Mutiara Hikmah Aulia

Pengajian Syekh Abdul Qadir Al-Jilany,
Jumat pagi tanggal 5 Rajab 545 H di madrasahnya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Jenguklah orang yang sakit, dan iringilah jenazah mereka, karena sesungguhnya hal demikian bisa mengingatkanmu akan akhirat.” (HR. Imam Ahmad)

Rasulullah Saw. bermaksud agar kita banyak mengingat akhirat, sementara kita menghindari mengingat akhirat dan lebih cinta pada dunia. Padahal dalam waktu dekat, segala apa yang kita miliki akan diambil oleh Allah tanpa ada yang bisa menghalangi. Kita senantiasa bersenang-senang dengan dunia dengan segala warnanya, hingga yang muncul adalah rasa sakit hati, patah hati, kecewa, kesepian, purba sangka, iri, pamer, dan lain sebagainya, sebagai ganti dari riang gembira kita. Sebab kita tidak berharap kepada Allah, melainkan malah menggantungkan harapan pada manusia-manusia.

Wahai diri yang alpa, yang sedang berpuas-puas dengan dunia. Kita diciptakan bukan untuk dunia. Kita diciptakan untuk akhirat. Hai diri yang alpa. Apa yang seharusnya kita lakukan dari Allah? Sedangkan hasrat kita hanya demi menuruti syahwat dan kenikmatan-kenikmatan. Agama kita jadikan untuk menumpuk dinar. Kita sibuk dengan permainan-permainan, padahal sudah diingatkan berulang kali akan kehidupan akhirat dan kematian. Namun kita malah mengatakan, “Aku masih susah hidupku dan masih berutang sekian dan sekian.” Padahal peringatan maut telah datang melalui uban kita, sementara kita berusaha mencukur agar tak nampak. Ketika ajal kita tiba, mana amal kita?

Ketika Malaikat maut tiba dengan perangkatnya, dengan cara apa kita menolaknya? Jika rezeki kita sudah habis dan usia kita sudah selesai, dengan cara bagaimana kita merekayasa?

Tinggalkan diri kita dari kerumitan ini. Dunia dibangun untuk kepentingan amal perbuatan baik, jika kita beramal akan ada pahala. Jika tidak, apa yang akan diberikan pada kita? Dunia adalah negeri amal dan negeri kesabaran atas bencana. Dunia merupakan negeri kepayahan dan akhirat negeri santai. Orang beriman itu menyibukkan dirinya, jelas akan ada istirahatnya. Sedangkan kita tergesa-gesa untuk santai, tetapi menunda-nunda jalan taubat, berlarut-larut hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, hingga selesai ajal kita. Dalam sekejap menjadi penyesalan.

Bagaimana kita menerima nasihat, bagaimana kita sadar dan benar, sedang kita tak pernah membenarkan? Hati-hati, atap rumah kehidupan kita telah terbelah. Hai diri yang tertipu, bengkak-bengkak tubuh kehidupan kita telah tiba. Negeri ini, di mana kita telah roboh, mestinya kita beralih ke akhirat. Carilah negeri akhirat dan langkahkan kaki kita ke sana. Langkah apakah itu? Langkah amal yang saleh. Langkahkan apa yang kita punya menuju akhirat hingga bertemu dengan-Nya.

Hai diri yang terpedaya dunia, hai diri yang terus berburu tanpa mendapatkan sesuatu. Hai diri yang meninggalkan barisan pasukan jalan Allah, malah sibuk dengan pembantu-pembantu dunia. Hati-hati, akhirat itu tidak mau berpadu dengan dunia, karena akhirat tidak ingin menjadi pembantu dunia.

Keluarkanlah dunia dari hati kita, kita akan melihat akhirat, bagaimana akhirat datang dan menguasai hati kita. Jika sudah sempurna, maka dengarkan panggilan dari Allah Azza wa Jalla, maka pada saat itulah lepaskan akhirat dan carilah Allah Swt. Di sanalah kemudian kalbu menjadi benar dan rahasia kalbu menjadi bening.

Jika hati kita benar, maka Allah menyaksikannya, begitu juga para malaikat dan mereka yang diberi ilmu oleh Allah, yang menyaksikan kebenaran hati kita. Jika sudah demikian, kita menjadi kokoh seperti bukit, tak akan runtuh oleh badai, tidak pernah sirna karena gempuran dan di dalam hati kita tidak lagi terpengaruh oleh pandangan makhluk, tidak terpengaruh oleh pergaulan. Tidak ada haru biru di hati kita, juga tidak ada kotoran yang merusak kebeningan rahasia jiwa kita.

Hai diri, awas! Siapa yang beramal demi dipandang dan diterima makhluk maka dia adalah hamba yang minggat dan sekaligus musuh Allah Azza wa Jalla. Ia telah mengafiri-Nya dan telah terhijab dari nikmat, terkena dendam dan laknat-Nya.

Makhluk telah merampas hati, kebajikan, agama, dan membuat diri kita jadi musyrik, melupakan Tuhan kita Azza wa Jalla. Mereka menginginkan kita, bukan membahagiakan kita. Sedangkan Allah menginginkan kita untuk kebahagiaan dan keselamatan kita, bukan untuk mereka.

Carilah yang menghendaki kita dan sibuklah bersama-Nya. Karena sibuk bersama-Nya itu lebih utama dibanding sibuk dengan yang menghendaki kita untuk diri-Nya. Kalau toh kita harus mencari, maka carilah dari Allah, bukan dari makhluk-Nya.

Sebab yang paling dibenci Allah manakala hamba-Nya mencari dunia dari makhluk-Nya. Minta tolonglah kepada Allah, karena Allah itu Maha Kaya, sedangkan semua makhluk itu miskin dan fakir. Bahkan para makhluk itu tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap makhluk lain, baik suka maupun dukanya.

Carilah kasih sayang-Nya, karena Dialah yang menghendaki kita. Semula kita menjadi murid (yang berkehendak pada-Nya) dan Allah yang kita kehendaki. Akhirnya kita menjadi murod (yang dikehendaki-Nya) dan Allah yang menghendaki kita. ~
Sahabat Sejati

