Tampilkan postingan dengan label Apresiasi Karya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Apresiasi Karya. Tampilkan semua postingan


Gus Jakfar
Abah, NU Online
Oleh A. Mustofa Bisri 

Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu. 

"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya." 

"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?' Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya." 

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal." 
"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar." 

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara.

"Waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi." 

"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan. 

"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu." 

*** 
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya. 

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?" 

"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah." 

"Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau." 

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. 

Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan." 

"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah." 
"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau." 

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. 

"Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing." 

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk." 

'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 

'Kiai Tawakkal.' 
'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' 

"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu." 

"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah." 

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!" 
"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka." 

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya." 

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang." 

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 

'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan". 

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah." 

'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya." 

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' 

Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 
'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' 

Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak' 

Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. 

'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini." 

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 

'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru. 
'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.' 

Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri." 

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya. 

Rembang, Mei 2002 

A. MUSTOFA BISRI adalah Wakil Rais Aam PBNU. Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin. Dikenal sebagai penyair, pelukis, cerpenis dan kolumnis. 

“Gus Jakfar” adalah cerpen terbaik harian Kompas tahun 2004.

Dongeng Pendek tentang Kota-Kota dalam Kepala
Cerpen Mashdar Zainal
(Jawa Pos, 13 Maret 2011)


Kota Tungku

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dahaga yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya….

Di kota itu matahari memang tampak lebih besar dari yang seharusnya. Di kota itu, sungai-sungai dan perigi menganga bagai mangkuk tanpa isi. Satu per satu pepohonan mati, terberangus pelan-pelan tanpa seorangpun menyadarinya. Mereka hanya tahu, tiba-tiba pohon itu kering. Dan tak ada lagi tempat berteduh. Trotoar-trotoar berselimut debu dan asap yang warnanya kelabu. Di kota itu, matahari hampir tak tidur. Siang hari terasa lebih lama, lima kali lipat dari seharusnya. Di kota itu, di mana-mana akan terdengar orang mengeluhkan cuaca dan air. Bahkan AC pun tak bisa berfungsi di kota itu. Air minum, mandi, dan mencuci, semuanya menghangat oleh cuaca. Setiap hendak mandi, orang-orang harus mencari es batu untuk mendinginkan air.

Orang-orang di kota itu selalu berkeringat dan lengket. Setiap jam mereka mandi dan meneguk air es. Namun tetap saja, mereka berkeringat dan lengket.

“Kok panas begini, ya?”

“Bukannya dari dulu memang begini?”

“Kata nenekku, sewaktu ia kecil, kota ini adem.”

“Itu kan dulu, sekarang mana ada kota adem.”

“Menurutmu, kira-kira apa yang membuat bumi ini begini panas.”

“Klasik sekali pertanyaanmu. Lihat saja, pohon besar di kota ini bisa dihitung jari.”

“Barangkali itu, ya, yang bikin kota kita seperti tungku.”

“Cerobong-cerobong asap itu juga, kentut-kentut mobil itu juga, mesin-mesin itu juga.”

“Kau pernah dengar yang namanya global warming?”

“Ya sekarang ini global warming, Goblok!”

“Kayaknya dunia mau kiamat. Makin hari makin panas. Tidak Cuma cuacanya, tapi juga manusianya….”




Kota Sampah

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami rasa jijik yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Satu hal yang sangat jelas. Di kota itu, sampah menggunduk di mana-mana seperti bukit-bukit kecil. Di dalam rumah, di jalan-jalan, di pasar-pasar, di mall-mall, bahkan di tempat peribadatan. Lalat berpesta di mana-mana, berebut sisa makanan dengan manusia. Konon, sampah itu didatangkan oleh segerombolan makhluk asing dari planet yang berbeda. Planet yang penuh dengan rumah-rumah mengkilap, dinding-dinding kaca, dan kulkas-kulkas besar yang berisi makanan dan minuman segala rupa. Planet yang penuh dengan mainan dan barang-barang aneh yang setia melayani tuannya. Konon, dari sanalah sampah-sampah itu datang dan dituangkan.

Penduduk kota sampah tak pernah sabar menunggu sampah baru datang. Mereka menunggu dengan sabar bersama lalat-lalat yang terus melagu.

“Kok lama, ya, truk sampahnya gak datang-datang?”

“Sudah. Tunggu saja. Sebentar lagi juga datang.”

