Endapan Proses Belajar


Semacam Endapan Proses Belajar
Oleh: M. Fahmi

"Ummati, ummati, ummati... Tuhan, bagaimanakah keadaan umatku kelak setelah kepergianku? Ya Tuhan, betapa sakit kematian ini. Maka limpahkanlah rasa sakit kematian yang diderita oleh seluruh umatku kepada hamba. Biarlah hamba saja yang menanggung..." [Rasulullah, di akhir hayatnya].

Betapa cinta dan sayangnya Rasulullah kepada kita. Betapa perhatiannya Rasulullah kepada kita, kepada seluruh umatnya, agar kelak berada pada tempat yang sama. Tapi pernahkah kita merindukan, menangis, dan mangadu kepada Rasulullah, atas segala perjalanan yang kita jalani, sekaligus atas segala peristiwa yang disuguhkan dalam layar lebar kehidupan di masa kini? Jawabannya mungkin pernah, tapi hampir dipastikan jarang sekali. Kita mungkin lebih suka hanyut di dalamnya untuk kemudian menghibur diri dan bersenang-senang. Dunia ini hanyalah persinggahan sementara dan kelak akan binasa, perbanyaklah menangis. Bumi adalah tempatnya bersabar atas segala ujian. Ini ujian dari Allah, agar kemudian manusia menanam dan mengumpulkan kebaikan. Kakanda Rasulullah, izinkanlah aku menulis dan bercerita tentang kondisi umatmu di masa kini. Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad...

***
Aku tidak tahu, ini tulisan macam apa. Tapi betapapun demikian, setidaknya biarlah tulisan ini menjadi bagian yang (semoga bisa) menyembuhkan "penyakit" yang diderita oleh manusia-manusia, yang tak juga kunjung sembuh dari hari ke hari. Sebenarnya, telah sedemikian jelas apa yang telah disampaikan di dalam buku besar kehidupan. Namun entahlah, manusia banyak yang mengabaikan pesan demi pesan rahasia yang ada di dalam kitab kebenaran itu.

Sudah lama sekali rasanya aku tidak bercerita (baca: curhat). Cerita memang identik dengan alay. Dan, aku sangat risih jika tulisanku terkesan alay. Tapi mau bagaimana lagi. Kebenaran tetaplah sebagai sebuah kebenaran. Aku seperti terkoyak habis-habisan jika kebenaran itu kemudian dijadikan oleh orang-orang sebagai barang mainan yang layak untuk ditertawakan. Dan kali ini, aku harus menjelaskan kebenaran itu dalam bentuk cerita. Sebab, tidak cukup jika disampaikan hanya lewat puisi maupun artikel. Aku harus menghadirkan uraian kronologi cerita itu di dalam tulisan ini (meski tidak seutuhnya), agar engkau percaya. Percaya senyata-nyatanya, bahwa hal semacam ini memang telah benar-benar terjadi di masa kini. Namun dengan catatan tetap menjaga kehormatan dengan tanpa menyertakan identitas, karena aku hanya ingin menjadikan tulisan ini sebagai pelajaran sekaligus pengabaran kepada kakanda Rasulullah, bukan penghakiman dan penghajaran.

Sementara, kulihat di luar sana, telah sedemikian entah, hingga tak mampu lagi kujelaskan lewat kata-kata biasa di lembaran sesempit ini. Namun aku ingat, sesungguhnya aku punya tanggung-jawab moral pada semua manusia. Mau tidak mau, aku harus tetap menulis untuk kebenaran. Betapa dalam menulis tulisan semacam ini, aku harus melewati fase-fase amarah di dalam diri. Tapi sungguh, Kawan, ini demi kebenaran, dan aku tak punya pilihan lain lagi. Meski ada beberapa yang menolak kebenaran dan menganggapku sok, aku tidak peduli. Fa innii laa ubaalii bikum. Dan aku akan tetap menyayangi dan berprasangka baik kepada semua manusia ciptaan Tuhan. Toh, ini semua demi kebaikan kita bersama. Bukankah begitu, Kawan?

