Elegi Sunyi Putri Senja


Ayunan itu berderik semakin keras. Bunyinya terdengar seiring dorongan badan Putri. Mata indah Putri tertutup rapat menikmati sore yang dinantinya. Badannya terdorong jauh melambung dan terus terayun semakin tinggi. Putri ingat burung kecil yang dilihatnya seminggu lalu di ranting pohon besar yang ada di taman kompleks perumahan itu. Sayapnya yang kecil diangkat berkali-kali. Namun burung kecil itu tetap saja ragu, padahal sang induk telah berulang kali meyakinkannya. Mendahuluinya terbang dengan sempurna. Mata bulat Putri terus mengingat pemandangan itu. Setiap kali badannya terangkat naik, ia membayangkan seolah-olah ia adalah burung kecil itu.

Terbanglah Putri! Biarkan dirimu menyentuh atap langit. Ketuklah hati Tuhanmu. Terbanglah!

Angin sore mempermainkan kerudungnya. Pikiran Putri terus bermimpi membayangkan dirinya sebagai burung.

“Aduh, anak itu sebentar lagi pasti jatuh!” Seru seorang ibu dari seberang taman. Sebentar saja, aksi Putri di ayunan menjadi tontonan warga kompleks perumahan itu. Wajah mereka memancarkan kengerian sekaligus kecemasan setiap kali ayunan itu berderik.

“Hai, Nak, turunlah! Kau akan mencelakakan dirimu dan orang lain dengan ayunan itu.”

“Ahhhh…!” Riuh kecemasan warga terdengar semakin keras.

“Kita harus bertindak sebelum anak itu jatuh!” Seru salah seorang bapak dari kumpulan orang-orang itu.

Putri sepertinya tidak takut jatuh, padahal ayunannya berayun amat tinggi. Ia ingin terbang tinggi di langit dan bernyanyi dengan kicau segala burung di alam semesta raya ini.

Putri terus mendorong. “Lihatlah Tuhan, aku akan belajar terbang!” Hatinya memekik girang. Tangannya satu per satu mulai dilepaskan dari pegangan.

Putri kaget bukan main ketika ayunannya tersentak keras dan tubuh kecilnya ditarik kasar. Matanya terbelalak ketakutan. Begitu banyak orang berkerumun dan semua memandangnya marah. Apalagi bapak tadi yang telah menghentikan aksinya terus berbicara dengan sorot mata yang tajam. Pahamlah Putri, bahwa tindakannya tidak disukai. Ia merasakan tangan bapak itu mendorong punggungnya amat keras, keluar dari taman. Ingin sekali Putri berbicara, tapi ia bingung bagaimana caranya. Warga pun bubar. Tinggallah Putri memandang kosong ayunan yang terus bergerak, makin lama makin pelan, dan akhirnya berhenti.

Sinar matahari sore menyapanya lembut, menghibur hati gadis kecil yang gundah. Kepala Putri mendongak, menatap langit yang terasa jauh. Matanya terasa pedih. Hatinya terluka. Dan ia pun menangis. Mimpinya untuk bisa terbang mengelilingi angkasa raya tidak menjadi kenyataan. Padahal, ia ingin seperti burung, bisa terbang dan tidak perlu berbicara. Mereka hanya bernyanyi dan orang-orang akan menyukainya.

Kakinya melangkah menjauhi taman, menyeberangi jalan dan terus menuju sebuah masjid yang telah ramai oleh celoteh anak-anak sebayanya. Langkahnya yang kecil berlari menyongsong dua anak berkerudung biru yang baru keluar dari masjid. Putri berusaha menjejeri langkah kakaknya yang terus berbicara dengan temannya, tak memperhatikan Putri sama sekali. Kian lama Putri kian jauh tertinggal. Putri memandang punggung kakaknya letih. Sore itu, Putri sangat sedih.

***

Udara terasa dingin. Hujan masih menyisakan kehebatannya. Jalan-jalan basah dan selokan tak mampu lagi menampung air. Air meluap memenuhi sebagian badan jalan. Begitu kuasa Tuhan menurunkan air. Kaki Putri lincah berjingkat-jingkat menghindari genangan air. Badannya yang kecil kerepotan membawa payung yang ukurannya jauh lebih besar dari badannya.

Putri berusia enam tahun. Ia tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya di belakang perumahan pinggiran perkebunan teh. Ayahnya sudah tiada karena kecelakaan empat tahun yang lalu. Ibunyalah yang selama ini bekerja untuk makan dan hidup mereka, dengan menjadi pemetik daun teh.