“Ngomong-ngomong, apa kamu tidak jijik dengan sampah-sampah itu?”

“Busyiiit! Jijik katamu. Itu kan yang kita makan setiap hari.”

“Hihihi, makan sampah.”

“Di kota ini memang cuma ada sampah yang bisa dimakan.”

“Apa kota ini memang begini sejak dulu?”

“Kok tanya padaku?”

“Kau kan yang lebih tua.”

“Tanya saja nenekmu.”

“Nenekku kan sudah mati tertimpa gundukan sampah waktu dia berebut makanan di sini, sebulan lalu.”

“Sudah! Jangan banyak tanya. Itu, Truk sampahnya datang.”

“Cihuuuiiii!!!”

“Kau mau mati seperti nenekmu? Tunggu sebentar. Sabar. Jangan buru-buru. Biarkan sampahnya ditumpahkan dulu.”

Setelah truk sampah pergi, mereka berlari beramai-ramai, mereka berlomba-lomba mengais. Ada yang membawa tongkat kecil seperti celurit, ada yang hanya menggunakan ranting, ada juga yang mengais-ngais dengan tangan telanjang.

“Hei, aku menemukan kepala.”

“Kepala? Ayam atau bebek?”

“Manusia!”




Kota Lumpur

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami kotor yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Semua penduduk di kota itu berbaju lumpur.  Lumpur yang masih meleleh dan akan terus meleleh. Bukan hanya itu, rumah-rumah, pohon-pohon, bahkan atap langit, semua utuh berbalur lumpur. Pekat dan terus meleleh seperti es krim cokelat yang mencair. Hanya bayi-bayi yang baru lahir saja yang mulus tak berbalur lumpur. Tak seorangpun tahu dari mana lumpur itu bermula. Tapi, kata orang-orang tua, lumpur itu menyembur dan meleleh dari dosa. Setiap seseorang melakukan dosa dengan kadar tertentu, lumpur itu akan menyembur dan meleleh dengan kadar tertentu pula. Semakin besar dosa yang dilakukan, semakin besar pula semburan yang muncul. Lumpur itu bisa menyembul dari mana saja. Dari mulut, telinga, kelopak mata, dari lubang pusar, bahkan dari lubang kemaluan.

“Berarti penduduk kota ini, semuanya berdosa, dong!?”

“Cuma nabi dan bayi, manusia yang tak punya dosa.”

“Rumah-rumah, jalan-jalan, masjid, gereja… mereka tak punya dosa. Tapi kenapa mereka penuh lumpur?”

“Kau tak tahu, ya? Dosa itu menjulur bagai lidah, menjilati apa saja. Rumah-rumah, jalan-jalan, bahkan tempat ibadah. Pokoknya tempat-tempat di mana kita melakukan dosa, di situ lumpur juga akan ikut meleleh.”

“Lumpur ini benar-benar menghalangi kenikmatan. Kita tak bisa bicara dengan jelas, setiap kali bicara lumpur dari mulut kita akan ikut menyembur.”

“Kita juga tak bisa makan dan minum dengan nikmat, semuanya becek oleh lumpur.”

“Kita juga tak bisa tidur dengan pulas. Semua lembab dan gatal.”

“Bahkan kita tak bisa bercinta dengan nyaman. Huft….!”

“Lalu, menurutmu, bagaimana cara menghentikannya? ”

“Menghentikan apa?”

“Ya lumpur ini!”

“Hahaha, kau seperti bertanya bagaimana menghentikan dosa. Kau jawab sendirilah!”




Kota Perempuan

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dilema yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Benar adanya, di kota itu, lelaki menjadi makhluk yang sangat mahal. Mereka di pajang di kamar-kamar mengkilap, dengan harga bervariasi. Semakin lelaki, semakin mahal. Di kota itu, lelaki takkan berani keluar sembarangan. Karena, ia bisa diperkosa beramai-ramai oleh perempuan-perempuan liar di pinggir jalan. Kebanyakan dari perempuan-perempuan itu adalah perempuan yang tidak pernah memiliki cukup uang untuk membeli lelaki, sehingga mereka lebih suka mencari mangsa di jalan-jalan. Perempuan-perempuan itu tak pernah mengenakan pakaian. Mereka selalu berdiri gelisah di pinggir-pinggir jalan dengan birahi yang sangat dahaga.

“Kita takkan pernah menjadi ibu.”

“Memang kenapa?”

