Aku dan Bulatan Bunga Sabun


Aku dan Bulatan Bunga Sabun
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Kutulis segenggam asa ini. Kutulis semata-mata karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis dan segala resah gelisahku tertuang dalam catatan ini, maka akan legalah perasaanku.
Sore ini, semula aku tak ingin berbuat apa-apa. Pikiranku kusut memikirkan sesuatu. Tapi, hatiku bisa beku bila tak melakukan sesuatu. Ruangan kamar pondok ini terlalu sempit bagi jiwaku yang ingin terus mengembara tanpa batas. Itulah sebabnya, aku sengaja memilih keluar sore ini. Aku sering memilih jalan sunyi yang mendaki lagi sukar penuh onak dan duri, serta batu-batu krikil yang tajam menantang merintang. Inilah pengembaraan yang lebih panjang untuk membuktikan kemurnian itu. Kemurnian bukanlah sekadar ucapan yang tak bermakna dan terkadang pun bisa berbohong. Hatilah yang sebenarnya paling jujur. Aku menerawang jauh, bahwa perjalanan yang kelak akan kutempuh tak akan pernah ada habisnya untuk menghidupkan kembali kemurnian yang sirna, demi menggapai puncak yang paling tinggi.

Sejenak, kualihkan arah pandangan pada jam kehidupanku. Ternyata, aku akan segera sampai di penghujung. Tapi aku baru sadar. Bahkan begitu sadar, bahwa aku belum berbuat apa-apa. Mungkin begitu cepatnya waktu menguap ataukah aku sendiri yang kurang menyadari betapa, waktu telah menggilas segalanya. Sekali waktu melesat maka tak akan ada yang dapat mengembalikannya. Hidupku terkadang suka, terkadang duka, dan tak jarang datar tanpa ekspresi.

Di sinilah aku mengukir harapan untuk mengarungi kehidupan esok. Ya, esok. Ketika aku telah meninggalkan kehidupanku di sini. Aku melihat tergambar di luar sana, entah akan ada suasana riuhnya dunia kampus, atau entah sesaknya dunia kerja, atau bahkan entah ribetnya persoalan masyarakat. Di sini, hidupku terlindungi dan terjaga dari segala kemusta’malan. Aku menikmatinya. Sebab di sinilah aku belajar mengatur diri. Sayangnya, gerakku di sini begitu terbatas. Semuanya dibatasi oleh ketentuan hukum yayasan pesantren. Ibaratnya seperti dibatasi oleh lapisan yang begitu tipis; dan sekuat apa pun aku tak akan pernah bisa menolak adanya lapisan itu. Seperti terbuat dari tiupan sabun cuci, membentuk bulatan yang bila tesapu cahaya tampak warna-warni mejikuhibiniu. Dan di dalam bulatan itulah aku hidup.

Bunga sabun ini suatu saat akan pecah. Tinggal kapan dan siapkah aku menghadapi realita yang akan terjadi. Apakah aku akan terlempar jauh ke bawah ataukah mi’raj di ketinggian tertinggi? Entahlah. Siapkah aku untuk menjaga kemurnian yang selama ini kujalani setelah keluar dari pelindung bulat ini? Di luar memang terlihat lebih indah, megah, dan menantang. Tapi di sana akan lebih bahaya dan tak aman, karena sekali salah melangkah maka akan tenggelam ke dalam jurang yang teramat curam. Bukannya aku takut dengan kehidupan di luar sana. Tapi dari detik ini, setidaknya aku telah siap dan meyakinkan segenap iman yang telah lama membaja dalam jiwaku. Sebab musuh sejatiku esok nanti bukanlah musuh yang berwujud, melainkan sesuatu yang tak kasat mata. Di zaman sekarang ini, tidaklah sama seperti pada zaman Nabi yang ketika perang melawan musuh dengan menggunakan kekuatan fisik. Di di era sekarang, yang entah apa orang menyebutnya, yang terjadi adalah perang dalam diri. Seseorang akan disebut kalah dari peperangan jika ia menjual keyakinannya. Ya, itulah iman. Kini berpegang teguh pada iman ibarat memegang batu bara yang membara. Jika tak kuat menahan panasnya api kebenaran, maka tewaslah ia dalam menghadapi pertempuran melawan dirinya sendiri.

Aku harus sesegera mungkin berbenah diri dan berusaha melakukan sesuatu yang terbaik dari yang terbaik. Mulai dari sekarang, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari diri sendiri. Detik-detik akhir ini aku seperti menemukan kesadaran baru. Kesadaran bahwa, untuk apa sebenarnya aku diciptakan dan dihadirkan oleh Allah di dunia ini? Di samping itu, yang selalu melekat dalam alam pikiranku adalah aku akan berpisah dengan orang-orang hebat seperti mereka. Aku akan meninggalkan kisah paling indah di dalam bunga sabun ini. Hingga suatu saat “pluk”, tanpa suara yang heboh, tanpa efek yang luar biasa, bulatan bunga sabun itu pecah. Aku keluar dari bulatan bunga sabun itu menuju tempat yang telah digariskan olehNya. Dengan air mata aku menerima semua kenyataan. Dengan air mata aku tak bersama mereka lagi: penasehatku, pelipur dukaku, penyemangat hidupku, para masyayikh, orang-orang yang telah memberiku pelajaran dan kekuatan dalam kehidupan, guru-guru, dan semua orang yang telah mendidikku untuk menjadi orang yang dewasa dalam berpikir dan bersikap. Semua itu harus aku terima dengan air mata kenyataan yang belum aku tahu, karena ternyata bulatan bunga sabun yang kelak menjadi kenangan itu belum pecah. Hanya tinggal menunggu dan merelakan sang takdir bila harus bicara terhadap diriku.

—di penghujung tahun
Jombang, 31 Desember 2011