Jangan-jangan, hal yang paling berharga dalam hidup manusia adalah sahabat. Sahabat atau teman abadi yang akan menemani di sepanjang perjalanan. Tapi apakah sahabat sejati itu benar-benar ada? Sahabat yang akan dengan setia menemani manusia di seluruh perjalanan? Sahabat yang tak akan pernah meninggalkan manusia barang sedetik saja. Sahabat yang akan menemani untuk membela atau bahkan mencampakkannya sebagai pertanggungjawaban atas segalanya. Sahabat yang akan menemani manusia untuk kembali menghadap kepada yang telah menciptakannya. Selama ini tak pernah terdengar, ada teman yang sudi menemani sahabatnya dalam kubur ketika telah tiada. Kalau sudah demikian, siapa sesungguhnya sahabat manusia yang sejati?
Sahabat dan perjalanan merupakan dua diksi yang tak bisa dipisahkan. Lalu apakah yang sesungguhnya disebut sebagai perjalanan itu? Pernahkah kita berpikir, apa yang sedang dan akan terus-menerus kita jalani? Sebuah perjalanankah? Bagaimana kita dan perjalanan ini bisa ada? Siapa yang sesungguhnya menciptakan perjalanan ini? Untuk apa perjalanan ini ada? Bagaimana dan dari mana awal mula dari segala perjalanan? Apakah kelak ada batas akhir dan pemberhentian dari perjalanan yang selama ini kita jalani? Jika iya, kapan perjalanan ini akan terhenti? Di mana titik perhentian perjalanan itu? Kemudian jika tidak, bagaimana engkau bisa menjelaskan kepadaku bahwa perjalanan ini tidak pernah ada batas akhirnya? Apakah ada perjalanan selanjutnya setelah perjalanan di bumi? Ataukah perjalanan merupakan proses menuju keabadian dan alam yang kekal, sedemikian hingga kita tidak akan pernah menemui titik perhentian? Apa yang sebenarnya dan sesungguhnya kita cari dari perjalanan yang selama ini kita lalui? Tahukah kita bagaimana cara melewati jalan yang benar? Tahukah kita bagaimana cara memahami dan membaca dari setiap perjalanan agar kelak sampai di dermaga yang dinantikan oleh setiap pejalan? Mengertikah kita, cakrawala mana yang hendak kita tuju dari seluruh perjalanan ini? Kepada siapa kelak kita akan kembali?
Semua pertanyaan yang dulu selalu bergelayut di pikiranku itu kini telah terjawab. Ya, semuanya telah terjawab. Aku dan setiap manusia yang barangkali pernah berpikir seperti itu kini telah menemukan jawabannya. Aku telah melihatnya sekarang, di hari ini. Engkau yang membaca tulisanku ini boleh percaya boleh tidak. Aku akan menceritakan apa adanya. Jika saja aku mampu, akan kuberitakan pada semua penduduk yang ada di bumi agar mereka percaya. Namun ternyata waktu tidak pernah berjalan mundur. Hari kiamat telah benar-benar terjadi.
Orang-orang seketika riuh, seperti semut yang mencoba berlari mencari perlindungan ke arah timur, barat, selatan, utara, tapi sepertinya mereka sudah terlambat. Mereka melihat kebenaran tentang apa yang selama ini mereka bohongkan. Terompet ajaib itu kini telah ditiup, semuanya menjadi tiada, binatang-binatang itu menjadi debu, para malaikat melesat dalam cahaya, sementara orang-orang itu lenyap dalam tanah. Tanah akan kembali ke tanah. Sementara setiap ruh akan kembali ke Pemilik ruh yang sejati. Sejarah tidak akan pernah mengkhianati ruh-ruh yang sejati. Sekarang, setelah semuanya lenyap, benar-benar lenyap dan senyap. Kecuali Yang Maha Ada yang akan senantiasa hidup dalam keabadian. Bumi telah berganti menjadi kehidupan baru. Dan seketika, hujan deras menyiram bumi selama empat puluh hari.
Setelah empat puluh hari lamanya dari peristiwa kiamat itu, terompet ajaib itu kembali ditiup. Kini akhirnya aku merasakan benar-benar terlahir kembali. Tiba-tiba aku teringat, cerita masa depan yang dahulu pernah disampaikan oleh guruku ternyata sama persis, memang benar nyatanya, kini aku melihatnya sendiri sekarang.
Setelah sekian entah dihujani bertubi pertanyaan oleh sosok raksasa mengerikan yang tak kukenal di alam tanah, sekarang aku bersama kawananku yang lain hidup kembali dan berjalan menuju entah. Kulihat ada yang berjalan menggunakan tubuhnya, ada yang berjalan menggunakan kepalanya, ada pula yang melesat menaiki kereta cahaya. 
“Maaf, kenapa wajahmu bisa begitu putih bercahaya?” tanyaku pada salah satu di antara mereka yang lewat. Tapi menoleh pun tidak. Orang-orang itu seperti sibuk sendiri-sendiri atas pertanggung-jawabannya, tak peduli pada kanan dan kirinya.
Lalu seperti ada suara tapi bukan datang dari orang yang kutanya tadi.
“Ia adalah orang yang ahli menjaga kesuciannya dengan senantiasa berwudu.”
“Oh, pantas saja,” batinku seraya mangut-mangut.
Lalu kami berjalan lagi, melewati ratusan ribu tahun waktu yang melelahkan. Hingga tibalah kami di sebuah tempat, di mana seluruh kawananku dikumpulkan. Tempat di mana matahari tepat di atas kepala. Tempat di mana tidak ada payung kecuali payung perlindungan-Nya. Suasana sangat panas sekali, sampai keringat yang keluar dari banyaknya manusia itu membanjiri padang ini. Kami tenggelam kepanasan.
Kemudian satu demi satu dari kami dipanggil. Pada saat inilah, waktu dari segala pengungkapan. Setiap dari anggota tubuh kami berbicara, bersaksi. Mulai dari mata, telinga, hidung, tangan, kaki, otak, hati, farji. Sementara mulut kami dibungkam. Bahkan, setiap benda yang dulu pernah kami gunakan pun bersaksi. Satu demi satu benda-benda itu datang dari arah yang entah. Sandal, buku, pena, tas, tasbih, sorban, laptop, hape, kaca mata, uang, sampai jam dinding juga. Semua berbicara dan diperhitungkan sebagai saksi. Tak ada yang luput dari satu perhitungan sekalipun.
Kini, setelah melihat semuanya. Aku mengerti. Siapa sesungguhnya sahabat sejati itu. Sahabat yang akan dengan sangat setia menemani di sepanjang usia perjalanan manusia. Sahabat yang membantu menjawab pertanyaan ketika di alam tanah. Sahabat yang menolong memberatkan ketika pertimbangan amal. Sahabat yang akan membantu menerima buku ajaib. Sahabat yang akan membantu menyeberangi jembatan. Sahabat yang tak akan membiarkan manusia kesepian sendiri dan hanya akan melepaskannya setelah tiba di sebuah tempat pulang yang damai. Sahabat sejati manusia ialah amal kebaikan dan keburukan. Amal kebaikan dan keburukan itu serupa hal-hal abadi. Betapa kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tidak akan pernah mati. Mereka akan hidup abadi hingga tiba hari yang dijanjikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu membersamai orang yang dulu pernah merawatnya ketika hidup di dunia. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu menjelma makhluk yang menemani perjalanan manusia di alam ini. Makhluk yang tahu balas budi.
“Kau siapa?” kucoba memberanikan bertanya pada makhluk berwajah damai itu.
“Aku adalah amal bacaan surat as-Sajdah yang setiap sebelum tidur kau lantunkan itu,” balasnya.
“Kalau yang kamu siapa?” tanyaku pada makhluk yang berwajah jelek.
“Aku adalah rasa sombong yang pernah melekat di hatimu,” jawabnya.
Seketika semuanya menjadi pembenar. Aku benar-benar terhenyak, seperti menjadi manusia yang bodoh. Betapa mengumpulkan hal-hal yang kelak abadi di kehidupan dunia itu lebih menjanjikan. Dan kini, hal-hal yang abadi itu telah membersamai manusia. Sayangnya, manusia dahulu lebih sering tertipu oleh hal-hal yang tidak abadi. Oleh hal-hal yang sebentar saja rapuh.
Setelah orang-orang itu melewati timbangan amal, kini mereka akan menerima buku maha ajaib yang akan menentukan tujuan selanjutnya dari perjalanannya. Aku kembali teringat, sahabatku dulu pernah berkata, “Sesungguhnya setiap manusia adalah penulis.” Dulu aku tak mengerti apa maksudnya ia berkata demikian. Tapi kini, aku telah memahami apa maksudnya itu. Sesungguhnya setiap manusia adalah penulis. Di kehidupan dunia yang telah berlalu itu, manusia pada setiap nafasnya senantiasa menulis untuk dirinya sendiri. Kelak di kehidupan selanjutnya, sekarang ini, mereka akan menerima tulisan-tulisannya sendiri, berupa buku besar yang maha ajaib. Tak ada satu pun kalimat di buku itu yang terlewat untuk dicatat, semunya lengkap. Adalah berupa tulisannya sendiri dari semenjak balig sampai meninggal.
Kulihat, ada yang menerima buku itu dengan tangan kanan. Ada yang menerima dengan tangan kiri. Bahkan, ada pula yang menerima dengan punggungnya. Pada waktu itu pula, sebagian dari mereka menangis dan sebagian dari mereka berbahagia, seperti yang kuingat ketika acara pembagian rapor sekolah. Hanya saja bedanya, rapor sekolah ditulis oleh guru, sementara buku maha ajaib ini ditulis oleh tulisan mereka sendiri. Mereka yang menulis dengan tinta merah semerah api akan diseret menuju ruang yang berapi-api. Sedangkan mereka yang menulis dengan tinta hijau sehijau taman, akan dipersilakan menuju taman-taman hijau yang sejuk dan damai, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai yang lebih putih dari air susu sekalipun.
Setelah mendapatkan buku masing-masing, orang-orang itu melewati sebuah jembatan yang di bawahnya ruang berapi-api. Jembatan yang bukan sebarang jembatan. Jembatan itu memiliki ukuran serupa rambut dibagi tujuh dengan tajamnya tujuh kali pedang. Di penghujung jembatan itulah tempat taman yang hijau berada. Tapi banyak orang yang terpeleset di jembatan itu, terutama bagi orang memiliki catatan merah penuh. Mereka kekal di dalamnya. Orang dengan buku catatan merah dan hijau akan dihilangkan catatan merahnya di ruang berapi dulu, baru setelah bersih dari merah akan diangkat dan dipersilakan ke dalam taman yang hijau. Sementara orang dengan catatan hijau penuh, ia akan dengan mudah melewati jembatan itu dan langsung dipersilakan ke dalam taman hijau yang damai.
Namun, di tengah-tengah jembatan itu aku seperti melihat seseorang yang kukenal. Bagaimana mungkin, orang sebaik itu, yang dulu senantiasa meneriakkan makna kebenaran sekarang bisa berada di ruang berapi-api. Bagaimana mungkin sahabat sejatinya mengajak ke dalam ruang berapi-api itu, gumamku. Lagi-lagi datang suara dari arah yang entah.
“Demikianlah. Di kehidupan dunia, terkadang Tuhan menghiasi musuh-Nya dengan pakaian kekasih-Nya, dan terkadang Tuhan menghiasi kekasih-Nya dengan pakaian musuh-Nya. Betapa Tuhan Maha Mengetahui segala yang tersembunyi.” ~

Malang, Februari 2018.
Mukhammad Fahmi.
Sebuah Kerinduan

“Bagaimana kabar Rahma sekarang? Apakah dia sudah menikah?” Pertanyaan ini menyembul begitu saja dalam benaknya ketika ia turun dari bus kota yang berhenti di pinggir jalan desa. Desa yang ditinggalkannya selama tujuh tahun itu, tiba-tiba membersitkan kenangan aneh sekaligus perasaan asing dalam dirinya. Desa itu seolah bertambah sunyi. Dan perasaan sunyi itu semakin mendentam-dentam dalam jiwanya begitu kenangan kembali wajah Rahma.