Aku hanya ingin menulis semata-mata karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis dan segala resah gelisahku tertuang dalam catatan ini, maka akan legalah perasaanku. Betapapun, aku tetap harus bercerita di sini; tentang segala yang sebetulnya terjadi. Tentang segala realita yang kita melihatnya bersama namun tak kunjung juga kita mampu membela kebenaran. Tentang segala yang tak mampu untuk kuselesaikan sendiri, kecuali berbagi dengan menulis. Karena kebetulan tokoh aku dalam tulisan ini adalah seorang mahasiswa, maka ceritanya kebanyakan juga tentang persoalan mahasiswa. Dengan uraian masalah-masalah berikut, semoga bisa memberi permenungan bersama sekaligus pencarian solusi, setidaknya berangkat dari diri sendiri. Inilah yang menjadikan keresahan penulis dalam melatarbelakangi lahirnya tulisan ini (yah, dari sini saja sudah kelihatan alay; mungkin karena efek skripsi, wkwk).

Baiklah, cukup. Kita kembali lagi ke permasalahan. Kalian pasti mengerti, kalau aku adalah sosok yang sangat acuh, dingin, dan juga tidak peka. Biarlah apa kata kalian, itu tidak mengapa bagiku. Toh, aku orangnya memang begini (hehe). Tapi mengapa kalian diam-diam masih juga memerhatikanku? Apakah kalian suka kepada lelaki macam aku? Lalu, aku harus bersikap bagaimana lagi agar membuat kalian berhenti memujiku? Ups, namun bukan itu yang ingin kubahas. Itu hanya sebagai kode pengantar saja. Ada banyak hal lain yang lebih penting dan mesti kuceritakan seputar perputaran zaman ini. Akan kuceritakan dari cerita yang paling ringan (baca: sepele) sampai pada cerita yang tidak ringan sekalipun. Baiknya, kujadikan poin-poin saja.

Poin satu (back to nature).

Masih ingat dengan cerita alm. Yu Patmi dan para pejuang tanah Kendeng? Baiklah, kemarin hari Kamis yang lalu (30/03/2017) telah diadakan kegiatan tahlil dan do'a lintas iman di Bunderan UGM, paling tidak, untuk turut memberikan dukungan kepada para petani di Kendeng. Dan, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan lingkungan di pegunungan Kendeng adalah menolak pabrik semen berdiri di sana. Selain tahlil dan do'a lintas iman juga diadakan orasi, pembacaan puisi, pentas musik, aksi teatrikal, dan aksi cor kaki. Aksi penolakan telah digelar di berbagai tempat, termasuk juga di Balai Kota Malang. Sebentar, kita perlu flash back dulu. Tahun 2015 yang lalu, para ilmuwan di seluruh dunia telah berkumpul di Prancis untuk membicarakan kadar emisi karbon di dunia. Hasil dari konferensi tersebut adalah bahwa emisi karbon telah meningkat sebesar 56 juta milton dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (dari tahun 2004-2014). Sementara itu, suhu bumi meningkat 0.8% setiap tahunnya. Ini berarti lingkungan semakin rusak, efek lebih jauh lagi adalah berkurangnya kadar oksigen dan ozon di bumi, efek rumah kaca, dan mencarinya gunung es di kutub. Konferensi berakhir dengan problem tanpa solusi, karena para ilmuwan tidak tahu bagaimana cara untuk mengatasinya,  mengingat manusia hari ini lebih suka dengan kondisi yang nyaman, praktis, dan instan (dengan pesatnya produksi kendaraan, banyaknya pendirian industri, maraknya obat-obat kimia, sampai pupuk kimia sekalipun). Manusia hari ini banyak yang tidak memikirkan nasib anak cucu mereka ke depan: masihkah mereka menghirup udara yang sejuk, dan masihkah mereka meminum air bersih? Para ilmuwan dalam konferensi tersebut banyak yang memilih diam dan menunggu sampai suhu bumi naik empat derajat. Di Indonesia sendiri, terjadi penebangan hutan sampai puluhan juta hektar setiap tahunnya. Kota Malang hari ini (dengan suasana polusi dan panas di jalan raya) dengan Malang tempo dulu (dengan kesejukan udara meski di siang hari) jelas berbeda. Dan, kita sebagai mahasiswa, mestinya turut peduli kepada lingkungan, paling tidak berangkat dahulu dari diri sendiri. Mulai dari gerakan menanam tanaman toga, tidak membuang sampah sebarangan, tidak melakukan kapling pada tanah pertanian dan perkebunan, tidak menebang pohon yang masih muda dan berbuah. Aku pikir, dengan gerakan sederhana yang kemudian bisa dilakukan bersama-sama, setidaknya bisa menyumbang untuk perbaikan lingkungan di bumi. Tentu dibarengi dengan segala kebijakan pemerintah (yang sangat menentukan) untuk turut memperbaiki alam, termasuk kebijakan atas tanah Kendeng.