“Kita tak mampu beli sperma.”

“Beli lelaki maksudmu?”

“Sama saja!”

“Memangnya harus beli?”

“Kau bodoh atau lupa? Di kota ini kan lelaki sudah bosan bercinta dengan perempuan. Sekarang mereka lebih suka bercinta dengan sesamanya, kecuali kalau kita membelinya.”

“Jadi?”

“Jadi, kalau kita mau hamil kita harus kaya!”

“Susah…, mau hamil saja harus kaya dulu.”

“Di kota ini memang begitu aturannya.”

“Lelaki bercinta dengan lelaki, apakah termasuk aturan di kota ini?”

“Sepertinya begitu, lelaki di kota ini sudah bosan dengan jumlah perempuan yang over populated.”

“Kalau mereka bisa bercinta dengan sesamanya, kenapa kita tidak?”

“Aku hanya… menyayangkan sperma mereka yang terbuang sia-sia.”




Kota Lapar

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami lapar yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Penduduk kota itu selalu merasa lapar. Setiap hari mereka memakan apa saja. Mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang,  besi, tanah, dan bahkan bangkai. Di kota itu, rasa lapar terus melata dan mendatangi siapa saja, mereka menyebarkan virus-virus lapar ke dalam ceruk lambung melewati angin yang dihirup manusia. Setiap hari, kota itu selalu ramai oleh musik perut. Ada suara keroncongan, ada suara kokok ayam, ada pula siut seperti kentut. Perut-perut itu akan terus berbunyi hingga sesuatu mengisinya. Semakin lama garing, gaung perut itu akan semakin nyaring.

Setiap jam, penduduk kota lapar selalu berlomba-lomba mengais apa saja yang bisa mereka masukkan ke dalam perut mereka. Hal apapun yang mereka lakukan, tujuannya hanya untuk satu: perut.

“Hari ini kau dapat apa?”

“Maksudmu, yang sudah aku telan?”

“Ya.”

“Serongsok rangka kursi, semangkuk bulu ayam, dan seekor buaya rawa. Kalau kamu?”

“Setumpuk koran bekas dan kasur bekas. Tapi jujur, aku masih sangat lapar.”

“Sama.”

“Kenapa, ya, kita kok selalu kelaparan. Padahal perut kita sudah begini buncit oleh apa-apa yang kita telan.”

“Manusia kan memang diciptakan untuk lapar.”

“Kau pernah menahan lapar?”

“Lebih baik mati daripada menahan lapar.”

“Kok begitu?”

“Kalo kita kelaparan gara-gara menahan lapar, kan ujungnya mati juga.”

“Puasa maksudku. Jadi kita bukan tidak makan sama sekali, tapi kita kurangi porsinya, kita tahan.”

“Ah, sudah lama sekali di kota ini tak ada puasa-puasa… bapak-ibu kita juga tak pernah mengajarkan kita puasa. Yang mereka ajarkan adalah bagaimana caranya mencari makan, mengisi perut. Sudah! Kebanyakan ngobrol tambah bikin lapar. Ayo kita cari makan lagi!”

“Di kota ini sudah tidak ada apa-apa lagi, kita mau cari makan di mana lagi?”

“Ya pokoknya kita cari.”

“Kalau begitu kau makan aku saja.”

“Kau gila! Apa isi otakmu?”

“Aku hanya berpikir, barangkali, setelah mati rasa lapar ini akan reda.”



Kota Katastrofa

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami ketakutan yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya…

Di kota itu, kejadian-kejadian miris telah diagendakan. Setiap hari, di kota itu akan terjadi kematian massal. Penyebabnya bisa apa saja dan tak pernah terduga. Penduduk kota itu, setiap hari selalu berpikir, memutar otak, bagaimana supaya agenda-agenda miris itu dapat dihentikan.

Namun mereka tak pernah berhasil. Mereka tak pernah bisa menemukan di mana list-list kejadian itu disimpan. Anehnya, penduduk kota itu setiap hari berpesta pora. Mereka memestakan apa saja yang bisa dipestakan. Seolah mereka lupa, bahwa kematian massal bisa saja mendatangi mereka.

Anehnya pula, dalam pesta itu mereka sempat membicarakan dan menduga-duga agenda miris apa yang akan menyongsong mereka.

“Disiram air baskom sudah. Bahkan sampai rumah-rumah rata dengan tanah.”