Hari ini, ia memang memutuskan untuk secepatnya pulang. Kehidupan di kota telah  membuatnya jenuh. Rasa rindu pada kampung halamannya tidak tertahankan lagi. Ia teringat pada kakek dan nenek. Ia ingin bersimpuh di hadapan kakek - neneknya itu, merekalah yang mengasuhnya sejak kecil. Ia ingin melihat kembali kebun kakek yang banyak di tumbuhi pohon buah-buahan. Ia ingin memanjat kembali pohon sawo yang katanya dihuni oleh genderuwo. Ia ingin memetik lagi buah itu untuk diimbu.

Bukan hanya pohon sawo itu yang membuat kerinduannya bertambah, juga pohon-pohon lainnya yang di kota tidak pernah ia jumpai, seperti sirsak, jambu mente, atau pohon trembesi, misalnya. Namun, dari sekian banyak pohon itu, pohon sawolah yang paling berkesan di hatinya, sebab pohon itulah yang membuat kaki kirinya sampai saat ini pincang. Dia jatuh dari pohon itu ketika memanjatnya, saat itu umurnya baru tujuh tahun. Kata kakek, genderuwolah yang mendorongnya hingga ia terjatuh. Dan ia percaya, walaupun saat itu ia hanya melihat kepakan kelelawar dan codot yang kaget karena kehadirannya di pohon itu. Kini, ia tahu bahwa gendruwo yang disebut-sebut kakek itu tidak lain adalah codot dan kelelawar yang membuatnya kaget hingga ia terjatuh dan kaki kirinya patah.

Ah, sesungguhnya banyak, banyak sekali yang membuatnya rindu. Tingkah polah si Bule misalnya, yang selalu menuruti perintahnya. Si Bule kini juga terbayang-bayang di pelupuk matanya. Ia ingin menaiki lagi punggung kerbau itu, yang berjalan melenggak-lenggok dan membuatnya serasa menaiki mobil yang paling mewah. “Sungguh, naik punggung si Bule terasa lebih enak dibandingkan naik mobil sedan,” pikirnya. Ia ingin sekali mengajak si Bule melakukan tur lagi dari tanah lapang yang satu ke tanah lapang yang lain, ke pematang-pematang sawah, lalu berkubang di sungai yang airnya sejuk. Ia juga ingin merasakan kembali kerasnya tanah sawah yang pernah ia cangkuli bersama kakek. Ya, pokoknya ia menginginkan segalanya seperti dulu lagi. “Seperti apakah kakek sekarang? Apakah rambutnya yang dulu hitam sudah ubanan? Dan, nenek, apakah dengan kulitnya yang sudah keriput itu masih juga senang menceker-ceker pematang sawah mencari jangkrik? Lalu, Rahma… gadis putih manis, anak Pak Imam tetanggaku itu, apakah masih setia menanti?” Ia benar-benar sudah tidak kuat lagi menahan gejolak batinnya yang diliputi kerinduan.

Dengan menyandang ransel yang serat oleh-oleh dari kota, ia tergesa-gesa menelusuri jalan desanya. “Kakek dan nenek pasti belum pernah merasakan enaknya biskuit. Mereka pasti belum pernah merasakan kepraktisan melap wajah yang kotor dengan tisu, dan lain sebagainya.” Semua produk kota itu dibawanya untuk diperkenalkannya kepada kakek dan nenek. Tidak ketinggalan ia juga membawa oleh-oleh khusus yang sangat mereka sukai, yaitu rokok lisang cap kerbau dan susur. Ah, mereka tentu bahagia sekali dan kaget melihat cucunya yang dahulu nakal dan cengeng telah berubah menjadi seorang pemuda yang sebentar lagi siap menurunkan cicit buat mereka. Akan tetapi, siapakah yang sudi dipersuntingnya? Rahma! Ya, harapan satu-satunya yang ada di hatinya selama ini adalah Rahma, gadis putih manis yang dahulu selalu membuatnya gelisah kalau tidak bertemu sehari saja.

Dengan langkah berpincang-pincang, ia berjalan lewat bulak yang sepi. Jalan setapak di tengah-tengah ladang yang menghubungkan desa dengan jalan raya menuju kota itu masih tetap seperti dulu, kering dan sunyi. Tidak ada perubahan.

Di sebuah ladang yang kering, tiba-tiba ia melihat seorang lelaki tua sedang mengayunkan cangkulnya bertubi-tubi. Tubuh lelaki tua itu hitam legam, keringat membanjir di sana, hingga tampak mengkilap terkena sinar matahari yang belum tegak di tengah. Dengan terpincang-pincang, ia menyusuri pematang sawah, mendekati lelaki tua itu. Ia yakin benar bahwa lelaki tua itu adalah kakek yang dahulu selalu menimang-nimangnya setelah simbok pulang ke pangkuan Tuhan, dan setelah Bapak gugur di medan perang. Ia tidak tahu bapaknya gugur dalam perang apa. Kakek hanya berkata bahwa bapak meninggal setelah bertempur melawan musuh-musuh yang merongrong rakyat. Siapakah musuh-musuh itu? Apakah mereka para pengedar dan perampok yang sering mengganggu ketenteraman penduduk? Entahlah, simbok sendiri meninggal setelah terserang penyakit TBC. Ia lahir ke dunia ini tanpa mengenal wajah bapaknya, dan sebentar berada di gendongan ibunya.

“Kakek….!” Ia berseru setelah dekat.

Lelaki tua itu yang kepalanya penuh uban, berkulit keriput tetapi masih tampak tegar, menoleh kepadanya.

“Aku pulang, Kek!”

Lelaki tua itu menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Aku Ahmad, Kek!” pemuda itu langsung menyambar tangan lelaki tua itu, menciumnya lalu memeluk tubuhnya. Kini bajunya ikut basah oleh keringat si kakek.

“Ahmad….? Kau, cucuku….yang…yang…?” kakek itu ragu-ragu.

“Ya, aku cucumu Ahmad yang kakinya pincang!” kata pemuda itu sambil memperlihatkan kakinya yang cacat.

Setelah itu, tanpa dapat berkata-kata, si kakek memeluknya dengan erat. Tetes air mata mengalir dari pipinya. Itulah air mata kebahagiaan. Ia tidak menduga cucunya yang ia sangka telah hilang tidak tahu rimbanya itu, pulang kembali ke pangkuannya.

“Kukira kau telah tewas seperti bapakmu yang gugur dalam pertempuran, cucuku,” kata si kakek dengan suara tersendat-sendat karena terhalang oleh isakan tangisnya.

“Musuh memang terlalu berat, Kek. Tapi cucumu ini dapat menaklukkannya! Jawabnya dengan bangga.

“Berapa orang musuhmu itu, cucuku?”

“Berapa orang? Tak dapat dihitung, Kek! Sebab, musuhku bukan orang, melainkan kehidupan kota yang keras dan ganas. Karena aku sudah dapat menaklukkannya, hari ini aku pulang. Lihat, ransel ini berisi oleh-oleh buat kakek dan nenek, hasil kemenanganku bertempur itu!”

Si kakek memandangi ransel yang dipamerkan si pemuda dengan mata berlinang-linang.

“Tapi, sayang cucuku…,” katanya kemudian, kata-kata itu tidak dilanjutkannya. Kepalanya ditundukkan, menekuri tanah lempung yang lengket di kakinya.

“Tapi sayang? Apanya yang sayang, Kek?” si pemuda bertanya tidak mengerti.

“Nenekmu telah meninggal dunia, seminggu yang lalu. Ia meninggal karena merindukan kau. Lihat pusaranya di ujung sana masih merah,” tunjuk lelaki tua itu ke segundukan tanah di ujung ladang dekat sebatang pohon randu.

Pemuda itu merunduk. Batinnya meratap. Nenek yang sangat aku sayangi yang selalu mencarikanku jangkrik, telah tiada….

“Lalu… Rahma, Kek?” Entah dari mana datangnya pikiran itu, tiba-tiba saja ia mengeluarkan pertanyaan itu. Ya, pertanyaan tentang gadis, bagian dari kerinduannya, yang telah lama terselip di lubuk hatinya.

“Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, Ahmad. Ia sudah putus asa menantimu pulang. Apalagi, kau tidak pernah berkirim kabar. Jadi, jangan salahkan jika kini dia telah bahagia dengan suami dan dua orang anaknya,” jawab si kakek dengan kepala menunduk.