Putri menghabiskan sebagian besar hidupnya di rumah. Terkadang ia keluyuran melihat dan menikmati alam. Seperti kemarin, Putri mencoba ayunan di taman kompleks. Putri kecil tidak pernah bermain dengan teman sebayanya karena tak seorang pun memedulikan ia. Tidak juga kakaknya. Ia hanya bermain dengan ibu dan teman-teman khayalannya. Namun Putri sangat gembira jika ibu menyuruh menjemput kakaknya di masjid kompleks. Seperti sore itu, dengan berbekal payung ia menyusuri jalan. Badannya yang kecil tertutup payung kuning besar.

Angin berhembus mempermainkan payungnya ke kiri dan ke kanan. Berat rasanya berpegangan, tapi tangan kecil itu tak menyerah. Tinggal beberapa langkah lagi ke masjid besar itu. Jendela serta kubahnya yang lebar dan putih menerangi hatinya. Putri sangat suka memandanginya. Dengan cara itulah, Putri menyapa rumah Allah. Cukuplah Putri menyapa dengan caranya sendiri.

Tiba-tiba payung besarnya terlepas. Putri kaget, namun angin telah menerbangkan payungnya jauh. Ia pun menangis, bahunya berguncang hebat.

“Apakah ini payungmu, Adik manis?” Sebuah tangan mengusap air mata Putri sambil memberikan payung itu pada Putri kecil yang terperangah kaget. Putri menatap sosok lelaki tinggi yang tersenyum itu. Hatinya berbunga. Dipersembahkannya senyuman paling manis sebagai tanda terima kasih.

“Adik tidak mengaji?”

Putri tak acuh. Ia memalingkan muka kesalnya ketika sosok lelaki tadi terus berbicara dan dirinya tidak mengerti sama sekali. Barulah lelaki bersarung kotak-kotak itu menebak, dan tebakannya benar. Gadis kecil di hadapannya tak bisa mendengar. Putri terlahir bisu dan tuli.

Lelaki itu mulai menggerakkan tangannya sebagai isyarat secara perlahan. Putri menggeleng putus asa. Ia punya cara tersendiri untuk menyuarakan isi hatinya atau diam sama sekali. Kepalanya terus menggeleng untuk menegaskan bahwa ia tidak mengerti isyarat sedikit pun. Tangannya menunjuk ke arah masjid. Usaha Putri membuahkan hasil. Lelaki itu paham maksudnya dan membantunya menuju masjid.

Putri tak bisa melukiskan apa yang dirasakannya saat itu. Baru kali ini ada orang yang mengerti dirinya, selain ibunya. Hatinya mengatakan bahwa lelaki itu baik hati dan bisa dipercaya. Putri menggenggam tangan itu erat. Mereka berdua tersenyum. Sore itu Putri sangat gembira.

***

Putri menggerakkan jari jemarinya perlahan, menyusun bahasa hati yang ingin disampaikan pada ibunya. Sesekali perempuan di hadapannya itu memperbaiki dan memberi contoh.

“Saya bangga dengan ketekunannya, Bu!”

“Ibu juga tidak menyangka, Neng Sahira. Anak Ibu sebetulnya cerdas sekali. Ia mempunyai impian agar bisa berbicara walaupun pakai isyarat. Ibu tidak tahu harus bagaimana cara mengajarinya. Ibu cuma bisa memberi kasih sayang saja,” tutur Ibu Putri pada Neng Sahira.

“Alhamdulillah, kebetulan saya juga menjadi guru di Sekolah Luar Biasa. Saya mengerti bahasa isyarat dan insya Allah saya bisa mengajari Putri.”

“Syukur kalau Putri bisa mengerti. Makasih banyak ya, Neng!” ujar Ibu Putri sambil mengusap air mata dengan sudut kerudungnya.

Neng Sahira adalah istri dari lelaki yang dijumpai Putri kemarin sore. Ia mendapat kabar dari suaminya. Lelaki itu sangat prihatin kepada gadis kecil itu yang tampaknya tak pernah mendapatkan perhatian khusus. Oleh sebab itu, perempuan itu langsung mengunjungi rumah gadis kecil pagi itu dan bermaksud untuk mengajak Putri belajar di sekolahnya.