“Dan yang mati ratusan ribu itu.”

“Tanah gulung tikar juga sudah, bahkan sampai menganga setengah meter tanahnya.”

“Berapa kemarin korbannya?”

“Belasan ribu atau berapa gitu… aku lupa.”

“Baru-baru ini gunung kentut.”

“Oh, yang korbannya pada gosong itu, ya?”

“He’em. Bahkan kampung itu sekarang jadi kuburan.”

“Kira-kira, apalagi, ya, agenda ke depan?”

“Menurut dugaanku, matahari akan tergelincir, menggelundung menimpa kota kita. Atau kalau tidak, barangkali atap langit bakal rubuh.”

“Ih, sereeem!”

“Makannya, tobat!”

“Iya, deh! Tapi, kita selesaikan dulu, ya, pestanya!?” (*)


Malang, 2011

Eufoni Samawi
Posted on October 11, 2010 by LMCR
Oleh: Mashdar Zainal


Di sana, di tempat-tempat itu selalu kulihat mereka. Mereka yang melewati titian hidup dengan nafas berat tersengal-sengal. Mereka yang selalu menapaki jejak demi rasa lapar yang tak pernah jinak. Mereka yang mengaburkan cinta demi dahaga yang terus melata.

Di sana, di tempat-tempat itu, selalu kulihat mereka…

Di persimpangan raya, di mana lampu merah gemar menyala, kulihat dua orang anak berparas baja, yang seorang menggamit luka di pangkal muka, yang satunya menimang balutan perban sepanjang lengan. Mereka berlomba-lomba memungut iba dari Sang Hidup yang barangkali dititiskan pada orang-orang yang matanya enak dipandang.

Pula di sana, di stasiun, gudang iblis berjibun, juga kulihat seorang lelaki tua yang tak memiliki kelopak mata. Maka, dua liang menganga di wajahnya. Pita suaranya seolah tak punya jeda untuk  selalu berkamit serupa pawang peminta hujan, seolah lagu-lagu itu dapat menggiring  mendung yang akan menghujankan koin-koin berkerak ke mangkuknya yang kerap berisi keluh kesah. Masih seperti yang lalu-lalu, ia digandeng perempuan gendut berbedak tebal yang setia, setia menuntun si buta, setia menguras tandas recehnya.

Tak lupa pula, di sana, di terminal, pondok si lugu menjadi bebal. Juga kujumpai lelaki baya berkaki pengkor. Ia  menggelosor di kaki-kaki kursi tunggu penumpang, menjilati kaki-kaki bersepatu yang kemudian berdiri mengorek receh yang terselip dalam saku-saku mereka. Mulut itu acap kali menggumam do’a bagi siapa saja yang masih menganggapnya manusia.

Dan tentu saja, di alun-alun kota, panti si Sekar bermain mata, menawarkan tubuhnya yang beraroma lezat seperti pizza hangat. Di sana kusua juga, perempuan tua bermata tinta sebelah merah. Ia menimang bayi yang disulap jadi boneka. Ia mengambah setiap muka, memamerkan bayinya yang busung lapar, yang butuh beras untuk membaluti tulang. Mereka-mereka, kesemuanya itu, memiliki harapan yang sama untuk meneruskan novel kehidupan mereka.

Awalnya, aku hampir tak percaya waktu pertama kali memergoki kedatangan mereka. Aku melihat mereka datang pagi-pagi buta, saat dunia masih terkantuk-kantuk. Mereka datang diantar van mengkilat, serupa anak-anak sekolah dengan mobil jemputan yang istimewa. Mereka diturunkan satu persatu dari mobil mewah itu untuk menyelinap ke penjuru keramaian kota yang masih lengang melata. Di sana, para peminta-minta yang tuna itu akan menghabiskan hari, menggantungkan harapan mereka di bawah terik matahari yang tak punya belas kasihan. Mereka akan kembali dijemput malam nanti, jauh selepas isya’, saat jalan-jalan kembali menjadi sepi.

Sejujurnya pertanyaan di benakku berjibun-jibun. Kenapa hampir semua dari para pengemis itu tuna dan menyedihkan? Ataukah sengaja, ada orang yang mengoleksi makhluk-makhluk cacat itu untuk meraup rupiah? Memang cukup masuk akal, koin receh itu akan mudah tumpah oleh wajah-wajah mereka yang miris. Semakin menyedihkan, semakin menguntungkan. Begitulah yang ada dalam syakwa dugaku. Meski begitu, aku tak pernah ingin tahu lebih banyak tentang mereka. Bagiku, receh-receh yang sering kuletakkan pelan-pelan ke tangan-tangan dan mangkuk-mangkuk mereka sudah mewakili kepedulianku.