“Oh!” pemuda itu mengeluh dalam. Ia benar-benar terluka kini. Kegersangan tiba-tiba menyergap jiwanya, seperti gersangnya alam desanya, desa Bulak ini. Desa yang selalu gersang dan tidak berdaya dalam menghadapi kerasnya alam ini, kini tampak semakin kering di matanya. Ya, desa Bulak yang ia harapkan dapat memberikan kebahagiaan hidup bersama Rahma. Semua itu kini telah lenyap.

Sepuluh tahun ia berjuang di kota untuk mendapatkan segalanya. Ia telah menabung uang sedikit demi sedikit. Dan kini, harapan untuk membangun rumah yang mungil dan kesiapan ototnya untuk kembali menggali harta karun yang ada di ladang kakeknya itu telah hancur. Rahma telah bahagia dengan dua orang anaknya, dan dengan lelaki lain! Ah, betapa sukar hal ini untuk dipercaya.

“Tapi,…tapi.. si Bule masih ada kan, Kek?” tanyanya setelah diam beberapa saat. Suaranya hambar, tidak dapat menyembunyikan kesenduan hatinya yang sangat dalam.

“Bule tetap setia menantimu, Ahmad. Tapi tenaganya sudah tidak dapat diharapkan lagi!” jawab si kakek. Ia seperti dapat merasakan kegundahan yang terjadi pada diri cucunya.

“Biarlah, Kek. Mungkin ia dapat mengobati sebagian rasa rinduku!” jawab pemuda itu sambil meninggalkan kakeknya lalu berlari ke pondok dekat ladang itu.

Ia berlari dan berlari di antara kekecewaan dan kerinduan yang membukit. Kini, apalagikah yang dapat diharapkannya dari desa yang sunyi ini? ~

Malang, Desember 2017.
Mukhammad Fahmi.
Mencari Kekasih

Sudah lama lelaki itu mencari hakikat, sebuah kemurnian, sebuah cinta, mencari tempat yang benar-benar menjanjikan ketenangan di setiap sudut kehidupan. Ia mencari kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui. Walaupun yang harus ia lewati adalah jalanan yang terjal, menanjak, penuh onak, berduri, bahkan melewati tujuh samudra pun, ia akan tetap melewatinya. Namun, hingga kini belum juga ia temukan. Pernah suatu ketika ia bermimpi menemukan tempat yang di dalamnya bagai surga ilmu, ia seperti berlayar dalam samudra ilmu. Itulah mengapa, sampai kini ia tak pernah lelah mencarinya. Ia sangat yakin akan menemukan apa yang diimpikannya itu. Itu semua dilakukan hanya untuk mendapatkan Cahaya-Nya yang kini hilang entah ke mana.

Ia tidak memiliki apa-apa, melainkan hanya jejak perjalanan hidup yang begitu pahit, perih, sakit, bahkan berada di ujung maut. Ia mengembara ke mana-mana mencari dan ingin sekali bertemu dan melihat Cahaya-Nya walau hanya sedetik saja dan itu harus ditebus dengan pengembaraan panjang. Tidak hanya pengalaman spiritual yang ia dapat, namun juga perjalanan fisik. Ia pernah masuk hutan sendirian pada malam hari, menyusuri sungai pada malam hari, masuk ke dalam gua pada malam hari, terjun ke laut juga pada malam hari, bahkan sampai dikeroyok anjing dan mau dibunuh orang hingga kepalanya retak, leher terluka karena akan digorok, dan jari patah dengan darah membanjir membasahi sekujur tubuh. Ia pernah dijebloskan ke dalam penjara dua hari dua malam dan dibebaskan begitu saja oleh polisi tanpa proses hukum. Semua jejak luka itu membekas pada tubuhnya dan menjadi bukti serta kenangan abadi.

Ia masih setia melangkah. Mencari kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui. Setiap orang yang dijumpainya di jalan selalu ia tanya, di mana kekasihnya itu berada. Orang-orang yang dijumpainya itu bukan menjawab semestinya, malah menganggapnya gila.

“Lihat, dia bertanya tentang kekasih, padahal dia punya mata, punya mulut, kaki, tangan, dan telinga. Apakah tidak digunakan bekal kemanusiaannya?” Demikian kata seseorang yang ia temui di pinggir jalan.

“Mungkin dia punya masa lalu yang kelam, kemudian dicarinya kekasih itu dalam bayang malam. Dan dia sibuk dengan pengembaraan yang tak ada ujung pangkalnya di saat matahari hampir terbenam. Kasihan benar dia,” kata yang lainnya.

“Atau jangan-jangan dia sudah gila!”

“Ya, menggilai kekasih yang sudah tak sabar lagi untuk dicumbunya!”

“Hahaha…!”

“Kasihan…”

Mereka tertawa-tawa, tapi ada pula yang mengelus dada. Lelaki itu hanya tersenyum mendengar semua komentar. Ia merasa tak perlu sakit hati. Buat apa sakit hati kalau ia memang tak mempunyai hak untuk merasa sakit karenanya? Bukankah orang yang sedang mencari kekasih tidak boleh menyimpan sedikit pun rasa sakit di dalam hati? Apalagi rasa benci, iri, dan dusta. Ya, dalam hatinya tak boleh menyimpan sedikit pun dendam. Semua rasa mesti ia curahkan hanya untuk perasaan cinta. Mencinta dan merindui kekasih sejati yang hingga kini belum juga ia temukan.

Pernah ia mampir ke kota dan masuk ke sebuah toko, lalu bertanya pada pelayan toko. Di mana kekasihnya itu berada?

“Kekasih…?” Pelayan mengernyitkan kening.

“Betul, apakah dia ada di sini?”

Pelayan itu agak lama menatap wajah sang lelaki. Wajahnya penuh tanda tanya. Beberapa pelayan yang lain ikut datang menghampiri. Mereka melirik dan berbisik-bisik lalu entah mengapa, tiba-tiba mereka tertawa.

“Mengapa kalian tertawa?” ia terheran-heran.

Mereka tambah tergelak-gelak. Beberapa pengunjung ikut menengok ke arahnya. Mereka juga tersenyum-senyum. Betapa malunya ia. Dengan perasaan kesal, ditinggalkannya toko itu.

Ia heran. Mengapa orang-orang selalu tertawa setiap kali ia bertanya tentang kekasih? Mengapa mereka menganggapnya tak waras? Apakah pertanyaannya aneh? Ataukah kekasih itu sekarang telah menjadi barang langka sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Ataukah ia telah berubah menjadi makhluk lucu sehingga seseorang mau tidak mau, harus tertawa begitu ia menyebutkan namanya? Entahlah.

Gedung-gedung pencakar langit, tembok-tembok beton, berbagai instalasi listrik, dan aspal-aspal yang menutup hampir seluruh permukaan kota itu seolah menutup hati mereka sehingga mereka tak lagi mengenal kekasih. Ataukah kekasih itu sudah mati sehingga tak perlu lagi dikenal?

Lelaki itu benar-benar merasa asing di kota itu. Ia seperti berada di sebuah peradaban antah berantah. Atau, kota itu sendirikah yang tampak asing di matanya? Entahlah. Tak satu orang pun yang ia kenal di dalamnya. Celakanya, tak satu orang pula yang mau mengenalinya. Orang-orang di kota itu sibuk dengan urusannya. Jangankan yang bekerja di gedung-gedung, di mal-mal, atau di pabrik-pabrik, yang di pinggir jalan pun mereka enggan bertegur sapa. Mereka selalu bergegas, berpacu dengan waktu, seolah khawatir matahari besok tidak akan terbit lagi.

Lelaki itu mengitari kota dengan berjalan kaki. Debu-debu beterbangan di sana-sini. Berbagai suara terdengar di telinga. Radio dan televisi pun tak henti-hentinya menyiarkan berita perang dan bencana. Dunia telah berubah menjadi gaduh.

Di sebuah halte, lelaki itu bertanya pada seorang pria berdasi yang sedang menunggu taksi.

“Tuan, tahukah Tuan, di mana kekasihku sekarang berada?”

Pria berdasi itu membeliakkan matanya. Ditatapnya lelaki itu erat-erat.

Jawabnya, “Bung, ini kota! Di sini yang bicara uang. Bekerjalah dan cari uang sebanyak-banyaknya. Nanti kau dapat membeli seribu kekasih yang kau inginkan!”

“Tetapi, kekasihku tak bisa dibeli, Tuan. Tak mungkin ia mengobral cinta,” ujarnya.

Pria berdasi itu tambah membeliak. Dipandangnya lelaki itu penuh kejengkelan.

“Aku tak punya waktu untuk romantis-romantisan, Bung! Apalagi bicara soal cinta. Bagiku waktu adalah uang! Kau mengerti?” Pria berdasi itu pun berlari ke mobil taksi. Langkahnya terburu-buru, membuat lelaki itu berdiri termangu.

Ah, soal cinta pun mereka tak lagi punya waktu.

