Media Sosial

Setiap hari. Setiap waktu. Setiap jam. Setiap menit. Orang-orang tak pernah lupa membuka media sosial. Semua nama media sosial. Beberapa dari mereka hanya suka melihat kabar dan status. Beberapa yang lain senang menulis dan memperbaharui statusnya. Ada juga yang tidak peduli dan acuh dengan status orang-orang. Bahkan ada pula yang benci sekali dengan status; fa innii laa ubaali bikum.

Bagian Satu.
Status. Ehe.

Setiap hari. Setiap waktu. Setiap jam. Setiap menit. Orang-orang tak pernah lupa membuka media sosial. Semua nama media sosial. Beberapa dari mereka hanya suka melihat kabar dan status. Beberapa yang lain senang menulis dan memperbaharui statusnya. Ada juga yang tidak peduli dan acuh dengan status orang-orang. Bahkan ada pula yang benci sekali dengan status; fa innii laa ubaali bikum.

Terlepas dari semua itu. Kini. Wajah kebenaran semakin kabur. Kakanda Rasul pernah bercerita, bahwa kelak semakin bertambahnya waktu, umatnya akan semakin jauh dari kebenaran. Dan kini, kita telah benar-benar melihatnya bersama.

Ada orang-orang yang sibuk dengan membuat status setiap waktu. Baik itu status serius tentang kebaikan, status guyonan, sampai status yang mungkar. Semua pembuat status itu sama-sama sibuknya (termasuk orang yang nulis ini, Ehe). Membuat waktunya menjadi hilang dan terlupa kepada Yang Memberikan kehidupan.

Status hari ini lebih tidak bisa dipercaya sama sekali. Apakah orang-orang itu menulisnya dengan sungguh-sungguh ataupun hanya citra. Apalagi kini tersedia tombol like, love, komen, subscribe, follow, dan lain sebagainya yang hanya akan membuat si pembuat status merasa diperhatikan, disanjung, dan mempopularitaskan diri. Juga media sosial kini telah dilengkapi dengan fitur status privacy, only share with, last seen privacy, about privacy, blocked contact, read receipts privacy, sampai pada mute Fulan's status updates. Adanya fitur-fitur menyebalkan inilah yang membuat hubungan kita menjadi renggang dan saling curiga satu sama lain. Ehe.

Yang paling menyedihkan adalah ketika status itu dibarengi dengan foto-foto centil dan bahkan video manja. Alih-alih captionnya untuk mengajak membaca alquran semisal, tapi fotonya sama sekali tidak cocok dengan apa yang ada di captions. Sering terjadi. Upload foto manja, wajah dicoret-coret, pakai caption "Abaikan muka." Lalu ada yang membuat status, "Assalamu'alaikum calon imam," nah akhirnya para ikhwan pada berebutan menjawab, "Wa'alaikum salam calon makmum," hadeeehh. Ada pula yang membuat status, "Hijrahku ini untuk mengejar cinta Allah, bukan mengharap pujian dari manusia." Sembari memosting foto-foto hijrahnya. Yah, kalau mau hijrah ya hijrah saja, Ukhty wa Akhy, lakukan dengan istiqomah dan ikhlas, ndak perlu pakai posting-posting begitu. Memangnya Tuhanmu ada di media sosial? Kalau semisal mau istigfar ya tinggal istigfar aja, Ukh, ndak perlu teriak-teriak di media sosial. Bukankah Tuhan itu Maha Mendengar. Kalau semisal mau menegur teman ya tegur aja dia secara langsung pada orangnya dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengumumkan di media sosial. Media sosial itu agar kita bisa saling berkomunikasi dengan baik, bukan mengumumkan orang-orang yang salah.

Mari kita kembali lagi. Allah telah melarang perempuan untuk memperlihatkan kecantikannya kecuali pada suami dan mahramnya. Maraknya foto-foto centil dengan captions agama yang beredar di media sosial ini sungguh tidak baik. Membuat banyak mata lelaki menjadi berlama-lama memandang yang pada akhirnya menyebabkan dosa jariah. Sudah dosa. Jariah pula! Padahal yang paling berbahaya adalah ketika seseorang tidak merasa hina atas dosa-dosanya. Behh. Pokoknya hapus ya, Ukh!