Selain di tempat-tempat di mana iblis suka menjelma menjadi manusia, masih ada satu tempat lagi yang belum kusebutkan, tempat yang dekat dengan sesuatu yang tenang; di pintu gerbang sebuah masjid—inilah yang sebenarnya hendak kuceritakan.

Di sana, di tepian gerbang masjid raya, setiap usai sholat Jum’at sampai bedug maghrib gagah tertambat, aku selalu melihat gadis kecil itu. Gadis tujuh tahun berwajah rembulan, dengan kerlingan mata yang bagai menyimpan sebuah dunia. Dunia yang penuh dengan kupu-kupu.

Gadis kecil itu selalu duduk di tepian gerbang. Rambutnya yang kusam tertutup kerudung tipis yang suka terbang digoda angin. Ia duduk bersila beralas kardus, kedua tangannya mencengkram erat nampan bambu yang berisi tahu goreng dan cabai hijau.

Setiap bedug maghrib bertalu, gadis kecil itu selau tampak terburu-buru, mengucap salam lalu hilang di jemput perawan malam. Setiap wajah rembulan itu pergi, rembulan di langit tak pernah sabar untuk menggantikanya. Seolah ia setia berdiam di pucuk kubah dan tak mau enyah menggantikan posisi gadis kecil itu.

Namun sungguh, hatiku gelisah. Sudah tiga Jum’at aku tak lagi melihat gadis kecil berwajah terang itu. Ke manakah gerangan dia? Apakah dia sudah tidak berjualan lagi? Ataukah dia sedang sakit? Perlukah aku menyisir rumah-rumah kardus sepanjang tepi sungai yang pernah ia ceritakan, untuk menjumpainya kembali? Ah, aku merindui gadis kecil itu. Merindui suaranya yang merdu, yang suka menyayikan lagu-lagu berbahasa Arab. Merindui rembulan jernih dan kupu-kupu di matanya yang kerap membuatku menyendiri, memaknai hidup.

“Tahu…! Tahu…! Kak tahu, Kak…!” aku teringat kata-katanya yang polos, “Kalau kakak mau membeli tahu buatan amak saya ini, saya akan menyanyikan sebuah lagu buat kakak.” Itulah kali pertama aku menatap matanya yang jernih yang di dalamnya terasa hidup berjuta kupu-kupu adi warna. Maka, aku tak bisa menjelaskan mengapa aku tergoda untuk menghampiri gadis mungil itu.

“Benarkah?” aku menghampirinya.”Nama kamu siapa?”

Ia tersenyum,”Anjum!”

“Anjum? Anjum saja?” tanyaku lagi.

“Anjum Basyariah!” Balasnya tersipu.

“Namamu bagus sekali. Dan benarkah, kamu mau menyayikan sebuah lagu buat kakak? Kau bisa menyanyi?”

”Tentu. Apa kakak bersedia membeli tahu buatan mamak saya ini?”

”Ya. Baiklah, kalau begitu kakak ambil tahu buatan mamak kamu itu. Sepuluh ya…!”

“Sepuluh Kak!?” ujarnya girang, matanya bertambah bening, memperjelas kupu-kupu yang menari di dalamnya.

“Iya, sepuluh!” Aku meyakinkannya. “Satunya berapa?” tanyaku kemudian.

“Lima ratus, Kak!” sahutnya,”Kalau kakak mengambil sepuluh… berarti saya harus menyanyikan sepuluh lagu dong, buat kakak!?” lanjutnya, tetap tersenyum.

“Memangnya harus begitu?” godaku.

Ia hanya menjawab dengan senyum, senyum yang tak pernah putus.

“Baiklah… Untuk kakak, kamu cukup menyanyikan satu lagu saja, tapi lagunya harus enak didengar. Bagaimana?” tawarku.

