Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Menyentuh Langit Cinta-Mu

seberapa deras rindu yang hendak menahanku
di sini, waktu menjadi jurang
tempat menampung segala gundah berpintalan
sebelum akhirnya tumpah dalam degup
aku ingin pulang...
aku ingin pulang pada dingin sungai
yang mengalir ke laut-Mu

Kasih...
biarkanlah angin kan menjemputku,
dan membawaku kepada cahaya,
yang akan segera kembali menyala saat langit cinta-Mu
berhasil kusentuh dengan jemari air mata
mungkin juga guntur akan segera tumbuh,
pada lipatan doa yang membias dari ketinggian harapku
namun, siapa? siapa kini yang berani mengganti kerinduanku
pada belai kasih-Mu yang telah Kau kirim jauh...
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu?
kunyalakan lilin kasmaran pada sela-sela tulang rusukku
kubiarkan seluruh darah daging mendidih,
mematangkan rindu, cinta, dan air mata lewat doa
yang bergelantungan di ranting-ranting malam panjangku
sujudku barangkali hanya sebatas diam
menampung damai yang Kau dekap dalam selembar rindu
yang jazab oleh jumpa paling jeram

Malang, November 2015.
Mukhammad Fahmi.
Kupanggil Namamu
ku panggil namamu, Sahabat
manakala senja tiba membawa risalah dan kesunyian
camar-camar terbang sempurna menciumi sisa-sisa matahari yang basah,
sebelum akhirnya malam menjadikannya tiada
ini bukanlah jingga yang pertama, Sahabat
bukankah perihmu masih terbelit akar pepohonan?
maka kubiarkan tanah ini menyerap lukanya

di langit, mungkin matahari selalu muncul dari rasa gelisah,
takut, bahkan kecemasan yang tak kunjung usai
Sahabat, biarkanlah jiwa ini berkelana
sambil terus meneriakkan mimpi
untuk meredakan gelombang
dari sebuah jeruji senja yang begitu panjang

Sahabat, lihat, hari sudah petang
aku akan kembali ke dalam diriku, tapi kau?
masih saja kulihat di sudut matamu yang berawan;
ada derai yang memuai;
ada yang terus mengalir dari masa lalu
hingga ke lautan benak

mesti kita kejar ufuk itu, Sahabat
dan membiarkan sayapnya merangkul dalam gelap
yang menyayat sejarah air mata
sementara kisah-kisah itu masih menyimpan gemuruh laut,
tempatmu berjanji menautkan keinginan pada lempengan waktu
yang mengombak dalam doaku

Sahabat,
sudahkah kau berani jujur pada dirimu sendiri?
ataukah masih saja kau dustai nurani?
sudahkah kau telanjang polos di hadapan-Nya?
ataukah diam-diam masih saja kau coba tipu Dia?
sudahkah kau ingat, bagaimana cara menginjak bumi yang benar?
ataukah masih saja kau pura-pura tak mengerti?
sudahkah kau sambut cinta-Nya dengan cinta yang setara?
ataukah justru sembunyi-sembunyi kau jadikan Dia yang kedua?
sampai kapan kau tipu dirimu,
kau perdaya dirimu, kau pertuhan dirimu,
kau biarkan biarkan dirimu tenggelam dalam lumpur yang nista?

Sahabat,
sampai kapan?
mau sampai kapan?

Jombang, Januari 2016.
Mukhammad Fahmi.
Aku dan Rumbai Kata

seberapa tajam kata yang hendak mengoyakku?
pada belantara yang lebih luas,
retorika zaman yang semakin ganas
kebebasan logika pemikiran manusia
berusaha menyayat-nyayat ulu imanku
kata-kata yang entah lahir dari peradaban mana berusaha
merobohkan surauku, menghempaskan keyakinanku
berbagai ideologi terbungkus rapi,
semakin saja membutakan penglihatanku,
mendungukan telingaku, mematikan rasaku
puisi-puisi yang tak kukenal
begitu lancang menghina firman Tuhan
lalu filsafat demi filsafat semakin memandang agama
sebagai candu dan bahkan fiksi

