Jalan Sunyi yang Terapung

Mutiara Hikmah Ustaz Abdul Somad

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya." Alquran surah Al-Kahf (18): 7.

Media sosial hari ini telah dipenuhi dengan foto-foto yang diikuti, disukai, dan dikomentari oleh banyak mata, hingga berujung pada chat yang tidak semestinya. Maka selagi foto-foto itu masih ada di setiap jejaring media sosial, dosa jariah itu akan senantiasa mengalir sekalipun ia telah mati, sepanjang setiap kali ada mata yang melihatnya.

Ada orang-orang yang bergetar hatinya manakala menerima kebenaran. Sebagian yang lain memilih benci, memandang sebelah mata, dan berdalih sebagai ekspresi diri. Padahal bukan demikian caranya.

Ada orang-orang yang memilih jalan yang sesak, penuh dengan kebisingan, lalu-lalang, dan juga gurauan orang-orang. Mereka memperlihatkan dan menjual apa yang seharusnya tidak boleh terlihat oleh mata orang lain. Kemudian tiba-tiba jalan itu menjadi retak. Terlalu banyak muatan orang-orang yang berkelakar di sana. Mereka pun terjatuh dan tenggelam ke dalam jurang yang tak tersebutkan namanya.

Ada pula orang-orang memilih menepi dari keramaian, tidak mengumbar dirinya, memilih jalan sunyi yang damai dan terapung, lalu membiarkan perahu membawa dirinya senantiasa pulang menuju Yang Abadi.

فَادْخُلِي فِي عِبَادِي

"Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku." Alquran surah Al-Fajr (89): 29.

Betapa Allah mudah sekali cemburu. Ia pun rindu dan selalu mengajak manusia untuk benar-benar menjadi hamba-Nya, dan bukan menghamba pada ego, pada ke-Aku-an, pada berhala-berhala masa kini, dan pada segala selain-Nya.

Tidak ada salahnya kita senantiasa mengikuti ulama yang lebih berhati-hati. Jangan bersedih jika dianggap terlalu kaku. Tetaplah membagikan hal-hal yang baik. Mendiamkan kemungkaran adalah kejahatan. Lebih baik terasing daripada hidup dalam kemunafikan. Agama adalah keyakinan dan keteguhan.

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.


قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Alquran surah an-Nur (24): 30-31.


Batas Tidur
Semua orang bisa memilih saat hendak istirahat tidur. Apakah ia ingin tidur di rumah, di pasar, di pondok, atau di tempat lainnya. Apakah ia ingin tidur terlentang, ke samping, tengkurap, atau bahkan dengan duduk. Semua posisi tidur bisa dipilih sebelum seseorang tertidur. Sekalipun ada hal-hal tak terduga, seperti ketika seseorang tidur dengan duduk bisa jadi sesudahnya tidak lagi duduk, namun jatuh terbaring. Tetapi yang pasti, tak seorang pun tahu, di menit dan detik ke berapa ketika ia tertidur.

Batas tidur, sebagaimana batas hidup dan mati. Bahwa setiap jiwa kelak pasti akan mati. Dan setiap orang bisa memilih, apakah ia ingin mati dalam keadaan baik, ataukah mati dalam keadaan tidak baik. Seseorang yang ingin mati dalam keadaan baik tentu harus mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya setiap waktu. Sekalipun ada orang yang terlihat tidak baik, namun pada akhirnya ditakdirkan baik ketika ia mati. Dan begitu juga sebaliknya. Tetapi yang pasti, tak seorang pun tahu, di hari, jam, menit, dan detik kapan ia akan mati.

Maka, selagi ruh masih bersemayam di kandung badan, belum terlambat untuk senantiasa melakukan kebaikan-kebaikan di setiap hari.

Renungan menjelang tidur, 24.05.19.
Mukhammad Fahmi.
Petualangan Mencari Malam Seribu Bulan
Di antara keistimewaan bulan Ramadan ialah terdapatnya malam seribu bulan. Sebuah malam di mana pintu langit dibuka, benda-benda langit akan dipenuhi cahaya, sedang para malaikat akan turun ke bumi membawa rahmat, ampunan, dan mendoakan para manusia. Salaamun hiya hattaa mathla'il fajr. Malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar tiba. Maka beruntunglah setiap mereka yang menghidupkan malam seribu bulan itu.

