Tamu yang Datang di Hari Kemenangan
Oleh: M. Fahmi
Pagi bertakbir. Gemercik suara aliran sungai itu juga bertakbir. Udara pagi yang terasa sejuk ini pun ikut bertakbir. Kicauan burung-burung yang berkejaran itu pun tak pernah lepas dari menyebut asma-asma Allah. Bangunan, jalan, dan pohon-pohon itu pun ikut meramaikan zikir alam. Seluruh komponen yang terbentang di alam semesta raya ini mengagungkan kebesaran Allah. Hanya saja, sebagian manusia sering kali tidak mengerti bahasa takbir mereka. Dan ketika alam bertakbir, hanya sedikit manusia yang ikut dalam irama takbir mereka.
Setiap hari, aku selalu menyapa wajah kota Pasuruan. Di sini. Di tempatku berjuang melawan kebodohan, adalah bumi yang kupijak untuk mengukir berbagai cerita. Mulai dari cerita suka maupun cerita yang memaksa air mataku jatuh. Ah, tak dapat aku bayangkan, akan jadi orang seperti apa aku jika tak menimba ilmu di sini. Pesantren Al-Hikmah telah memberi kekuatan yang besar untuk tetap istiqomah dan bertahan, apapun bisikan angin yang datang. Aku akan tetap di sini, menjaga janji.
Pagi ini, setelah mandi dan salat subuh berjamaah di musala kompleks ribath, aku begitu terburu-buru untuk berangkat ke Masjid. Jarak dari ribath pondokku dengan Masjid tidak terlalu jauh, sekitar tiga ratus lima puluh meter. Hanya perlu jalan tanpa menggunakan kendaraan untuk sampai ke sana. Ku percepat langkah, sebab ada yang mesti sesegera mungkin untuk kutemui. Rindu ini seperti telah menyatu, bertakbir bersama alam. Rinai gerimis tadi malam dan suara ayam yang membangunkan pagi, membuat hati rindu sekaligus luka. Rahasia apa yang Kau simpan dalam gerimis? Bahasa apakah yang sesungguhnya didendangkan ayam itu? Oh, jagat ini. Fajar yang datang tiba-tiba, dinginnya udara yang menusuk, kadang membuat segalanya jadi lupa. Sungguh, aku rindu keheningan!
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar… Laailahaillallaahu Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillaahil-hamd…
Terdengar riuh suara sahut-sahutan itu, membelah pagi. Berdentam rasanya hatiku. Oh, sudah terlihat rupanya bangunan rumah-Mu itu. Gema asma suci-Mu berdengung di dalam, lagi-lagi gerimis turun pagi ini. Oh, baru pukul lima lebih dua puluh. Bersijingkat aku mengangkat lengan baju dan sarung, agak tergesa kubasuh muka; nawaitu wudhua lirof’il hadatsil ashghori fardon lillahi ta’ala … Sementara di luar sana terdengar semakin jelas orang-orang melantunkan takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar… Laailahaillallaahu Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillaahil-hamd… Gemetar sukma ini! Betapa ingin kusingkap misteri hati, agar hilang dahagaku, lebur dalam-Mu.
***
Usai salat hari raya, para jamaah masing-masing bersalaman, membentuk barisan. Keluar dari masjid, orang-orang bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga dan sanak kerabat. Mereka terlihat bahagia sekali menikmati hari yang fitri. Setelah berperang begitu hebatnya melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan, kini umat islam merayakan kemenangannya dalam melewati berbagai rintangan itu. Sebagian santri pulang ke daerah asalnya. Mereka adalah yang memiliki uang dan rumah asalnya tidak begitu jauh. Tapi tidak untuk Idul Fitri kali ini. Aku tak dapat menghitung jumlah teman santri yang minta pamit pulang kepadaku. Tak kulihat satu pun santri yang ikut jamaah di Masjid ini.
Ah, empat tahun sudah aku tidak pulang ke daerah asal. Empat tahun sudah aku tidak melihat senyum abi, umi, lek, bibik, dan saudara-saudaraku. Sudah empat tahun ini aku tidak mengucapkan maaf dan mengecup tangan secara langsung kepada mereka. Empat kali di hari yang fitri ini pula aku hanya bisa bertukar kabar serta meminta maaf dan doa lewat telepon. Suara mereka, meski tak mampu kusentuh, telah menenangkanku, menguatkan ketegaranku. Bukittinggi terlalu jauh di sana, tidak terlihat mata kepalaku. Ah, mungkin akan sangat menyenangkan sekali bersilaturahmi ke sana dan ke mari bersama keluarga. Hanya wajahku yang tak sama dengan wajah para jamaah itu. Aku hanya ikut bersalaman sambil terus menahan air mata. Sesudah bersilaturahmi ke masyarakat sekitar masjid, aku segera pulang ke ribath untuk bersilaturahmi dengan pak Kyai.
