Cinta Lelaki Biasa
Oleh: M. Fahmi
Di suatu hujan bulan Desember nanti.
Tibalah kita, terhenti pada payung teduh yang sama. Menunggu hujan reda.
"Mengapa kau tak pernah mengatakannya padaku?" tanyanya tiba-tiba.
Sorot matanya. Ah, lelaki itu tak bisa menatapnya lagi. Sementara, ia sendiri sibuk mengumpulkan keberanian di tengah-tengah gigil yang mendekap.
"Aaa.. a... aku hanya lelaki biasa. Bahkan, aku terlalu rapuh untuk mengatakannya. Mengapa kita harus bersandiwara? Mengapa kita harus memendam sedemikian dalam?" jawab dan tanyanya yang terbata-bata, seperti anak SD yang baru belajar membaca.
Kali ini perempuan itu menertawakannya. Betapa lelaki itu merasa sangat bodoh sekali. Namun seketika perempuan berhenti tertawa dan menatapnya. Namun kali ini lebih tajam.
"Sebab, perjuangan kita sudah sejauh ini. Sungguh tidak baik menghianati debar, Teman. Sekarang, katakanlah. Aku sudah lama menunggu."
Perempuan itu lebih memilih memejamkan matanya, menghayati suara paling haru untuk didengar pertama kalinya.
Namun yang didengar ternyata bukanlah pernyataan romantis, melainkan kata-kata bijak yang keluar dari mulut seorang lelaki biasa.
"Apa yang tertulis sebagai milik kita akan menjadi milik kita dan apa yang tertulis bukan sebagai milik kita tidak akan menjadi milik kita. Itulah sebabnya, aku selalu percaya. Bukankah begitu?"
"Dasar lelaki biasa!"
Perempuan itu berpaling kemudian pergi. Baru dua, tiga langkah saja, seketika tubuhnya serasa ditampar derasnya hujan. Dan akhirnya, mau tidak mau ia harus kembali ke tempat semula. Lelaki itu mendekatinya.
"Janganlah mudah bersikap gegabah. Mengapa hati seorang perempuan selalu mudah terbakar, sekalipun di hujan yang deras seperti ini?"
"Justru itu. Kau harus benar-benar tahu, kalau aku ini perempuan. Belajarlah sedikit demi sedikit untuk bersikap romantis."
Lelaki itu memasangkan jaketnya ke badan perempuan yang sedikit kuyup. Hati-hati sekali.
"Kau harus ingat. Sekalipun aku hanyalah lelaki paling biasa di Bumi, tapi aku masih menyimpan harapan. Ya, harapan untuk mendapatkan cinta itu kembali meskipun berkali-kali harus kutebus dengan air mata. Inilah milikku satu-satunya yang paling berharga. Betapa ingin aku mengajakmu ke suatu tempat yang paling indah. Tempat kembali, kampung halaman yang senantiasa dirindukan manusia. Maukah engkau menjadi temanku ke Surga?"
Perempuan itu tersenyum. Senyum yang tak biasa. Sedikit cubitan mendarat di lengan baju lelaki itu. Kemudian ia menghela napas panjang.
"Ah, engkau ini. Entah kenapa aku selalu jatuh hati padamu. Aku menyukai caramu beretorika. Terima kasih, telah melakukan hal yang terbaik selama ini. Beruntunglah kelak, anak yang mempunyai ayah bijak sepertimu."
Malang, 3.11.2017.