kata, begitu tajam, melesat menyesaki peradaban
begitu mudah mengubah dingin menjadi panas,
merekayasa kezaliman menjadi kebaikan,
menyulap kebohongan menjadi kebenaran,
dan seperti yang lain

di saat lautan manusia berselimut kata
bumi menjadi saksi atas ketidakhadirnya ruh
di setiap untai kata
kata terus mengalir biarpun tanpa jiwa
puisi-puisi terus saja lahir biarpun tanpa langkah nyata

aku pun dengan sisa-sisa imanku
mencoba membaca firman demi firman-Nya
“...penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu
tidakkah kau lihat,
mereka menenggelamkan diri
dalam sembarang lembah khayalan dan kata
dan mereka suka mengajarkan yang tak mereka kerjakan
kecuali mereka yang beriman, beramal baik,
banyak mengingat dan menyebut asma Allah,
dan melakukan pembelaan ketika dizalimi...”
begitulah, betapa sejuk kalam-Nya
mengalir, menyirami jiwa-jiwa yang kering
membangunkanku dari lelapnya puisi dan kata
menyembuhkan alpaku,
memanggil diriku yang telah lama hilang

di balik puisi dan kata aku terdiam
dengan lirih hatiku membisik
“Ilahi, maafkan puisi-puisiku
selamatkanlah aku dari lautan kata-kata
jagalah kata-kataku,
selamatkanlah puisi-puisiku.”

Malang, 2018.
Mukhammad Fahmi.
Rindu Jalan Pulang

Ketika kau terbangun
Masih gelap, tanya sepasang mata itu
Langit tak lagi seperti dahulu
Tanah bumi pun, gersang dan hampa
Sungguh, tiadakah Tuhan di sini?

Sejenak kau terdiam
Menatap jalan
Menafsirkan seluruh usia

Hanya engkau yang menjelma rindu
Hamba siapa
Dan hati yang lembut
Lekat pada jiwa-jiwa yang sejati

Ia mungkin bara menyala-nyala itu
Yang menjilat semua tubuh
Yang kini mesti digenggam
Sebelum lepas dihempas alpa
Engkau jadi pulang ke mana?

Malang, April 2018.
Mukhammad Fahmi.
Puisi Anak Kecil

aku ingin                                                     
hanyut dalam desir angin
menggericik dalam setiap tetes air
melesat bersama cahaya
tersenyum dalam setiap butiran bening embun di dedaunan
berdenyut dalam tiap detak waktu
berbaur dengan semua elemen, semua nada, semua warna
dan bernyanyi bersama kicau segala burung
di alam semesta raya ini!

Ilahi, Engkaulah
penolong di setiap gerak langkah hidupku;
di saat aku buta dan tertatih kehilangan-Mu,
Engkaulah kekasih abadi:
matahari hatiku, rembulan jiwaku,
pelipur dukaku, penyejuk mataku;
di saat semua sesungguhnya sirna
—karena hanya Engkau yang ada dalam ada,
Engkaulah yang bisa membawa langkahku
untuk mengenal siapa diriku dan juga Engkau,
Engkaulah tempat sejatiku bersujud dan berharap
dalam setiap bait hembus nafas-Mu,
yang telah Kau kirim jauh…
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu,
Engkaulah hakikat dan inti pencarianku,
puncak tertinggi kerinduanku

Ilahi, ajarilah aku mencintai-Mu
dengan cinta yang setara dengan cinta-Mu
agar segera sampai aku kepada-Mu
cukuplah sosok sepi ini dengan ridho-Mu
yang menyeluruh tiada batas-tepi itu

Ilahi, telah kuterima surat agung-Mu
kan kugenggam erat-erat seluruh ayat-ayat cinta-Mu
kubawa berlari, berlari, dan berlari..
betapa pun, di sini
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu
di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari segala kembara cintaku!

Ilahi, aku ingin…
berlayar dalam semesta maha karya akbar-Mu
di ruang dan waktu manapun

Jombang, Januari 2013.
Mukhammad Fahmi.

