Lelaki dan Seekor Kucing Kesayangannya

Baiklah, kali ini saya akan bercerita tentang kisah seorang lelaki dan seekor kucing kesayangannya. Barangkali kamu sudah pernah mendengarnya, tapi ada baiknya kamu membacanya kembali. Sebab kehidupan merupakan proses membaca yang tak habis-habisnya.

Alkisah seorang lelaki yang sedang pulang dari perjalanannya menemukan seekor kucing kecil yang terlantar di jalanan. Kucing kecil itu tak pernah tahu di mana orang tuanya berada. Tubuh kucing itu basah oleh air hujan dan lusuh penuh dengan kotoran. Ia menggigil kedinginan sambil mengeong, berharap ada seseorang yang iba dan memberinya makanan.

Seorang lelaki yang saya ceritakan itu kemudian mengambil kucing itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak. Ia berniat membawanya pulang. Sesampainya di rumah, ia membersihkan tubuh kucing itu dengan air hangat, mencuci dengan sabun wangi, mengelap dengan handuk dan mengeringkannya dengan alat pengering. Kucing itu terlihat cantik sekali sekarang. Lelaki itu kemudian memberi makan kucing itu dengan beberapa makanan dan tulang ikan. Kebetulan lelaki itu hidup sendiri di rumah, maka ia memutuskan untuk merawat kucing itu. Kucing itu diberi nama Shelia.

Berbulan-bulan lelaki itu merawat dan memberi makan kucing itu di rumahnya hingga ia tumbuh besar. Suatu hari, kucing itu tak terlihat di dalam rumah. Lelaki itu sangat cemas dan kemudian mencarinya. Ia menemukan kucing itu sedang berada di sebuah taman yang banyak sekali orang-orang yang sedang lalu-lalang. Saat ditanya oleh lelaki itu mengapa ia berada di sana, kucing itu menjawab ia tidak ingin terpenjara di dalam sebuah rumah. Lelaki itu menasihati kucing itu, bahwa di luar rumah ada banyak sekali bahaya. Ia harus berhati-hati. Kucing itu mengangguk pelan dan bersedia pulang kembali ke rumah. Lelaki itu memang tak punya banyak waktu saat di rumah. Ia sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di kantor.

Kejadian yang sama terulang kembali pada minggu berikutnya. Kali ini kucing itu terlihat oleh lelaki itu di sebuah pasar dekat rumahnya. Ia bermain bersama kucing-kucing yang lain. Lelaki itu menasihatinya kembali. Hal yang sama dilakukan oleh kucing itu saat ia sedang bersalah.

Dan lagi. Namun kini lelaki itu sudah tidak lagi menasihati kucing itu. Lelaki itu akhirnya memahami, kucing itu hanya ingin sebuah pengertian, sebagaimana kucing-kucing yang lain. Dalam hatinya, baiklah kau boleh pergi ke mana saja sesuka hatimu.

Kucing itu sedikit ragu saat dilepaskan oleh lelaki itu. Ia kemudian pamit dari rumah dan mencari udara segar di luar. Ia mencari banyak tempat dan juga orang-orang yang bisa membuatnya bahagia. Berbulan-bulan, lelaki itu sudah tidak pernah mengikat kucing itu dengan sebuah nasihat. Kucing itu boleh keluar ke mana saja, boleh juga ia kembali ke rumah lelaki itu. Pintu rumah lelaki itu selalu terbuka untuk kucing itu, selagi ia ingin kembali.