Acara halal bi halal atau yang kerap kali disebut dengan “riyayan” ini sudah menjadi tradisi umat muslim di bumi nusantara. Berkat dakwah para wali yang ramah, menjadikan islam di nusantara adalah islam yang rahmatan lil-alamiin. Di ndalem pak Kyai terlihat penuh oleh para tamu yang berdatangan dari berbagai golongan, mulai dari kelompok majelis ta’lim, takmir masjid, perangkat desa, ustadz-ustadz, dan masih banyak lagi. Aku hanya sempat mengecup tangan beliau, setelah itu kembali ke luar ndalem, untuk memberi ruang bagi tamu yang masuk. Aku berpapasan dengan putra pak Kyai dan segera mengecup tangannya. Ia menatap raut wajahku. Kesedihanku sempat dibaca oleh Gus Rahman, putra Pak Kyai Luqmanul Hakim. Ia mengerti betul tentangku. Aku pun segera berlari ke kamar. Ternyata ia ikut menyusulku ke dalam kamar.
“Tenanglah, Ri. Aku mengerti apa yang membuatmu sedih,” tuturnya halus.
“Hehe, mbo.. mboten wonten no.. nopo-nopo kok, Gus,” ucapku terbata-bata.
“Halah, kau masih juga bersandiwara, padahal sudah jelas sedih. Aku sudah mengenal kejujuranmu selama empat tahun. Matamu itu, tak pernah bisa berbohong,” Ia tersenyum, mencoba mengajakku untuk tersenyum pula.
“Ya sudah, daripada nganggur di kamar tak ada teman bicara, nanti sore ikut kami pergi ke ndalem Mbah ya?” gus meletakkan tangannya di atas pundakku.
“Mboten, Gus. Kulo mboten pantes nderek-nderek keluarga pak Kyai,” wajahku tertunduk malu.
“Kalau ini adalah perintah Abah, bagaimana perasaanmu? Hehehe..,” ia tertawa terbahak-bahak, hampir terdengar di ndalem pak Kyai.
“Hmm.. Geh, sendiko dhawuh, Gus,” akhirnya aku menuruti juga ajakan Gus Rahman.
***
Acara silaturahmi di ndalem Mbahnya Gus selesai sampai ba’da Isya jam sembilan malam. Kami pun kembali pulang ke Pesantren Al-Hikmah. Gus dan keluarganya segera beristirahat karena kecapekan dari tadi pagi sibuk bersilaturahim. Waktu berjalan lambat, sementara mataku masih belum terpejam. Pikiranku melayang ke sembilan tahun yang lalu. Ah, ia datang lagi ketika aku hampir bisa melupakannya. Ia, yang entah siapa, telah memenjaraku dalam catatan yang indah. Hingga kusyukuri hidup ini sebagai karya Tuhan yang luar biasa. Ruangan di kamarku ini terlalu sesak untuk dihuni oleh seorang diri. Aku sudah terbiasa sendiri. Tapi demi melihat wajah rembulan yang kebetulan purnama itu, aku tertarik untuk tidak tidur dulu. Aku segera naik ke lantai paling atas, tepatnya di tempat jemuran pakaian. Tak lupa aku membawa secangkir kopi. Dan di sanalah akhirnya, aku merenung. Membuka kembali halaman demi halaman yang sempat terekam di Bukittinggi, tanah kelahiranku.
Ada hal yang musti kuceritakan, tentang cerita yang hingga detik ini belum usai diukir oleh masa. Wajah rembulan dan kupu-kupu di matanya itu yang kerap kali membuatku menyendiri, memaknai hidup. Pada pecahan cahaya purnama ini aku tersenyum. Pada kerinduan ini, aku membuat pengakuan. Angin malam menyambut asaku. Mendekatkan kami.
***
Di sini. Di bumi yang membesarkanku, tanahnya sangat subur. Segala jenis tanaman bisa tumbuh di sini, mulai dari tanaman toga, buah-buahan, sayur, kelapa sawit, palawija, karet, dan yang paling mengesankan adalah luasnya kebun teh. Dari ujung timur sampai ujung barat membujur pegunungan yang indah. Udaranya sejuk sekali, bebas dari debu dan bisingnya kendaraan kota.
