Cerita Tentang Manusia


Cerita Tentang Manusia
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[Orang-orang yang tidak penah belajar sastra, entah itu para politikus, saintis, bisnissman, para pejabat, polisi, pegawai, tentara, atau orang-orang lain yang mengaku dirinya waras, mereka tak akan pernah memahami ucapan dan jalan pemikiran para pengarang. Para pengarang adalah guru kehidupan yang jalan pikirannya tidak dimengerti oleh kebanyakan orang di zaman yang sekarat seperti ini. Sayang, ajaran mereka tidak menjadi bahan bacaan wajib siswa di sekolah. Adalah termasuk pengarang yaitu para nabi, wali, ulama, dan  sastrawan islami. Karya mereka berupa kitab-kitab, kisah-kisah bijak, nasihat, puisi, dan cerpen islami, mampu menerangi jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia].—Em Ef.

Kawan. Engkaulah sahabat jiwaku. Teman di saat aku bimbang di persimpangan waktu. Tempat aku bersandar di saat aku telah lelah menanggapi segala persoalan dunia yang memilukan dan tidak penting itu. Untuk itu, izinkanlah aku bercerita kepadamu, Kawan. Hanya kamu yang bisa memahamiku kata-kataku selama ini. Hehehe, jangan pernah menganggap aku serius lagi ya! Anggap saja tulisanku ini hanya gombal semata.
Kau kan sudah tau, bahwa aku ini orangnya sangat ceria, periang, dan tidak suka serius. Aku selalu menganggap segala persoalan yang datang sebagai suatu humor yang ingin mengajakku bercanda. Ya, mereka semua selalu bercanda dengan segala teater dan aktingnya. Sementara aku hanya bisa tersenyum dan tertawa menonton adegan-adegan mereka yang lucu itu. Tak pernah ada ceritanya dan tak pernah ada kamusnya kalau saya ini adalah orang yang serius, segalanya hanyalah lawakan dan guyonan. Sepanjang perjalanan ini begitu melelahkan, sehingga barangkali setiap orang butuh metode untuk menertawakannya. Kisah tentang manusia sangat naif, dungu, dan serius, sehingga kita harus pandai-pandai menertawakannya. Cerita tentang persoalan dunia ini pun sangat menggelikan, sehingga siapa saja mesti terampil untuk membuatnya sebagai humor. Peradaban umat manusia sangat merupakan komedi, sehingga menjadi tolollah siapa saja yang terlalu “mengambil hati” dari setiap penggal episode kehidupan untuk terlampau memprihatinkannya.

Kawan, betapapun persoalan dunia ini memilukan dan tidak penting, aku tetap ingin bercerita, mungkin bisa dibuat bahan renungan kita bersama. Bahasa manusia memang kadang bisa berbohong itu. Ya, antara hati dan lidah manusia kadang bisa saja kesleo. Tapi kita akan berusaha menjelaskan segalanya dengan bahasa semesta, sebuah bahasa yang tidak akan pernah dipahami oleh manusia yang menghianati nurani. Dan kita akan tertawa setiap kali bercerita.

Kawan, aku hanya bisa menuliskan segenggam asa ini untukmu. Biar engkau tahu resah dan gelisahku. Kutulis semata-mata karena aku hanya ingin menulis. Setelah semuanya tertulis maka legalah perasaanku. Tapi bukan berarti semuanya akan tertuliskan di sini. Tak mungkin aku bisa menuliskan semuanya dengan kata-kata biasa di lembaran sesempit ini.

Baiklah, engkau mungkin sudah tahu semuanya. Tentang manusia. Ya, kali ini aku akan bercerita tentang manusia. Benar katamu, Kawan. Manusia memang begitu. Manusia dengan segala tingkah dan karakternya. Ah, kadang aku risih berbicara tentang manusia. Tapi kadang pula aku suka. Karena kenyataannya aku juga manusia. Biarkanlah tulisan ini mengalir apa adanya. Penapun bisa lebih kejam dari pedang bermata buta sekalipun.

