Keluar dari “Penjara” Rasa
Oleh: M. Fahmi
~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~
Laiknya fiksi, humor pun sebetulnya juga lahir dari sesuatu yang serius. Sesuatu yang kita sendiri mengalaminya hari demi hari, namun tak kunjung juga kita mengerti. Hidup ini dibuat biasa sajalah. Tak perlu tegang dan serius. Mungkin di antara kalian, sering melihat dan mendengar saya berhumor yang tidak jelas. Ya, harap dimaklumi. Mungkin dikarenakan sifat saya yang masih kekanak-kanakan.
Tapi, kau tahu. Ada latar belakang yang membuat saya sering berhumor dan tertawa. Dan yakinlah. Bahwa kebenaran dan kemurnian tanpa humor sifatnya meragukan. Dengan humor, sesuatu yang bersifat serius dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu baru yang bersifat rileks dan renyah. Karena itu, manajemen rasa itu dirasa penting. Kita perlu kondisi yang tenteram, bahagia, dan penuh kedamaian di sekeliling kita, agar hidup tak selalu tegang. Kenapa saya berpikir demikian. Sebab, sesuai dengan perjalanan pengalaman saya, di kelas, beberapa dosen yang killer membuat mahasiswanya tegang dan berpikir sedemikian seriusnya. Tak hanya di kelas, di luar pun, mahasiswa sering diburu ketakutan atas tugas-tugas dari dosen. Hari-hari saya selama kuliah membuat saya jarang berhumor. Hidup saya pun penuh dengan ketegangan dari hari ke hari. Jadilah saya orang sains yang sering serius dan jarang tersenyum, apalagi tertawa. Wajah saya pun agak berubah, laiknya dosen yang killer. Itulah sebabnya, saya suka berhumor di sana dan di sini. Sebab, betapa waktu di kelas, telah banyak menyita waktu humor saya dengan berbagai keseriusan.
Seperti halnya rasa marah, iri, benci, dendam, ketakutan, ego, suka, cemburu, cinta, nafsu. Tegang dan serius juga merupakan bagian dari semua itu, yang pada hakikatnya adalah sama, yaitu hanya sebuah “rasa”. Padahal kita sendiri yang menciptakan “rasa” itu. Kita sendiri pula yang disibukkan oleh “rasa” itu, dan kemudian tanpa disadari kita telah berada di sebuah penjara yang bernama penjara “rasa”. Untuk keluar dari penjara bernama penjara “rasa” itu, seseorang harus mengabaikan segala rasa yang sedang membelenggunya. Perlu kita ketahui. Bahwa di pusat panas yang paling panas, di situlah ada titik dingin paling dingin. Dengan filsafat, seseorang dapat mengubah panas menjadi dingin, mengubah api menjadi air, mengubah tegang menjadi santai. Filsafat tak ubahnya tongkat ajaib yang ampuh untuk menyulap apa saja yang bersifat keburukan, menjadi segala sesuatu yang baik dan rahmatan lil Aalamiin.
Ini cerita saya. Dulu, memang pribadi saya sangat labil. Cinta pun saya tuhankan. Saya menjadi buta dan tuli, hanya gara-gara cinta. Saya dibuat sibuk dan pusing oleh cinta. Saya pun diperbudak oleh cinta. Saat itu, saya belum pernah mengenal filsafat. Sehingga tak mengerti, mana yang patut diperjuangkan dan mana yang harus dibumihanguskan. Tapi, semua jejak cerita itulah yang akhirnya membuat saya kokoh pendirian. Kujadikan jejak cerita yang kelam itu menjadi sebuah pelajaran yang saya pakai di hari ini.
Cerita saya berawal dari sini. Pernah saya mengagumi seseorang. Kupuji ia dalam siang dan malam. Dalam salat, saya tak tahu harus menghadap Allah ataukah seseorang yang selalu kuingat namanya itu. Wajah saya penuh dosa karena mengkhianati nurani saya. Seharusnya saya hanya menghadap Allah, bukan yang selainNya. Saya tak berani mengutarakan pada perempuan. Diam-diam suka, diam-diam cemburu, dan diam-diam cinta.
Dulu, saya juga pernah pacaran. Satu kali dalam hidup saya, hingga saat ini. Tapi nahasnya hanya berlangsung dua hari. Hari pertama saya menyatakan cinta. Dan hari kedua saya memberinya hadiah. Setelah itu, saya tak berani lagi mendekati, apalagi berbicara padanya. Semua telepon dan sms darinya saya abaikan. Kata dia, saya jahat. Memang di matanya begitu. Tapi entah lagi kalau di hadapan Allah. Ah, tahu apa saya soal cinta. Saya kemudian sadar, dan saya tinggalkan nafsu itu dalam keyakinan.
Semenjak itu, saya hanya bisa merindu dan mengkidungkan nyanyian cinta. Ternyata perjalanan cinta belum berakhir. Saya harus menanggung beban rindu dari hari ke hari. Hati saya masih labil oleh godaan cinta. Apakah itu cinta atau nafsu, saya belum bisa membedakan. Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan filsafat. Ialah yang mengantarkan saya pada ruang hikmah. Ialah yang menjelaskan segala yang terselubung dalam rahasia. Saya pun sadar, bahwa nafsu telah memenjara nurani saya yang asali. Saya seperti lahir kembali dari rahim kemurnian. Hingga saya tinggalkan segala bentuk cinta dalam keyakinan hati. Kupatahkan segala sayap-sayapku, agar aku tak lagi terbang mencari-cari cinta, sebab cinta sebetulnya selalu hadir di depan mata, di setiap pembuluh darah, dan di hati orang-orang yang beriman. Cinta tak pernah tumbuh di hati orang yang munafik, yakni orang yang membohongi nuraninya. Langkah dan bicaranya orang munafik sesungguhnya mengidap rasa sakit yang akut, sebab nuraninya menolak sepenuhnya. Orang munafik tak pernah jujur kepada dirinya sendiri. Apalagi tentang nafsu, orang munafik selalu menganggapnya sebagai cinta. Maka, tenggelamlah orang munafik itu ke dalam “rasa” berkepanjangan yang tak ada ujungnya.
Malang, Mei 2015