“Kalau Ibu punya waktu, Ibu juga bisa ikut belajar. Putri pasti senang bisa mengobrol banyak dengan Ibu.”

“Iya sih, Neng. Ibu sangat ingin, tapi waktunya belum ada.”

Putri memegang tangan ibunya yang kasar, menggenggam dan menyentuhkan pada dadanya. Wajahnya terlihat gembira.

“Apa katanya, Neng Sahira?”

“Putri sangat sayang pada Ibu.” Arti gerakan tangan itu sudah membuat hati Ibu Putri hancur dan ia pun menangis tersedu-sedu.

“Ibu juga sayang sama Putri. Ibu… Ibu akan belajar bahasa Putri supaya kita bisa mengobrol banyak.” Ibu Putri memeluknya erat.

***

Sejak Putri belajar bersama Neng Sahira, hatinya bernyanyi lebih riang. Tangannya terus bergerak menyusun bahasa hati dan menyebarkan rasa sayangnya yang selama ini hanya dipahami sahabat-sahabat khayalannya saja. Ia menyapa langit, angin, hewan, dan bunga-bunga liar yang ditemuinya di perkebunan, tempat ia bermain dan menghabiskan waktunya saat sore.

“Oh lihat, saya sudah bisa bicara. Assalamu'alaikum, Pak Belalang. Bagaimana tarianmu hari ini? Indah, bukan? Apakah kau melihat burung kecil yang sedang belajar terbang? Sudah jauhkah ia? Oh, sayang sekali saya tak bisa menyapanya lagi,” celoteh Putri riang.

“Lihat Neng Sahira, semut itu bergotong-royong membawa remah makanan. Mereka berbaris rapi dan selalu saling menyapa setiap kali bertemu.”

“Subhanallah, Allah telah memberikan keistimewaan pada tiap-tiap makhluk yang diciptakan-Nya.” Kata Neng Sahira kala itu.

“Mmmmm… Kalau begitu, apa keistimewaan saya, Neng?”


Neng Sahira berpikir sejenak kemudian menjawab tenang sekali. “Oh, banyak. Salah satunya, gadis manis ini sangat baik hati dan pintar sekali mengungkapkan perasaannya. Jari-jemari yang diberikan Allah membuatnya istimewa. Ia berbicara dengan itu. Tidak semua orang bisa melakukannya.”

Cuping hidung Putri mekar. Hatinya bangga. Ia sangat menyayangi Neng Sahiranya. Putri belajar banyak hal. Kini, ia belajar cara lain untuk menyapa Allah dan rumah-Nya. Neng Sahira mengajarinya berdoa dan membaca alquran. Putri ikut mengaji pula di masjid dengan cara yang berbeda dari anak lainnya. Ia belum pernah mendengar bacaan ayat-ayat alquran, tapi ia senang mempelajarinya. Wajah mungilnya berhias kerudung merah muda, cantik dan manis sekali.

“Kata Neng Sahira, di akhirat nanti saya bisa bicara. Tidak hanya mulutku, tapi juga mataku, tangan, dan seluruh anggota badan yang Allah berikan, Bu. Aku bisa bicara banyak pada Allah. Hebat, bukan?” tangan Putri berhenti sesaat. Ibunya tersenyum mengiyakan walau pun dalam hatinya ada banyak hal yang tak ia mengerti.

Kebahagiaan Putri bertambah tatkala kakaknya mulai mengajaknya bermain di halaman bersama teman-teman lainnya. Senyum Putri terus mengembang dan bertambah lebar. Nyanyian hatinya kian bergema memenuhi rongga jiwa dan seluruh alam. Jemarinya lincah berkata-kata. Banyak ilmu yang ia dapatkan kini.

***

“Apa yang Putri pinta saat ulang tahun nanti?” Tanya Neng Sahira pada Putri.

“Saya ingin sekolah sampai tinggi seperti Neng Sahira dan Mbak Ri. Saya punya permintaan lain. Boleh tidak?”

“Boleh saja. Mintalah sebanyak yang Putri mau.”

“Kalau begitu, saya… ingin bisa mendengar walau pun cuma satu hari. Apakah Allah akan marah jika Putri minta itu?”

“Insya Allah tidak. Mengapa?”

“Bukankah Allah tidak menyukai orang-orang yang tidak bersyukur?”

“Tapi permintaan itu tidak ada salahnya.”

“Kalau begitu, Putri berharap Allah akan mengabulkan.”

