Catatan Kopdar KOMA #01
(Nyambung Seduluran Komunitas KOMA)

Nyambung Seduluran Komunitas KOMA

Suatu sore, di bulan Desember 2018.

“Sebagaimana dendam. Rindu harus dibayar setuntas-tuntasnya.”

***

Di tempat bernama keabadian itu, rindu bisa datang kapan saja. Ia cukup melakukan perjalanan ke arah barat laut, di mana matahari akan segera tenggelam. Memejamkan kedua kelopak matanya. Kemudian melihat semua menjadi begitu hangat.

Tampaknya, sore kali ini benar-benar menjadi momen yang paling dinanti oleh orang-orang yang memiliki kerinduan yang sama. Gulungan awan yang datang dengan begitu takzim itu menutup sebagian wajah kemuning senja. Sedang ribuan angin yang menerpa di sepanjang perjalanan itu akan dengan sukarela memeras seluruh rasa rindunya. Perihal perjalanan sebuah komunitas beserta orang-orang kesayangannya. Selama masih ada orang-orang yang berkenan untuk menyebut namanya di setiap akhir salat untuk kebermanfaatan manusia yang lain, komunitas ini tidak akan pernah mati dan akan tetap hidup di hati masing-masing mereka.

Sabtu sore, Minggu ketiga di bulan Desember ia bersepakat untuk bertemu dengan mereka di tanah air bagian utara propinsi Jawa Timur yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Bumi Wali katanya. Hujan rahmat benar-benar menyambut pertemuan mereka. Untungnya mereka sudah sampai di tempat salah satu teman yang ada di pusat Kabupaten Tuban. Sekalipun tidak semua anggota komunitas ini bisa datang dikarenakan uzur masing-masing, tapi itu tidak menyurutkan niat mereka untuk melaksanakan agenda perdana itu.



Di tempat temannya itu, mereka membicarakan banyak hal. Mulai dari pengalaman mencari rezeki, sampai pada hikmah dari segala semua itu. Laki-laki itu percaya. Bahwa kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan materi. Sebagaimana pula, tidak bisa diukur dari hanya sekadar senyuman. Ia tidak pernah takut kehilangan materi. Ia hanya memercayai. Bahwa ketakutan dan kesedihan paling menyayat, manakala ia menjadi sibuk melihat yang semu. Yang sesungguhnya tidak nyata. Yang menjadi sebab ia kehilangan kekasih yang sejati. Yang sungguh nyata adanya. Yang telah memberinya cinta dan kehidupan.




Seusai salat Isya, dengan sisa-sisa gerimis yang ada, mereka menyempatkan mengisi perut yang kosong dengan nasi pecel di sebuah warung sederhana pinggir jalan. Sebab untuk melakukan sebuah perjalanan cinta, nyatanya memerlukan tenaga yang cukup. Hehe.


Perjalanan malam ini serupa perjalanan yang begitu sunyi. Mereka seperti menemukan banyak pemahaman baru dari perjalanan ini. Menemukan kembali ruas jalan yang telah lama hilang, yang telah lama dilupakan orang-orang di masa kini. Sekali-kali, masing-masing kita memang perlu menyendiri. Menghayati segala. Menyingkir dari riuh dan bisingnya kesibukan dan pembicaraan yang kosong. Agar bisa mendengarkan suara alam manakala ia bercerita. Mengunjungi maqbaroh demi maqbaroh. Serta menanyakan kepada orang-orang yang telah dahulu pulang. Perihal bagaimana seharusnya hidup.

Di antara indra-indra lahiriah, tak ada yang lebih bermartabat daripada mata. Betapa mata merupakan anugerah yang paling indah. Maka beruntunglah mereka yang tidak menunaikan semua keinginannya. Sebab semakin banyak seseorang melihat yang semu, nyatanya ia akan semakin buta. Membuat hati tak bisa melihat hal-hal yang sesungguhnya nyata.

“Aku menyukai kita, yang semakin tak peduli dengan rayuan setan dan juga hawa nafsu.”

***

“Saat ketenteraman menjadi sesuatu yang sulit didapatkan, langit tiba-tiba menghentikan hujan derasnya. Semasa hidupnya, laki-laki itu tidak tahu cara membenci manusia, apalagi alam. Dan ia merasa, tidak ada yang perlu dibenci di dunia ini. Ia senantiasa mencintai Tuhan, manusia, dan juga alam semesta.”

Pada maqbaroh pertama, mereka mengunjungi makam Syaikh Sayyid Abdullah Asy’ari. Namun oleh masyarakat sekitar lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Lor. Mbah Raja Abdulloh Asy’ari adalah putra Syaikh Ali Nurul Alim, atau cucu Syaikh Jamaluddin Al-Husaini (Mbah Sayyid Jumaddil Kubro) yang salah satu makamnya terletak di daerah Trowulan Mojokerto. Oleh kakeknya itu, ia ditugaskan untuk berdakwah di daerah kadipaten Tuban.