Zaman Now

Korupsi membudaya

Keadilan diperjualbelikan

Harta dan kekuasaan sudah didudukkan

dalam singgasana Tuhan

Kebenaran terlampau mudah dibungkam

Retorika zaman semakin ganas

Berbagai ideologi terbungkus rapi, berebut benar

Parade wajah-wajah penuh topeng, bertebaran

Hitam putih sulit diraba

Media maya sesak artis, berlomba muka, dijual murah

Pacaran sudah hal biasa

Zina di layar kaca

Bayi-bayi tak berdosa jadi tumbal

Dosa dipandang sebelah mata

Tuhan tak pernah dianggap ada

Kitab-kitab kehidupan tak lagi dibaca

Kegelapan ada di sekujur harinya

Kejahiliahan telah sampai pada puncaknya

Ketulusan tampak purba

Manusia-manusia semakin serakah

Bumi sudah terluka parah

Langit jadi saksi semua kejadian

Lalu, adakah kita hanya akan diam saja

Bersembunyi dalam kata-kata

Lalu, adakah kita masih punya wajah

untuk menghadap-Nya?



Malang, Februari 2018.
Mukhammad Fahmi.

Kutolak Cintamu, Bukan Karena Ku Tak Mencintaimu
kasih
tahukah engkau mengapa akhirnya harus kukatakan
semua ini padamu?

ketahuilah, Tuhan yang dulu engkau agung-agungkan itu
yang dulu kau puja, kau sebut nama-Nya
hingga bibirmu kelu lewat zikir sepimu
kini telah terkubur di lembah-lembah mesum
cahaya-Nya berkarat tenggelam dalam minum-minuman laknat
suara-Nya terjepit di antara ingar bingar musik jalanan
sabda-Nya pun tak laku lagi dijual di rumah-rumah ibadah
bahkan di pasar loak!

Tuhan telah kau sulap menjadi buah-buah khuldi baru
yang siap engkau petik seenaknya, engkau isap, engkau makan,
dan engkau campakkan sisanya ke air comberan

Tuhan sudah lama mati terbunuh
engkaulah yang membunuh-Nya lewat janin-janin tak berdosa,
hasil hubungan gelap dengan pacarmu

Tuhan sudah lama mati kelaparan lewat derita orang-orang miskin
yang tak kau hiraukan lagi tangisnya

Tuhan telah lama pergi karena kau telah membuat-Nya cemburu,
lewat laku maksiat yang setiap saat kau lakukan

Tuhan telah lama tak ada karena kau tak pernah menganggap-Nya ada

Tuhan telah lama menghilang karena kau tak lagi membutuhkan-Nya

Tuhan telah engkau siksa, engkaulah yang memenggal leher-Nya,
kau cincang tubuh-Nya lewat amuk masa yang mengobarkan nafsu amarah

Tuhan telah engkau injak-injak lewat kekuasaan angkara murka

Tuhan telah kau tipu lewat omong kosongmu yang tak pernah kau kerjakan

Tuhan telah engkau potong lidah-Nya,
kau bungkam suara kebenaran-Nya

kemudian Tuhan engkau jadikan barang mainan anak-anak
yang terpajang di etalase-etalase toko di sepanjang jalan

dan kini, kau bebas menuhankan apa saja yang engkau suka
termasuk nafsu syahwat dan hawa kedaginganmu!

kasih
tahukah engkau mengapa akhirnya harus ku katakan semua ini padamu?
sebab, kini aku bukan lagi pribadi yang harus bisa menerima, juga menolak
karena cinta yang seperti itu mungkin hari ini sudah tak ada
orang-orang telah lupa, dan mungkin tak lagi mengingatnya lagi
apakah kau tak juga mengingat-Nya?
apakah kau tak juga merindukan-Nya?

kasih
ketahuilah,
cinta sudah lama mati bersama matinya hati nurani
cinta sudah lama menghilang bersama menghilangnya kesadaran
maka kutinggalkan nafsu dalam keyakinan hati
percayalah, justru aku sangat mencintaimu
itulah sebabnya,
kutolak cintamu bukan karena ku tak mencintaimu

Tuban, Juli 2016.
Mukhammad Fahmi.
Apakah Kita Masih Seperti Dahulu?