Aku kini duduk di kelas tiga MTs. Sementara sepupuku, Risma, ia baru kelas tiga SD. Paman menitipkan putrinya kepadaku, untuk menemaninya pergi ke sekolah. Jalan yang kami lewati menuju sekolah sama. Jarak rumah dengan sekolah tidak begitu jauh. Hanya perlu melewati jalan setapak, sungai, kebun teh, pematang, dan sampailah ke sekolah. Kami sering bermain di kebun teh, sewaktu pulang dari sekolah.
“Engkau ada di mana, Ris?” tanyaku saat hampir menyerah mencari batang hidungnya.
Tiba-tiba dari arah belakang ia berlari secepat kilat, dan langsung menyambar bambu penyangga yang telah kami sepakati untuk dibuat rumah petak umpet. Ia tertawa hampir terbahak-bahak, dan matanya yang kutangkap itu seperti mengolok-olok ku, lalu lidahnya yang setengah keluar itu menertawakan kebodohanku.
“Ah, payah ini Kak Ari. Masak tidak bisa menemukanku?” ucapnya sambil terengah-engah.
“Iya deh. Kakak memang selalu payah. Sekarang kamu sudah senang, bukan? Ayo pulang, hari sudah sore,” bujukku.
“Satu kali permainan lagi ya?” tangannya menarik lengan bajuku.
“Kakak sudah capek ini. Ayolah pulang,” kembali aku merayu.
“Ndak mau, pokoknya ayo main lagi!”
“Ayolah, kalo pulangnya telat nanti bisa dimarahi sama Paman lho,”
“Hm, yaudah deh kalo begitu. Tapi tebak dulu, tadi Risma sembunyi di mana?”
“Waduh, ya kurang tahu lah kalo itu soal itu.
Memang kan, dari sejak kemarin sampai sekarang kakak belum bisa menemukan Risma gitu,”
“Iya, tapi tebak dulu, dong, Kak!”
“Hm, pasti Risma sembunyi di balik daun-daun teh yang besar itu ya?” aku menunjuk ke petak ladang teh yang daunnya lebih rimbun daripada yang lainnya.
“Hahaha. Kakak salah besar!” ia tertawa terkekeh-kekeh.
“Lalu di mana Risma sembunyi?” tanyaku penasaran.
“Risma bersembunyi di ruang yang tak akan pernah terjamah oleh siapa pun, kecuali kakak,” ujarnya riang. Kulihat matanya bertambah bening.
“Maksudmu? Aku tak paham, Ris” kataku sambil menggaruk-garuk kepala, tanda bingung. Aku berpikir, mungkin kamu hanya belum bisa berbahasa yang baik dan benar. Atau akukah yang belum bisa mengeja kata-katamu yang bersayap itu?
Risma melihat mataku agak lama. Seperti mencari sesuatu yang entah apa itu. Jujur. Aku agak grogi sebenarnya ketika ia memandangku begitu. Lalu seperti tidak mempedulikan pertanyaanku, ia berlalu sekenanya dan meninggalkanku yang terdiam penuh tanda tanya di antara ladang teh. Ah, sore ini, aku benar-benar merasa sial sekali.
***
“Abi, Umi, Mbak Irma, Mas Ainun, Paman, Bibik, Risma. Ari pamit dulu ya. Doakan semoga Ari selamat sampai di tujuan,” aku menyalami satu per satu tangan mereka.
“Iya, Nak. Doa kami selalu menyertaimu. Semoga mendapat berkah dan manfaat. Ingat janji yang pernah abi sampaikan kepadamu ya, Nak,”
“Iya, Bi. Ari pasti akan selalu mengingat hal itu,”
“Kak Ari mau pergi ke mana?” Tanya Risma sambil mendekatiku.
“Kak Ari mau mencari ilmu di tanah jawa, Risma mau ikut ta?” Gurauku.
“Yah, kan Risma belum lulus SD, Kak! Jauh apa tidak, Kak? Cepat pulang ya!”
“Hehe, ya jauh lah, Ris. Sampai menyeberangi lautan yang luas, hehe. Soal waktu, tenang saja. Yakinlah, kakak pasti akan kembali,” kataku meyakinkannya.
“Awas kalau kakak tidak kembali. Risma tidak akan pernah memaafkan kakak, huhu..!!” ia menangis tersedu-sedu.
“Kakak janji deh, kakak pasti kembali kok! Sisakan air matamu untuk kepedihan yang lain, oke?” aku mencoba untuk menegarkannya.