Itulah pengalamannya di kota. Setelah itu, ia meneruskan langkahnya. Ia berjalan menyusuri pantai, menyeberangi lautan, memasuki lembah-lembah, dan mendaki bukit-bukit, akhirnya, tibalah ia di sebuah desa. Di situlah ia menjumpai petani dan anak-anak gembala. Ia bertanya kepada mereka, di mana kekasihnya itu berada. Mereka menatapnya terheran-heran, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa anak cuma menunjuk-nunjuk mega, setelah itu tertawa-tawa.

Hanya ada satu kakek tua tiba-tiba datang. Dari ujung desa. Agak tergesa ia menemui lelaki itu. Kakek tua itu menanyakan tujuannya. Lelaki itu menerangkan maksudnya. Lalu dengan lugu, kakek tua itu mempertemukannya dengan seorang perawan desa yang benar-benar ayu.

“Bagaimana? Engkau cocok?” sang kakek bertanya.

“Bukan, bukan itu, Pak. Bukan perawan desa yang sedang aku cari. Aku sedang mencari Kekasih. Kekasih bukan sembarang kekasih, melainkan Kekasih Sejati yang benar-benar Kekasih yang kini entah berada di mana. Padahal, dulu Dia pernah hadir di hadapan kita penuh ketulusan. Senyum dan kasih sayang-Nya tebarkan kedamaian. Dia pernah berkata kepada kita bahwa Dialah Kekasih Sejati, Cahaya Abadi, Kebenaran, dan Cinta yang takkan lekang ditelan masa. Tapi, mengapa orang-orang sekarang sudah melupakannya? Apakah Bapak juga tak mengingatnya lagi? Bukankah Dia dulu selalu bersama kita di mana pun kita berada? Di mana sekarang dia berada?”

Orang tua itu terheran-heran. Dipandangnya lelaki itu penuh kecurigaan. Kepolosan di wajahnya seketika itu menghilang. Lalu ditinggalkannya lelaki itu penuh kekesalan.

“Dasar orang gila!” umpatnya.

Lelaki itu sedikit kecewa. Pak tua itu ternyata sama saja dengan orang-orang lain, tak mengenal kekasih yang ia maksudkan. Lelaki itu akhirnya meneruskan pengembaraan. Ah, sudah sampai manakah peradaban ini sehingga orang-orang tak lagi mengenal kekasih?

Ia tak mau putus asa, diteruskan langkahnya yang agak tertatih-tatih itu. Agak larut malam waktu itu. Ia bertemu dengan seseorang yang berpenampilan sangat biasa sekali, tidak ada hal yang mencurigakan sama sekali dalam diri orang itu. Lelaki itu menerangkan maksudnya. Tanpa berkata sesuatu apa pun orang tersebut berjalan seolah mengajak lelaki tersebut menuju tempat yang ia cari.

Ia mengikutinya menuju jalan setapak, menerobos hutan-hutan, menyeberang sungai-sungai kecil, melewati kebun-kebun, pematang, sampai akhirnya mereka masuk kuburan. Suara-suara aneh dan bayangan yang melintas di kuburan membuat lelaki itu merinding. Sementara orang itu sudah duduk-duduk di sekitar kuburan, menunggu.

“Kita istirahat sebentar ya,” katanya tanpa menengok lelaki yang sangat lelah sekali.

“Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sampai di tempat tujuanmu.”

Setelah lelaki itu ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, orang itu bertanya kepadanya.

“Sebenarnya apa yang kau cari hingga membuatmu harus mengembara sekian jauh seperti ini?”

Dingin udara malam itu rasanya semakin menusuk mendengar pertanyaan orang itu yang menelanjanginya. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Orang itu yang kemudian terus berbicara.

“Pengembaraanmu yang panjang itu mengingatkan akan deritaku, mengingatkan akan pengembaraan Bima dalam mencari sarang angin demi mengenal dirinya yang sejati guna membuktikan kebenaran yang hakiki. Percayalah, Kawan. Doaku selalu menyertai langkahmu. Sebab engkau adalah aku. Aku adalah engkau, yang sempat terusir dari taman firdaus entah berapa miliar tahun yang lalu. Kini kusadari hidup merupakan titipan Tuhan yang paling berharga. Telah kulihat “wajah”-Nya dengan pandangan nyata. Tuhan ternyata ada dalam kehidupan. Kini aku pun mencintai hidup. Tujuan hidup adalah untuk mengerti siapa yang menjadikan hidup itu. Hidup adalah untuk menghidupkan. Zaman sebetulnya tidak berubah, Kawan. Yang berubah hanya peradaban yang membuat kita kadang gagap menghadapinya karena belum siap berdamai dengannya. Kau tak perlu risau hanya karena melihat banyak misteri yang tak mampu diterima oleh nuranimu di setiap persimpangan jalan yang kau lalui itu. Kawan, perjalanan manusia paling panjang tidaklah ke mana-mana, melainkan hanya menuju kepada dirinya sendiri. Kenalilah dirimu, maka kau akan mengenal Tuhanmu, kau akan menemukan kekasih yang kau cari selama ini. Sebetulnya kekasih itu selalu menyertai langkah kita, hanya saja karena kebutaan kita tak mampu melihatnya. Kekasih selalu ada di setiap tempat, di setiap kita memandang. Dan karena engkau telah bermimpi menemukan tempat yang bak samudra ilmu itu, maka aku akan menunjukkannya padamu. Sesungguhnya setiap detik dari pencarianmu adalah momen perjumpaan yang sangat berharga dengan Tuhan.”

Lelaki itu hanya bisa menunduk. Sementara orang itu terus berbicara sambil menepuk-nepuk pundaknya. “Kita selamanya hanyalah seorang murid dalam pelayaran panjang yang sedang belajar dan terus belajar pada kehidupan. Kita pada hakikatnya adalah pengembara yang tidak pernah berhenti pada satu titik perhentian. Dan di akhir pengembaraan, kita kelak akan bertemu dengan-Nya.”

Malam itu, lelaki itu benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini dijalaninya.

“Ayo kita menuju tempat yang kau cari!” tiba-tiba orang itu bangkit. “Sebentar lagi subuh. Nanti setelah terdengar azan Subuh kau harus cepat-cepat pergi ke Masjid terdekat dan laksanakanlah salat Subuh berjamaah di sana. Yakinlah, kau akan menemukan apa yang selama ini kau cari.” Lelaki itu menyepakatinya dan mengingat-ingat pesan orang itu.

Setelah melewati kuburan-kuburan, orang itu berbelok. Ketika kemudian lelaki itu ikut belok, ia kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Ia pun celingukan. Orang itu sudah tak tampak lagi. Baru ketika beberapa saat ia mengerti, bahwa yang ditemuinya tadi bukanlah sembarangan orang. Dengan perasaan cemas, ia terus berjalan. Didengarnya azan subuh berkumandang dari sebuah Masjid. Seperti orang linglung, ia mendatangi Masjid itu. Ia pun mengambil wudu dan berjamaah dengan amat khusyuk. Dalam perjalanan menuju keabadian itu, ia seakan menemukan cahaya yang selama ini telah hilang. Ia seakan berada di tempat yang benar-benar menjanjikan ketenangan di setiap sudut kehidupan. Ia pun sangat bersyukur, berkat pemahaman baru yang didapatnya dari orang yang sama sekali tak dikenalnya, yang masih menjadi misteri dalam hidupnya.

Tak seorang pun dari mereka yang berada di Masjid itu yang ia kenal. Baru setelah salat, ia bertanya kepada salah seorang yang ada di masjid itu.

“Maaf Pak, saya ini sebenarnya ada di mana ya?” tanyanya bingung.

“Oh, sekarang Nak Mas ada di Masjid Bahrul ‘Ulum. Bahrul ‘Ulum adalah samudra ilmu. Saya mengucapkan selamat datang kepada Nak Mas. Semoga engkau betah di sini. Di sini ada banyak taman ilmu, kau bisa mereguk sebanyak dan seluas ilmu yang ada di sini. Sudah tepat tempat yang kau tuju.” Kata salah seorang yang bertugas menyapu masjid.

Lelaki itu berpikir sejenak. Diingat-ingatnya kembali mimpi yang dulu pernah singgah sejenak dalam lelapnya. Dan ternyata benar. Kini ia mengerti mengapa orang tadi mengirimnya ke tempat ini, tempat yang di dalamnya bagai surga ilmu. Ia seperti merasakan udara baru dan seakan benar-benar berlayar di keluasan samudra ilmu. Tempat yang benar-benar menjanjikan ketenangan di setiap sudut kehidupan. Kini legalah segala perasaannya sebab ia telah menemukan apa yang selama ini diimpikannya itu. ~

Tuban, Januari 2016.
Mukhammad Fahmi.
Menunggu di Bawah Rembulan

Aku menunggu engkau di sini. Menunggu seperti waktu yang terus berjalan tak tentu tujuan. Sementara, engkau yang kutunggu tak juga kunjung datang menemuiku. Alangkah membosankan penantian ini. Ataukah engkau sengaja ingin menyiksaku dengan cara seperti ini?