“Jika Putri bisa mendengar, apa yang akan Putri lakukan?”

“Putri akan menyapa burung kecil, sahabat Putri.”

“Burung?”

“Iya, burung. Burung kecil itu selalu bertengger di pohon taman kompleks. Putri tahu suaranya indah dan merdu. Tapi sayang, Putri tidak bisa mengatakan betapa indah dan merdu suaranya karena tidak pernah mendengarnya. Burung itu pun tidak punya tangan. Kami tidak bisa saling menyapa.”

“Neng Sahira yakin burung itu mengerti betapa Putri menyukai nyanyiannya. Buktinya, ia tetap berkicau.”

“Neng, seperti apa sih enaknya mendengar?”

Neng Sahira tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa memeluk Putri. Semoga Allah mengabulkan doa anak ini, pintanya tulus.

***

Beberapa bulan kemudian Putri berulang tahun. Neng Sahira lama pergi ke luar negeri bersama suaminya untuk tugas penelitian. Di sana tak lupa ia membelikan alat bantu dengar sebagai hadiah yang sangat diinginkan Putri. Neng Sahira membayangkan seperti apa reaksi Putri. Mungkin dengan cara inilah doa Putri dikabulkan Allah. Begitu banyak yang mau membantu biaya sekolah Putri tatkala cerita tentangnya dimuat di media massa. Alhamdulillah, sesungguhnya jika Allah berkehendak, tak ada yang mampu menghalanginya.

Namun kejutan itu tidak bisa dinikmati Putri. Putri Senja yang ditemui Neng Sahira hanyalah seorang anak yang menunggu ajal. Sinar mata Putri redup.

“Maaf, Bu. Saya baru bisa datang hari ini. Bagaimana Putri bisa seperti ini?”

“Ibu yang salah, Neng. Putri memanjat pohon besar di taman kompleks. Katanya, ia ingin mendengar kicauan sahabat kecilnya. Dia bilang, jika lebih dekat mungkin ia bisa mendengar. Ibu sudah berusaha mencegah, tapi Putri begitu keras kepala. Akhirnya Ibu biarkan saja ia melakukannya. Dan… ah, musibah itu terjadi. Saat Putri makin dekat, burung itu kaget dan kemudian terbang. Putri berusaha menangkapnya tapi tidak berhasil dan ia terjatuh! Tangannya patah, sedang Ibu tidak punya uang untuk ke dokter. Putri tidak bisa lagi menggerakkan jarinya. Karena sangat kecewa, ia tidak punya semangat hidup lagi. Ia jadi sering sakit-sakitan, sementara uang Ibu sudah benar-benar tak bersisa. Ibu tidak tahu ke mana harus menghubungi Neng. Kami pasrah, jika ini yang terbaik bagi Putri,” Ibu Putri menjelaskan. Pipinya yang cekung basah oleh air mata. Ia tak mampu lagi menahan rasa sedih yang dideritanya.

“Tapi, Bu…”

“Ibu berterima kasih atas kasih sayang dan jerih payah Neng Sahira selama ini. Maaf, Putri jadi merepotkan semua.”

“Bu… Putri pernah mengajukan permohonan di hari ulang tahunnya. Ia sangat ingin tahu rasanya mendengar. Saya mohon, Bu. Izinkanlah ia mencoba alat bantu dengar ini. Putri pasti senang sekali…”

Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia membiarkan Neng Sahira untuk memakaikan alat itu pada telinga Putri.

Permintaan Putri pun menjadi kenyataan. Dan ia bisa mendengar! Putri tersenyum manis tatkala syahadat itu terdengar di telinganya. Itulah kata pertama dan terakhir yang ia dengar. Sepertinya Allah hanya rida kalimat tauhid itu saja yang memenuhi gendang telinga Putri.

“Di akhirat nanti saya bisa bicara, Bu. Tidak hanya mulut saya, tapi juga mata saya, tangan, dan seluruh anggota badan yang Allah berikan, Bu. Saya bisa bicara banyak pada Allah. Hebat, bukan?”

Kata-kata Putri kembali terngiang di telinga perempuan itu. Terbayang mata kanak-kanak Putri yang berbinar saat mengungkapkannya, menggambarkan sejuta bahagia yang ia rasakan.

Gadis yang terlahir bisu dan tuli itu tak pernah mati di hati orang-orang yang mencintainya. Elegi sunyi dan kasih sayang Putri membuatnya istimewa.


Mukhammad Fahmi.