Oleh: M. Fahmi
~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~
Dulu, saya pernah belajar ilmu Tasawuf di PP. Bumi Damai Al-Muhibbin Tambakberas pada setiap malam Selasa. Kitab yang dikaji adalah “Al-Hikam” karya Ibnu Athaillah As-Sakandary. Di sana—pada setiap malam Selasa—selalu ramai oleh masyarakat dari berbagai wilayah, dari berbagai golongan, dari berbagai etnis. Saya sangat menikmati pengajian tersebut, sebab Abah Jamal selalu memberikan pembelajaran yang benar-benar baru di mata saya.
Saya melihat, bahwa pada setiap kajian kitab-kitab tasawuf itu selalu cenderung pada paham Jabariyah, yakni segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Para Salik (penempuh jalan menuju Allah) dan Sufi, mereka tak pernah tertarik sedikit pun oleh gemilangnya dunia dan seisinya ini, sebab kebahagiaan mereka hanyalah bisa bersanding dengan kekasih sejati, yang memberinya kehidupan di waktu siang maupun malam. Usaha macam apa pun yang dilakukannya semata-mata lahir atas kehendak-Nya. Dan hanya Allah-lah yang mengatur segala kehidupannya dan memenuhi segala kebutuhannya. Manusia banyak yang terbudak oleh ganasnya dunia. Barang siapa yang meninggalkan dunia maka dunia akan dengan sendirinya patuh padanya. Banyak cerita Sufi juga yang senada dengan paham Jabariyah. Hal-hal semacam ini mengajarkan kepasrahan total kepada Allah atas apa yang terjadi pada dirinya.
Namun seiring dengan berjalannya usia, saya memperoleh pemahaman baru lagi atas apa yang saya pahami selama ini, dan ini justru sangat bertentangan dengan apa yang pernah saya kaji di Pesantren. Bahwa hidup itu harus ada keseimbangan antara olah dzikir dan olah fikir. Bahwa Allah memang telah menentukan takdir setiap manusia di Lauh al-Mahdfudz. Tapi tidak berarti Allah menghendaki manusia ini jadi orang jahat, manusia ini jadi orang baik, tidak. Tidak sama sekali, Kawan. Jika saja seperti itu maka berarti Allah tidak adil, padahal sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Adil. Dalam Lauh al-Mahfudz itu Allah hanya menentukan mana jalan yang baik dan mana jalan yang tidak baik.
Manusia lantas diberi kebebasan memilih jalan. Dengan demikian berarti Allah adalah Dzat yang benar-benar Adil pada setiap makhluknya.
Setiap manusia yang lahir di muka bumi ini hakikatnya hanif, suci, dan fitrah. Namun, dalam perjalanannya mengarungi samudera kehidupan ini ada banyak macam “warna” yang mempengaruhinya. Manusia memilih jalannya sendiri-sendiri sesuai apa yang diyakininya. Sehingga menjadilah ia sebagaimana ia menjadi.
Pemikiran Jabariyah berbanding terbalik dengan pemikiran-pemikiran orang Barat yang cenderung Qadariyah, yakni segala sesuatu terjadi atas jerih payah dan usaha yang dilakukannya. Bahwa setiap manusia diberi kekuatan untuk berusaha. Inilah yang menjadikan orang Barat berkembang menjadi negara maju dan mengalahkan orang-orang Islam.
Umat Islam sekarang banyak yang terbelakang dan menjadi bangsa terjajah serta menjadi obyek dari keproduktifan dan kekreatifan umat lain karena pola pikirnya banyak yang terjebak ke dalam paham jabariyah dan fatalistik. Kita memerlukan wali dan dan para sufi yang terjun langsung ke medan juang, bukan wali dan sufi yang menghindar dari peperangan dan menjadi pertapa di gunung. Kemiskinan, penyakit, dan kebodohan adalah musuh terbesar kita saat ini yang mesti diperangi.
Kita beramal dan beribadah bukanlah karena mengharapkan Surga atau karena takut masuk Neraka, namun semata-mata karena ikhlas, tunduk, patuh, dan cinta kepadaNya. Namun, cinta itu sendiri harus dimanifestasikan lewat perjuangan, kerja keras, dan harus ditebus dengan tetesan keringat, darah, dan air mata. Memang tidak ada kekuatan melainkan datangnya dari Allah, tapi untuk mengenal kekuatanNya yang sesungguhnya kita harus mengosongkan diri, hening-heneng-henong, bahkan keluar dari diri sendiri sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam alam makrifat dan tenang bersamaNya. Perjalanan itu harus dilalui lewat tangga syari’at, thoriqoh, hakikat, hingga akhirnya sampai pada tangga terakhir, yakni makrifat.
Nahdhotul ‘Ulama telah memberi pemahaman bahwa segala sesuatu harus disikapi dengan metode “mutawashith”, yakni tidak hemisfer kanan, juga tidak hemisfer kiri. Maka NU berada di tengah-tengah paham Jabariyah dan Qodaariyah. Ini bukan berarti NU tidak punya pandangan, tapi “di tengah-tengah” itu berarti bahwa ada saat dimana kita Jabariyah, dan ada saat di mana kita Qadariyah. Bahwa beribadahlah engkau seakan-akan maut selalu mengintai dan bekerjalah engkau seakan-akan hidup selama-lamanya!
Tuban, 18 Ramadhan 1435 H