Sahabat Jiwa


Sahabat Jiwa
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Sahabat jiwaku. Janganlah heran, kalau sikap saya yang tidak pernah bisa romantis denganmu. Saya, mungkin terlalu kurang pergaulan, sehingga tidak tahu, bagaimana cara bersikap romantis. Harap dimaklumi, saya memang anak desa. Kurang begitu mengerti trend zaman masa kini yang begitu memukau. Entah itu tentang life style, makanan, mode pakaian, teknologi, atau tentang gaya-gaya hidup orang zaman sekarang. Kalau ada yang bertanya kepada saya, ada apa di luar sana. Maka saya hanya bisa menjawab, engkau mungkin lebih tahu daripada saya. Saya adalah manusia yang rabun akan berita dan asmara, apalagi isu-isu yang bertebaran di angkasa raya dan maya. Zaman sudah berubah ternyata. Sudah sampai manakah kita berjalan?

Sahabat Jiwaku. Suatu waktu aku mengetahui, kalau sebenarnya engkau sangat mengharapkan keseriusanku. Mana pernah aku tahu, Ding, bahwa engkau memendam rasa suka padaku. Ah, aku jadi takut pada asmara. Apalagi jika harus terbang bersamamu melewati langit biru itu. Aku menjadi takut jatuh dan sakit. Sementara engkau selalu bertanya padaku, “Begitu sibukkah dirimu, sampai-sampai engkau tak sempat untuk menanyakan padaku: cintakah aku padamu.” Aku hanya bisa diam.

Lalu engkau pun memberanikan untuk datang kepadaku, dan membawa pertanyaan yang lain, “apakah engkau mencintaiku? Masihkah ada cinta di antara kita?” Kali ini aku harus angkat bicara. Aku harus berani membetulkan kata-katanya itu. Kata orang, ini adalah resiko dari pergulatan asmara. Tapi aku tak begitu memahaminya karena aku memang tidak begitu peduli soal rasa. Dan pada akhirnya, aku mencoba mengumpulkan seluruh keberanian itu.

Sahabat jiwaku. Janganlah bertanya lagi, apakah aku mencintaimu. Sebab, itu sudah pasti. Apalagi, kita belum pernah mengukir janji untuk mencintai, maka jangan terburu-buru bertanya, masih adakah cinta di antara kita. Belum ada. Dan mungkin, akan ada untuk selamanya. Itu hanya usahaku untuk mencintaimu. Sementara, selebihnya itu jangan pernah menyalahkan takdir. Marilah saja, kita berdo’a bersama-sama, agar kita dipertemukan di ujung waktu, pada ufuk cakrawala yang indah, dalam suatu ikatan yang diridhoi-Nya. Aamiin.

“Oh, begitu ya. Tapi kamu harus memegang janji dan keyakinan itu ya!” desaknya kemudian.
“Iya, mungkin,” jawabku datar.
“Mungkin?” diulanginya jawabanku itu dengan nada bertanya. Ia seperti tak percaya padaku.
“Kenapa? Ada apa lagi, Ding? Tunggu aku di ujung waktu. Aku pasti akan datang menjemputmu!” tegasku.

Ia tersenyum. Ah, senyum itu. Maafkan aku, Ding. Kali ini, aku tak sengaja melihat matamu yang begitu teduh itu. Senyummu terlalu kekal untuk kuhapus dari ingatan. Gerai suaramu yang sempat ku dengar tadi, entahlah, mungkin sudah meresap ke relung jiwa terdalamku. Gemetar hatiku, Ding. Dan aku tak berani melakukannya lagi. Aku tak berani merindukanmu lagi. Persetan dengan kerinduan.

Sahabat jiwaku. Saya bukanlah orang yang romantis. Maka jangan pernah marah dan kecewa, kalau-kalau sikap saya yang selalu acuh kepadamu, atau kata-kata saya yang sama sekali tidak puitis. Saya memang begini, orangnya, biasa, tidak bisa romantis. Tidak suka alay. Tidak suka cinta yang berlebihan. Malahan, saya ingin mencintai apapun dengan biasa dan sederhana. Termasuk kamu, saya hanya bisa mencintaimu ala kadarnya, dengan cinta yang sederhana. Kecuali Allah, kekasih sejatiku, cintaku sepenuhnya untuk-Nya.

Entah lagi nanti kalau saya bisa romantis kepadamu gara-gara telah punya tanggung jawab yang serius, aku tak tahu lagi. Sampai sekarang, janur kuning itu sama sekali belum melengkung, bukan? Oiya. Dari tadi saya membahas seputar kamu, Ding. Saya jadi penasaran. Kamu yang kelak menemaniku sampai akhir hayat. Siapa namamu sebenarnya? Seperti apakah kamu sesungguhnya. Bahkan, aku tak tahu, kepada siapa, rindu sekaligus doa ini kelak kan kutambatkan.

Malang, 10 April 2015