“Tentu!” jawabnya singkat.”Sekarang kakak simak, ya….!” beberapa detik kemudian matanya mulai terpejam, bibirnya mulai menggumam…

Hmm… Kam hasanat ladzatan lil mar’i qaatilatan… Min haitsu lam yadri annas suma fi dasami… Wahsya dasaisa min ju’in wa min syiba’in… Farubba mahmashotin syarum minat tukhomi…[1]

….Sudah berapa kali kelezatan membunuh manusia…., tanpa ia tahu, justru racun tersimpan dalam lezatnya hidangan. Maka… takutlah akan tipu daya dalam lapar dan kenyang, seringkali rasa lapar lebih buruk daripada kekenyangan…..

Subhanallah, aku merinding mendengarnya. Di antara deru bising kendaraan dan hiruk pikuk orang-orang yang menguing seperti kawanan kumbang sengat, lagu itu tersentil syahdu mendayu. Seolah menyirep suara-suara tak karuan yang membising. Dengan sangat perlahan, seolah ada sesuatu yang terbang menemui keindahan yang ada di langit.

Apakah gadis kecil itu paham dengan apa yang ia nyanyikan?

Subhanallah, suara gadis itu terlampau lembut, selembut sutera firdaus yang berkibar dihembus angin. Terkadang liukan suaranya yang meninggi, membuncah seperti seruling Daud di tengah malam. Aku terpejam mendengarkan lagu itu, membiarkan si gadis kecil menggamit jariku dan menuntunku menemui negeri hijau yang penuh dengan bambu-bambu kuning dan bunga-bunga rumput. Aku merasa menemukan dunia di atas langit, dunia yang penuh dengan puisi-puisi dan gesekan biola. Aku seperti menemukan sesuatu yang telah lama kurindukan, sesuatu yang memiliki altar berkilau di negeri malakut, sesuatu yang bersinggasana di atas awan. Ya, aku menemukanya, dalam lagu itu, dalam suara itu, dalam gadis kecil itu.

Aku serasa terbangun dari mimpi indah saat gadis kecil itu menepuk lenganku.

“Bagaimana, Kak, lagunya?” tanyanya.

Aku tergagap membuka mata setelah terdiam lama. Aku menatap kembali kupu-kupu di matanya, “Lagumu itu seperti lagu dari surga. Aku tak bisa mengungkapkanya.” Balasku.

“Benarkah? Lalu kenapa kakak memejamkan mata? Apa lagu saya membuat kakak mengantuk?”

“Untuk menghayati keindahan, terkadang mata kita memang harus terpejam. Kamu juga melakukanya. Kamu menyanyi sambil terpejam, kan?”

Lagi-lagi, gadis kecil itu tersenyum.

Sejak Jum’at itu, setiap Jum’at sore aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan gadis kecil itu, sampai senja merembang. Tak terasa, aku telah menjadi seorang pelanggan tetap sekaligus teman baik gadis itu. Rupanya gadis kecil itu tak sependiam yang kukira. Dari bibirnya yang tipis itu, ia kerap bercerita tentang banyak hal. Tentang rumah kardusnya yang berkali-kali larung setiap musim hujan tiba. Tentang bunga bakung yang tumbuh indah di keranjang sampah. Tentang kucingnya yang beranak lima dan berbelang sama.. Tentang ayahnya—yang kata mamaknya—telah lama merantau ke surga dan suka mengirimkan uang jajan setiap tanggal 10 Muharram. Tentang mamaknya yang suka menggoreng tahu dengan tirisan minyak bawang. Tentang adiknya yang berusia lima tahun, yang suka bermain balap kecoak. Juga tentang bintang berbentuk bunga yang setiap malam menjagai atap rumahnya dan mengajaknya bernyanyi. Dan masih banyak lagi.

“Kenapa kau hanya berjualan pada hari Jum’at saja?” tanyaku padanya suatu kali.

“Karena, supaya Anjum bisa menemui bapak di perantauanya, di surga.”

“Mengapa begitu?” selidikku.

“Karena, kata mamak, kalau Anjum pingin ketemu bapak, Anjum harus mau menuruti setiap kata-kata mamak.”

“Memangnya, mamak Anjum bilang apa saja?”

“Mamak bilang, kalau mau ketemu bapak, Anjum harus jadi anak yang jujur, rajin sholat, rajin ngaji, juga berbakti pada orang tua. Nah, selain hari Jum’at, Anjum harus ngaji, itu perintah mamak, Anjum tak boleh membangkang. Selagi Anjum ngaji, mamak berkeliling kampung menggendong adik, sambil teriak: ‘Tahu… Tahu….’, begitu…..” Ia tertawa lepas saat menirukan mamaknya berteriak menawarkan tahu dagangannya.