Sahabat, lihat, matahari hampir terbenam. Hari sebentar lagi malam. Tak ada lagi kicau burung di dahan. Tak ada lagi keciap ayam di pelataran. Anak-anak kecil yang bermain di lapangan pun sudah bubaran. Mereka  pulang untuk mandi. Setelah itu pergi ke musala belajar mengaji. Atau, siapa tahu langsung nonton televisi. Mungkin ada juga yang mengerjakan pe-er setelah makan sore bersama papa mamanya. Dan aku?

Aku masih menunggu engkau di sini. Menunggu seperti waktu yang terus berjalan tak tentu tujuan. Sementara, engkau yang kutunggu tak juga datang menemuiku. Alangkah membosankan penantian ini. Ataukah engkau memang sengaja ingin menyiksaku dengan cara seperti ini?

Sekarang hari telah malam. Matahari sepenuhnya tenggelam. Listrik mulai menyala remang-remang. Azan Magrib baru saja berlalu. Pedagang sore pun muncul satu per satu. Ada tukang bakso, tukang soto, tukang sate, dan kue putu. Ah, andaikan engkau saat ini ada di sampingku, betapa ingin aku memesan dua mangkuk bakso. Satu untukmu, satu untukku. Bukankah engkau suka makan bakso? Sayang, engkau belum juga datang. Ataukah engkau saat ini sedang dalam perjalanan?

Baiklah, aku akan tetap menunggumu di sini. Menunggu hingga habis waktu. Aku yakin engkau sebentar lagi datang, sebab aku tahu engkau bukan orang plinplan. Itulah sebabnya, aku tetap menunggumu di sini. Menunggu hingga segala janji tertepati. Bukankah janji adalah utang yang mesti dibayar?

Sengaja aku memilih taman ini untuk menunggumu, sebab di sini pertama kali kita bertemu. Lagi pula, bukankah engkau sendiri yang berjanji dan memintaku agar aku menunggumu di tempat ini? Betapa taman ini bagiku memberi kesan yang mendalam walaupun sebelumnya tidak demikian. Aku sangat terkesan setiap kali duduk di sini, sebab setidaknya kau pernah hadir di taman ini dan sempat pula mengetuk pintu hatiku. Pintuku tak terbuka untuk sebarang orang. Dan, engkau adalah tamu yang berhasil membuka pintuku.

Kau tahu bagaimana indahnya bulan purnama di langit itu? Aku telah menyaksikannya dengan sengaja sebanyak empat belas kali. Dan sebentar lagi, purnama akan menampakkan wajahnya kepadaku untuk yang kelima belas kalinya. Namun, kau baru hadir satu kali di hadapanku. Seandainya engkau rembulan, aku tak akan menganggapmu seindah dia. Kau lebih istimewa dari bulan purnama sekalipun. Betapa kehadiranmu yang sekali itu sempat menggetarkan seluruh sendi-sendi tubuhku. Sementara untuk mengingat wajahmu, aku sudah lupa dengan purnama yang keempat belas kali itu.

Konon, di bawah sinar rembulan itulah para muda-mudi berjanji. Berjanji untuk sehidup semati, mengukir hari esok dengan langkah pasti. Konon, katamu pula, di taman inilah mereka selalu bertemu untuk bersumpah setia saling mencinta untuk selamanya hingga hari tua. Dan kau, mengapa tak juga datang? Bukankah hari ini kita telah berjanji untuk bertemu di sini menikmati sinar rembulan sampai pagi?

Lihat, satu per satu pasangan muda-mudi itu datang. Mereka masuk ke taman dengan langkah riang. Duduk, bercakap-cakap sebentar, lalu berdiri berhadap-hadapan. Ditatapnya rembulan. Mereka saling tersenyum, kemudian terucaplah janji. Janji sehidup semati untuk mengukir hari esok dengan langkah pasti. Setelah itu, mereka  pergi meninggalkan taman ini. Tak ada kecupan, tak ada rangkulan, tak ada bunga-bunga bertebaran. Itu pantang dilakukan di sini. Sebab taman ini hanya digunakan untuk berjanji. Setelah itu, mereka boleh pergi.

Ah, seandainya engkau datang, mungkin kita sudah mengadakan janji di bawah sinar rembulan. Ya, berjanji untuk sehidup semati seperti mereka yang  sedang dilanda kasmaran. Tapi, mengapa engkau belum juga datang?

Sahabat, lihat, malam semakin larut. Rembulan telah menggelincir ke arah barat. Sinarnya tak lagi terang. Mendung hitam mendadak datang dari arah timur. Mungkin sebentar lagi hujan deras akan segera turun.

Taman ini sekarang sepi. Tak ada lagi muda-mudi yang datang untuk mengikat janji. Para pedagang malam pun sudah pulang. Dagangan mereka telah habis. Hanya tinggal satu-dua tukang sekoteng yang lewat. Pada cuaca dingin seperti ini, mungkin enak juga minum sekoteng yang hangat. Tapi sayang, engkau belum juga datang. Seandainya engkau datang, tentu aku akan memesan dua gelas sekoteng; satu untukmu, satu untukku. Namun, mengapa engkau belum juga datang?

Tak apalah. Aku akan tetap menunggumu di sini. Menunggu seperti waktu yang terus berjalan tak tentu tujuan. Memang membosankan penantian ini. Ataukah engkau memang sengaja ingin menyiksaku dengan cara seperti ini? Aku percaya, engkau tak sekejam itu.

Ah, lihat. Sekarang hujan pun turun. Langit sepenuhnya gelap. Cahaya rembulan terhalang awan hitam. Bintang-bintang pun menyembunyikan wajahnya entah di mana. Taman ini tak seindah tadi lagi. Suasana semakin sepi. Tapi, aku tak mau dikalahkan hujan. Biarlah aku tetap menunggumu di sini meskipun bajuku basah kuyup. Dingin memang, tapi alangkah nikmat derita yang lahir dari sebuah penantian.    Bukankah cinta itu penuh pengorbanan? Bukankah cinta butuh kesabaran? Penantian, kata orang, adalah lambang dari kesetiaan. Itulah sebabnya, dalam keadaan seperti ini aku tetap percaya bahwa engkau sebentar lagi datang. Ya, datang menemuiku untuk mengobati rasa rinduku yang telah sedemikian membukit. Bila engkau datang. maka akan kau temui diriku sedang menggigil kedinginan.

"Mengapa tidak berteduh?" Mungkin begitu engkau langsung bertanya.

"Sengaja. Supaya engkau percaya bahwa aku benar-benar menunggumu di sini," jawabku.

“Tapi, caranya tidak seperti ini!” katamu lagi.

“Mengapa?”

“Ini kebodohan namanya!”

“Orang yang sedang jatuh cinta, kadang tidak tahu apakah yang diperbuatnya itu kebodohan atau bukan,” aku menjelaskan.

“Tapi, engkau terlalu mengada-ada!”

“Mengada-ada?”

"Mana ada orang mau menunggu berhujan-hujan seperti ini? Di tengah malam pula!"

“Tapi, bukankah engkau sendiri yang berjanji dan memintaku agar aku menunggumu di sini?”

Engkau terdiam dan menatapku tajam. Wajahmu merona dalam kegelapan, lalu engkau mengemukakan berbagai alasan apa kiranya yang menyebabkan engkau terlambat datang. Meskipun engkau berbohong, aku tetap saja memercayaimu. Ya, memercayaimu, sebagaimana aku percaya bahwa hujan sebentar lagi berhenti. Mendung kan tertiup angin dan rembulan kembali bersinar terang. Itulah sebabnya, aku tetap menunggumu di sini. Menunggu seperti waktu yang terus berjalan tak tentu tujuan. Memang membosankan penantian ini. Tapi aku yakin, sebentar lagi engkau datang. ~

Malang, Maret 2018.
Mukhammad Fahmi.
Balada Setetes Embun

Entah mengapa. Setiap dongeng selalu diawali kata-kata pada suatu hari atau pada suatu ketika. Bagaimana jika saat peristiwa itu terjadi belum ada hari, belum ada waktu, bahkan belum ada nama-nama.

Seperti kisahku. Baiklah. Awalnya aku sengaja menyebut ini sebagai dongeng. Sebab jika ini kusebut cerita nyata aku pasti dianggap pendusta. Dan jika ini kusebut fakta-fakta aku pasti dituntut untuk menyebutkan rumus dan angka-angka. Maka ini kusebut saja sebagai dongeng. Jika orang dewasa tak bisa menerimanya biarlah nanti anak-anak saja yang menikmatinya. Meskipun toh nanti diabaikan juga oleh anak-anak itu saat mereka tumbuh remaja.