"Jangan menjadi rembulan yang setiap mata lelaki bisa memandang. Jadilah seperti mentari yang mampu menundukkan setajam apapun sorotan mata lelaki," begitu kata bumi, Ehe.

Masih banyak kita temukan orang-orang di sekitar kita yang tidak mengerti (atau lebih tepatnya tidak mau tahu/masa bodoh) dengan segala yang berhubungan dengan hukum. Katanya kaku lah, atau apalah. Itu masih berada dalam tangga hukum, belum lagi menaiki tangga yang lebih tinggi, semisal perjalanan, dan selanjutnya cinta.

Hal yang ingin saya bahas di sini. Mengapa memang seharusnya perempuan tidak boleh mengupload fotonya di media sosial atau menampakkan kecantikan wajah pada lelaki ajnabi (orang lain) atau yang bukan mahram. Jika bagian kaki perempuan harus ditutupi kaus kaki karena termasuk aurat, maka seharusnya wajah perempuan pun wajar dan pantas ditutupi. Sebab, nyatanya wajah perempuan jauh lebih menggoda dan menarik dibandingkan dengan telapak kakinya. Nah!

Perihal batasan aurat perempuan ketika salat dan ketika bersama mahram telah sedemikian jelas. Yang paling banyak berbeda pendapat adalah batasan aurat perempuan ketika bersama dengan ajnabi. Meskipun para ulama empat madzhab ahlussunnah terjadi berbeda pendapat, bahkan di kalangan madzhab imam Syafi'i pun timbul tiga pendapat, yakni wajib, sunnah, dan khilaf aula, namun pendapat yang mu’tamad dalam madzhab imam Syafi’i adalah bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan dengan pandangan pihak lain (al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak tangan dan wajah. Ehe.

Disebutkan pula, bahwa lelaki ajnabi tidak boleh melihat wajah perempuan kecuali ketika hanya untuk mengajari surah alfatihah saja (bukan surah yang lain) untuk mengetahui benar tidaknya makhraj dan bacaannya. Dan juga lelaki ajnabi yang mempunyai niat untuk melamar boleh melihat wajah dan telapak tangan sebelum menikahinya.

Nah, boro-boro wajah ditutup, kaki saja masih sering dibuka tanpa alas kaki kok. Ehe.

Mengutip dhawuh ustaz Halimi, "Bila lumpur mengenai rokmu masih bisa untuk dicuci. Tapi bila kau angkat dan kelihatan auratmu, cukupkah kau mencucinya dengan air?" Betapa dalam sekali. Syukron, Ustaz. Bukan air yang akan mencucinya, melainkan adalah api.

Maka jangan pernah jatuh cinta pada kecantikan seseorang. Jatuh cintalah pada pikirannya, karena di sanalah sesungguhnya engkau akan hidup dan tinggal. Ehe.

Bagian Dua.
Ruang Gibah Berjamaah. Ehe.

Kemudian. Ada orang-orang yang sibuk mengurus tingkah dan urusan orang lain. Perihal kabarnya, hubungan asmaranya, kegiatan harian, atau bahkan tentang kegiatan politiknya. Semua dan segala sesuatunya ditulis dan diberitakan di media sosial. Kalaupun dengan genre berita menjadi kaku, kini sudah ada berbagai ruang yang sangat terbuka di media sosial untuk membuat semua orang menjadi tertawa, atau lebih tepatnya menertawakan orang yang dibicarakan. Tapi sayang, orang-orang itu tidak kunjung mengerti kalau sesungguhnya sedang memakan bangkai secara berjamaah. Hal ini pula yang membuat penulis menjadi tidak krasan mendengar bacotan orang kantor, Ehe. Di samping jumhur 'ulama telah menyatakan di berbagai kitab bahwa bunga merupakan riba. Padahal sekarang hampir di setiap belahan bumi telah menggunakan sistem ini. Lalu bagaimana cara mencucinya jika sudah mendarah daging. Jawab sendiri lah. Ehe.

Yang berhak menulis cerita hanyalah Tuhan. Adalah kalam-Nya. Tentu tujuan utamanya adalah sebagai pembelajaran bagi hamba-hamba-Nya. Saat ini, sekalipun ruang gosip itu memiliki tujuan untuk membuat orang tersebut malu dan jera, hal itu tetaplah tidak baik. Sebab setiap insan pasti punya celah. Dan yang paling mengetahui hanyalah Tuhan. Memang kamu tahu apa. Tahu apa tempe. Ehe.