Saat pertama kali menjadi tanah
Yang lunak bagi segala jenis tanaman yang tumbuh
Yang lembut bagi air yang datang

Makna selalu terpendam
Dalam kebisuan tanah
Dalam halaman-halaman hari yang terlepas untuk kita temui
Dalam hening yang tak lagi tersentuh

Langkah kian menjauhi tanah
Mendekati bebatuan
Yang mengeraskan penglihatan
Mengeringkan mata air kalbu
Berkeping-keping

Waktu menggugurkan putik-putik usia
Kegamangan persimpangan jalan
Menyulut kembali api impian
Agar sesegera pulang pada tujuan
Namun, selalu saja tertinggal

Letih dalam remah-remah kisah
Menyisakan peluh kesah bagi kalbu
Yang tiada henti-hentinya
Menggali, mengeja
Kelembutan, kesunyian tanah
Tak sampai-sampai

21 Juli 2019.
Mukhammad Fahmi.
Di Kafe

Di kafe, kita diam saja
Hanya matamu yang sayu
Menambah kesunyian sore hari
Yang tak putus-putus

Di kafe, kita duduk saja
Aku memerhatikanmu hati-hati
Dan memikirkan kapan terakhir kali
Kita akrab
Baiklah, engkau lebih menyukai
Buku yang engkau baca

Sedang dua cangkir kopi panas
Yang telah kita pesan
Tiba di meja kita
Bahkan belum sempat
Kita meminumnya
Kau tumpahkan begitu saja ke lantai yang dingin
Baiklah, engkau lebih menyukai kita
Yang canggung

Orang-orang sekeliling melihat
Pertengkaran kecil kita
Kita hanya tersenyum
Dan meminta maaf
Ke arah mereka
Seperti tak sedang
Terjadi apa-apa

Sebelum hari hampir gelap
Kita berdiri pergi
Membuat janji lagi
Dan kita pun saling berebut
Untuk membayar pesanan kita
Yang bahkan belum sempat
Kita rasakan
Baiklah, engkau selalu mengajakku bercanda
Betapa parah
Cinta kita

Surabaya, 28.07.19.
Mukhammad Fahmi.
Semalam, Rembulan Redup Sekali

Semalam rembulan datang
Dengan rindu yang terpendam
Sedalam diam
Yang menggantung
Di ranting-ranting malam
Paling purba

Rindu baginya seperti labirin malam
Yang memisahkannya denganmu

Dibanding kepergian senja,
Engkau jauh lebih sunyi
Bagaimana berpamitan

Ia sangat hafal kapan engkau pergi

Adalah kebisuan rembulan
Yang menjadikannya
Semakin kekurangan cahaya

Redup cahayanya
Seperti kunang-kunang
Yang mencoba mencarimu:
Di langit mana kau berada?
Ia tak mau kehilangan

Sampai kesunyian itu benar-benar lesup
Dibacanya alfatihah pelan-pelan,
Berulang-ulang
Agar tak ada angin, juga suara
Yang membangunkan langit

Diam-diam ia menjelma kesedihan yang basah:
Ia tak mungkin lagi bisa
Menyimpan rahasia hati

Ia selalu setia mencuci rindunya
Dengan air mata
Merapikan seluruh cintanya
Tanpa ada sesal di hati

Rembulan tak pernah salah
Hanya kenangan yang kadang
Membuatnya redup
Dan basah

Omah Sinau Koma, 31.03.2019.
Mukhammad Fahmi.
Aku Takut

Aku Takut.

Aku takut
Bila kau merapuh
Tanpa sakit
Tanpa kecewa.

Aku takut
Bila kau terjatuh
Tanpa tangis
Tanpa duka.

Aku takut
Bila kau terluka
Tanpa desah
Tanpa suara.

Aku takut
Bila kau pergi
Tanpa jalan
Tanpa ingin.

Aku takut
Bila kau menghilang
Tanpa pesan
Tanpa tanda.