Kau tahu, dari sekian banyak tempat dan orang-orang yang dikunjungi oleh kucing itu, tak ada yang sebaik lelaki itu. Ia sudah lelah tertipu dan tersakiti oleh orang-orang ataupun kucing-kucing di luar sana. Dunia ternyata tidak sedang baik-baik saja sebagaimana pemikiran kucing itu. Ia tidak mengerti bahwa ia sudah ditipu dan dimanfaatkan oleh orang-orang, ia tidak mengerti bahwa ia telah digunjing dan dipermainkan oleh teman-temannya, ia tidak mengerti bahwa kucing-kucing yang lain hanya bersikap sangat baik di depan, namun begitu keji dan menjerumuskan di belakang. Batinnya, mengapa mereka tidak membicarakan aib-aibnya sendiri, mengapa malah sibuk membicarakan aib orang lain, dan lain sebagainya. Dunia ternyata begitu kejam, tidak seperti kebaikan-kebaikan yang ada di dalam kepalanya. Dan ketika ia baru menyadari itu semua, mendadak ia menjadi membenci semua. Ya, membenci semua kepalsuan dan kepura-puraan. Ia ingin menjalani hidup apa adanya, sebagaimana yang telah digariskan untuknya. Lebih baik terasing baginya, daripada tenggelam ke dalam dunia yang penuh dengan kemunafikan.

Ia kemudian sangat merindukan sebuah ketulusan. Ia merindukan nasihat dan kisah-kisah yang biasa diceritakan oleh lelaki itu saat hari hampir malam. Kucing itu menangis dalam diamnya. Ia menyesal sedalam-dalamnya. Ia ingin pulang ke rumah lelaki itu, tapi ia sudah cukup malu. Ia berpikir, bahwa ia ingin sekali hidup kembali ke masa lalunya. Jika saja bisa, itu akan menjadi hari yang sangat menyenangkan baginya dan tentu saja ia akan berbuat yang terbaik.

Suatu pagi, pagi sekali, saat jemaah subuh di suatu musala bubar, lelaki itu mendapati kucing itu berada di depan pagar musala. Kucing itu terlihat jauh lebih kurus dari sebelumnya, kecuali perutnya yang membesar. Tubuhnya lusuh dan matanya kering. Lelaki itu hampir saja tak mengenalinya. Mereka saling menatap. Lelaki itu sangat sedih melihat keadaan kucing itu dan kemudian mengajaknya pulang. Kucing itu tak mampu berkata-kata lagi, ia menangis sesenggukan dalam dekapan lelaki itu.

Di rumah, lelaki itu memperlakukan kucing itu sebagaimana yang ia lakukan saat pertama kali menemukannya di jalanan. Kucing itu tak ingin lagi pergi ke tempat-tempat yang lain. Ia hanya ingin mengabdikan diri sepenuhnya dan mencintai tuannya, sebagaimana tuannya yang senantiasa menyayanginya. ~

Mukhammad Fahmi
Dunia Kecil yang Tumbuh di Kepalanya

Seorang lelaki yang tidak sengaja saya temui tadi pagi seperti masih sama ketika terakhir kali kami bertemu, kurang lebih sekitar lima tahun yang lalu. Suaranya, cara ia tertawa, gayanya berpakaian, juga warna matanya, semua masih sama seperti dahulu. Ia memiliki mata yang sama persis dengan mata ibunya.

Tadi pagi saya melihat keseluruhan dirinya. Seorang lelaki yang menjadi pelukis lepas itu memang sering sakit-sakitan. Batuk kronisnya selalu kambuh. Berkali-kali ia keluar-masuk rumah sakit. Ia pernah berjanji kepada saya untuk tidak merokok. Ia berusaha meyakinkan kepada dirinya sendiri bahwa rokok itu pahit dan tidak enak, dan ia begitu bangga karena telah melampaui beberapa minggu. Tapi entah kenapa ia kemudian merokok lagi.

Namun sesungguhnya, ia tidak begitu risau dengan penyakit batuk kronis yang ia alami. Jauh lebih dari sekadar itu. Orang-orang menyebutnya sebagai autisme, semacam gangguan perkembangan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Perasaannya mudah sekali terganggu. Ia lebih suka berbicara dan bermain dengan dirinya sendiri, dengan lukisan-lukisannya sendiri. Ia melihat lukisan-lukisan itu serasa lebih hidup daripada manusia-manusia yang banyak sekali berbicara.

