Siapakah Aku?


Siapakah Aku?
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[“Kawan, siapakah sebenarnya kita ini? Musliminkah? Mukmininkah? Muhsinin? Muttaqin? Khalifah Allahkah kita? Umat Muhammadkah kita? Khaira ummatinkah kita? Atau kita sama saja dengan makhluk-makhluk lain, di negeri-negeri lain? Atau bahkan lebih rendah dari itu, hanya budak-budak perut dan kelamin?”]

Begitulah kira-kira Gus Mus (K.H. Musthofa Bisri)—dalam puisinya—menjelaskan alfa, beta kebingungan sejarah kita dari hari ke hari. Namun kita tak kunjung mengerti. Tak kunjung mengetahui siapa sebenarnya kita ini. Mendengar setiap bait puisi Gus Mus saja aku merinding, apalagi menghayatinya. Seperti ingin menangis!
Sobat, tahukah kau, siapa aku ini? Baiklah, dengan segala keterbatasanku, aku akan mencoba menuliskan tentangku. Aku ini adalah... Ah, betapa sulit mengenal diriku sendiri. Padahal aku telah  sekian lama bersama diriku, namun tak kunjung juga kutemukan tafsir “aku”. Hari-hari telah hilang tanpa ada pemahaman tentangku. Ku akui, aku masih bodoh, tak seperti kalian yang telah belajar tentang banyak hal. Aku hanyalah seseorang yang belum bisa belajar dari kehidupan, apalagi mengerti tentang sebuah kematian.

Aku mencoba untuk mendengar dan melihat semua pergerakan di muka bumi ini, namun belum bisa benar-benar menghayati. Aku mencari, namun belum ada dari gerakku yang bisa membuatku menemukan. Detik demi detik, waktu demi waktu, hari, bulan, tahun, kosong tanpa jiwa, tanpa ruh, tanpa nafas, tanpa pemahaman tentang siapa aku!

Sekian lama sobat, tak kutemukan diriku. Bantulah agar aku segera menemukannya. Semakin aku merasa tahu tentang siapa “aku”, di situlah sebenarnya aku tak mengerti apa-apa tentangku. Namun bagaimana bisa mengetahui tanpa merasa? Langkah demi langkah kujalani dengan kebingungan yang menggema di setiap sudut pikiranku. Berbagai pertanyaan yang tak terjawab semakin menyesaki jiwa. Di hadapan penggenggam segala jiwa, aku semakin merasa rapuh, miskin, kotor, hina, dan tak punya apapun.
Di mana aku bisa menemukan diriku, juga diri-Nya? Aku belum menemukan apa-apa, Sobat.

Bantu aku, tolong! Di mana aku memburu untuk mencari, di situ semakin tampak ke-Aku-anku. Sedang tak memburu, aku semakin kehilangan jejak. Lalu aku harus bagaimana, Sobat? Bantu aku menemukan diriku yang sesungguhnya. Semakin lama semakin aku kehilangan arah, kehilangan tujuan. Di mana sebenarnya tujuan yang hakiki itu, Sobat? Aku semakin kehilangan makna. Tak kusadari, semua berjalan begitu cepat. Waktu semakin cepat saja berlari. Dan aku? Masih saja diam di tempat, menunggu sebuah keajaiban yang tak pernah kunjung datang.

Setiap detak waktu berjalan, Dia selalu bersamaku dan juga meliputi segala yang ada, namun aku belum pernah bisa benar-benar bersama-Nya.

Semakin aku merasa bersama-Nya, di situlah aku kehilangan-Nya. Lalu, aku harus bagaimana, Sobat? Misteri ini amat sulit kupecahkan sendiri. Dulu, ketika kita berjalan beriringan bersama, kau selalu menemaniku pada setiap langkah perjalanan. Kini kita berada pada pijakan bumi yang berbeda. Aku butuh sobat—yang benar-benar sobat—yang bisa menuntunku, menunjukkan cahaya pada setiap perjalananku, menggenggam erat jemariku menuju-Nya, menolongku dari selain-Nya, agar aku segera sampai kepada-Nya.

