Hidup Penuh Sandiwara
Oleh: M. Fahmi
~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~
Hidup hanyalah sandiwara belaka. Dunia tak ubahnya panggung teater. Jika kau berkenan untuk melihatnya, maka akan kau dapatkan di sana orang-orangnya yang sedang bersandiwara dengan segala tingkah humornya. Maka akan menjadi sangat keblinger, orang yang terlalu mengambil hati dan menganggap serius dari setiap penggal sajak peristiwa kehidupan.
Sadarilah, bahwa yang menciptakan kegelapan hanyalah prasangka demi prasangka buruk. Kehidupan dengan segala perputarannya di zaman sekarang ini, tak seburuk yang kau sangka. Sebab kau bukan Allah, dan semua bukanlah urusanmu yang akhirnya membuatmu risau. Malah sebaiknya, kau harus waspada kepada dirimu sendiri, kepada prasangka-prasangkamu sendiri. Atau jangan-jangan, kau tak pernah gelisah pada dirimu sendiri.
Sebagai catatan, kalau boleh meminjam kata-kata Cak Dian DJ, "jangan terlalu ideal, Nak. Bisa jadi, kenyataan yang akan menghianatimu." Jadilah engkau, sebagai orang yang tidak peka. Sebagai orang yang tidak pernah serius. Atau minimal, berpura-puralah menjadi orang yang tidak peka dan tidak pernah serius. Beruntunglah mereka yang tidak peka ataupun tidak serius. Sebab mereka tak perlu lagi merasa sakit hati jika dicela ataupun dikhianati, karena memandang orang-orang di Bumi yang selalu bercanda. Mereka akan selalu bahagia, ceria, dan riang. Buang saja puisi-puisimu yang bernada mengutuk keadaan. Hidup ini terlalu berat kalau dipenuhi dengan kesedihan dan sakit hati. Bersandiwara dan berhumorlah agar hidupmu menjadi ringan.
Siapapun engkau, jadi apapun engkau, jadilah sebagai orang yang merasa menjadi orang biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, juga berperilaku biasa. Jadilah engkau manusia yang merasa sangat-sangat biasa di hadapan semua saja---yang tak suka menerima pujian. Jadilah engkau sebagai orang yang berpura-pura menjadi orang polos, sebagai orang yang merasa tidak mengetahui apa-apa, agar engkau terbebas dari segala bentuk peng-Aku-an. Sebab segala bukanlah milikmu.
Kata sebuah lagu, kira-kira begini liriknya, "mari menyusun bunga Seroja, hiasan sanggul putri remaja. Rupa nan elok janganlah dimanja. Pujalah ia sekedar saja. Mengapa kau bermenung, berhati bingung. Janganlah engkau percaya pada asmara. Sekarang bukan lagi zaman bermenung."
Janganlah engkau tertipu oleh rasa. Sebab cinta yang hakiki telah lama mati bersama matinya hati nurani. Orang-orang telah melupakan cinta yang hakiki. Yang tersisa hanyalah cinta yang palsu. Asmara. Betapa cengeng nampaknya. Mestikah seseorang sibuk dengan soal urusan cinta setiap hari, padahal ada banyak hal lain yang mesti diselesaikan dalam hidup ini. Perbarui langkahmu. Jangan lagi percaya pada asmara.
Hidup hanyalah permainan. Jika kau tak bisa memainkannya dengan benar, maka kau akan dipermainkan. Dan pada akhirnya, engkau akan disebut sebagai orang-orang kalah. Bumi hanyalah rumah mimpi. Sampai pagi bernama ajal yang akan membangunkamnu. Bumi adalah sekolah gratis untuk semua. Sebuah universitas yang segaja disediakan kepada semua makhluk Allah. Segala tempat dan peristiwa di Bumi selalu dapat memberikan pelajaran. Maka belajarlah engkau yang rajin di sana.
Bahkan tak hanya Bumi, alam semesta raya dan seluruh isinya, baik yang kasat mata maupun yang gaib ini adalah ayat-ayat kauniyah atau tanda-tanda keagungan Allah. Maha Pencipta Segala. Manusia dengan segala perilakunya di muka Bumi ini adalah bekerja, bukan menunda kekalahan, apalagi menimbun hayalan dan asmara. Bukan. Tinggal mereka bekerja untuk di dunia saja, ataukah bekerja untuk keabadian. Sudahkah kita mengerti bagaimana cara menginjak bumi yg benar?
Tuban, di pagi hari yang merambat siang.
Em Ef, 16.06.’16