja beranggapan bahwa memang aku sudah pernah melewati fase-fase seperti itu. Namun apa yang selalu terjadi? Ternyata yang kudapati hanyalah gelap dalam cahaya.

Dayri, sudahkah kita temukan jawabnya, siapakah sebenarnya kita ini? Mengertikah kita, ke cakrawala mana kaki kita sedang melangkah? Dayri, doakanlah aku ini. Akupun akan mendo’akanmu, agar kita diantarkan-Nya menuju ruang kebenaran yang benar menurut-Nya.”

Dan alangkah terkejutnya aku waktu itu. Setelah selesai membaca tulisan-tulisan itu aku merasakan ada yang memanggilku. Hanya suara. Tak ada rupa. Entah berasal dari mana, suara itu terus memanggil-manggil namaku. Lalu kudengar jawaban dari tulisan-tulisanku itu. Nada suara itu amat menggetarkan seluruh nadiku. Suara itu menjawab tulisan-tulisanku dengan kesungguhan jiwa. Akupun terpesona. Sungguh!

“Kawan, kata-katamu begitu indah. Lahir dari pengembaraan yang penuh dengan keringat air mata dan darah. Pengembaraanmu yang panjang itu mengingatkan akan deritaku, mengingatkan akan pengembaraan BIMA dalam mencari sarang angin demi mengenal dirinya yang sejati guna membuktikan kebenaran yang hakiki. Percayalah, Kawan. Do’aku selalu menyertaimu. Sebab engkau adalah aku. Aku adalah engkau, yang sempat terusir dari taman firdaus entah berapa milyar tahun yang lalu.

Kini kusadari hidup merupakan titipan Tuhan yang paling berharga. Telah kulihat ‘wajah’Nya dengan pandangan nyata. Tuhan ternyata ada dalam kehidupan. Kini akupun mencintai hidup. Tujuan hidup adalah untuk mengerti siapa yang menjadikan hidup itu. Hidup adalah untuk menghidupkan. Zaman sebetulnya tidak berubah, Kawan. Yang berubah hanya peradaban yang membuat kita kadang gagap menghadapinya karena belum siap berdamai dengannya. Sahabat, perjalanan manusia paling panjang tidakklah ke mana-mana, melainkan hanya menuju kepada dirinya sendiri. Kenalilah dirimu, maka kau akan mengenal Tuhanmu.”

Agak ketakutan aku waktu itu. Keringatku bercucuran membasahi bajuku. Lalu dengan keberanian yang ada, aku mencoba berkomunikasi dengan suara itu.

“Terima kasih. Kata-katamupun indah sekali. Mampu menjawab segala pertanyaan yang kutulis waktu itu. Kalau boleh tahu, kamu siapa dan mengapa hadir begitu saja serta membantuku mengatasi segala bebenyang saat ini tengah ku rasa?”

Suara itu kemudian hadir lagi.
“Aku sebenarnya bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah seorang pengagum dari tulisan-tulisanmu yang setiap waktu membekas di jiwaku. Setiap aku membaca tulisan-tulisanmu, selalu saja membuat aliran air mata di sepanjang jalan yang panjang ini. Dan melalui itu, aku dapat belajar mengeja setiap detak nadi dan setiap gerak yang telah Tuhan anugerahkan kepadaku jaauuuh, sebelum aku lahir dari garba Ibu. Aku hanyalah seorang murid dalam pelayaran yang terus belajar pada kehidupan. Mari kita saling berbagi dan mengisi. Kita pada hakikatnya adalah pengembara yang tidak pernah berhenti pada satu titik perhentian. Dan di akhir pengembaraan mungkin saja kita menjadi seorang pertapa, seperti buku dayri-mu yang selalu bungkam, tapi pikiran dan imajinasi tidak akan pernah berhenti, sebab Tuhan sendiri tidak pernah berhenti mencipta.”

Aku hampir kehabisan kata. Ah, tak seberapa lama terlintas di benakku untuk berkenalan dengannya.
“Aku ingin mengenalmu. Siapa sebenarnya kau? Jika saja kita saling kenal, maka kita dapat saling bertukar cerita dan juga berbagi tentang nada perjalanan yang teramat panjang dan melelahkan ini.”

Suara itu tak menyebutkan siapa dia. Malah yang kudapat adalah sebuah pencerahan baru yang tak pernah kutemukan di tempat manapun.

“Hidup memang melelahkan, Kawan. Tapi itu hanya proses alam. Kelelahan akan segera hilang setelah kita bersyukur penuh keikhlasan. ‘Di balik kesulitan pasti ada kemudahan’, firmanNya dalam Al-Qur’an. Bila Allah ingin mengangkat derajat seseorang dan ingin menjadikannya kuat maka diujinya hambanya itu dengan beberapa kesulitan. Dalam kesulitan pula ada tantangan hidup yang membuat kita bergairah untuk menaklukkannya. Tidak pria tidak pula wanita, semua diuji olehNya. ‘Apakah kamu mengatakan beriman sementara Allah belum mengujimu?’ firmanNya pula. Sesungguhnya Allah menyukai hamba-hambaNya yang tegar lagi beriman.”

Masih penasaran siapa suara yang hadir tanpa wjud itu. Lalu ku pertegas lagi, bahwa aku ingin mengetahui tentang siapa dia.

“Alhamdulillah. Aku mengucapkan banyak terima kasih padamu karena telah banyak berbagi ilmu kepadaku. Ini sangat berharga bagiku. Sebab kata-kata itu tak semudah untuk kudapatkan. Tapi sungguh, aku ingin mengerti tentang siapa kau?”

Mungkin ia agak terkejut karena aku terlalu memaksanya. Iapun membalasnya. Namun semakin lama suara itu makin mengecil dan akhirnya menghilang  tak terdengar lagi.

”Hemmm. Baiklah, Kawan. Akupun sebenarnya harus banyak belajar darimu pula. Selamat menulis, Kawan. Pintuku selalu terbuka untukmu. Setiap waktu kau membutuhkanku, kau tinggal menulisnya di tubuhku. Masa depan bangsa ini ada di pundak para pemuda pemudi penulis sepertimu. Akulah sebenarnya buku dayri-mu itu.  Selamat berjumpa lagi di tulisan yang akan datang. Aku Pengembara abadi di setiap kata yang kau tulis.”

***
Suara itu hilang entah ke mana. Dan tiba-tiba saja kudengar adzan subuh memanggilku saat kudapati kepalaku masih tergeletak di atas buku dayri  dan tangankupun masih memegang pena.
Ah, pengembara abadi. Sebenarnya siapakah engkau? 

Malang, 06 November 2013