Poin dua (back to religion).

Mungkin dengan bergantinya zaman demi zaman, maka kehidupan akan menjadi semakin transparan. Dan kukira, kebaikan ataupun keburukan dari segala peristiwa yang ditawarkan dalam kehidupan ini bergantung dan kembali pada masing-masing individu. Dengan proses keluar masuknya data dan informasi yang maha cepat ini, maka bisa jadi manusia zaman sekarang akan menjadi "lebih pintar" dan karena itu juga manusia menjadi "lebih bodoh" daripada manusia zaman dahulu. Kita patut untuk prihatin.

Proses masuknya berita dan "ilmu" dari sesuatu yang sering disebut sebagai hape android dengan segala aplikasinya berupa Mbah Google, Whatsapp, Bbm, Line, dan segala macamnya itu kupikir cukup membantu manusia dalam memahami mana yang disebut sebagai kebenaran dan mana yang bukan kebenaran. Beribu-ribu bahkan berpuluh ribu kitab dan buku dengan format pdf bisa disimpan di dalamnya. Tapi mungkin ilmu itu hanya sampai di mata dan pengusapan layar saja, belum menyatu dalam laku. Dan kenyataannya sekarang, kebenaran semakin menjadi kabur saja. Aku "tidak tahu" faktor apa yang menyebabkan kaburnya kebenaran itu. Ah, tak perlu bertele-tele lagi lah. Biar kuberikan contoh riilnya saja, agar kita sama-sama mawas diri. Sebuah universitas dengan segala pendidikan yang ada di dalamnya, sekalipun dengan background agama—ternyata masih belum mampu menjadikan mahasiswa dan mahasiswinya menjadi benar. Nyatanya, masih banyak ditemukan mahasiswa yang sudah mengerti bahwa bersentuhan dengan lawan jenis (yang bukan mahrom) itu haram, tapi masih juga dilanggar atas nama kebersamaan. Apakah itu bersalaman (sekalipun kepada dosen), mencubit, sampai pada hal-hal yang berada di luar pemikiran penulis (hmm, iya ta?). Hal ini menjadi tanda tanya. Juga tentang mahasiswi yang sudah mengerti batasan-batasan aurat, tapi masih saja pergi ke kampus dengan tanpa menggunakan kaus kaki, memperlihatkan lengan, memakai kaos dan kerudung pendek yang membuat terlihatnya (tolong lanjutkan sendiri), ataupun berbusana dengan dilanjutkan kata "tapi" yang berada dalam tanda kutip besar. Laki-laki mana yang tidak tertarik, kasihanilah mereka yang harus berkali-kali menundukkan wajah sekaligus mengumpatkan kata maaf di sepanjang persimpangan jalan. Hal yang nampak sepele ini seakan menjadi wajar dan membudaya. Bagaimana menurutmu? Ini menjadi pe-er kita bersama, untuk membuat Rasulullah tersenyum.

