Tandusnya “Bumi” Kami
Oleh: M. Fahmi
~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~
[Laiknya fiksi, humor pun sebetulnya juga lahir dari sesuatu yang serius. Bahwa kebenaran dan kemurnian tanpa humor sifatnya meragukan. Dengan humor, sesuatu yang serius dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu baru yang bersifat rileks dan renyah. Lalu di manakah letak humor dalam tulisan kami berikut ini?]
Bismillah. Nastaghfirullohaladziim. “Telah sedapat mungkin, kami selamat-selamatkan islam kami. Kami aman-amankan iman kami. Kini, hanya kepadaMu. Kami serahkan segalanya. Kami pasrahkan semuanya. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin,” begitu kata Gus Mus dalam salah satu puisinya.
Esensi cinta kini telah lama mati, bersama matinya hati nurani. “Cahaya” telah lama menghilang, bersama menghilangnya kesadaran. “Langit” telah lama roboh, bersama robohnya keimanan. “Bumi” pun telah lama kering, bersama keringnya jiwa kami. Hari ini. Dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita. Tetapi, setelah mati. Dunia hanyalah cerita, sementara akhirat menjadi nyata.
Kini, persetanlah dengan rasa cinta. Persetanlah dengan rasa rindu. Sebab, cinta hari ini telah jarang ditemukan. Entah itu di jalan-jalan, di ladang-ladang, di pasar, di kantor, di sekolah, di gedung-gedung, atau bahkan di tempat-tempat ibadah sekali pun. Kami sering tertipu oleh rasa cinta, yang sebetulnya itu bukan cinta. Kami sering terperangkap oleh rasa rindu, yang sebenarnya itu bukan rindu yang sesungguhnya. Kami mengira kalau itu adalah cinta, tapi nyatanya adalah nafsu.
Kami mengira kalau itu adalah rindu, tapi nyatanya hanyalah kemauan dan ego. Ah, rasa. Betapa naif sebetulnya. Kami sukar membedakan mana kebenaran mana kebatilan, mana kejujuran mana penipuan, mana cinta mana nafsu. Shalat saja, kami belum pernah bisa khusyu’ dari awal hingga akhir. Betapa, lupanya kami. Mungkin karena kebutaan mata kami, atau karena telah lama, jiwa kami dilanda kemarau. Sungguh, kami haus akan keheningan.
Tak terasa, kami sering terpenjara oleh rasa. Padahal sebetulnya, tidak ada bedanya antara rasa lapar dan kenyang, panas atau dingin, sedih atau bahagia, ketakutan atau keberanian, kecewa atau gembira, suka atau duka, cinta atau benci. Pada hakikatnya semua sama, yaitu hanya sebuah “rasa”. Padahal kami sendiri yang menciptakan “rasa” itu. Kami sendiri pula yang disibukkan oleh “rasa” itu, dan kemudian tanpa disadari kami telah berada di sebuah penjara yang bernama penjara “rasa”. Disadari atau tidak, kami telah diperbudak oleh yang namanya rasa. Bagaimana kami berlari mengejar dan dikejar oleh kepentingan atau ketidak-pentingan, hanya dikarenakan sebuah rasa. Pribadi kami sangat labil. Betapa lelah jiwa dan raga kami. Nahasnya, kami belum kunjung mengerti, bagaimana caranya keluar dari penjara itu. Ada yang bilang, “mati saja kau bila ingin tak terpengaruh oleh rasa!”. Tapi itu bukanlah sebuah jalan. Untuk keluar dari penjara bernama penjara “rasa” itu, kami harus mengabaikan segala rasa yang membelenggu hati.
Perlu kami ketahui. Bahwa di pusat panas yang paling panas, di situlah ada titik dingin paling dingin. Begitulah filsafat menjelaskan. Dengan filsafat, kami dapat mengubah panas menjadi dingin, mengubah api menjadi air, mengubah tegang menjadi santai. Filsafat tak ubahnya tongkat ajaib yang ampuh untuk menyulap apa saja yang bersifat keburukan, menjadi segala sesuatu yang baik dan rahmatan lil Aalamiin. Filsafatlah yang mengantarkan kami pada ruang hikmah, yang menjelaskan segala yang terselubung dalam rahasia.
Mungkin hanya dengan senantiasa melihatNya yang akan membersihkan segala kotoran dan penyakit di dalam hati. Agar kami tak menjadi budak dari rasa. Sebab, rasa semestinya hanya ada satu, yaitu untuk Allah, bukan untuk kepentingan yang lain. Bagaimana kami bisa mengatakan bahwa kami mencintai dan melakukan sesuatu karena Allah, sementara niat dan hati kami terlalu beku oleh kepentingan yang lain. Bagaimana kami mencintai makhluk karena Allah, sementara di dalam lubuk hati tersimpan penyakit bernama dunia dan nafsu. Sesungguhnya nafsu, rasa dendam, iri, dengki, sombong, prasangka buruk, merasa benar sendiri, wa akhowatuha, itu semua hanyalah sebuah “rasa” yang sering membelenggu akal sehingga kami tak bisa berpikir sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya, kami terus mengatakan, bahwa berpacaran itu adalah pembodohan belaka dan hanya akan menyibukkan kami pada sesuatu yang sebetulnya tidak penting.