Aku takut
Bila titik air
Tak jadi datang
Malam ini.

Aku takut
Bila malam
Menjadi kering
Dan rentan.

Aku takut
Bila hujan
Hanya akan jatuh
Di pelupuk matamu.

Rengel, 25.12.2018.
Mukhammad Fahmi.

Baiknya.
Kita mempersiapkan kepulangan
dengan sebaik-baiknya.

**

Sampai kapan
kita dustai nurani.
Mari memulai lagi
menyayangi hati.
Yang merindukan kebenaran.

Sedia memperbaiki.
Dan menyucikannya.
Yang begitu rentan
dengan debu-debu.
Yang membuat segala
jadi kusam.
Yang senantiasa lekat.
Pada setiap persimpangan jalan.

Bumi sudah semakin tua.
Sedang lampu-lampu jalan
semakin hilang cahayanya
satu demi satu.
Mungkin suatu saat
akan hilang semua cahaya
lampu-lampu itu.
Hingga yang tersisa
hanya manusia-manusia
yang tak punya ilmu.

Di dalam kegelapan.
Orang tak mengerti jalan.
Dan bagaimana berjalan.

Sedapat mungkin.
Kita harus bisa pulang.
Dengan selamat, utuh,
dan damai, Sahabat.

Kampung halaman yang sejati,
sudah lama menunggu
dan merindukan
kedatangan hamba-hamba
kesayangan Tuhan.

Diketik dengan hape.
Kota Kediri, 02.12.2018.
#Ahad Koma Berkarya.
Mukhammad Fahmi.
_Di Sini, Hujan Turun Deras Sekali_

Di Sini, Hujan Turun Deras Sekali
Kabut hanya gugur
Jalan hanya basah
Sedang cahaya datang
Begitu tiba-tiba
Beserta suara keras itu
Membuat segala
Jadi gelap

***

Di beranda doa
Yang tergeletak
Tak bersuara
Menjelma nafas
Yang kuhirup
Sedikit demi sedikit
Hingga serasa sunyi
Melambai-lambaikan tangan
Berulang-ulang
Mengajakku pulang

Jangan menungguku pulang
Jangan terjaga, kasih
Aku tak pulang
Malam ini

Sejauh inderaku
Tak lagi dapat
Pulang
Tapi tidak
Dengan doaku
Dan
Sampaikanlah kasihku
Aku tak dapat pulang
Malam ini
Jangan menungguku

Di batas mimpi
Yang bagai selamanya itu
Ada engkau yang menunggu
Tapi
Kita tak akan sampai
Dan pada akhirnya
Jangan menungguku
Menjaga dan
Terjaga

Rengel, 11.11.18.
#Ahad Koma Berkarya.
Mukhammad Fahmi.
Sedikit Kisah Perihal Angin dan Pohon.


Kau tahu, Angin
Apa yang disesalkan
Pohon-pohon?

Bertemu denganmu.

Sebab engkau datang dan pergi
Hanya membawa kabar
Yang senantiasa kelabu.

Kabar-kabar yang hanya bisa
Didengar para pohon
Dan juga sedikit manusia
Yang pandai membaca alam.

Pohon-pohon bertukar pesan
Dengan sesamanya
Beribu-ribu mil jauhnya.

Mereka tidak menonton televisi
Mendengar radio
Menjamah internet
Apalagi menelanjangi surat kabar.

Tapi mereka membaca
Segala sesuatu
Lewat dirimu, Angin
Yang kau goyangkan
Daun-daunnya.

Mereka mendengar
Dari udaramu
Yang sembunyi-sembunyi
Meliputi kebekuannya.

Kau tahu, Angin
Apa yang paling
Diharapkan pohon?

Meraih tubuhnya.

Membawanya pergi
Melintasi ruang dan waktu
Dan tak akan kau lepaskan.