Sepertinya itu tawa lepasnya yang terakhir kali, yang masih kuingat. Beberapa Jum’at berikutnya ia tampak selalu murung, hinggga aku menemuinya yang terakhir kali, ia masih murung dan lebih pendiam. Setiap kali aku mendekatinya dan menanyakan apakah dia baik-baik saja, dia selalu mengangguk, anggukan yang tak kuyakini artinya.

“Baiklah, akan kuborong semua tahu yang kamu jajakan hari ini. Bagaimana?” ujarku lembut, berusaha mencari senyumnya yang hilang.

“Iya, Kak. Terima kasih.” Itu saja jawaban yang keluar dari bibir mungilnya.

“Apa kamu tidak ingin menyanyikan satu lagu pun, untuk kakak?” aku mencari perhatianya.

Ia mengangguk lesu. Setelah lama sekali, baru bibirnya bergerak. Namun sepertinya ia menyanyi hanya untuk dirinya sendiri.

Hmm…. Dunya laa tarham… Dunya laa tarham…

……Duhai dunia kau tidak berbelas asih padaku……

Lagu itu dibawanya dalam dayuan-dayuan dalam. Hingga lagu itu berakhir, aku mendapati setitik air dari matanya yang terjatuh pada nampan yang dipangkunya, titik itu luruh pula dan mengembang pada taplak meja merah pekat berbatik putih, yang ia lipat sebagai tutup nampan. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Aku ingin membenamkan gadis kecil itu ke dalam dinding dadaku, tapi kemasygulan telah membuatku diam. Tanpa gerak, tanpa suara.

Itulah, terakhir kali aku menjumpainya, hingga beberapa hari berikutnya, aku mendengar kabar dari seorang bocah laki-laki yang menggantikannya berjualan di pintu gerbang masjid. Bocah laki-laki itu bilang bahwa Anjum dibawa ke Jakarta oleh temannya teman Almarhum bapaknya, kabarnya Anjum mau di sekolahkan di sana.

Setelah kejadian itu, rembulan yang biasa begadang di puncak kubah lebih sering bersembunyi di balik mendung, cahyanya meredup. Setelah kejadian itu pula, seusai sholat Jum’at aku tak lagi duduk berlama-lama di tepian gerbang masjid bersanding dengan gadis kecil penjual tahu. Aku lebih banyak berdiam diri di dalam masjid, terkadang sampai tertidur di sana.

Beberapa bulan tidak melihat rembulan dan kupu-kupu dalam wajah gadis kecil itu, rupanya kehidupanku masih bisa berjalan sebagaimana biasa, bahkan tak lebih buruk dari sebelumnya. Namun, lagu-lagu itu, seperti selalu mengiang di telingaku, memaksaku untuk membiasakan diri untuk bangun tengah malam, menyendiri di bibir balkon, menatap jentera langit, mencari bintang berbentuk bunga yang sering ia ceritakan. Hingga pada sebuah malam, aku bertemu Anjum dalam mimpiku.

Dalam mimpi itu hanya ada kami berdua, di sebuah oase di tengah padang gurun yang pasirnya kemuning bening seperti butiran madu beku. Tiba-tiba saja Anjum sudah berdiri di belakangku dengan menggenggam tongkat kecil panjang yang berkilauan. Ia menyanyikan sebuah lagu yang maha indah. Lagu yang paling indah yang pernah kudengar selama hidupku. Lagu yang sama sekali tidak beraroma lagu apa pun yang ada di dunia. Saat melantunkan lagu itu wajah Anjum sudah menjelma purnama penuh, suaranya jauh lebih merdu dari yang kudengar sebelumnya. Hanya saja…..

Hanya saja, aku mendapati kupu-kupu indah yang biasa menari di matanya terberangus kecoklatan, gersang, dan menjadi bangkai. Kelopak mata Anjum seperti terkelupas, lalu bola matanya menjadi bola pingpong kering yang meleleh, sama sekali tidak bergerak ataupun berkedip. Baru kusadari bahwa tongkat yang ia pegang telah menjadi matanya.

Ya Tuhan…, siapakah yang mengambil sinar mata itu?

Mulutku gagu, ragu, “Anjum…, penglihatanmu? Maksudku, apakah pengelihatanmu baik-baik saja?”

“Ouh, itu. Kakak tak usah khawatir, saya baik-baik saja.”