Pada setiap jeda waktu antara salat tarawih dan salat witir di musala an-Nur selalu diselingi kuliah tujuh menit oleh ustaz Abdul Muhaimin. Para jemaah salat tarawih di musala itu memperhatikan dengan hikmat dan khusyuk. Ada yang khusyuk karena memang benar-benar mendengarkan, ada pula yang khusyuk karena terlampau lelah dan mengantuk. Termasuk Joni yang pada waktu itu mendengarkan kultum ustaz Abdul Muhaimin. Lamat-lamat suara yang bisa ditangkapnya. Entah kenapa, ia sering sekali mengantuk ketika mendengarkan kultum. Tapi begitu kultum selesai, anehnya menjadi hilang sama sekali rasa kantuknya. Konon katanya, setan kecil suka sekali bermain di gendang telinga manusia, sesekali hinggap juga di batang hidung dan meniupi kelopak mata manusia yang lemah.

Dalam keadaan antara terjaga dan mengantuk, Joni sempat menyimak baik-baik ceramah yang disampaikan oleh ustaz Abdul Muhaimin.

"Di antara keistimewaan bulan Ramadan ialah terdapatnya malam seribu bulan. Sebuah malam di mana pintu langit dibuka, benda-benda langit akan dipenuhi cahaya, sedang para malaikat akan turun ke bumi membawa rahmat, ampunan, dan mendoakan para manusia. Salaamun hiya hattaa mathla'il fajr. Malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar tiba. Maka beruntunglah setiap mereka yang menghidupkan malam seribu bulan itu." Begitulah beberapa pesan yang bisa ditangkap Joni.

Setelah pulang dari salat tarawih, setengah ragu ia bertanya kepada temannya, Asep.

"Eh, Sep, apa benar, malam seribu bulan itu ada?"

"Iya lah, barusan tadi ustaz Abdul Muhaimin menjelaskan. Kamu pasti ngelamun ya?"

"Ndak kok, mungkin cuma karena gagal fokus saja, hehe. Memangnya kapan itu bisa terjadi, Sep?"

"Ketika malam-malam ganjil setelah tanggal dua puluh di bulan Ramadan."

"Owh, jadi begitu ya," ucap Joni sambil manggut-manggut.

"Ya sudah, makasih ya, Sep, hehe," lanjut Joni.

"Asshhiyyaaapp," sambut Asep, menirukan gaya kartun Cute-Girl.

Dalam perjalanan pulang, Joni terus berpikir tentang adanya malam seribu bulan itu. Sebelumnya ia belum pernah mendengar tentang malam itu. Gurunya juga tidak pernah menjelaskan tentang malam seribu bulan. Paling hanya seputar pengetahuan tentang puasa Ramadan, syarat, dan rukunnya yang dibahas. Mungkin dapat dimaklumi, karena ia masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Sekalipun demikian, ia sangat tertarik dengan hadirnya malam seribu bulan itu.

"Ah, malam seribu bulan. Pastilah sungguh indah. Pintu langit malam akan dibuka, bulatan-bulatan cahaya purnama yang banyak jumlahnya akan bertebaran di atas sana, para malaikat juga akan turun ke bumi, malam akan menjadi hidup, dan orang-orang akan keluar rumah, setiap pasang mata akan dibuat takjub dengan keindahan itu, mungkin seperti pertunjukan bunga-bunga lampion yang diterbangkan ke langit, bahkan lebih indah lagi," gumamnya.

Ia kemudian menghitung-hitung hari, "Wah, ternyata besok sudah malam ke dua puluh satu. Ini kesempatanku untuk melihat langit yang akan dipenuhi dengan bulan itu," pekiknya sangat bahagia.

Maka besoknya ia memutuskan untuk tidur di siang hari agar malamnya bisa terjaga sampai sahur dan bertemu dengan malam kemuliaan itu.

Selepas salat tarawih di malam ke dua puluh satu, Joni telah mempersiapkan diri di halaman rumah lantai dua, terjaga kalau-kalau malam ini akan terjadi malam seribu bulan. Untuk menghindari rasa kantuk, ia telah mempersiapkan berbagai macam makanan ringan. Tak lupa ia juga membawa selimut untuk melindungi dirinya dari dinginnya angin malam.