Inilah dongeng yang diawali pada suatu yang entah. Sebab memang benar belum ada hari dan waktu. Serius. Peristiwa itu bahkan telah terjadi sebelum enam hari Tuhan menciptakan alam semesta seisinya.

Singkatnya. Cuaca saat itu sungguh tenang. Musim saat itu begitu pagi dan bening. Hingga lahirlah aku, setetes embun yang melekat di sebuah pohon. Pohon yang begitu dipuja dan ditakuti oleh semua penduduk Surga. Sebab di pohon itu tumbuh buah yang menjadi rahasia penciptaan. Beberapa buku berbeda versi dalam menyebutnya.

Pokoknya aku adalah setetes embun yang melekat tepat di dahan buah terbaik dari pohon itu. Buahnya menyala terang. Buah terbaik dari yang paling baik. Buah paling baik dari yang terbaik. Tak ada yang berani menyentuhnya karena itu sudah menjadi aturan. Karena itu sudah jadi perencanaan.

Sungguh. Aku setetes embun yang menyaksikan kumpulan cahaya bersujud. Aku setetes embun yang mendengarkan kobaran api menyanyikan puja dan puji surgawi. Kunamai seperti itu biar lebih mudah. Sebab memang belum banyak nama-nama. Bahkan di titik itu aku masih tidak tahu waktu itu yang bagaimana dan seperti apa.

Ya. Sampai peristiwa itu datang. Diciptakanlah manusia pertama. Dia yang kesepian karena tidak menjumpai sejenisnya untuk dijadikan teman. Maka diciptakan juga pendamping hidupnya dari tulang rusuknya ketika ia terlelap.

Segalanya kemudian menjadi baru. Kedua manusia itu menjadi sorotan utama. Semua penghuni dituntut menghormatinya. Kecuali kobaran api yang terus menyala, seakan ia tidak ingin ada yang dihormati dalam sujudnya lagi selain Tuhan.

Tapi entah memang karena pemberontakan atau perencanaan, hal itu terjadi. Kedua manusia itu mendekati pohon di mana aku melekat. Di mana buah terbaik itu tumbuh. Perempuan itu begitu memohon, sementara lelaki itu tak kuasa mengabaikan permintaannya. Mungkin inilah kelak sejarah melahirkan perempuan yang sering meminta dan laki-laki yang berusaha keras memahaminya.

Ah. Aku sungguh tak bisa melupakan peristiwa itu. Semua penduduk Surga mengalami ketegangan yang bukan main. Gerombolan cahaya terdiam. Kobaran api berhenti bergoyang. Inilah kemudian barangkali yang tak disadari manusia itu. Tak disadari penduduk Surga juga. Sebegitu kuat laki-laki mencintai kadang sering berarti juga sebegitu hebat juga dia untuk berkorban.

Diretasnya buah terbaik itu. Lepas. Atas nama cinta. Atas nama penasaran. Atas nama pemberontakan. Atau juga atas nama perencanaan. Seketika segala dan semua terdiam dalam ketakjuban.

Barangkali inilah kemudian yang tak disampaikan sejarah. Luput diceritakan pada kitab-kitab kisah. Aku ikut terlepas bersama buah terbaik itu dari pohon kebermulaan di alam surgawi. Aku terhempas. Jatuh. Semua menyaksikan kedua manusia itu memakan buah terbaik dari segala penciptaan. Tak ada yang melihatku. Aku terhempas. Aku jatuh.

Jadilah aku setetes embun yang terlupakan. Saksi segala peradaban. Saksi semua kejadian. Entah mengapa, barangkali aku juga: abadi.

Aku menyaksikan bagaimana cinta bekerja. Bagaimana cinta berjihad melawan trauma. Kedua manusia itu dipisahkan jarak untuk menjalani kehidupan sesungguhnya. Bukan dengan meminta lalu kemudian datang dengan sendirinya. Aku tahu pasti. Itu bukan kutukan atau hukuman. Itu adalah latihan penempaan fisik dan mental dalam menjalani kesejatian.

Aku ikut turun ke alam dunia. Sebab kuyakini Surga begitu membosankan dan isinya itu-itu saja. Aku lihat gerombolan cahaya mengucapkan salam perpisahan kepada kedua manusia itu, tapi bukan kepadaku. Barangkali memang benar aku telah terlupakan sebenar-benarnya. Sementara beberapa kobaran api juga ikut turun ke bumi. Mereka berjanji untuk memenuhi tugas berat kebencian sampai akhir hayat nanti.

Aku jatuh. Terhempas ke sana kemari. Di antara hampa dan udara. Teringat kisah terakhir kedua manusia itu sebelum turun ke dunia. Keduanya tergeletak lemas setelah buah itu dicicipinya. Bukti bahwa keberaniannya lulus. Bukti bahwa mereka siap menjalani kehidupan di dunia dengan tulus.

Aku masih juga terhempas. Mulai mengenali dan meraba-raba semesta seisinya. Menyaksikan kedua manusia itu menempuh jejak dari keterpisahan yang teramat memilukan. Mereka menciptakan bahasa. Mereka memberikan nama-nama pada yang dijumpainya.

“Suatu hari anak-anak yang terlahir dari rahimku akan merasakan rindu. Wujud keindahan dan kesakitan dalam satu waktu,” begitu kata hawa suatu ketika.

“Kelak anak cucuku akan menyesali perpisahan. Sebab ia selalu membawa kenangan-kenangan yang menyakitkan,” Adam juga bergumam.

Dan yang lebih indah dari itu semua. Tentu adalah saat mereka berjumpa dari tahun-tahun paling panjang. Dari tahun-tahun perjuangan hidup melawan ketakutan dan kata menyerah.

Sumpah. Tak ada kata-kata!

Kedua manusia itu terdiam begitu saja!

Perlahan. Turun air mata. Untuk pertama kalinya juga gerimis mengguyur semesta. Lalu mereka saling memeluk. Kelak suatu hari manusia melakukannya ketika kata cinta tak cukup. Sebab akan selalu ada detak jantung yang tak bisa dibahasakan dengan buku yang bertumpuk-tumpuk.

Aku mengikuti air mata itu. Mengalir meresap tanah. Melewati pepohonan raksasa. Hingga sampai ke laut; tempat segala kesedihan diciptakan. Pun muara segala kebahagiaan bersemayam. Sementara kedua manusia itu memberikan nama-nama pada setiap segala semua yang didengar, dilihat, dan dirasanya.

Akulah setetes embun. Saksi segala peradaban. Saksi semua kejadian. Kini aku bisa menjelma apa saja. Aku bisa hanyut dalam desir angin. Mengalir dalam sungai. Melesat bersama cahaya. Tersenyum dalam butiran bening embun di dedaunan. Berdenyut dalam detak waktu. Berbaur dengan semua elemen, semua nada, semua warna. Dan bernyanyi bersama kicau segala burung di alam semesta raya ini.

Aku terpesona laut, apalagi senja. Terlebih jika senja dan hujan turun bersama-sama. Aku beterbangan ke sana kemari. Menyusuri bumi seisinya. Masih juga di ruang antara hampa dan udara. Sampai peristiwa itu terjadi juga. Kelahiran manusia baru. Aku saksikan kedua manusia itu menggendong bayi-bayi. Mereka ternyata bisa melihatku. Ya. Bayi-bayi itu. Mereka melihatku dengan kata yang belum mampu mereka bahasakan. Aku menghiburnya. Aku menjelma udara. Kudekatkan tubuhku, mengusap tubuh mungilnya.

“Ciluk Ba! Ciluk Ba..!”

Barangkali ini memang takdirku. Orang-orang tak pernah bisa melihatku. Aku yang hanya bisa disaksikan bayi-bayi sebelum mereka lepas dari air susu ibunya. Sehingga aku selalu berusaha membuat mereka senang selain usaha orang tuanya menyanyikan lagu timang-timang.

Aku juga menyaksikan itu. Pembunuhan pertama dalam umat manusia. Bukti bahwa Tuhan tidak menciptakan semua kebaikan saja untuk dipelajari. Tapi juga belajar dari serangkaian tragedi. Pun semua tata kehidupan alam semesta. Seperti burung gagak yang mengubur saudaranya sendiri. Seperti manusia itu juga. Seakan mengekalkan bahwa kenangan pahit tidak hanya harus dikubur. Tapi juga perlu dihadapi segagah-gagahnya.

Kehidupan-kehidupan baru kemudian lahir. Aku lebih suka menghabiskan waktuku di laut. Menyaksikan senja tenggelam. Ikan-ikan berlompatan. Elang meliuk ke sana kemari. Ombak bergemuruh. Camar di cakrawala yang berusaha mengejar matahari. Juga anak-anak berlarian di atas hamparan pasir berkilauan. Sambil sesekali tetap berkeliling menyaksikan bagaimana seluruh kehidupan berjalan.