“Tapi…”

“Baiklah, supaya kakak tidak penasaran saya akan menceritakan semuanya” balasnya.

Aku masih tergugu, menunggu hikayat merdu yang hedak menyembul dari ujung lidahnya. Maka ketika rasa penasaranku menggumpal sampai ke ubun-ubun, Anjum pun mulai membuka mulutnya.  Bagai seorang pendongeng ia meriwayatkan bahwa dirinya telah didatangi makhluk bermuka merah, bertanduk, dan berekor lancip seperti mata anak panah. Ia berujar bahwa makhluk itu datang karena terusik oleh kidung-kidung yang dinyanyikannya. Lantas, makluk itu marah dan meminta pita suaranya.

“Kalau makhluk itu meminta pita suaramu, mengapa sekarang kamu masih bisa bernyanyi? Bahkan suaramu lebih merdu.” Aku menanggapinya.

“Aku berhasil mengelabuhi makluk bodoh itu. Hik..hik…,” balasnya sambil cekikikan, “aku mengatakan pada makhluk itu bahwa yang menyanyikan lagu-lagu itu bukan aku, tetapi kupu-kupu yang ada dalam mataku.”

Aku menyatukan kedua alisku  sebagai ungkapan kebingungan. Anjum memperhatikan rautku yang penuh dengan pertanyaan. Maka tanpa kuminta ia melanjutkan ceritanya.

“Awalnya makhluk itu tidak percaya, lantas kusuruh ia untuk menengok kedua mataku. Setelah makhluk itu meneropong kedua mataku, serta merta ia menjerit. Aneh sekali, bukan? Aku baru tahu kalau ternyata makhluk itu benci segala jenis keindahan yang ada di alam ini, termasuk kidung-kidung yang sering kunyanyikan. Makhluk itu terlihat begitu gerah, maka tak lama-lama, ia segera mencongkel mataku dan membakar kupu-kupu itu.”

“Kamu membiarkan kupu-kupu itu mati?”

“Kakak tenang saja. Kupu-kupu itu tak pernah mati, hanya saja ia berhamburan ke taman yang mungkin lebih luas dan lebih indah dari mataku. Dan yang paling penting, dengan pita suaraku ini, aku masih bisa mengundang mereka. Kakak tahu? Sekarang kupu-kupu itu menjadi lebih indah dari sebelumnya. Ada kekuatan yang telah mengubah sayap-sayap mereka yang rapuh dengan sutera bermanik yakut. Kalau kakak mau, aku akan mengundang kupu-kupu itu, sekarang.”

“Aku senang dengan kabar itu. Tapi kau…. Kau kini harus melihat dengan sebatang tongkat.”

“Hai, ada hal yang masih belum saya jelaskan pada kakak. Tentang pengelihatan saya ini. Sekarang saya bisa melihat banyak hal tanpa mata, dan semuanya terasa lebih jelas.”

“Kamu… Ah, seperti mimpi saja. Kamu menghayal.” Aku mengabaikan ceritanya.

“Kakak tidak percaya?”

“Aku bukan tidak percaya? Aku hanya…”

“Baiklah, tapi bagaimana kalau sekarang saya bisa melihat semut rang-rang yang merangkak di balik kerah baju kakak.”

Kali ini aku merasa lebih bodoh dari biasanya, tak bisa memahami ungkapan-ungkapan  gadis kecil itu. Tiba-tiba kurasakan ada cubitan kecil di tengkukku. Setalah kuraba-raba aku mendapati seekor semut rang-rang hampir tercitas di sana.

Aku merasa semakin bodoh dan linglung. Aku ingin minta penjelasan lebih, namun, lagi-lagi gadis kecil itu membungkam mulutku dengan eufoni surganya. Ia terus menyanyi sepanjang perjumpaan kami dalam mimpi itu, hingga aku terperanjat saat alam sadar menarikku tiba-tiba ke sisinya yang kasar.

Aku tergagap. Wajahku basah oleh keringat. Malam mengaum tepat di puncaknya. Aku berjalan limbung mendekati bibir balkon. Kidung itu masih seperti tertinggal di kepalaku. Mengiang-ngiang seperti kumbang. Saat kutengadahkan wajah ke langit, aku seperti kembali bermimpi, aku melihat gugusan bintang berjajar-jajar, sumringah seperti kelopak bunga yang sedang mekar.

Note:
[1] Petikan kasidah Burdah karya Al-Bushiry