Dongeng Pendek tentang Kota-Kota dalam Kepala
Cerpen Mashdar Zainal
(Jawa Pos, 13 Maret 2011)
Kota Tungku
Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dahaga yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya….
Di kota itu matahari memang tampak lebih besar dari yang seharusnya. Di kota itu, sungai-sungai dan perigi menganga bagai mangkuk tanpa isi. Satu per satu pepohonan mati, terberangus pelan-pelan tanpa seorangpun menyadarinya. Mereka hanya tahu, tiba-tiba pohon itu kering. Dan tak ada lagi tempat berteduh. Trotoar-trotoar berselimut debu dan asap yang warnanya kelabu. Di kota itu, matahari hampir tak tidur. Siang hari terasa lebih lama, lima kali lipat dari seharusnya. Di kota itu, di mana-mana akan terdengar orang mengeluhkan cuaca dan air. Bahkan AC pun tak bisa berfungsi di kota itu. Air minum, mandi, dan mencuci, semuanya menghangat oleh cuaca. Setiap hendak mandi, orang-orang harus mencari es batu untuk mendinginkan air.
Orang-orang di kota itu selalu berkeringat dan lengket. Setiap jam mereka mandi dan meneguk air es. Namun tetap saja, mereka berkeringat dan lengket.
“Kok panas begini, ya?”
“Bukannya dari dulu memang begini?”
“Kata nenekku, sewaktu ia kecil, kota ini adem.”
“Itu kan dulu, sekarang mana ada kota adem.”
“Menurutmu, kira-kira apa yang membuat bumi ini begini panas.”
“Klasik sekali pertanyaanmu. Lihat saja, pohon besar di kota ini bisa dihitung jari.”
“Barangkali itu, ya, yang bikin kota kita seperti tungku.”
“Cerobong-cerobong asap itu juga, kentut-kentut mobil itu juga, mesin-mesin itu juga.”
“Kau pernah dengar yang namanya global warming?”
“Ya sekarang ini global warming, Goblok!”
“Kayaknya dunia mau kiamat. Makin hari makin panas. Tidak Cuma cuacanya, tapi juga manusianya….”
Kota Sampah
Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami rasa jijik yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…
Satu hal yang sangat jelas. Di kota itu, sampah menggunduk di mana-mana seperti bukit-bukit kecil. Di dalam rumah, di jalan-jalan, di pasar-pasar, di mall-mall, bahkan di tempat peribadatan. Lalat berpesta di mana-mana, berebut sisa makanan dengan manusia. Konon, sampah itu didatangkan oleh segerombolan makhluk asing dari planet yang berbeda. Planet yang penuh dengan rumah-rumah mengkilap, dinding-dinding kaca, dan kulkas-kulkas besar yang berisi makanan dan minuman segala rupa. Planet yang penuh dengan mainan dan barang-barang aneh yang setia melayani tuannya. Konon, dari sanalah sampah-sampah itu datang dan dituangkan.
Penduduk kota sampah tak pernah sabar menunggu sampah baru datang. Mereka menunggu dengan sabar bersama lalat-lalat yang terus melagu.
“Kok lama, ya, truk sampahnya gak datang-datang?”
“Sudah. Tunggu saja. Sebentar lagi juga datang.”
“Ngomong-ngomong, apa kamu tidak jijik dengan sampah-sampah itu?”
“Busyiiit! Jijik katamu. Itu kan yang kita makan setiap hari.”
“Hihihi, makan sampah.”
“Di kota ini memang cuma ada sampah yang bisa dimakan.”
“Apa kota ini memang begini sejak dulu?”
“Kok tanya padaku?”
“Kau kan yang lebih tua.”
“Tanya saja nenekmu.”
“Nenekku kan sudah mati tertimpa gundukan sampah waktu dia berebut makanan di sini, sebulan lalu.”
“Sudah! Jangan banyak tanya. Itu, Truk sampahnya datang.”
“Cihuuuiiii!!!”
“Kau mau mati seperti nenekmu? Tunggu sebentar. Sabar. Jangan buru-buru. Biarkan sampahnya ditumpahkan dulu.”
Setelah truk sampah pergi, mereka berlari beramai-ramai, mereka berlomba-lomba mengais. Ada yang membawa tongkat kecil seperti celurit, ada yang hanya menggunakan ranting, ada juga yang mengais-ngais dengan tangan telanjang.