Namun jangankan bulan, bintang-bintang yang ada di langit malam itu menghilang entah ke mana, tertutup awan hitam tebal, pintu langit sama sekali tidak kunjung terbuka, hingga jam sebelas malam turun hujan sampai sahur tiba. Joni hanya bisa melihat suasana langit gelap dan rintik hujan dari balik jendela kamarnya yang ada di lantai dua. Malam itu, hatinya sangat sedih sekali.

Selepas salat Subuh, Joni tidak sengaja mendengarkan percakapan ustaz Abdul Muhaimin dengan salah satu jemaah.

"Ustaz, apa benar tadi malam adalah malam seribu bulan? Saya tidak terjaga karena kelelahan," ucapnya sedih sambil menunduk.

Ustaz Abdul Muhaimin tersenyum dan menepuk pelan bahunya, "Hanya Allah yang tahu, Mas Rahman. Tapi berdasarkan tanda-tandanya, sepertinya saya rasa tidak terjadi tadi malam, karena semalam hujan turun deras sekali. Jika saja langit cerah, tidak ada angin yang membuat daun-daun tanaman bergoyang, dan esoknya matahari bersinar lembut dan tidak begitu panas, itu mungkin adalah malam seribu bulan," terang ustaz Abdul Muhaimin.

Jemaah itupun berterima kasih atas penjelasan ustaz Abdul Muhaimin. Joni lalu menyimpulkan bahwa semalam tidak terjadi malam seribu bulan. Namun ia tetap bertekad untuk selalu terjaga pada setiap malam-malam ganjil di akhir bulan Ramadan itu.

Petualangan Mencari Malam Seribu Bulan
Malam ke dua puluh tiga, seusai salat tarawih, Joni sudah siap di atas loteng. Tak lupa ia membawa kopi panas agar bisa membuatnya terjaga sampai sahur. Kali ini malam cukup cerah. Terlihat samar-samar bintang dan bulan tunggal yang mirip pisang raja saat matang. Joni duduk sambil menatap bulan kecil itu, sesekali ia tiduran karena kepalanya terasa kaku digunakan untuk mendongak ke atas. Sampai sahur tiba, tidak ada perubahan sama sekali. Bulan hanya terlihat satu buah. Pintu langit juga tidak kunjung terbuka. Ia sempat heran, kenapa orang-orang tidak ada yang terjaga untuk memandang langit. Bukankah malam yang dipenuhi seribu bulan itu sangatlah indah? Joni menjadi bingung dengan pikirannya sendiri. Sampai akhirnya terdengar ayahnya memanggil dari lantai satu, "Joni, bangun, Le, ayo sahur, sahur, sahur..!"

"Iya, Yah. Ini Joni sudah bangun." Ia melangkahkan kakinya dengan malas, menuruni anak tangga untuk makan sahur bersama keluarganya.

Malam itu, Joni sangat kesal. Tapi ia tak pernah putus asa. Petualangan mencari malam yang penuh dengan seribu bulan itu tetap ia lakukan di malam ke dua puluh lima dan juga malam ke dua puluh tujuh. Baginya, petualangan mencari pintu langit dan seribu bulan ini serupa perjalanan sunyi mencari wahyu dan kitab suci, seperti yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu dan orang-orang kesayangan Tuhan. Begitu pikirnya. Namun tak ada perbedaan yang begitu nyata. Langit tetap sama seperti langit malam pada malam-malam biasa. Bahkan bulan yang ia lihat di malam ke dua puluh tujuh semakin tipis dan kekurangan cahaya, hampir saja ia tak terlihat. Joni mengembuskan nafasnya yang berat.

Selepas salat tarawih malam ke dua puluh sembilan, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada ustaz Abdul Muhaimin.

"Ustaz, apakah Ustaz telah berhasil melihat malam seribu bulan itu? Saya telah terjaga pada setiap malam ganjil tapi tidak bisa melihat bulan yang berjumlah seribu itu. Malah bulan menjadi semakin kecil ukurannya. Atau apakah untuk melihatnya harus menggunakan alat bantu, Ustaz?" tanya Joni lugu. Lugu sekali.

