Oleh: M. Fahmi
~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~
Seorang penulis dari Inggris, Muriel Rukeyser, mengatakan, “Konon, Alam semesta raya ini terbuat dari cerita-cerita, bukan dari atom-atom.” Kemudian sastrawan, Horace, menambahkan, “Cerita adalah tentang diri kita sebagai manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.” Hal ini pun—agaknya—sesuai dengan kitab Daqaaiqul Akhbar, bahwa Allah menciptakan makhluk yang pertama kali setelah Nur Muhammad adalah sebuah qalam atau pena. Dari pena tersebut disusunlah cerita demi cerita tentang manusia dan alam raya ini di sebuah tempat yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia: Lauh Al-Mahfudz. Dari sanalah segalanya bermula; cerita dan kisah di sepanjang perjalanan abad. Cerita tentang adanya kita—yang ada di dalam rangkaian cerita yang maha panjang itu.
Di rangkaian cerita itu, lahirlah makhluk bernama ruang dan waktu, hingga dimensi ke-n yang lain. Adanya berbagai dimensi tersebut sangatlah memungkinkan seluruh makhluk-Nya dapat tinggal di sana. Semua makhluk yang ada di muka Bumi dan Langit, serta yang ada di antara keduanya sejatinya senantiasa me-Mahasucikan Allah, hanya saja terkadang manusia terlupa akan siapa sebetulnya dirinya. Kehidupan ini begitu indah, bukan? Dialah Allah, Sang Kreator Mutlak. Lihatlah, seluruh aksara karya Agung-Nya yang maha ajaib ini, yang tak pernah ada makhluk yang sama persis baik dari segi karakter maupun fisik. Allah sungguh hebat dan kreatif, bukan? Dialah yang Maha Qadim—yang “dahulu”Nya tanpa adanya permulaan, berbeda dengan semua makhluk-Nya selalu berhulu dan bermuara. Akan ada banyak sekali keajaiban dalam Kehidupan yang Maha Akbar ini jika manusia mau membacanya.
Sebagaimana uraian di atas, bahwa kisah hidup kita dan sejarah dunia ini telah ditulis oleh Tangan yang sama. Masa depan telah ditulis dan apa-apa yang ditulis-Nya selalu untuk kebaikan manusia. Setiap orang memiliki legenda pribadi. Semakin dekat seseorang ke perwujudan legenda pribadinya, semakin besar legenda itu menjadi alasan utamanya untuk selalu belajar dan berkarya di dalam Kehidupan. Saya jadi teringat mutiara kalam Imam asy-Syafi’i, “..Bila kau tak tahan lelahnya belajar dan berkarya, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan..”. Kata-kata yang sederhana tapi terkesan utuh itulah yang berhasil memotivasi saya untuk selalu belajar dan berkarya.
Legenda pribadi adalah apa yang selalu ingin ditunaikan oleh manusia dalam Kehidupan. Masing-masing manusia memiliki cita-cita dalam hidupnya. Semua dari mereka menjalani legenda pribadinya sampai selesai, sebab hidup tidak akan pernah tuntas sebelum seorang anak manusia menyelesaikan misinya yang agung. Mereka berkelana, berbicara dengan orang-orang bijak, menunjukkan keajaiban-keajaiban kepada yang ragu. Dan ketika seorang anak manusia itu menginginkan sesuatu, maka segenap Alam raya bersatu untuk membantu meraihnya.
Jika Tuhan yang dengan segala karya agung-Nya dapat sedemikian kreatif menjadikan segala sesuatu, mengapa manusia tidak? Bukan berarti mau menyaingi ciptaan demi ciptaan-Nya, tapi dengan berkarya maka setidaknya seorang anak manusia akan senantiasa belajar meng-iqro’i segala karya agung-Nya di alam raya ini. Pun dengan berkarya, ia akan menemukan dirinya yang sesungguhnya. Melukis, menulis, memahat, membaca, bermusik, dan segala aktivitas berkarya lainnya ternyata bukan hanya sekadar aktivitas seni, tapi juga merupakan pengembaraan, pencarian, perjalanan, sekaligus pencapaian seorang kreator dalam menggapai Cahaya Maha Cahaya; yang adanya adalah sebagai puncak Keindahan tertinggi. Semua ilmu berhulu dari pemikiran (filsafat) dan akan bermuara menjadi seni.