Bagian Tiga.
Hamba Popularitas dan Lunturnya Keyakinan. Ehe.

Dan lagi. Kehidupan dunia dengan segala kefanaannya. Setiap hari kita selalu disuguhkan berbagai macam berita dan peristiwa yang menyesakkan dada. Benar-benar menyesakkan dada!

Orang-orang lebih suka mengejar pundi-pundi like, subscribe, follow di akun media sosial. Dan dari jumlah pengikut dapat kita lihat, orang-orang yang sedang menyembah popularitas. Tak peduli mereka yang secara terang-terangan mempertontonkan kemungkaran sampai pada yang mengajak kebaikan sekalipun. Nyatanya, mereka menjual popularitas itu kepada Google Adsense untuk kemudian bisa ditukar dan mendapatkan dolar di kantong mereka. Jadi sudah sangat jelas di sini, mereka tak berniat melakukan dakwah, melainkan menjual Tuhan dengan materi. Ehe.

Bagian Empat.
Perihal Seseorang yang Merindukan Dirinya Sendiri. Ehe.

Orang itu tak pernah mendebat manakala ada yang bertanya apa agamanya. Ia hanya merindukan jawaban yang keluar dari mulutnya, "agamaku adalah air yang akan membersihkan pertanyaanmu."

Orang itu tak pernah menyalahkan waktu. Ia hanya memaki dirinya sendiri, yang tak bisa lepas dari jerat jeruji keramaiannya. Yang membuatnya senantiasa terlupa.

Orang itu tak pernah memarahi zaman. Ia hanya mencaci dirinya sendiri, yang tak bisa keluar dari seret arus pekatnya. Yang membuatnya mengikuti berbagai warnanya.

Orang itu tak pernah membenci orang-orang. Ia hanya memaki dirinya sendiri, yang merasa diri menjadi paling. Yang membuatnya menjadi tak bisa melihat diri.

Betapa tidak penting kata dan kalimat yang ditulis hanya untuk citra. Sungguh tidak penting memosting foto yang diunggah hanya untuk pengakuan. Pun sungguh tidak penting menilai baik-buruk hanya dari profil dan penampilan. Di seberang sana, ada seseorang yang rindu menjadi dirinya sendiri, juga menjadi hamba Tuhan, bukan hamba publik. Ia merindukan hati yang lembut, bukan hati yang gersang. Ia merindukan kesejatian, bukan kemunafikan.

Bagian Lima.
Yang Fana Adalah Waktu. Ehe.

Tidak ada satupun orang yang benar-benar peduli dengan nasib kita. Pun tidak ada sedikitpun orang-orang yang benar-benar bisa dipercaya kecuali diri sendiri, kekasih yang sejati, dan barangkali orang-orang kesayangan kita.

Maka sesungguhnya kita tak perlu sibuk melihat orang lain. Setiap manusia punya jalan masing-masing. Toh bukankah manusia selalu bisa mencari pengetahuan setiap waktu dengan adanya semua teknologi masa kini yang sangat dapat dengan mudah mengajari manusia-manusia milenial. Bagus itu. Meski ada satu-dua yang berniat untuk benar-benar belajar. Tapi kebanyakan lebih suka menganggap sebagai tren hijrah dan eksis saja, tanpa substansi kesungguhan di dalamnya. Tuhan bisa melihat itu semua, Sayang.

Tapi tidak. Sungguh tidak. Manusia hari ini lebih suka mencari pengetahuan yang hanya berkaitan dengan materi dan kehidupan dunia. Sedang perihal agama dan kehidupan akhirat yang nyata adanya jarang sekali dibaca. Betapa menyedihkan.

If my time has come, I don't want anyone to beg. Not even you. And I will care even less. Fa inni laa ubaali bikum!

Terakhir, saya ingin menutup status ini dengan kalimat sakti Pak Sapardi di salah satu puisinya, "Yang fana adalah waktu."

Waktu setiap hari selalu berdenyut. Tapi tidak untuk suatu hari nanti. Dan setiap manusia kelak akan sendiri-sendiri untuk menghadap Tuhannya. ~

Omah Sinau Koma.
Diketik dengan hape, 06.04.19. Ehe. ~
Mukhammad Fahmi.