Apa Kabar Islam Kita?


Apa Kabar Islam Kita?
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

“Sudah berapa kali Anda belajar, tetapi tidak pernah mengamalkan? Lipatlah pustaka ilmu, lalu sibuklah dengan pustaka amal disertai hati yang ikhlas. Jika tidak, pencarianmu pada ilmu tidak akan menguntungkan sama sekali.” Begitulah kira-kira Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, mengingatkan alfa, beta, kelupaan kita dari hari ke hari namun belum kunjung juga kita mengerti.

Kemudian dalam kitab Al-Hikam, karya Ibnu Athaillah As-Sakandary, dijelaskan bahwa, “man ‘amila bi ma ‘alima, warotsahullohu ‘ilma ma lam ya’lam.” Artinya kira-kira begini, “barang siapa yang mengamalkan ilmu—walaupun itu sedikit—yang ia tahu, maka Allah akan menganugerahkan ilmu yang belum pernah diketahuinya.”

“Percayalah dan beramallah dahulu, maka engkau akan mengetahui rahasia-rahasia. Bila kau tak percaya, maka selamanya kau tak akan pernah mengetahui. Bukankah tujuan sejati dari perjalanan Kehidupan adalah agar kita semakin dekat dengan segala rahasia itu?” Kata Imam Al-Syahrastani dalam salah satu kitabnya.

Setiap manusia yang beriman—dalam perjalanannya—selalu mencari pengetahuan dan kebenaran yang mengantarkannya menuju pemahaman baru di setiap harinya. Berbagai kata mutiara indah di atas memberi sedikit gambaran tentang bagaimana adab atau tata krama seseorang yang memiliki ilmu. Bila seseorang hanya sibuk untuk mencari ilmu saja tanpa mengamalkannya—hingga mungkin akhirnya lupa, berarti ia telah berdosa pada Allah SWT melalui perbuatannya (yang tidak disertai dengan ilmu). Ilmu akan lenyap dengan begitu saja jika tak pernah diamalkan. Untuk dapat menjaga ilmu di dalam hati dan perilaku, maka hanya ada satu jalan, yaitu mengamalkan.

Malulah kepada Allah Azza waJalla dalam seluruh perilaku, dan mulailah beramal dari detik ini juga. Janganlah membuat kegelapan dan kekotoran pada ilmu—yang konon katanya adalah sebagai cahaya penerang di sepanjang jalan—dengan suatu amal yang menipu, jangan pula mengikuti kemuliaan dengan kehinaan. Sibukkanlah diri dengan beramal kepada Allah Azza waJalla.

Tinggalkan memburu pada selainnya, sebab apa yang sebetulnya dibutuhkan seseorang hanyalah Allah Azza waJalla. Pun hanya dengan beramallah, derajat seseorang akan dapat meningkat di hadapan Allah Azza waJalla.

Di kehidupan ini, harus ada keseimbangan antara olah zikir, olah fikir, dan olah fisik. Begitu pula, harus ada keseimbangan antara amal lahiriyah dengan amal bathiniyah. Perjalanan seorang Muslim adalah dimulai dari tangga syari’at, lalu thoriqah, kemudian hakikat, dan yang paling tinggi adalah alam ma’rifat. Seperti halnya ketika seseorang akan menuju suatu tempat yang tinggi, maka yang harus dilkaukan adalah melewati tangga demi tangga maqam / derajat. Orang yang telah menempuh segala perjalanan dan telah sampai pada Rabbnya, mulai dari syari’at sampai ma’rifat disebut Insan Kamil.

Di dalam kitab al-Hikam dijelaskan, “syari’at tanpa hakikat adalah kosong (hampa), sementara hakikat tanpa syari’at adalah dusta.” Maka belumlah patas seseorang disebut insan Kamil jika salah satu dari kedua hal tersebut tidak ada. Atau kira-kira dapat diumpamakan perjalanan seorang pencari mutiara yang ada di dasar lautan. Maka yang disebut syari’at adalah perahu yang dapat mengantarkannya ke tengah lautan. Kemudian air laut sebagai thoriqah atau jalannya, lalu hakikat adalah mutiara yang terpendam di dasar lautan.
Setiap manusia di muka bumi ini memiliki maqam—dalam hal ini: derajat di hadapan Allah—yang berbeda-beda. Mulai dari manusia yang paling dibenci sampai manusia yang paling disayang oleh Allah. Orang yang munafik mengikuti perintah Allah Azza waJalla dan RasulNya hanya sebatas formalitas di depan khalayak manusia belaka, tidak sampai menyentuh pada makna dan inti yang sesungguhnya, berarti lahir batinnya telah dusta. Sebagaimana ahli maksiat hina dalam dirinya, pendusta juga hina dalam dirinya.