Saat mereka berziarah ke makamnya, terdapat beberapa pesan Sunan Bejagung Lor yang tertulis di gapura masuk makam. Di antara pesan tersebut adalah, “Mobahing agama kasariring Nabi. Mobahing bumi kasektining pujonggo.” Berkembangnya agama karena Nabi atau ulama, dan berkembang atau ramainya bumi karena kesaktian atau kepintaran penulis dan pengarang. 

Kemudian pada maqbaroh kedua, mereka mengunjungi makam Syaikh Hasim Alamuddin yang merupakan menantu Syaikh Abdulloh Asy’ari. Oleh masyarakat sekitar dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Kidul. Beliau adalah pangeran Kusumohadi/ Penghulu dan merupakan putra Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk. Ia pergi ke daerah Bejagung Semanding untuk belajar agama Islam kepada Sunan Bejagung Lor. Setelah diterima sebagai santri Sunan Bejagung Lor, Kusumohadi berganti nama menjadi Hayim Alamuddin. Kemudian pada akhirnya, ia meneruskan dakwah mertuanya di daerah Bejagung Kidul. Tidak jauh dari makamnya, terdapat pondok pesantren Sunan Bejagung, yang merupakan lahan dakwah para penerusnya.


Ziarah yang ketiga, mereka menyempatkan untuk mengirim surah-surah alquran dan juga doa pada maqbaroh Syekh Siti Jenar. Konon, makam Syekh Siti Jenar banyak sekali ditemukan di berbagai wilayah di tanah air Indonesia. Entah kenapa. Dalam kisah yang banyak disebutkan di berbagai buku, beliau adalah waliyulloh yang terkenal dengan “manunggaling kawula gusti”-nya. Tak ada yang tahu persis keberadaan beliau. Beliau hadir dengan tiba-tiba dan pergi dengan tanpa diketahui orang-orang. Kemungkinan beliau menyiarkan agama Islam dulu sampai ke daerah ini. Sehingga di maqbarohnya terdapat tulisan, “mbah buyut gedhong”. Karena desa ini disebut dengan “Gedongombo”, maka masyarakat sekitar menyebutnya demikian. 


“Tiba-tiba air mata lelaki yang semenjak tadi bersembunyi di antara penyesalan itu terlepas begitu saja. Jika saja ada kesempatan untuk bisa istiqomah berziarah seperti ini, akan ia pakai untuk menyelinapkan rasa bersalah yang bayak kepada Tuhannya.”

Setelah puas melakukan perjalanan sunyi mencari wahyu dan kitab suci (hehe), akhirnya pada pukul 10 malam mereka melaksanakan ibadah ngopi (sekalipun ada yang tidak pesan kopi, hehe)—di suatu kedai pinggir jalan. Ada banyak hal yang mereka bicarakan. Tentu semua tentang perjalanan Komunitas KOMA ini. Mereka berencana akan membuat semacam simbol yang dapat digunakan mengenali sang pemakai, bahwa orang itu adalah anggota KOMA. Pada mulanya terjadi banyak perdebatan di antara mereka. Perihal benda apa kira-kira yang jiwanya “pas” dengan KOMA. Akhirnya ada juga ide, benda itu adalah kopyah. Selain praktis, bisa di bawa ke mana-mana, benda itu juga kelak digunakan untuk beribadah dan memiliki kemuliaan karena digunakan di kepala. Inspirasi itu muncul dari jamaah Maiyah yang dengan kopiah khasnya bisa menunjukkan kalau orang itu adalah jamaah Cak Nun. Sekalipun tanpa ada nama atau kata-kata pada benda tersebut, tapi sekali melihat orang akan bisa mengenali bahwa orang itu adalah jamaah Maiyah. Dan yang menjadi problem adalah, bagaimana bentuk dan design Kopyah KOMA yang benar-benar pas untuk jiwanya. Malam itu sebenarnya masih belum usai dan kepala masih belum sreg dengan motif yang belum sepenuhnya dapat digambar. Akhirnya disepakati akan dipikirkan setelah ini sembari mencari inspirasi. Selang beberapa hari, salah seorang anggota KOMA punya ide yang pas, berkat inspirasi melihat bentuk dari pojok genteng atap makam Mbah Maulana Ishaq. Bentuknya kira-kira seperti ini.



Setelah usai ngopi, mereka kembali ke tempat salah satu anggota KOMA yang berada tidak jauh dari wisata Goa Akbar. Mereka memutuskan untuk beristirahat agar besok pagi bisa melakukan perjalanan yang lebih jauh lagi.

***

Ahad, 16 Desember 2018. Pagi itu, setelah jamaah Subuh dan mandi pagi, mereka langsung cuss ke Makam Sunan Bonan yang berada tidak jauh dari alun-alun Kabupaten Tuban.