Hening sejenak. Ustaz Abdul Muhaimin sempat tergelak dan mencoba mencerna pertanyaan bocah kecil itu. Dari sisi mimik wajahnya, bocah itu terlihat serius bertanya dan bukan bercanda.

Ustaz Abdul Muhaimin tersenyum, dan berkata dengan tenang, "Tidak ada yang mengetahui perihal kapan datangnya malam seribu bulan itu, Nak Joni. Allah merahasiakannya agar hamba-hamba-Nya berlomba-lomba untuk menghidupkan malam dengan beribadah di setiap malam bulan Ramadan."

Belum selesai Ustaz Abdul Muhaimin berbicara, bocah kecil itu menyela, "Owh, apakah dengan beribadah kita bisa membuat malam seribu bulan itu menjadi hidup, Ustaz? Saya lihat orang tua saya tidak pernah terjaga untuk menyaksikan malam seribu bulan. Tapi mereka selalu bangun sebelum waktu sahur untuk salat dahulu," ucap Joni mencoba menerka.

"Kita melakukan ibadah bukan berarti bisa membuat malam menjadi hidup dan bangun dari singgasananya, melainkan kita sendiri lah yang harus hidup dan bangun untuk melakukan ibadah di malam itu. Malam seribu bulan itu juga bukan berarti bulan yang ada di langit akan berubah menjadi seribu, melainkan lailatul qadri khoirun min alfi syahr, yakni keutamaan malam itu melebihi seribu bulan hijriah. Seribu bulan itu kurang lebih setara dengan delapan puluh tiga tahun."

"Hehehe, maafkan saya, Ustaz, mungkin dikarenakan saya tidak begitu memperhatikan kultum Ustaz," Joni tersipu malu sembari mringis dan menggaruk-garuk kepala yang sama sekali tidak gatal.

Ustaz Abdul Muhaimin tersenyum kembali. Ia lalu berkata, "Kebenaran yang kita yakini barangkali adalah kesalahan yang hakiki, itu sebabnya kita disuruh untuk membaca segala sesuatu dengan utuh dan selesai, bukan setengah-setengah. Setiap manusia pun selalu punya impian untuk menjadi manusia seutuhnya dan bukan manusia yang tidak utuh. Bukankah begitu, Nak Joni?" canda Ustaz Abdul Muhaimin.

Kali ini Joni yang tergelak. Alisnya bertaut. Ditatapnya wajah Ustaz Abdul Muhaimin itu dengan penuh tanda tanya, "Hehe, iya, betul, Ustaz," Joni pura-pura memahami perkataan ustaz itu.

"Nak Joni yang baik, malam seribu bulan merupakan hadiah agung dari Allah kepada umat Nabi Muhammad yang usianya banyak yang tidak sampai seratus tahun sehingga tidak bisa beribadah sampai seribu bulan. Tidak seperti umat nabi-nabi terdahulu yang umurnya diberikan panjang, bahkan hingga seribu tahun. Kamu mungkin pernah mendengar kisah seorang kakek yang tekun beribadah dengan tanpa melakukan maksiat barang sedetik di balik gunung hingga ratusan tahun pada zaman umat nabi terdahulu, itu yang membuat Nabi Muhammad cemburu dan akhirnya diberilah hadiah malam seribu bulan ini kepada umat Nabi Muhammad. Dan diberikan-Nya malam yang penuh kemuliaan ini bukan berarti kita hanya tekun beribadah ketika datang malam seribu bulan saja, namun itu semua sesungguhnya sebagai sarana untuk menggapai keridaan-Nya dengan senantiasa beribadah di setiap waktu," terang Ustaz Abdul Muhaimin dengan lembut dan menenangkan.

"Baiklah, Ustaz. Terima kasih banyak atas semua penjelasannya. Di malam ke dua puluh sembilan ini saya akan berhenti memandangi bulan di langit dan menggunakan malam seribu bulan ini dengan sebaik mungkin untuk bangun dan beribadah bersama orang tua saya. Semoga kita bisa mendapatkan kemuliaan dari malam seribu bulan ini, Ustaz," Joni kemudian izin berlalu dan mengecup tangan ustaz Abdul Muhaimin dengan takzim.

"Aamiin," ucap Ustaz Abdul Muhaimin bangga.