***

Sungguh! Aku setetes embun yang menyaksikan segalanya. Tahun, abad, dekade, dan milenium berlalu dalam ukuran waktu yang tak mampu kuhitung dalam angka-angka. Aku terperangah atas apa saja yang terjadi dalam usia kehidupan. Seakan di waktu yang jauh, semua terjadi tak seperti yang kubayangkan. Bencana dan tragedi kemanusiaan meluluh lantahkan apa saja. Peperangan saudara. Pertarungan ideologi. Perjalanan ilmu pengetahuan dalam kehendak rakyat dan penguasa.

Aku menyaksikan sejarah manusia lahir dari perjuangan kelas. Tak ada ampun bagi mereka yang memelas. Tak ada nasib baik yang berpihak pada para pemalas. Seakan Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mau bersatu mengubah nasibnya sendiri. Kemenangan-kemenangan besar diwujudkan oleh kekuatan rakyat keseluruhan, bukan dari satu orang yang dianggap pahlawan dan didewakan. Panjang umur perlawanan para buruh, petani, nelayan, kaum papa, dan semua yang ditindas oleh penguasa. Karena setiap yang tertindas tidak akan kehilangan apa-apa kecuali rantai yang membelenggu tubuh mereka.

Pada akhirnya aku hanyalah setetes embun. Di mana kusaksikan dunia berisi lebih banyak orang yang bisa makan, tapi sedikit yang bisa bersikap jujur. Dan kebenaran. Apapun alasannya selalu pantas diperjuangkan. Bahkan samudra darah pun tak sanggup menenggelamkannya.

***

Aku kini memilih banyak beterbangan di negeri yang terdiri dari banyak laut dan pulau-pulaunya. Di negeri di mana suara di balik meja lebih jujur daripada yang diumbar lewat pengeras suara. Di mana kenyataan di dalam ruang sempit itu lebih bisa dipercaya daripada yang dipertontonkan layar kaca.

Aku menyusuri pesisir pantai negeri itu. Pelabuhan. Dermaga-dermaga. Zaman memang telah berubah. Pemandangan masyarakat pinggiran adalah bagian kecil dari rangkaian kesedihan di negeri itu yang tak mampu ditutupinya. Lagu dangdut. Ceracau pemabuk. Teriakan para penangkap ikan. Dan di suatu subuh. Seorang pelacur berbisik lirih di telinga anaknya yang tertidur lelap.

“Nak. Jika kau besar nanti jangan seperti ibu. Kau harus bisa menjadi lebih baik. Pekerjaan semacam ini bukanlah atas keinginan ibu. Bapakmu tak pernah kembali dari laut. Kita harus tetap hidup. Besok kita harus tetap makan. Dan kamu harus sekolah yang pintar agar tidak menjadi pelacur hina seperti ibumu ini. Maafkan ibu, Nak.”

Aku lihat perempuan itu terduduk lemas. Air matanya menetes. Ingin sekali aku mengusapnya. Tapi tak bisa. Semuanya menjadi kepedihan tak terucap dalam kata-kata.

Lalu pemandangan lain di sebuah hotel pinggir pantai. Seorang petinggi ibukota menyusun rencana.

“Tambang besi harus tetap diperluas!”

“Tapi, Pak,...”

“Sudahlah. Persetan dengan rakyat kecil...!”

“Jadi kita tetap akan menggusur dan mengalih fungsikan lahan pesisir dan beberapa tanah warga di pinggir pantai itu, Pak?”

“Loh, ya jelas. Investor sudah pasti mau. Akademisi tinggal kita bayar untuk memuluskan jalannya proyek ini. Dan kita tinggal mengatur perizinannya.”

“Tapi kalau mereka kehilangan lapangan pekerjaan dan penghidupannya?”

“Itu urusan mereka. Kita harus bisa mengambil peluang yang menggiurkan ini. Kamu ndak pengen punya mobil baru? Selingkuhan artis papan atas? Liburan ke luar negeri juga?”

“Tapi Pak. Kalau mereka demo?”

“Kita Sikat. Kan ada polisi. Ada tentara. Memang mereka mau dibuat apa!”

Barangkali inilah yang lebih kejam daripada pembunuhan pertama umat manusia. Membunuh secara pelan-pelan. Merusak tatanan. Membuat puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang melarat lalu mati sekarat kemudian.

Bahkan pemandangan lain dari pesisir itu. Di remang bar murahan. Remang lampu. Botol bir dan vodka. Sepasang kekasih melakukan pembicaraan.

“Mas. Aku hamil,...”

“Kamu ngomong apa. Aku ndak dengar?”

“Aakuu haamiiil...!”

“Kakakmu hamil? Sukurlah kalo begitu.”

“Hiih. Aku mas yang hamil. Aku. A-k-u...!”

“Hmppfh...”

“Mas pasti tanggung jawab, kan? Mas kan cinta dan sayang sama aku. Apalagi di puisi-puisi yang mas buat, sering kali disebut kata-kata pernikahan, mahligai, ranjang yang bergoyang...”

“Hmmmphhf...”

“Iya kan, Mas? Iya, kan? Tanggung jawab, kan?”

“Hmm. Mana mungkin aku menghamilimu. Aku kan kemarin membeli kondom.”

“Iya. Mas memang beli kondom. Tapi nggak dipakek. Karena mas mabuk berat!”

“Nggak mungkin. Kamu pasti mau menjebakku. Nggak. Ini bukan karena ulahku. Ini pasti karena ulah kamu dengan laki-laki lain...!”

“Dasar Bajingan kamu, Mas!”

Perempuan itu berlari. Menangis. Menuju laut. Dipandangnya cakrawala. Desau debur ombak memilukan batinnya.

“Apakah karena ibuku pelacur? Aku harus bernasib sama sepertinya. Apakah nanti adikku juga? Kepedihan hati apalagi, Tuhan? Ayahku hilang di laut. Kakak laki-lakiku tak jelas rimbanya di kota. Kemiskinan mengoyak hidup kami. Rumah kami juga hendak digusur. Kami harus bagaimana lagi?

Jauh di samudra sana. Aku melihat seorang bapak terkubur di pulau terpencil. Dia dibunuh karena mencoba membangun kekuatan untuk memberontak tambang. Tak ada yang tahu kematiannya. Aku pun tak bisa mengatakannya.

Ah. Aku sangat menyayangi anak itu. Anak itu teramat kecil untuk mengerti semua kepedihan yang terjadi. Bersama pamannya. Dia berlarian di atas pasir. Pasir yang tak lama lagi akan dikuasai pertambangan. Dia yang teramat mencintai laut. Mencintai setiap ikan, ombak, dan senja yang tenggelam dalam debur asin airnya.

“Paman. Apakah perempuan boleh jadi nelayan? Berteman dengan ikan, ombak, dan ayah di tengah laut sana?”

Pamannya terkejut. Dia sangat menyayangi gadis kecil itu. Dia tidak ingin menyakitinya. Meskipun dia sadar tambang akan datang, semakin luas, dan merebut tanah hidupnya.

“Iya, Nduk. Tidak apa-apa. Nenek moyang kita juga seorang pelaut.”

“Horeee...” begitu sambut gadis kecil itu.

Dan aku setetes embun yang membenci diriku sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Sampai hari itu datang. Tambang mulai melakukan pekerjaannya. Pematokan. Penyuapan kepala desa. Penggusuran tahap demi tahap. Pelacur itu. Ibu dari si gadis kecil tak sanggup lagi menanggung semuanya. Dia benamkan tubuhnya ke laut. Berharap ombak membawanya pada suami tercinta.

Yang terjadi kemudian adalah anak-anak ibu itu menangis histeris. Ditangisinya jasad beku tak bernyawa. Hari itu: tanah pesisir berduka.

Dalam kubangan dendam, sang paman dan warga menyusun rencana. Diajaknya semua berembuk. Petani, nelayan, guru agama, buruh, gelandangan, pelacur, dan semua yang tertindas untuk menyatukan tujuan bersama.

Sang paman berteriak lantang.

“Sesama orang lemah harus saling tolong menolong. Tak ada kemenangan perjuangan yang didapatkan dari mengemis dan merengek-rengek. Kemarin sudah jatuh korban. Apakah akan kita biarkan lagi? Apa yang harus kita lakukan? Tumbal perjuangan sudah cukup. Saatnya kita menyatukan barisan. Kita bangun kuat-kuat. Lalu kita hantamkan pada kekuasaan yang menindas tepat di jantungnya.”

***

Dan sejarah terus berjalan. Perlahan dan pasti semua meninggalkan dunia. Sampai akhirnya. Aku setetes embun. Aku harus menghadapi ketakutan yang teramat sangat. Bahkan aku terlampau takut hanya dengan membayangkannya saja. Yaitu ketakutanku yang tak bisa mati. Terlepas dari semua dan segala. Menyaksikan apa saja yang terjadi. Semua kepedihan dan kesedihan itu. Sendiri. Bahkan Tuhan.

***

Sekian dongeng ini. Selamat malam. Semoga mimpi indah para kekasih. ~


Malang, April 2018.
Mukhammad Fahmi.