Poin tiga (protect yourself).

Masih pada persoalan mahasiswa. Baru-baru ini kita dikagetkan dengan peristiwa kejahatan luar biasa. Beritanya masih hangat, karena baru saja kemarin. Apakah itu hoax atau nyata, yang penting kabar itu telah menyebar di media sosial. Tentang mahasiswi (belum nikah) yang melahirkan di tempat kos. Tidak hanya melahirkan, kabarnya, bayinya juga dibunuh. Kupikir, seorang mahasiswa ataupun mahasiswi telah banyak berpikir (atas banyaknya tugas) dan juga menimbang. Tapi mengapa masih juga "pura-pura" bodoh untuk soal yang seperti ini. Ini semua berawal dari (tolong sebutkan sendiri ya hehe, aku sudah tidak kuasa menyebutkan). Kasus-kasus terkait ini, sebenarnya bukan kali pertama kudengar. Kedua, aduh, memalukan sekali. Di kampus agama. Kejadiannya di dalam toilet (ah, aku sampai lupa ceritanya). Juga, masih ingat peristiwa Yuyun? Seorang siswi yang mati mengenaskan di salam semak-semak setelah dikeroyok oleh empat belas laki-laki sepulang sekolah. Di manakah rasa kemanusiaan itu kini berada? Juga tentang temannya teman penulis, yaitu tentang mahasiswa (yang kebetulan dianugerahi harta sekaligus ketampanan) di kampus negeri daerah Surabaya, yang ia sendiri telah lupa, kapan terakhir shalat (padahal muslim). Pun, ia (yang bercerita sendiri kepada teman saya) tidak menghitung, telah melakukan "sesuatu" itu berapa kali kepada mahasiswi-mahasiswi di kampusnya. Astaghfirulloh. Hal serupa juga dialami oleh seorang mahasiswi yang telah kecanduan sampai berganti-ganti..., seperti kecanduan merokok (yang apabila tidak merokok maka akan terasa pahit). Dan terakhir, ini yang membuat aku sungguh tidak percaya. Tentang seorang hafidzhoh al-Quran (mahasiswi jurusan PBA, salah satu kampus negeri di Malang) yang mengaku telah "tidak ori" karena terlena. Aih, eman banget tuh hafalannya yang cuma di bibir saja, Neng. Ini semua gara-gara siapa sih. Jujur dan maaf, aku menulis ini pun penuh dengan umpatan dan emosi, Kawan. Bagaimana bisa seperti ini alur ceritanya. Dan, masih banyak lagi cerita, terutama di negara bagian luar sana, yang hal-hal demikian mungkin telah dianggap lumrah. Padahal jika  manusia tahu, hukuman asli bagi para muslim/muslimah pezina ghoiru muhson (belum menikah) adalah dicambuk seratus kali di bagian punggung dan diasingkan selama satu tahun, sementara untuk pezina muhson (sudah menikah) adalah dirajam sampai mati. Lha, orang yang sudah menikah tapi berzina dan tidak mau dirajam (alias kabur), maka di hadapan penghuni langit ia seperti bangkai yang berjalan di atas muka bumi, karena semestinya ia harus sudah mati, dan amalnya pun tidak diterima. Hmm, Bagaimana menurutmu atas segala peristiwa ini? Ini menjadi pe-er kita bersama, untuk mengembalikan senyum Rasulullah.

Poin empat (back to rightness).

