Surat Itu Datang Juga


Surat Itu Datang Juga
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Beberapa hari yang lalu, saya menerima surat. Surat yang tanpa identitas, beramplop merah jambu itu diantar oleh Pak Pos ke asramaku. Ku amati tulisan tangan itu. Dan aku, seprti mengenal tulisan itu. Masih sama persis semenjak tujuh tahun yang lalu, ketika aku membaca tulisannya. Sebelumnya saya meminta maaf, karena belum kunjung juga kubalas surat itu. Entahlah. Berikut isinya.

Sobat, ini adalah surat penuh luka dariku yang malang. Yang ditulis dengan penuh rasa malu setelah lama menimbang dan lama menunggu. Aku menahan goresan pena ini berkali-kali, air mata menghadang dan menghentikannya berkali-kali. Maka mengalunlah rintihan hati.

Sobat, setelah melewati usia yang semakin panjang ini aku telah melihat engkau menjadi orang dewasa yang memiliki akal sempurna dan jiwa yang matang. Maka sudah menjadi hakku atasmu agar membaca lembaran surat ini. Jika engkau tak berkenan silakan merobeknya setelah engkau membacanya sebagaimana engkau telah merobek-robek hatiku.

Sobat, tujuh tahun yang lalu adalah hari yang penuh bahagia dalam hidupku. Ketika kita masih bersama saat itu.

Sobat, semua orang pasti mengetahui apa makna kalimat ini. Yaitu kumpulan dari kegembiraan dan kebahagiaan serta awal dari perjuangan. Tak kusangka penampilanmu kini setampan itu. Setelah menerima berita gembira itu, aku menerimanya dengan penuh suka cita.

Sobat, perjuanganku tidak bisa dilukiskan dengan apapun. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi cintaku padamu dan kegembiraanku menyambut kehadiranmu. Bahkan rasa sayang itu terus bersemi seiring dengan bergantinya hari dan kerinduanku terhadapmu semakin mendalam.

Aku sudah lama memendam perasaan ini dengan kesusahan di atas kesusahan, rasa sakit di atas rasa sakit. Aku gembira dan bahagia bisa ditakdirkan untuk bertemu denganmu, walau hanya sekejap.

Sebuah perjuangan panjang yang mendatangkan fajar kebahagiaan sesudah berlalunya malam panjang. Aku tidak bisa tidur dan memejamkan mata. Aku merasakan rasa sakit yang sangat, rasa takut dan cemas yang tidak bisa aku guratkan dengan pena dan tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Saat itu bercampur aduklah antara air mata tangismu dengan air mata kegembiraanku. Hilanglah seluruh rasa sakit dan perih yang aku rasakan.

Sobat, tahun demi tahun telah berlalu dari umurmu sedangkan aku senantiasa membawamu dalam hatiku. Harapanku setiap hari adalah melihat senyumanmu dan kebahagiaanmu setiap waktu—engkau memintaku sesuatu agar aku lakukan untukmu. Itulah puncak dari kebahagiaanku.

Siang berganti malam sementara aku tetap setia dalam kondisi itu. Senantiasa berkhidmat tanpa adanya lelah, senantiasa bekerja tanpa putus hingga engkau tumbuh dewasa..

Telah lewat masa-masa yang berat. Tapi ternyata engkau bukanlah “sobat” yang selama ini aku kenal. Engkau mengacuhkan diriku dan melupakan aku. Sudah berhari-hari lamanya aku tidak mendengar suaramu. Engkau telah melupakan seeorang yang selama ini merindukanmu siang-malam.

Sobat, aku tidak banyak meminta banyak kepadamu. Aku hanya meminta agar engkau menempatkan diriku seperti halnya engkau menempatkan teman-temanmu yang paling akrab dan yang paling jauh langkahnya bagimu.
Sobat, jadikanlah aku salah satu terminal hidupmu sehari-hari sehingga aku dapat melihatmu walaupun hanya sekejap.

Sobat, telah melemah punggungku dan telah gemetar anggota tubuhku, penyakitpun mulai menggerogoti dan mengunjungiku. Akan tetapi hatiku senantiasa untukmu. Manakah kini balasan dan manakah kesetiaan?

Apakah kerasnya hatimu hingga separah itu, apakah sehari-hari penuh kesibukanmu telah menyita waktumu?

Sobat, sepanjang pengetahuanku selama engkau berbahagia dalam hidupmu, maka akan bertambah kebahagiaan dan kegembiraanku.

Tidak usah heran karena engkau adalah buah cinta dan hatiku. Apa dosaku sehingga engkau memusuhiku dan tidak mau lagi melihatku serta merasa berat untuk mengunjungiku? Apakah aku pernah salah bersikap kepadamu sehingga kau campakkan diriku?

Kini semua hanyalah kisah kenangan yang terbuang dari kehidupan. Dan aku kini tak lagi dapat menyimpannya.

Jika kau ingat kembali, aku tak pernah mengatakannya. Barang sejenak, tidak sama sekali. Tapi kaulah yang memintanya. Atau. Mungkin. Aku yang salah. Tidak seharusnya dulu aku sering bersamamu di kebanyakan waktu.

Jombang, Maret 2012