Dulu waktu masih kecil, ibunya pernah berkata kepadanya, bahwa ia berbeda dengan anak-anak yang lain. Ia memerlukan perhatian khusus. Katanya, ia punya dunia sendiri yang sangat istimewa. Kelak suatu saat ia pasti mengerti kata-kata ibunya. Ibunya selalu memberi semangat dan meyakinkan bahwa ia pasti bisa melewati semua itu. Adalah penglihatannya, yang membuat ia menjadi istimewa. Sebelum meninggal ibunya berpesan, "Lihatlah semuanya sebagaimana dan seperti yang Ibu lihat. Kau tahu, kita memiliki bola mata yang sama, Nak."

Suatu hari ia pernah ingin sekali berterima kasih kepada sebilah pisau dapur. Pisau dapur itulah yang bisa menyelamatkan ia dari segala jenis perasaan dan membuat hidupnya menjadi lebih tenang, begitu katanya. Ia ingin sekali keluar dari sebuah penjara bernama rasa. Sesungguhnya ia telah sedemikian lelah dengan berbagai macam perasaan yang melekat di dalam dirinya. Semua perasaan yang selalu saja mengganggu dan menghantuinya. Hidup baginya bukan perkara yang mudah, ibarat pertarungan abadi melawan segala jenis perasaan yang ada di dalam dirinya. Sumber dari segala perasaan sesungguhnya ada di dalam dirinya sendiri. Dan untuk itu, sebilah pisau dapur menjelma sosok penyelamat yang begitu menarik baginya. Mungkin itu adalah satu-satunya pilihan. Namun ia segera mengurungkan dan membuang jauh-jauh pikiran itu. Ia sadar, itu bukan jalan yang baik.

Ia khilaf. Sebetulnya ada yang lebih dekat dengan dirinya dari segala sesuatu. Dekat yang tanpa jarak sekalipun. Yang Maha Menyertai. Yang semestinya harus terus-menerus ia hadirkan untuk melawan semua jenis perasaan yang ada di dalam dirinya.

Ia pernah berkata kepada saya, bahwa ia begitu iri kepada orang-orang yang buta matanya, kepada orang-orang yang tuli telinganya, kepada orang-orang yang bisu mulutnya, dan juga kepada orang-orang gila. Betapa Tuhan sangat mencintai mereka. Tuhan tidak ingin orang buta itu melihat selain wajah-Nya. Tuhan tidak ingin orang tuli itu mendengar selain kalam-Nya. Tuhan tidak ingin orang bisu itu berbicara selain kepada-Nya. Tuhan tidak ingin orang gila itu mengingat selain-Nya. Dan sesungguhnya, mereka juga telah diselamatkan dari segala jenis perasaan.

Sebagai sahabatnya saya tahu betul, ia memiliki semangat hidup dan daya juang yang tinggi. Sekalipun orang-orang yang pernah hadir di dalam hidupnya, orang-orang yang pernah tertarik, orang-orang yang menaruh hati dan harapan padanya, banyak yang kemudian menjauhi dan melupakannya karena menganggap dirinya sebagai orang yang berpikiran tidak waras, sebagaimana pemikiran orang-orang. Namun bagi saya ia tetaplah sahabat baik saya. Saya akan selalu menyayangi dan memahami lewat lukisan-lukisannya. Saya yakin, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan Tuhan telah memberi keistimewaan kepada lelaki itu yang mungkin tak dimiliki kebanyakan orang.