Apakah itu cinta atau nafsu, kami belum bisa membedakan dengan jelas. Kami pun sadar, bahwa nafsu telah memenjara nurani kami yang asali. Kemudian, entah dari ufuk yang mana, kami seperti lahir kembali dari rahim kemurnian. Hingga kami tinggalkan segala bentuk nafsu dalam keyakinan hati. Kami patahkan segala sayap-sayap kami, agar kami tak lagi terbang mencari-cari cinta yang lain. Sebab cinta sebetulnya selalu hadir di setiap mata memandang, di segala pembuluh darah, dan di hati orang-orang yang beriman.
Cinta tak pernah tumbuh di hati orang yang munafik, yakni orang yang membohongi nuraninya. Langkah dan bicaranya orang munafik sesungguhnya mengidap rasa sakit yang akut, sebab nuraninya telah menolak seutuhnya. Orang munafik tidak pernah jujur kepada dirinya sendiri. Apalagi tentang nafsu, orang munafik selalu menganggapnya sebagai cinta. Maka, tenggelamlah orang munafik itu ke dalam “rasa” berkepanjangan yang tak ada ujung dan tepinya.
Telah banyak kami sampaikan pesan demi pesan rahasia, kepada saudara-saudara kami. Telah banyak kami meneriakkan makna kebenaran.
Sungguh. Saksikanlah, telah kami sampaikan, ya Allah. Baik itu secara langsung, pribadi, maupun di layar maya, seperti sms, blog, dan lain sebagainya. Tapi apa imbalannya. Kami malah dikatakan begini, “kau sudah gila dan berpenyakit jiwa rupanya!”, lalu diseretnya kami ke “rumah sakit jiwa”. Ilahi, siapakah sesungguhnya yang sedang berpenyakit jiwa? Di saat orang-orang bersenda gurau, kami sibuk memenuhi rumahNya. Kami disebut-sebut sebagai orang-orang aneh. Ghuroba’, ghuroba’, ghuroba’. Lalu kami teringat akan bagaimana perjuangan Rasul. Tidak sedikit beliau dihina dan dijuluki sebagai orang aneh. Sebab Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula. Melihat tingkah polah terbaliknya zaman, kami merasa asing di zaman ini. Ataukah zaman yang merasa asing dengan keberadaan kami?
Namun percayalah. Kami tak membenci siapa pun. Betapapun jahat tingkah seseorang, ia tetaplah saudara kami. Al-mu’minu akhul mu’min. Kami hanya membenci perilaku yang tidak sesuai dengan syariat. Tidak ada musuh bagi kami, kecuali langkah-langkah setan. Misi kami adalah menyebarkan kebaikan, kedamaian, dan perdamaian di muka bumi. Tetap berprasangka baik kepada siapa saja, sebab setiap manusia pada hakikatnya baik dan berbudi. Kami akan berusaha menjadi rahmat bagi alam semesta.
Dulu, sebelum mengenal filsafat, kami tak mengerti, mana yang patut diperjuangkan dan mana yang harus dibumihanguskan. Tapi, berkat semua pengalaman jejak cerita itulah yang akhirnya membuat kami kokoh pendirian. Kami jadikan jejak cerita yang kelam itu menjadi sebuah pelajaran yang kami pakai di hari ini. Esai filsafat, menurut kami amatlah penting. Sebab, tak selamanya dengan fiksi segalanya dapat terpahami dengan utuh, meskipun fiksi jauh lebih penting dan sederhana karena fiksi juga berangkat dari sesuatu yang nyata. Kami tak perlu memberi contoh satu demi satu yang real di dalam kehidupan, sebab tulisan ini sepenuhnya abstrak. Pun telah nampak dengan begitu nyata dan jelas di sekitar kami. Dan kami pun mengalaminya sendiri. Ah, betapa amat abstrak dan luasnya filsafat. Satu pintu terbuka, di dalamnya terdapat seribu pintu lagi. Dan selalu begitu. Tapi tak apalah kami berdarah-darah dalam pertarungan dan pemikiran filsafat. Pena pun bisa lebih kejam dari pedang bermata buta sekalipun. Sepertinya, kami harus tetap berpikir sendiri dan berpikir panjang. Tak tahu sampai mana titik temu kebenaran ini. Ya Allah, selamatkanlah kami dari lautan kata-kata. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kata-kata kami sendiri.
Wallahu A’lam..
Tuban, 29 Desember 2015