Bumi adalah tempat di mana para manusia berulah. Ada manusia yang tersesat jauh dari tujuan hakiki. Ada manusia yang menempuh jalan kembali yang benar. Begitulah para manusia. Suatu saat aku melihat manusia yang hidupnya terdampar di pulau yang jauh, ia tak bisa kembali, kasihan sekali ia. Suatu ketika pula aku kagum atas mereka yang menyebarkan pesan demi pesan rahasia kehidupan, mereka tanggalkan segala kemegahan dunia, untuk mengabdi pada Pemilik kebenaran. Manusia dengan segala perilakunya adalah bekerja. Tinggal mereka bekerja untuk kehidupan di dunia saja, ataukah bekerja untuk keabadian. Lalu, sudahkah kita mengerti bagaimana cara menginjak bumi yang benar?

Hati yang membawa kaki manusia melangkah. Segalanya bergantung pada kebersihan hati. Jikalau hati itu bersih, maka ia akan dipenuhi oleh cahaya yang dapat menyerap segala risalah gelap. Namun jika hati itu kotor, maka ia penuh dengan kegelapan, sehingga butalah segala penglihatannya. Di antara kotornya hati adalah amarah, bangga diri, dusta, iri, dengki, pamer, dendam, maksiat, tak bisa memaafkan, selalu serius, tak bisa berhumor kepada sesama, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kawan. Suatu ketika aku melihat orang yang gila jabatan dan pangkat. Bagaimana aku bisa tahu? Mudah saja, sebab ia tidak suka atau lebih tepatnya tersinggung jika ada orang yang tidak hormat padanya. Orang yang marah dan malu ketika harga dirinya dijatuhkan, maka ia termasuk manusia pemburu jabatan. Baginya, penghormatan, kesempurnaan, dan kemuliaan adalah segalanya. Ia akan marah jika orang tidak menyebutkan pangkat atau gelar, misalnya. Maka jika ada manusia yang seperti ini, kita harus berhati-hati. Jangan hanya gara-gara harta atau jabatan kita menunuduk, karena hal itu akan meruntuhkan dua per tiga keimanan kita.

Pada hakikatnya semua orang itu sama saja, yang menjadi berbeda hanyalah tingkat ketakwaannya di hadapan Allah. Dan karena kita orang biasa, kita tak tahu, mana manusia yang memiliki tingkat ketakwaan paling baik di sisi Tuhannya. Sebab yang mengerti kekasihNya adalah juga hanya kekasihNya. Kita ini masih dalam tangga syari’at, orang biasa, maka jangan menempatkan diri, menganggap, atau berpura-pura sebagai kekasihNya. Karena di antara cobaannya bukan hanya tentang kesusahan, tapi juga tentang kemuliaan, atau yang lebih keren lagi disebut sebagai istidroj. Dari itu semua, kita orang biasa, maka kita memandang semua orang itu pada taraf yang sama. Jangan kalau kita memuliakan para Kyai, lantas sikap kita berbeda kepada tukang becak, misalnya. Kita sama ratakan saja, kita hormati semua manusia yang ada di muka bumi ini. Betapapun bejat tingkahnya, karena kita orang biasa, maka kita tak pernah tahu, lebih baik mana kita atau mereka. Maka berprasangka baik kepada manusia wajib hukumnya bagi orang biasa.

Namun kita jangan lantas latah meniru perbuatan yang salah, kita harus tetap berpegang pada kebenaran yang selama ini kita yakini. Itu merupakan prinsip yang harus selalu dijaga oleh orang biasa.

Kawan. Suatu ketika aku juga melihat manusia yang telah melupakan jalan yang dulu ia genggam dalam janji. Entahlah. Mungkin karena perputaran zaman yang telah sedemikian rakusnya, sehingga arti kebenaran, arti kemanusiaan, dan arti persaudaraan telah dicampakkan darinya. Ini kejadian yang nyata. Dan hampir dialami oleh kebanyakan manusia.