“Hei, aku menemukan kepala.”
“Kepala? Ayam atau bebek?”
“Manusia!”
Kota Lumpur
Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami kotor yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…
Semua penduduk di kota itu berbaju lumpur. Lumpur yang masih meleleh dan akan terus meleleh. Bukan hanya itu, rumah-rumah, pohon-pohon, bahkan atap langit, semua utuh berbalur lumpur. Pekat dan terus meleleh seperti es krim cokelat yang mencair. Hanya bayi-bayi yang baru lahir saja yang mulus tak berbalur lumpur. Tak seorangpun tahu dari mana lumpur itu bermula. Tapi, kata orang-orang tua, lumpur itu menyembur dan meleleh dari dosa. Setiap seseorang melakukan dosa dengan kadar tertentu, lumpur itu akan menyembur dan meleleh dengan kadar tertentu pula. Semakin besar dosa yang dilakukan, semakin besar pula semburan yang muncul. Lumpur itu bisa menyembul dari mana saja. Dari mulut, telinga, kelopak mata, dari lubang pusar, bahkan dari lubang kemaluan.
“Berarti penduduk kota ini, semuanya berdosa, dong!?”
“Cuma nabi dan bayi, manusia yang tak punya dosa.”
“Rumah-rumah, jalan-jalan, masjid, gereja… mereka tak punya dosa. Tapi kenapa mereka penuh lumpur?”
“Kau tak tahu, ya? Dosa itu menjulur bagai lidah, menjilati apa saja. Rumah-rumah, jalan-jalan, bahkan tempat ibadah. Pokoknya tempat-tempat di mana kita melakukan dosa, di situ lumpur juga akan ikut meleleh.”
“Lumpur ini benar-benar menghalangi kenikmatan. Kita tak bisa bicara dengan jelas, setiap kali bicara lumpur dari mulut kita akan ikut menyembur.”
“Kita juga tak bisa makan dan minum dengan nikmat, semuanya becek oleh lumpur.”
“Kita juga tak bisa tidur dengan pulas. Semua lembab dan gatal.”
“Bahkan kita tak bisa bercinta dengan nyaman. Huft….!”
“Lalu, menurutmu, bagaimana cara menghentikannya? ”
“Menghentikan apa?”
“Ya lumpur ini!”
“Hahaha, kau seperti bertanya bagaimana menghentikan dosa. Kau jawab sendirilah!”
Kota Perempuan
Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dilema yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…
Benar adanya, di kota itu, lelaki menjadi makhluk yang sangat mahal. Mereka di pajang di kamar-kamar mengkilap, dengan harga bervariasi. Semakin lelaki, semakin mahal. Di kota itu, lelaki takkan berani keluar sembarangan. Karena, ia bisa diperkosa beramai-ramai oleh perempuan-perempuan liar di pinggir jalan. Kebanyakan dari perempuan-perempuan itu adalah perempuan yang tidak pernah memiliki cukup uang untuk membeli lelaki, sehingga mereka lebih suka mencari mangsa di jalan-jalan. Perempuan-perempuan itu tak pernah mengenakan pakaian. Mereka selalu berdiri gelisah di pinggir-pinggir jalan dengan birahi yang sangat dahaga.
“Kita takkan pernah menjadi ibu.”
“Memang kenapa?”
“Kita tak mampu beli sperma.”
“Beli lelaki maksudmu?”
“Sama saja!”
“Memangnya harus beli?”
“Kau bodoh atau lupa? Di kota ini kan lelaki sudah bosan bercinta dengan perempuan. Sekarang mereka lebih suka bercinta dengan sesamanya, kecuali kalau kita membelinya.”
“Jadi?”
“Jadi, kalau kita mau hamil kita harus kaya!”
“Susah…, mau hamil saja harus kaya dulu.”
“Di kota ini memang begitu aturannya.”
“Lelaki bercinta dengan lelaki, apakah termasuk aturan di kota ini?”
“Sepertinya begitu, lelaki di kota ini sudah bosan dengan jumlah perempuan yang over populated.”
“Kalau mereka bisa bercinta dengan sesamanya, kenapa kita tidak?”
“Aku hanya… menyayangkan sperma mereka yang terbuang sia-sia.”