Esoknya, pagi terasa begitu tenang dan mendamaikan. Hewan-hewan tampak bersuka cita. Bunga-bunga seperti berlomba-lomba untuk mekar. Langit bersih tanpa awan sama sekali, seperti ada yang membersihkannya semalam. Dan cahaya matahari bersinar dengan begitu teduh dan lembut. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.

Perihal Warna-Warna
Setiap dari kita sedang belajar mencintai. Menemukan setiap warna kebaikan sepanjang yang kita pandang, yang bisa kita tanam dan merawatnya di pekarangan kalbu. Kita juga sedang belajar membuang kebencian. Menghapus gumpalan-gumpalan hitam yang menyesakkan dada. Lihat. Embun yang pergi diserap mentari, akan senantiasa mencintai daun. Sekalipun cuaca sudah tak lagi pagi. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Memoar Pohon Kersen
"Kamu pernah jatuh cinta, San?"

Waktu itu, matahari menyembul dari balik pohon-pohon kersen yang buahnya sangat lebat. Buah yang matang berwarna merah cerah, bentuknya bulat-bulat, dan rasanya manis. Ada yang menyebutnya pohon beleci, ada juga yang menyebutnya pohon keres. Setiap pagi, aku suka mengambil sejenak buah-buah itu untuk kumakan di sepanjang perjalanan. Aku berjalan bersama Zahra yang tak sengaja berpapasan di jalan. Kami bergegas menuju sekolah. Ia menanyakan perihal asing yang tak ingin kujawab. Aku hanya menggelengkan kepala. Sebenarnya, aku ingin sekali mengiya. Atau lebih tegas lagi menyatakan, dialah yang telah membuatku diam-diam jatuh cinta. Celakanya, aku bukan lelaki yang mahir berbicara. Apalagi bila itu terkait dengan perasaan. Urusan hati, aku selalu mati kutu.

"Ndak pernah?"

"Ya.."

"Biar cuma sekali?"

Kali ini, aku memilih diam.

"Berarti pernah, ya? Iya kan. Iya kan. Iya kan? Ehe."

Buru-buru aku menukas, "Ndak.."

"Nilai bahasamu pasti merah," tuding Zahra.

"Enak saja," bantahku.

"Buktinya jawabanmu selalu sama," katanya sambil tertawa. "Kalau bukan satu kata, ya dua kata. Miskin sekali kosa katamu, San."

Aku tergelak. Badanku terguncang. "Kamu?"

"Kenapa?"

"Hmm.."

"Pernah jatuh cinta?" Cecarnya.

"Bukaaan. Berapa nilai bahasamu?"

Sebuah cubitan pelan singgah di pinggangku. Kurasakan cubitan itu membuatku semakin tidak nyaman. Cubitan yang kuduga adalah isyarat bahwa Zahra juga, boleh jadi, memendam rasa yang sama denganku. Namun, buru-buru kutepis dugaan itu. Siapa gerangan gadis bodoh yang bisa jatuh hati kepada lelaki sepertiku? Kalaupun ada, pasti bukan Zahra orangnya. Dan, kekakuan yang menyiksa berlangsung semenit-dua menit.

"Aku pernah jatuh cinta," kata Zahra dengan pelan. Sangat pelan.

Debar di dadaku makin kencang.

Dia berjalan mendahului dan berbalik menghadapku. Menghalang-halangi jalanku. Aku terkesiap dan menghentikan jalan. Dia menatapku lekat-lekat. Aku pun mencoba bertahan, membalas tatapannya.

"Kamu ndak tanya siapa lelaki yang membuatku jatuh cinta itu?"

Setengah terpaksa, aku bertanya. "Siapa?"

"Rahasia.." katanya sambil meleletkan lidah. Ia seakan mengolok-olokku melalui tatapannya. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Cinta di Mata Anisa
Namanya Anisa. Ia teman MTs ku dulu. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku, paling sekitar dua ratus meter. Ia gadis yang ayu, namun sangat pendiam, dan jarang sekali bergaul. Ayahnya seorang petani dan juga pengarang. Di rumahnya terdapat banyak buku cerita. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku itu. Tidak banyak yang tahu tentang dirinya. Tapi tidak sedikit laki-laki yang datang ke rumahnya. Namun ia selalu saja menolaknya dengan halus. Lelaki seperti apa yang ia cari?