Lalu kau berkata,
"Sudah, tinggalkan saja akarmu
Kau akan dapat berjalan
Dan berlari
Semakin terbebas tubuhmu
Melayang dan terbang
Sepertiku
Ke mana pun
Kau mau,"

Tapi pohon menjawab,
"Aku tetap tak bisa
Jangan memilihku
Karena takdirmu adalah langit,"

Pohon kini hanya ranting
Tergeletak di ujung harap
Merepih sunyi
Sesal, menyayat hati
Takdirnya adalah tanah.

Langit dan tanah
Bukanlah jarak yang jauh.
Mereka tetap bisa
Saling pandang
Dan berbicara
Tentang kehampaan
Semua.

Semanding, 04.11.18.
#Ahad Koma Berkarya.
Mukhammad Fahmi.
Kita selalu jatuh hati dengan hal-hal sederhana yang membahagiakan.


Di sepanjang taman
hanya ditumbuhi
daun-daun putri malu.

Rasa tak terkata
pada setiap halaman
percakapan.

Dingin sejauh kenal
mencoba mengusir,
tapi kami tetap saja
di sana.

Seakan-akan
kami tak peduli
pada semua
yang berharga.

Hingga waktu berkejaran
mendekatkan wajahnya
pada kami.

Tuhan, kenapa Engkau
menciptakan kehidupan
begitu indahnya.

Semanding, 28.10.18
#Ahad Koma Berkarya.
Mukhammad Fahmi.

Sang Pecinta
Oleh: M. Fahmi


Di dalam jantung sang pencinta
Hanya ada debar-riuh wirid-wirid
Yang mendamaikan jiwanya

Di dalam nafas sang pencinta
Hanya ada hembusan nama
Yang membelai sukmanya

Di dalam penglihatan sang pencinta
Hanya ada wajah kekasih
Yang membuatnya buta akan segala semua

Di dalam hati sang pencinta
Hanya ada sebatang seruling tauhid
Yang menyanyikan nada kerinduan

Orang-orang mengira ia telah gila

Itu karena jantung mereka
Tak mampu menjadi rumah
Yang membuatnya selalu bisa
Merasa pulang di sana

Itu karena paru-paru mereka
Tak mampu menghirup aroma keberadaannya
Yang membuatnya terbuai

Itu karena mata mereka
Tak mampu melihat keindahan kekasih
Yang membuatnya meleleh

Itu karena hati mereka
Tak mampu mendengar irama ilahi
Yang membuatnya menari

Para pencinta itu
Tak akan letih-letihnya
Mencintai kekasihnya
Sebab cinta ialah amal paling tinggi
Sekalipun dengan itu menjadikannya
Terasingkan dari kehidupan
Sebab melihat realita semakin menjauhkan
Dari inti pencariannya

Pada puncak keterasingan
Dari segala semua itulah
Rindunya terpuaskan

Malang. Diketik dengan hape.
Minggu ke empat, Maret, 2018.
#AhadKomaBerkarya

Kudengar sayup-sayup suara
Yang turun sangat perlahan
Yang hinggap di bulu-bulu telingaku
"Ujian itu untuk meninggikan derajat
Tak ada yang lebih berat daripada
Ujian yang diberikan para nabi,
Orang-orang baik selalu mendapat ujian
Jika yang sebaliknya akan mendapat istidroj,"

Dalam tempat sunyi paling sunyi
Aku seperti tak punya teman
Dan aku seperti ditampar berkali-kali
"Begitulah, manusia datang ke bumi
dalam keadaan sendiri, dan akan kembali
Dalam keadaan sendiri pula,
Kembalilah kepada-Nya
Dengan selamat
Lihat, lumpur-lumpur dosa itu
Masih menjuluri tubuhmu
Tak malukah engkau
Menghadap Tuhan
dengan wajah munafik
Istighfarlah
Istighfar adalah pelukan lembut cinta-Nya
Yang telah lama hilang
Sakit adalah cara-Nya
Untuk membersihkan tubuhmu
Dari lumpur-lumpur dosa
Insya Allah.."