Kawan, kita harus rela memberikan segala-galanya, seluruh hati kita untuk kebenaran. Sebab, hari ini telah banyak orang yang melupakan kebenaran. Perputaran zaman yang telah sedemikian rakusnya, hingga arti kebenaran telah dicampakkan darinya. Berbagai produk kecanggihan teknologi, perubahan gaya hidup, modernisasi, dan berbagai kemasan lain, baik yang kasat mata maupun tidak, serasa membuat manusia semakin lupa diri: menjauhkan manusia dari inti pencariannya yang sesungguhnya. Orang-orang kini telah banyak yang tak peduli lagi pada kebenaran. Kebenaran seakan menjadi boneka lucu yang layak untuk ditertawakan. Betapa orang zaman sekarang sudah jarang berbicara soal setan berikut nafsu yang sudah jelas-jelas menjadi musuh terbesar bagi umat manusia di muka bumi ini. Manusia zaman sekarang telah banyak yang terjajah: terjajah oleh para penjajah nyatanya lahir dari diri sendiri. Manusia telah lama tertidur, hingga mereka tak mengerti, bahwa kebathilan telah sedemikian pesatnya menyesaki dan memenuhi isi bumi. Bumi telah sesak oleh berbagai kemungkaran-kemungkaran. Lihatlah di luar sana, betapa kebenaran kini telah lama mati bersama matinya hati nurani. Atas nama kebenaran mereka merayakan cinta, padahal itu semua hanya nafsu. Kawan, sudahkah kita berani jujur pada diri kita sendiri? Ataukah masih saja kita dustai nurani? Sudahkah kita telanjang polos di hadapan-Nya? Ataukah diam-diam masih saja kita coba tipu Dia? Sudahkah kita ingat, bagaimana cara menginjak bumi yang benar? Ataukah masih saja kita pura-pura tak mengerti? Sudahkah kita sambut cinta-Nya dengan cinta yang setara? Ataukah justru sembunyi-sembunyi kita jadikan Dia yang kedua? Sampai kapan tipu diri kita sendiri, kita perdaya diri kita, kita pertuhan diri kita, kita biarkan diri kita tenggelam dalam lumpur yang nista? Kawan, sampai kapan? Tapi percayalah, bahwa kebenaran kelak akan muncul sebagai pemenang, meski datangnya kadang belakangan...!

Poin lima (back to "home").

Di luar sana, kehidupan ternyata telah sedemikian entah, Kawan. Dunia telah berubah menjadi gaduh. Bumi telah benar-benar "terluka" parah! Mungkin disebabkan oleh para penghuninya yang sudah tidak lagi mau tahu apa yang sesungguhnya dilakukannya; kebenaran ataukah ke-tidak-benaran. Mataku yang—sengaja maupun tak sengaja—menyaksikannya pun ikut "terluka"; terkena panah api yang diam-diam melesat begitu cepat dalam "peperangan" itu. Aku memang ceroboh, "keluar rumah" tidak membawa "bekal senjata" sama sekali. Untung aku tak lupa membawa "peta" untuk perjalanan pulang. Dan aku memutuskan untuk segera berlari, "pulang ke rumah". Menyembuhkan "luka-luka" dengan air wudhu dan shalat.

Catatan untuk poin lima:

- Maaf atas banyaknya tanda petik: sebagai majas (sengaja memang, hehe).
- Aku lupa mencatat nomor polisinya, tapi aku berpikir biar malaikat saja yang mencatatnya.
- Alumni pesantren ternyata terbagi menjadi dua: menjadi santri sepanjang hidupnya dan menjadi mantan santri. Ilahi, sudilah kiranya Engkau memaafkan setiap kesalahan hamba-hamba-Mu; mungkin terlampau jauh.
- Semoga yang terjadi hanya sebuah sandiwara.
- Aku sudah kapok "keluar rumah" untuk mencari hal-hal yang bersifat sia-sia dan nihil.

Aku harus lebih banyak menulis lagi. Tentang kehidupan, tentang kemanusiaan, tentang kebenaran, dan masih banyak lagi. Sebab, menulis ternyata bukan hanya sekadar aktivitas merekam kejadian, tapi juga untuk mengumpulkan kebenaran, memperbaiki langkah, mengingatkan yang lupa, dan mempertebal keyakinan. Semua yang kutulis bukan bermaksud berburuk-sangka, tapi ini sudah menjadi realita di kehidupan masa kini. Semoga setiap yang kita tulis menjadi pelajaran bersama di kemudian hari.

Malang, 01.04.17