Ia berlari ke dalam rumah. Aku tak tahu harus berbuat apa.
“Sudah, kau pergi saja sana, Ri. Tak perlu kau risaukan si Risma itu,” bibik menasehatiku.
“Geh, Bik. Kalau begitu tolong sampaikan saja salamku padanya,”
“Iya, pasti akan kutitipkan salammu padanya,” bibik tersenyum melihatku.
“Risma menyukaimu,” bisik bibik ke telingku.
“Bagaimana Bibik tahu?”
“Aku perempuan!
***
Kembali di malam ini. Malam yang terang, sebab cahaya rembulan sepenuhnya menyinari bumi. Ah, kisah tadi masih saja tersimpan di memoriku. Aku ternyata baru mengerti apa yang dikatakan olehnya waktu itu. Kulihat jam tangan. Sudah pukul sebelas malam rupanya. Empat tahun sudah, tak terlihat kesakralan suara dari penggalan alenia kehidupanmu, resah risaumu. Aku menghela kenaifan diri yang menjelma. Apa kabar malammu, Risma?
Aku menguap berkali-kali. Badanku pun rasanya sudah sangat lelah. Aku harus tidur sekarang. Besok masih ada agenda yang harus kuselesaikan. Kubereskan kopiku dan segera kembali ke kamar.
***
Statusku di pesantren adalah sebagai santri sekaligus abdi ndalem. Di sini. Aku tidak hanya nyantri, tapi juga sambil belajar di sekolah aliah. Namun, bulan Mei kemarin telah wisuda dan dinyatakan lulus oleh sekolah. Seperti biasa, setiap pagi dan sore aku selalu menyiram tanaman, membersihkan halaman ndalem, membantu petugas dapur memasak, menyuci pakaian, dan juga membelikan bahan-bahan makanan. Ah, Pagi yang amat cerah ini membuatku semangat untuk beraktifitas.
Sekelebat, ada sepasang mata yang menyapaku, ramah sekali. Aku seperti teringat dengan sinar mata itu. Kucoba mengingat-ingat kembali. Aku menemukannya. Mata itu pernah hadir di kehidupanku, empat tahun silam. Ah, mata itu masih sama seperti yang dulu kulihat dan kurasa. Tak ada yang hilang! Sinar mata itu memancarkan kelembutan, ketulusan, kejujuran, dan kedamaian. Lewat matanya, seakan aku dapat membaca isyarat tentang segala yang melekat dalam dirinya; berhati lembut, berjiwa ibu.
“Assalamu’alaikum, Kak Ari…!!” Ia mengucap salam sambil berlari ke arahku.
Subhanallah, aku merinding mendengarnya. Risma. Mendengar suaramu itu, aku kembali menapaki gairah pagiku yang telah lama dimangsa angkara. Gerai suaramu telah mampu menjelma semangat pagiku.
“Apa kabar, Kak?” tanyanya sambil menyodorkan sebuah bingkisan.
“Alhamdulillah, baik, Ris. Kamu datang ke sini sama siapa?” dahiku mengernyit.
“Itu, mereka masih di sana,” ia menunjuk ke arah mobil Avanza yang diparkir di halaman pondok.
Kulihat Abi, Umi, Mbak Irma, Mas Ainun, Paman, dan Bibik menghampiri kami. Mereka tersenyum. Entah apa arti senyum itu. Segera kusalami mereka. Aku tak mampu menahan air mataku yang berderai. Hatiku berdentam. Tanganku bergetar merasakan keharuan yang membiru. Ilahi, apakah aku sedang berada di dunia mimpi?
“Ah, ternyata kalian masih sama seperti dahulu,” celetuk Bibik.
“Alhamdulillahirabbil aalamiin. Ari tidak menyangka akan bisa berkumpul lagi, dengan Abi, Umi, Mbak Irma, Mas Ainun, Paman, Bibik, dan Risma.”
“Iya, alhamdulillah, Nak.”
Kupersilakan mereka masuk ke ruang tamu. Tak lupa kuhidangkan aneka jajanan lebaran dan juga kubuatkan teh hangat. Kuberitahu Gus Rahman kalau keluargaku datang hari ini. Gus Rahman bersyukur sekali mendengarnya. Kemudian katanya, sebentar lagi Pak Kyai akan pulang, beliau habis dari acara Halal bi Halal.
“Selamat ya, kamu sudah menjalankan janji itu dengan baik!” Seru Abi kepadaku.