Setiap sore kulihat ia pergi bersama ayahnya untuk mengunjungi ladangnya yang cukup luas. Di sana terdapat berbagai macam tumbuhan. Mulai dari singkong, jagung, ketela, sayur, buah-buahan, dan lain sebagainya. Di sana ia suka sekali merawat tanaman-tanaman itu dengan memberi pupuk dan menyiraminya dengan air. Tak jarang ia memetik beberapa sayur dan buah-buah itu untuk kemudian dibawanya pulang.

Paginya, ia sering mengirim sebagian sayur dan buah-buah itu ke rumahku. Buat tambahan masak ibuku, katanya. Terkadang ia juga membawakan yang sudah masak. Aku berterima kasih. Ia tersenyum. Dan selalu seperti itu.

Saat itu, Ibulah yang menemuinya ketika ia mengantarkan sayur dan buah. Ibu memintanya agar singgah sebentar di rumah. Berbincang-bincang dengan Ibu di ruang tamu. Sedang aku disuruh untuk membuatkannya teh hangat. Saat ia akan pulang, Ibu memberikan beberapa makanan sebagai gantinya.

Ketika sarapan bersama, Ibu menerawang sesuatu di luar jendela dan berkata dengan nada yang tidak biasa.

"Anisa memang anak yang pendiam. Ia demikian karena ingin menjaga mulutnya dari menyakiti dan melukai orang lain. Dari mencela, dari menghasut, dari menggunjing, dari kalimat-kalimat yang tak semestinya keluar. Nyatanya saat ini memang, kalimat-kalimat yang keluar dari kebanyakan anak manusia adalah kalimat yang tidak baik. Bahkan sedikit sekali yang baik. Itu sebabnya ia ingin menjaga mulut dan juga tubuhnya dari api yang kelak menyala-nyala."

Hening sejenak. Sekarang barulah Ibu menoleh ke arahku dan melanjutkan.

"Anisa itu anak yang santun dan baik, Le. Keluarganya juga orang-orang yang baik dan dermawan. Dan satu lagi. Ia sangat menyukaimu."

Aku tersentak. Dadaku berdesir tak keruan.

"Hmm. Ibu ini adaaaaa saja."

Aku mengatur nafasku. Mengambil air teh ke gelas, lalu melanjutkan.

"Apakah ia mengatakannya kepada Ibu?" Tanyaku salah tingkah. Aku meniup-niup teh yang sama sekali tidak panas.

Ibu tertawa kecil melihat tingkahku.

"Tidak."

"Lalu bagaimana mungkin Ibu bisa tahu?" Sanggahku. Tidak percaya.

Ibu menjawab dengan mendekatkan suara pelan ke telingaku. Sangat pelan.

"Anakku sayang. Ibu ini perempuan." ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Surat-Surat yang Tak Pernah Terkirim
Aku sedang membaca surat-surat yang telah lama kutulis, namun belum pernah kukirim sama sekali padamu. Sebab aku tak mengetahui. Di mana alamatmu sekarang. Lembaran-lembaran itu, akan dengan sukarela memeras seluruh kenanganku. Kuambil satu dari sekian surat-surat itu. Kubaca isinya dengan pelan. Pelan sekali.

"Maukah engkau duduk di sampingku lagi. Seperti saat itu. Akan kubuatkan kopi hangat kesukaanmu. Sambil menikmati matahari yang akan segera tenggelam. Dan kita akan bersama-sama. Menulis lagi."

Kubaca lagi surat demi surat itu. Sampai tak lagi tersisa. Hingga kudapati diriku, yang tiba-tiba kehilangan segenggam nafas. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.
Seperti apa Hidup itu Bagimu?
Hidup merupakan titipan Tuhan yang paling berharga. Telah kulihat wajah-Nya dengan pandangan nyata. Tuhan ternyata ada di dalam kehidupan. Kini, akupun mencintai hidup. Tujuan hidup adalah untuk mengerti siapa yang menciptakan kehidupan itu. Perjalanan seorang anak manusia paling panjang sesungguhnya tidaklah ke mana-mana, melainkan hanya menuju kepada dirinya sendiri. ~

Mei, 2019.
Mukhammad Fahmi.