Menulis—terkhusus mengarang—adalah proses merevisi naskah sepanjang hari, seperti seorang pelukis yang terus memoleskan kuasnya di kanvas dari waktu ke waktu untuk mencapai taraf keindahan tertinggi. Jadi, tidak akan bisa rampung saat itu juga. Harus sabar dan tetap ulet dalam menyelesaikannya, sampai suatu nanti ketika kita sendiri merasa puas membacanya. Kalau kita sendiri puas, insya Allah pembaca pun puas. Sebab, menulis pada hakikatnya adalah untuk kepuasan batin penulis sendiri. Pembaca hanyalah audiens yang kebetulan terkena efek dari keindahan batin seorang penulis.
Menulis itu pun sebetulnya tidak ada bedanya dengan kebutuhan sholat, makan, dan minum. Hanya saja, dengan tulisan, kemungkinan untuk menggapai makna hidup yang lebih tinggi bisa lebih terwakili. Pertarungan paling panjang adalah pertarungan abadi antara pertentangan hati nurani manusia yang ingin berdiri sendiri dengan suara-suara lain—entah itu datang dari setan atau nafsu—yang berusaha menggoyahkan keyakinannya. Itu pulalah sebabnya mengapa manusia berkarya. Hanya karyalah yang akan ditinggalkan manusia sebagai jejak kehidupan dalam pengembaraan yang tidak ada ujung pangkalnya ini.
Apakah manusia dalam perjalanan berkaryanya selalu benar? Tidak. Mereka akan menjumpai berbagai rintangan yang kemudian—bisa jadi—ia tidak selamanya berjalan di ruang yang benar. Namun, justru dari perjalanan itulah seseorang—sebetulnya—dapat belajar untuk sampai pada titik yang benar. Saya pribadi, cukuplah menjadi orang “sederhana” dengan pikiran “sederhana” dan hidup “sederhana”. Saya ingin hadir apa adanya di muka bumi ini sebagaimana keberadaan air, angin, api, dan tanah yang ikhlas untuk apa mereka hadir.
Sebagai bahan belajar bersama, saya punya beberapa tips: Tulislah apa yang paling kita ketahui. Biasanya pengalaman pribadi adalah hal yang paling mudah untuk ditulis. Tidak jarang, pengalaman pribadi menjadi sumber ilham terbesar bagi seorang pengarang setelah diramu dengan imajinasi dan bahan-bahan lain yang ada. Tulisan bisa membekas di hati pembaca karena tulisan itu memiliki “ruh”—yang dengannya kata demi kata yang disampaikan akan menjadi terasa “hidup” dan akan sampai pada maksud makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengantarkan pembaca sampai pada titik hikmah. Ada keindahan kata-kata yang tidak bisa digantikan dengan gambar, lukisan, suara, atau bahasa yang lain. Itulah sastra. Di sana, pengarang akan benar-benar terlibat dalam pembuatannya dengan mencurahkan segala rasa yang ia punya.
Apa yang perlu dihindari saat menulis? Kalau saya pribadi percaya, bahwa saat menulis itu ada kekuatan tak kasat indera yang tanpa kita sadari sedang membimbing kita dalam menulis, dan itu pun tergantung pada niat dan apa yang kita tulis. Sebab, ketika kita menulis maka sebenarnya kita memiliki tanggungjawab moral kepada pembaca, terlebih kepada Tuhan. Untuk itu, hindari segala perbuatan yang tidak diridhoi Allah—yang dibenci sekaligus dimurkai oleh Allah. Maka setidaknya, dalam kehidupan keseharian kita harus taat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Insya Allah apa yang kita inginkan tercapai. Nampaknya hal ini sepele dan terkesan simpel, namun inilah esensi Kehidupan. Agama bukanlah ritual yang hanya sekadar menjemukan atau dogma yang memaksa, melainkan keyakinan dan keteguhan.
Semoga kita bisa saling berbagi dan menyemangati. Seorang penulis tidak akan berarti apa-apa kalau karyanya tidak ada yang membaca. Penulis hidup dalam kesunyian dan sahabatnya yang sejati adalah pembaca. Salam sukses selalu, Sahabatku. Teruslah berkaya untuk sahabat, untuk bangsa, untuk Cinta!
Wallahu a’lam.
Malang, 22 Pebruari 2015