“Iya, Bi. Akhirnya saya bisa juga memenuhi janji itu, Bi. Hehe, sebelumnya kok ndak bilang ke Ari dulu kalau akan menjenguk Ari, Bi?”
“Itu idenya si Risma, Le. Sepertinya dia sudah kangen sama kamu,” sahut Bibik, dan semua yang ada di ruangan itu tertawa. Sementara Risma menyembunyikan wajahnya, dan mencubit dengan lembut lengan ibunya itu.
“Hmm.. Berangkat dari rumah kapan, Bi?” Kucoba untuk mengalihkan perhatian.
“Kemarin ba’da Dhuhur, Nak.”
“Wah, pasti capek sekali ya, Bi.”
“Ndak lah, kami banyak mampir di perjalanan,”
“Bagaimana kabar sekolah Aliyah mu?”
Sejak masuk pesantren Al-Hikmah, satu tahun kugunakan khusus untuk mendalami dasar ilmu agama agar tidak kaget, karena memang santri yang belum pernah belajar ilmu agama diwajibkan untuk mengikuti program satu tahun tersebut. Juga adaptasi yang lainnya, seperti bahasa Jawa, pergaulan, dan lain sebagainya. Setelah satu tahun berlalu, baru aku mendaftar sekolah aliah swasta yang ada di dalam yayasan Pesantren Al-Hikmah.
Saat ini, sekolah aliah ku telah usai. Abi bertanya, apakah ingin melanjutkan kuliah atau tidak. Aku berpikir sejenak.
“Alhamdulillah, sudah lulus dengan hasil yang memuaskan, Bi. Hmm.. Segala kebutuhan saya di sini telah banyak dicukupkan oleh Pak Kyai, Bi. Maka sebagai kebijakannya, saya akan ikut dengan apa yang diperintahkan oleh Pak Kyai. Jika Pak Kyai meminta saya untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, maka saya akan kuliah, jika tidak saya akan menimba ilmu di sini dulu, Bi.”
“Abi kagum dengan ketaatanmu sama Pak Kyai, Nak,” puji Abi.
“Ah, bisa saja Abi berkata begitu,”
Selang beberapa saat, Pak Kyai pun datang, dan beliau masuk ke ruang tamu diantar oleh Gus Rahman. Kami semua yang di ruang tamu memberi takzim dan mengecup tangan beliau. Tangan beliau yang dingin menyejukkan sanubari kami. Akhirnya keluargaku dan Pak Kyai pun bercakap-cakap, memperbincangkan soal aku, soal kegiatanku, dan lain sebagainya. Sementara Risma mengajakku keluar, kami pun izin sebentar. Kami pun duduk di taman yang dipenuhi rumput hijau, dan juga burung-burung merpati.
“Kak..” Rengeknya begitu kami duduk.
“Iya, ada apa, Ris? Taman ini indah, bukan? Lihat, di sana juga ada sungai, ikannya warna-warni, bagus kan?” kucoba sedapat mungkin mengalihkan perhatiannya. Tapi ia tetap menatapku. Aku diam saja, dan ia pun diam saja. Ah, sayang, aku selalu mati kutu di hadapannya. Kata-kata yang kugubah dalam angan seakan menguap entah ke mana. Barangkali takdirku memang tak bisa romantis.
“Kak..” Seperti ada sesuatu yang membuatnya ingin menyelami mataku lebih lama. Ia seperti ingin melunaskan rindu yang selama ini telah sedemikian membukit.
“Ayo main petak umpet lagi!” katanya tiba-tiba di luar perkiraanku.
“Ah, kamu ternyata masih sama seperti dulu, masih kekanak-kanakan!”
Ia mencubit lenganku, namun aku berhasil menghindar. Tiba-tiba ia tertawa.
“Terkadang dunia anak-anak itu lebih luas dari dunia manapun. Di sana tak ada kesedihan, iri, dengki, sombong, pamer, yang ada adalah keceriaan dan kebahagiaan,” ungkapnya berfilsafat.
“Ayo kita bermain lagi, Kak!” sambungnya
“Ayo, siapa takut!” tantangku.
Ah, engkau datang tepat di saat hatiku sedang gundah. Di hari kemenangan ini, kami kembali ke masa lalu, bermain petak umpet dan kejar-kejaran. Ah, taman ini seperti berubah menjadi kebun teh Bukittinggi yang hijau dan luas. Sepoi-sepoi angin melayangkan jiwa kami, terbang menuju ruang yang tak akan pernah terjamah oleh siapa pun, kecuali hanya kami.
Malang, 2 September 2015