Namun demikian, seseorang sebenarnya tidak boleh terlalu berhasrat untuk mendapatkan “tempat” yang paling tinggi di hadapanNya.

Karena hal yang demikian masih terselubungi oleh sebuah penyakit bernama nafsu. Ia sebetulnya tersiksa, sebab hawa nafsu masih melilit segala gerak dan perilakunya dan menjadi bagian dari diri; melangkah karena hawa nafsu, dan semuanya karena hawa nafsu. Akhirnya seluruh perbuatannya terselubung oleh hawa nafsu.

Tentu saja, kebanyakan manusia akan lebih tertarik mengamati hal-hal yang nyata daripada hal-hal yang abstrak. Padahal jika saja seseorang mengetahui bahwa yang berhak “wujud” hanyalah Allah Yang Maha Ada, sementara semua makhluknya hakikatnya tidak ada, karena tidak berhak memiliki sifat “wujud” dan semuanya akan fana (sirna). Terbuktilah bahwa sesungguhnya yang diamati oleh kebanyakan orang sehari-hari (dunia dan seisinya) adalah suatu gambar yang abstrak adanya.

Apabila seseorang terlalu banyak melakukan dosa, maka ia akan terjebak oleh gambar-gambar yang sesungguhnya tidak nyata dan tertutuplah mata hatinya dari hal-hal yang hakiki; yang sebenarnya ada. Sebaliknya para kekasih Allah yang lembut dan bersih hatinya, mereka selalu melihat hal yang hakiki dan nyata adanya. Menikmati diri selalu bersama Allah menjadi momen yang paling berharga bagi para kekasihNya. Dan mereka berkata, “Masihkah orang-orang tak juga percaya akan adanya hal-hal yang hakiki?”

Bila seseorang hanya mementingkan amal lahiriyah belaka, sungguh ia telah meremehkan sebuah amal bathiniyah untuk mengenal lebih dekat dengan Allah Azza waJalla. Salah satu amal bathiniyah yang tidak melahirkan penyakit hati—berupa riya’—hanyalah zikir di dalam hati.

Dengan berdzikir, maka seseorang yang lain tidak tahu tentang apa yang sebetunya dilakukan olehnya. Dalam hadits Qudsy disebutkan: “Siapa yang sibuk dengan dzikir padaKu dibanding meminta padaKu, Aku memberinya lebih utama ketimbang yang Kuberikan kepada para peminta.”
“Ya Allah ingatkanlah selalu kami dari kealpaan orang-orang yang lalai. Amiin.” Begitulah do’a para sufi yang senantiasa mereka panjatkan. Karena bagi mereka, jika saja lalai mengingatNya dalam satu detik sekalipun, berarti ia telah berdosa. Dzikir lisan saja tanpa hati, tidak ada kemuliaan sama sekali. Dzikir yang sesungguhnya itu harus disertai dengan dzikir hati dan rahasia hati, baru muncul dzikir lisan. Maka benarlah dzikirnya Allah Azza waJalla, “Ingatlah selalu kepadaKu maka Aku akan senantiasa mengingatmu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kufur padaKu.” (Al-Baqarah: 152).

Ingatlah, bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini kelak akan sirna, dan ketika waktu itu telah sampai pada batasnya, maka Malaikat Maut akan datang menjemputnya, mencopot hidupnya dari tempat singgah dunia yang sementara, memisahkan dirinya dari keluarga dan orang-orang yang dicintai. Berusahalah, dan berbekallah dengan ‘amal yang banyak dan disertai dengan ‘ilmu, agar tidak mati dalam keadaan dibenci oleh Allah Azza waJalla. Siapkan langkah ke akhirat, tunggulah kematian, karena seseorang nanti akan melihat di sisi Allah Azza waJalla sesuatu yang lebih baik dibanding semua yang dilihat di dunia ini.

“Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Dan lindungilah kami dari pedihnya siksa neraka.”

Malang, 30 April 2015