Setelah itu, mereka beranjak ke tepi alun-alun yang sangat ramai pedagang untuk sekadar menghirup udara pagi, melihat orang-orang yang berlalu lalang, serta mengisi perut dengan sedikit makanan dan minuman.

Setelah dirasa cukup, mereka langsung berangkat ke rumah dulur Achmad Muzaki, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Mas Jack. Tak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui alamat rumahnya, namun berkat kecanggihan Mbah Google Maps, akhirnya mereka sampai juga di kediaman Mas Jack. Di sana ternyata sedang berkumpul beberapa keluarganya untuk acara yang sama, tilik bayi, sehingga mereka pun agak sungkan di sana. Perihal jodoh, tak seorang pun tahu. Buktinya Mas Jack ini yang rumahnya di Jombang, bisa dengan tiba-tiba begitu akrab dengan daerah Tuban saat ini, hehe.




Rumahnya tidak begitu jauh dari air terjun Nglirip Singgahan yang merupakan salah satu destinasi dari agenda mereka. Malah sebelumnya mereka melewati tempat tersebut. Setelah perut mendadak kenyang, melihat si cabang bayi, dan puas bincang-bincang di sana, akhirnya mereka memutuskan untuk pamit, dan akan melanjutkan perjalanan ke Makam Kanjeng Syekh Abdul Jabbar yang merupakan leluhur dari KH. Abdul Wahab Hasbulloh (Pendiri NU). Makamnya tidak jauh dari wisata air terjun Nglirip. Namun yang nampak, lebih banyak pengunjung wisata air terjun Nglirip daripada Makam Mbah Jabbar yang lumayan sepi. Bagaimana ini orang-orang.




Seusai sowan ke Makam Mbah Jabbar, mereka beralih ke air terjun Nglirip untuk berfoto-foto ria, hehe. Maklumlah, anak muda. Masih suka eksis seperti kebanyakan manusia biasa. Tak lupa bendera KOMA juga ikut berkibar di sana untuk pertama kalinya. Benar-benar momen yang indah. Namun sayang, karena musim hujan maka airnya tidak jernih. Kalau saja tidak musim hujan maka airnya akan terlihat hijau, jernih, dan mereka akan rela untuk mandi juga di sana, hehe.









“Bagaimana jika air terjun itu jatuh hanya untuk menguras kenangan pemiliknya. Lalu saat semua mata telah basah, ia tak sanggup mengembalikan apa-apa, termasuk seseorang yang ada di dalam hatinya.”

Setelah lelah memenuhi hape dengan aneka foto yang geje, mereka lelah karena pulangnya harus melewati jalan yang mendaki. Dan akhirnya mereka membeli es degan di atas sana. Ah, strategis sekali tempat ini, jualan es degan yang akan segera mendinginkan tubuh para pengunjung yang kelelahan.




Sebenarnya, ketika akan berangkat ke rumah Mas Jack, mereka ingin mencari makam Ronggolawe, tapi tidak ketemu dan akhirnya keblablasan. Dan pulangnya mereka sepakat akan berkunjung ke sana. Namun sebelumnya mereka mampir di patung tempat rehat yang dekat pantai Tuban untuk melihat betapa luasnya tubuh laut, mendengarkan suara debur ombak, dan juga mencium aroma khasnya. Sayang sekali, sebab di sana banyak sekali sampah yang mengotori pantai. Di patung itu juga tertuliskan tentang sejarah Kabupaten Tuban.






“Bagaimana jika debur ombak bukan di pasir pantai? Tapi di sini. Di relung jantung dan pada pusar hati.”

Kemudian akhirnya mereka sampai juga di pesarean Ronggolawe dan para adipatinya. Mereka bertemu dengan juru kuncinya dan segera dibukakan makamnya. Di dalamnya terdapat aneka keris dan dupa, sehingga mereka tidak begitu khusyuk ketika berdoa.



Seusai itu, mereka kembali ke tempat temannya itu, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan lagi ke berbagai makam di Tuban dan juga Lamongan. Seperti makam Syekh Ibrohim Asmoroqondi, Syekh Maulana Ishaq, dan lain sebagaianya. Karena penulis tidak ikut mereka, maka tidak bisa melanjutkan cerita perjalanan selanjutnya. Mereka mengerti ini adalah perpisahan, tapi mereka ragu bahwa ini adalah akhir. Mereka selalu yakin, bahwa KOMA tak akan akan pernah ada akhirnya. Rasa kehilangan hanya akan ada ketika mereka saling melupakan. Selama masih ada orang-orang yang berkenan untuk menyebut namanya di setiap akhir salat untuk kebermanfaatan manusia yang lain, komunitas ini tidak akan pernah mati dan akan tetap hidup di jiwa masing-masing mereka.


Rengel, hari pertama di tahun 2019.
Omah Sinau Koma, Mukhammad Fahmi.