Sesekali kau perlu mengunjungi rumahnya yang lumayan jauh dari kota. Perjalanan yang kau tempuh menuju rumahnya akan serasa begitu mendamaikan, seperti perjalanan sunyi mencari kitab suci. Sesampainya di sana kau akan menemukan begitu banyak jenis dan warna bunga yang bertebaran di halaman rumahnya. Sedang di dalam rumahnya terdapat banyak kuas, cat air, dan lukisan-lukisan bunga. Ya, lelaki itu suka sekali menanam dan melukis bunga-bunga. Tidak sedikit orang dari luar daerah yang membeli lukisan-lukisannya. Ia tak perlu banyak bicara. Ia hanya ingin melukis dan tumbuh bersama bunga-bunga itu. Bunga-bunga yang akan memenuhi dunia kecil di kepalanya dan menghapus segala jenis perasaan. Kau tahu, lelaki itu sudah kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Kecuali satu yang membuatnya pantang menyerah dalam menghadapi setiap penggal kehidupan: setitik harapan. ~

Bulan November yang baik.
Mukhammad Fahmi.
Penglihatan

Ketika kita sedang memperhatikan orang lain, maka selalu lihatlah kebaikan-kebaikannya, jangan sampai berpikiran negatif. Siapa tahu ia bisa selamat dengan sifat kasih sayang dan kemurahan-Nya. Saat ia melakukan kesalahan atau kemungkaran, boleh jadi apa yang kita lihat itu menjelma sebuah ujian bagi kita. Maka jika kita benar-benar menyayanginya, kita hanya perlu mengingatkan secara pribadi, dengan kalimat-kalimat yang baik. Kebanyakan orang tidak demikian, di dalam hatinya malah tumbuh penyakit prasangka dan kebencian, bahkan memberitakan dan membicarakan bersama banyak orang. Dalam kasus ini, boleh jadi kita yang malah tidak akan selamat. Kita tidak boleh membenci siapa pun, kita hanya boleh untuk tidak menyukai sesuatu yang dilakukannya, bukan orangnya.

Saat kita sedang memperhatikan diri sendiri, maka selalu lihatlah keburukan-keburukan kita, jangan merasa bisa selamat hanya dengan prestasi amal. Siapa tahu kita tidak bisa selamat dengan sifat keadilan-Nya. Saat kita melakukan kebaikan, boleh jadi apa yang kita rasakan menjelma sebuah ujian bagi kita. Maka jika kita benar-benar menyayangi diri kita sendiri, perbanyaklah memohon ampunan. Semakin banyak kita melakukan kebaikan seharusnya semakin banyak pula kita memohon ampunan dan meminta keselamatan. Jangan sampai melebih-lebihkan diri di atas orang lain. Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya.

"Apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening," begitu kata Gus Mus dalam salah satu cerpennya. Sudah menjadi keniscayaan, setiap manusia senantiasa dilengkapi oleh patahan-patahan waktu, dilengkapi dengan perangai baik-buruk, dan dengan dirinya yang tidak sempurna.

Semakin banyak belajar, kita akan menemukan ada begitu banyak orang-orang baik di dunia ini. Semua orang itu baik. Tuhan telah memberi anugerah penglihatan yang baik. Maka di saat kita berpikir ada orang yang tidak baik, berarti ada yang salah dengan penglihatan kita.

Setiap dari kita sedang belajar mencintai. Menemukan setiap warna kebaikan di sepanjang penglihatan, untuk kemudian kita tanam dan rawat di pekarangan kalbu. Kita juga sedang belajar membuang kebencian. Menghapus gumpalan-gumpalan hitam yang menyesakkan dada.

Konon, semakin tinggi derajat seseorang, maka ujiannya pun akan semakin besar. Kita pasti ingat kisah seorang ulama besar, punya ribuan santri yang kesemuanya bisa terbang di langit. Tapi di akhir hayatnya ia malah ditakdirkan tidak selamat, karena terpedaya oleh rajanya Iblis. Na'udzubillah tsumma na'udzubillah min dzalik. Kalau boleh dipikir, lebih enak menjadi orang biasa, karena ujiannya tidak terlalu besar, paling cuma diganggu oleh golongan setan yang kecil-kecil dan lucu, kemungkinan bisa juga diajak bercanda, atau sekali-kali kita tipu, dan kita ajak ke dalam kebaikan. Hehehe. ~

Mukhammad Fahmi