Tuban, 11 Maret 2018.
#MingguanKoma


Di Rahim Asap
Oleh: M. Fahmi

Gejolak api tak tertahankan
Membumbungkan asap-asap hitam nan tebal
Sungguh, teramat sulit tuk menyibak
Kaburkan kebeningan cuaca
Keruhkan penglihatan diri

Sebab isi hati tak selalu sama
Pemikiran pun kadang berbeda
Manusia-manusia bergerak dinamis
Diterpa musim-cuaca tak tentu

Aku teramat asing
Berjalan menelusuri jalan yang sulit kukenal
Melewati persimpangan demi persimpangan yang membingungkan
Menyusuri lorong demi lorong berasap
Sendiri, tanpa pelita
Kemandirian teruji

Asap begitu pekat
Aku kehabisan udara, aku terhempas

Bilakah bisa kupinta angin? Agar kusibak asap-asap itu
Bilakah bisa kupinta hujan? Agar kuredam gemuruh api
Bilakah bisa kupinta cahaya? Lalu menyimpannya
Agar terang segala semua
Bilakah bisa kutemukan pijakan kaki? Dan berjalan tenang di atasnya

Mengapa asap tak pernah lelah
Mengusik ketenangan hamba
Yang mencoba berlabuh
Ke dermaga impian

Hanya dengan kekuatan hati juga iman
Angin kan menyibak asap
Hanya dengan kepekaan pikiran yang jernih lagi jeli
Hujan kan melenyapkan api
Hanya dengan ketajaman penglihatan
Cahaya kan mengusir segala keruh kabur
Hanya dengan kembali
Kutemukan pijakan kaki

Malang, Februari 2018.

Aku ingin mengutarakanmu sebait pernyataan
Dengan segala pengakuan,
sendumu meleleh
Tetapi aku sedang tak bisa
Suaraku mendadak habis,
sukar mengeja namamu

Aku ingin membuatkanmu secarik surat
Bersama kalimatnya,
hatimu terhujani
Tapi lagi-lagi aku tak bisa
Tanganku lunglai,
sulit gerakkan pena

Aku ingin menggambarkanmu segores lukisan
Yang dengan melihatnya,
jiwamu menyiluet
Tapi apa daya
Catku membatu,
lama tak tersentuh

Aku ingin menyanyikanmu sebuah lagu
Yang dengan seruling,
iramaku belai kalbumu
Tetapi aku tak kuasa,
benar-benar tak kuasa
Tiupanku melemah,
tak buahkan nada

Aku ingin mengetukmu dengan segala
Namun mau bagaimana
Dengan melangkah pun,
aku rapuh
Aku rapuh

Mungkin Tuhan belum memperkenankanku,
Belum mengizinkanku
Mengungkapkan segala semua
Yang menyesakkan dada

Malang, April 2018.
Ahad Koma Berkarya



Angin berhembus begitu mesra
Membelai jiwa-jiwa yang sunyi
Sedang kita sama duduk di antara panorama
Yang setiap pandangnya mendebarkan kesahduan
Dan kita tak akan melewatkan setiap pesona
Alam dan segalanya
Ada yang selalu meleleh
Dari gemuruh waktu dan degup masa
Betapapun, kita tak akan pernah selesai
Membaca keindahan
Langit tampak sangat dekat
Sedang hamparan sawah
Begitu menawan
Menggurat garis kotak-kotak hijau
Mobil-mobil terlihat kecil
Bergerak seperti iring-iringan semut
Dan kita seperti jadi raja di atas awan
Aku raja, engkau ratunya
Sambil bercakap banyak hal
Kita menyimpan baik-baik segala dalam penghayatan
Dan membahasakan setiap keindahan
Matahari hampir tenggelam
Senja bergelantungan dengan jelas
Berayun-ayun
Terpecah-pecah
Lalu gugur perlahan
Seperti gugurnya daun-daun yang kemilau
Seperti gugurnya salju-salju emas
Menyentuh tanah
Mendadak menjelma ribuan kunang-kunang
Lalu terbang menerangi langit
yang mulai petang
Kita pun tersenyum
Terkagum-kagum
Betapa indahnya segala ciptaan

Rengel, 18.03.2018.
*)Pegunungan Kapur Utara.
#Ahad Koma Berkarya