Kota Lapar
Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami lapar yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…
Penduduk kota itu selalu merasa lapar. Setiap hari mereka memakan apa saja. Mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, besi, tanah, dan bahkan bangkai. Di kota itu, rasa lapar terus melata dan mendatangi siapa saja, mereka menyebarkan virus-virus lapar ke dalam ceruk lambung melewati angin yang dihirup manusia. Setiap hari, kota itu selalu ramai oleh musik perut. Ada suara keroncongan, ada suara kokok ayam, ada pula siut seperti kentut. Perut-perut itu akan terus berbunyi hingga sesuatu mengisinya. Semakin lama garing, gaung perut itu akan semakin nyaring.
Setiap jam, penduduk kota lapar selalu berlomba-lomba mengais apa saja yang bisa mereka masukkan ke dalam perut mereka. Hal apapun yang mereka lakukan, tujuannya hanya untuk satu: perut.
“Hari ini kau dapat apa?”
“Maksudmu, yang sudah aku telan?”
“Ya.”
“Serongsok rangka kursi, semangkuk bulu ayam, dan seekor buaya rawa. Kalau kamu?”
“Setumpuk koran bekas dan kasur bekas. Tapi jujur, aku masih sangat lapar.”
“Sama.”
“Kenapa, ya, kita kok selalu kelaparan. Padahal perut kita sudah begini buncit oleh apa-apa yang kita telan.”
“Manusia kan memang diciptakan untuk lapar.”
“Kau pernah menahan lapar?”
“Lebih baik mati daripada menahan lapar.”
“Kok begitu?”
“Kalo kita kelaparan gara-gara menahan lapar, kan ujungnya mati juga.”
“Puasa maksudku. Jadi kita bukan tidak makan sama sekali, tapi kita kurangi porsinya, kita tahan.”
“Ah, sudah lama sekali di kota ini tak ada puasa-puasa… bapak-ibu kita juga tak pernah mengajarkan kita puasa. Yang mereka ajarkan adalah bagaimana caranya mencari makan, mengisi perut. Sudah! Kebanyakan ngobrol tambah bikin lapar. Ayo kita cari makan lagi!”
“Di kota ini sudah tidak ada apa-apa lagi, kita mau cari makan di mana lagi?”
“Ya pokoknya kita cari.”
“Kalau begitu kau makan aku saja.”
“Kau gila! Apa isi otakmu?”
“Aku hanya berpikir, barangkali, setelah mati rasa lapar ini akan reda.”
Kota Katastrofa
Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami ketakutan yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…
Di kota itu, kejadian-kejadian miris telah diagendakan. Setiap hari, di kota itu akan terjadi kematian massal. Penyebabnya bisa apa saja dan tak pernah terduga. Penduduk kota itu, setiap hari selalu berpikir, memutar otak, bagaimana supaya agenda-agenda miris itu dapat dihentikan.
Namun mereka tak pernah berhasil. Mereka tak pernah bisa menemukan di mana list-list kejadian itu disimpan. Anehnya, penduduk kota itu setiap hari berpesta pora. Mereka memestakan apa saja yang bisa dipestakan. Seolah mereka lupa, bahwa kematian massal bisa saja mendatangi mereka.
Anehnya pula, dalam pesta itu mereka sempat membicarakan dan menduga-duga agenda miris apa yang akan menyongsong mereka.
“Disiram air baskom sudah. Bahkan sampai rumah-rumah rata dengan tanah.”
“Dan yang mati ratusan ribu itu.”
“Tanah gulung tikar juga sudah, bahkan sampai menganga setengah meter tanahnya.”
“Berapa kemarin korbannya?”
“Belasan ribu atau berapa gitu… aku lupa.”
“Baru-baru ini gunung kentut.”
“Oh, yang korbannya pada gosong itu, ya?”
“He’em. Bahkan kampung itu sekarang jadi kuburan.”
“Kira-kira, apalagi, ya, agenda ke depan?”
“Menurut dugaanku, matahari akan tergelincir, menggelundung menimpa kota kita. Atau kalau tidak, barangkali atap langit bakal rubuh.”
“Ih, sereeem!”
“Makannya, tobat!”
“Iya, deh! Tapi, kita selesaikan dulu, ya, pestanya!?” (*)