Aku rindu dirimu, Sobat, yang telah sekian lama menghilang, entah di langit mana. Kini aku berjalan sendiri. Tak ada lagi sobat yang menemaniku dalam pencarian ini. Siapa saja engkau yang membaca tulisanku ini, sudilah kiranya engkau menjadi sobat jiwaku, mengobati luka yang tak terperi ini. Belum pernah kulihat warna semuram luka ini, Sobat. Perjalanan masih panjang, sementara aku semakin tertatih-tatih dalam melangkah.

Waktu menghempaskanku, sedang engkau belum juga datang, Sobat. Aku memang tak pernah mengerti, ini tulisan macam apa, mungkin juga engkau dan mereka. Namun tanpa menulis, aku akan luput merekam keadaan, yang kelak akan menjadi sejarah di waktu yang lain. Maka dari itu Sobat, aku menulis semata-mata hanya karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis, maka legalah perasaanku.

Aku yang belum sepenuhnya mengerti tentang islam, iman, dan juga ihsan, ajarilah aku, Sobat. Hatiku bisa beku jika lama tak mendengar kalam-Nya, jika tak membaca segala ayat-Nya.
Sobat, jawaban demi jawaban itupun datang seiring dengan sekian banyak tafsir yang membingungkanku. Pernah aku beniat untuk berhenti mencari siapa aku, berharap tafsir “aku” yang kuimpikan bisa kuraih. Namun apa yang terjadi? Aku semakin tenggelam di ruang yang salah. Sebetulnya aku selalu ingin berbuat baik, berharap kutemukan diriku, namun harapan itu tak pernah terwujud, karena dalam hati masih berdebu, sehingga aku selalu tahu, kalau-kalau manusia melihat semua gerakku, menjadikan salah dalam niat. Bagaimana ini, Sobat? Berbuat baik saja bisa salah, apalagi tak berbuat apa-apa, atau bahkan berbuat tidak baik.

Tentang lahiriah, memang tak pernah bisa menjamin keadaan bathin. Aku semakin kehilangan diriku, manakala dalam novel kehidupanku, kutulis “aku sudah bisa”, “aku telah menemukan”, “aku sudah baik”, atau kata-kata lainnya yang senada. Semua yang kutulis ini tidak mutlak benar, Sobat. Jika terdapat banyak kesalahan, itu pasti dariku yang lemah, dan apabila benar, itu pasti datangnya dari-Nya.

Pemikiran manusia selalu nisbi dan kebenarannya tidak mutlak. Sementara kebenaran mutlak hanya bersumber dari-Nya.

Doakan ya, Sobat. Aku dan mereka yang agaknya “merasa” mulia, akan selalu dilimpahi istidroj oleh-Nya, yang tak kalah berat dari cobaan kepada orang-orang fakir. Aku dan mereka yang terlena dengan kata, atau segala ucapan yang dengannya orang bisa menerima tentang apa yang kusampaikan, selalu diintai cobaan-Nya. Aku, di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-ku. Juga ketika menganggap apa yang menjadi pendapatku adalah satu-satunya yang paling benar, sementara pendapat-pendapat lain yang berbeda adalah salah.

Astaghfirullah, “kata”, begitulah orang menyebutnya. Lembut bila didengar, atau mungkin bahkan menikam bila dirasakan. Kasihan sekali nasib sebuah kata. Terlahir untuk di tulis dan dibaca, namun banyak dariku yang belum selaras dengan kata, bahkan dengan kata-kataku sendiri. Detik ini, sebisa mungkin, aku tak ingin menciptakan kata yang sia-sia, Sobat..

Terkait dengan istidroj (cobaan), berikut adalah pendapat Gus Mus dalam cerpenya yang berjudul ‘Gus Ja’far’.

[“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak?”]

Dalam majalah Cahaya Sufi dijelaskan: “Terkadang, Tuhan menghiasi musuh-Nya dengan pakaian wali-Nya, dan menghiasi wali-Nya dengan pakaian musuh-Nya.”

Lalu tentang siapa aku, aku masih mencari. Semoga selau diterangi ‘irfan-Nya. Aku teringat juga dengan sajak Saprdi, “Pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela-sela huruf sajak ini, KAU (Allah) takkan letih-letihnya kucari...”

Wallahu A’lam
Tuban, 16 Juli 2013