Bentangan Alam Rindu
Oleh: M. Fahmi
~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~
Mengalah, biarlah aku mengalah. Biarlah aku meninggalkan dalam percaturan cinta ini. Biarkan rindu yang kutanggung kan kubawa ke negeri sebrang. Karena di situlah awal rindu dalam tangis sendu tak terperikan. Aku ikhlas dan rela menerima keputusan ini. Sekali lagi kembalikanlah kapal ke pangkalannya. Mungkin di pangkalan itu engkau sudah tahu di mana tempat berlabuh dan barsauh. Mungkinkah engkau masih bisa berlabuh lagi di hatiku? Ah, aku sempat putus asa. Ingin kulupakan lembaran-lembaran sejarah di antara kita. Sebaiknya kita mengaku sebagai “saudara” dalam ikatan tauhid!
Aku akan menyongsong hari-hari baru, di mana mentari bertebaran memompa semangat perjuangan hidupku. Desiran angin pagi ini membawa asa melayang lebih jauh lagi. Hidup ini tidak bisa ditimbang dengan perasaan, sebab dengan pertimbangan perasaan aku hanya akan dibawa hanyut dan larut dalam kesedihan, yang akhirnya menghancurkan diri sendiri dalam penderitaan. Di sini tidak ada kata “berhenti”, karena berhenti berarti mati, berarti tidak melangkah untuk berproses. Bukankah segala sesuatu itu membutuhkan proses? Kisah kekecewaan boleh berubah dan luka hatipun harus segera dikubur bersama peristiwa-peristiwa yang meliputinya. Aku harus membuka lembaran dan cerita baru lagi bagi sejarah kehidupanku selanjutnya.
***
Bentangan pematang sawah yang tak seperti dahulu, yang penuh kenangan ini tiba-tiba menghadirkan kelebat jejak dan riwayat. Ketika pikiranku melayang ketujuh tahun lalu, rasanya tak kuat lagi aku untuk menyimpan rapi di benak ini. Harapan kini hanya tinggal bait-bait kerinduan yang mengalun merdu bersama kegirangan padi yang menikmati sentuhan angin. Mungkinkah engkau dan aku nantinya akan bertemu lagi dalam naungan kasih? Semoga saja Allah meng-iyakan atas rentetan pertanyaan yang tak mampu lagi untuk kubendung.
Ah, rasanya sekarang aku seperti berada di tujuh tahun lalu. Di mana kita pernah bersama di pematangan sawah ini. Setelah lama aku meninggalkan desa ini, kini aku kembali dari negeri sebrang untuk menyapa lagi desa kelahiranku ini. Desa yang pernah menggoreskan harapan yang tiada batas. Kita dulu pernah bermain layang-layang bersama di sini, bukan? Tapi sekarang engkau di mana? Setelah kepergianku, tak ada kabar sama sekali tentang dirimu. Orang-orang desa sini juga tak mengerti keberadaaanmu. Mungkinkah engkau masih ingat aku?
Pikiranku kini melayang lagi. Engkaupun tersenyum. Ah, senyum yang menghadirkan berjuta kenangan. Senyum yang pernah hadir di masa kelamku. Senyum yang pada ujung-ujungnya menyimpan rindu dan sedih, yang mengibarkan rasa perih. Aku hanya sekedar mengenang sesuatu yang telah retak di sela-sela bentangan sejarah. Desaku kini telah berubah total. Gubuk-gubuk yang dahulu terbuat dari rotan dan bambu kini telah berubah menjadi tembok besi. Jalan setapak dahulu sering kulewati bersamamu ketika berangkat sekolah kini telah beraspal semuanya. Ladang-ladang dan sawah-sawah yang dahulu sedemikian hijaunya, kini telah banyak yang dibuat pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan. Sebelumnya aku tak yakin bisa seperti ini. Tapi karena realita telah berbicara kepadaku, setidaknya itu telah memberi jawaban atas segalanya. Aku tidak habis fikir. Waktu telah mengubah desaku begitu cepat, secepat kilat yang melesat menembus sekat-sekat rimba. Menyambung jarak yang waktu demi waktu terus membuat engkau dan aku meninggalkan jejak riwayat.
Di sini, waktu berubah menjadi jurang, tempat menampung segala gundah. Seharusnya aku menempatkan engkau sebagai “sahabat hati saudara sejiwa”, tidak lebih dari itu. Dan aku tahu, sesuatu yang berlebihan cepat atau lambat pasti akan sirna.
Ternyata Allah belum mengizinkan kita untuk bertemu dan dipersatukan oleh-Nya. Aku menyadari bahwa aku hanya bisa berharap. Akupun menyadari, bahwa aku bukanlah apa-apa di matamu dan juga bukan siapa-siapa di hatimu. Aku hanya seorang yang lemah, bodoh dan hina di matamu.
Ya Allah, tiada lagi tempatku mengadu untung dan nasib atas pahit getirnya kehidupan yang aku alami, kecuali hanya kepada-Mu yang mampu memberikan jalan terbaik bagiku. Biarlah semua terjadi di atas lembar kehendak-Mu. Engkau adalah Tuhan yang sulit kubaca. Engkau adalah seminam tak terduga. Jadi, biarlah engkau yang mengatur semua ini. Dan memang Engkau mengetahui hasrat setiap makhluk-Mu.
Mungkin ini adalah bentangan alam rindu yang berada di ufuk jiwaku, yang selama ini terpendam jauh di lubuk hati terdalam ini. Namun, setiap kali aku berusaha melewati rindu, malah rindu itu yang kian membawaku pada lembah kebingungan. Akhirnya ia keluar sebagai pemenang dan aku menjadi pecundang. Ah, kekuatan rindu telah mengalahkan benteng pertahanan diriku.
Jombang, 5 Februari 2012