Dulu, waktu masih kecil, manusia masih belum mengenal banyak hal. Bagus itu, sebab ia hanya diajarkan segala tentang kebaikan oleh kedua orang tuanya. Sehingga ia bersama teman-temannya berlomba-lomba dalam kebaikan. Mulai dari belajar mengaji, shalat bersama, dan sebagainya. Beribadah pada waktu masih kecil tergolong masih khusyu’ dan rajin, karena memang anak kecil telah meyakini sepenuhnya pada hafalan-hafalan hasil belajar di TPQ, dan ia akan takut jika disiksa di akhirat kelak, seperti cerita-cerita yang telah dituturkan oleh guru-gurunya di kelas. Mereka cepat dalam menerima pelajaran, dan langsung diamalkannya. Tapi demi bertambahnya usia, ia menjadi manusia yang mengenal banyak hal, entah itu tentang kebenaran sampai pada yang tidak benar. Apalagi ditambah dengan masa kini serba canggih, mulai dari android, laptop, internet, dan produk teknologi lainnya yang sangat membantu proses pertukaran informasi dan komunikasi.

Apalagi ditambah manusia zaman sekarang (khususnya anak perempuan)—maaf—yang telah kehilangan rasa malunya. Ini membuat segalanya menjadi dunia yang sangat rawan oleh berbagi jebakan dan muslihat setan yang terlaknat itu.

Maka menjadilah manusia sebagaimana ia menjadi. Manusia yang teguh dalam memegang bara api keimanan, sekalipun itu panas rasanya, maka ia akan selamat dari berbagai fitnah yang ada. Adapun manusia yang tidak kuat akan panasnya bara api keimanan itu, maka ia akan melupakan segala apa yang telah diajarkan oleh gurunya.

Lihatlah, bagaimana perputaran zaman ini telah sedemikian cepat mengubah peradaban manusia, menjadi manusia yang kekinian dan modern. Aku kira dampak negatifnya akan lebih besar, maksudku dampak negatif dalam pandangan islam. Zina di layar kaca, pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya itu semakin marak terjadi.

Peperangan ideologi telah meluas, sehingga kocar-kacirlah umat Islam yang mudah rapuh manakala didebat. Mendekati zaman akhir, memang Allah sengaja mewafatkan para ‘Ulama, sehingga tak ada lagi nasihat yang didengar oleh para manusia. Kemudian ditambah semakin maraknya kebodohan agama, sehingga semakin rusaklah segalanya.

Di dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwa yang pertama memulai dalam berzina adalah perempuan, dan yang paling banyak mencuri adalah lelaki. Itu adalah salah satu sebab mengapa di neraka esok akan dijumpai banyak perempuan daripada laki-laki. Jenis-jenis zina tak hanya secara harfiah saja, namun juga ada zina mata, zina telinga, zina mulut, zina hati, dan lain sebagainya. Itu semua yang dapat membekukan hati, jika hati telah beku maka akan sulit untuk dilunakkan. Sehingga butalah segala penglihatannya dari kebenaran.

Sebenarnya masih banyak catatan tentang manusia yang belum kuceritakan, Kawan. Tapi suatu hari nanti akan kusambung lagi tulisan ini. Semoga dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dan jangan serius-serius ya kalau terlampau membaca tulisanku di atas.

Sebagai tambahan, sampai sekarang, aku masih belajar mengingat kejadian itu. Sebuah peristiwa perjanjian antara aku dan Tuhanku sebelum akhirnya aku lahir dari garba ibu. Sesuai dengan kalamNya, aku diceritakan berjanji dengan setulus keyakinan, bahwa kelak aku akan menjalani kehidupan dengan taat kepadaNya. Ia berkata padaku, kurang lebih seperti ini, "..sungguh, kelahiran bagimu adalah sebuah cobaan. Mereka yang telah lolos dari perjanjian ini, akan Aku hidupkan di dunia sebagai bayi muslim. Sementara mereka yang tak mampu berjanji tak akan hidup di dunia. Sungguh dunia adalah keberatan dan cobaan bagimu yang telah berjanji.

Hati-hati jika berada di dunia ya, Nak. Jangan sampai engkau jatuh terpeleset di jurang yang kau buat sendiri…".

Malang, 13 Mei 2016