Memoar Kambang Putih

Memoar Kambang Putih
Oleh: M. Fahmi

Kambang Putih
kota bak puspa itu, nan elok merekah
nan anggun sumringah
semilir wanginya, diterpa seribu angin laut utara
hingga melekat di segala layar-layar niaga
maka terdengarlah suaranya yang penuh gemuruh,
membahana, menggelegar, menggetarkan bumi Ronggolawe
tak ayal, rakyat Kambang Putih turun bersorak-sorai
di tanah-tanah lapang, di sepanjang jalan
menjemput gempita budaya

Guratan jejak sejarah, terpancar di wajah bumi wali
begitu setia menyangga petuah wali
deburnya menaungi, gelombangnya menghidupi,
kecipaknya mendamaikan
lihatlah, memoar yang hanya berdenyut di jantungnya:
tentang makam para wali, tentang bukit-bukit kapur,
tentang seribu goa, sumber air panas, kerajinan batik gedog, air terjun Nglirip,
terminal terapung, klenteng Kwan Sing Bio, siwalan, juga legen
atau tentang warisan kebudayaan: budaya Sandur, seni reog, haul Sunan Bonang,
adat shalawat Tombo Ati, budaya tayuban, peringatan ulang tahun klentang KSB,
kepercayaan sedekah bumi, atau tentang manganan
semua adalah milik Kambang Putih
jangan sampai usang, wasiat sejarah yang agung itu

Tapi katanya, kini Kambang Putih
mulai tergerus oleh arus badai
yang terpaannya menghantam kesadaran hari,
melenakan rakyat
hingga hilang rasa cinta hasil rasa, karsa, cipta kakek-neneknya
Kambang Putih, kini tanahnya bersalin rupa
menjadi gedung-gedung pencakar langit
pabrik-pabrik, mal-mal, sektor industri, pusat hiburan
hutan pun jadi hutan beton, sungai pun mulai kering kerontang
mungkin, hanya batu Tiban dan kuda sembrani yang masih tersisa di museum
zaman dan budaya modern, katanya
gaun warisan pun lupa tak dikenakan lagi, hingga tak tahunya
telah dicuri bangsa lain,
senyum jelata yang dirampas
tersedu, menangisi romantika sejarah
kota itu, teramat tua untuk diukur angka-angka
tak ada yang lebih tua dari kota itu, selain mitos yang menghuninya
tapi kini, mitos itu hanyalah mitos yang bahkan tak menyisakan petilasan budaya
kotaku tak seperti dulu

Tiga atau empat puluh tahun nanti
kota itu mungkin makin tua
dan aku, entah masih atau tiada
kuharap, ia akan terus belajar
pada kerasnya samudera zaman kehidupan, meski
dengan balutan luka yang menorehkan luka-luka sejarah:
semua sudah sepatutnya

Apakabarmu, Kambang Putih?
masihkah kau sejuk seperti dahulu kala
saat di mana para pejuang memerdekakan budayanya?
ataukah kini telah berubah, akibat hempasan pergolakan musim?
entahlah, semoga saja
berita yang berisi “katanya dan katanya” itu tidak benar
ah, hampir enam tahun sudah
kuhabiskan waktu di tanah seberang
hingga hampir aku melupakanmu, Kambang Putihku
sungguh, aku merindukanmu..!

Malang, 18 Mei 2016