Oleh: M. Fahmi
Konon, filsafat merupakan induk dari segala ilmu. Semua ilmu berawal dari filsafat dan akan berakhir menjadi seni. Filsafat memiliki arti cinta kepada kebijaksanaan. Filsafat dirangkum berdasarkan pertanyaan-pertanyaan untuk mencari jawab atas sebab musabab terjadinya gejala, fenomena, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, setiap orang adalah philosof, apalagi yang sempat mempertanyakan asal-usul dirinya, dari mana aku ini? mau ke mana aku pergi? untuk apa aku ada? mengapa alam ini diciptakan? berapa sebenarnya umur alam semesta raya ini? siapa Tuhan itu sebenarnya? dan lain sebagainya. Berbahagialah mereka yang mau merenungi semua ini dan berusaha mencari jawabnya.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan perjalanan itu? Pernahkah kita berpikir, apa yang sedang dan akan terus-menerus kita jalani? Sebuah perjalanankah? Atau apakah ada jawaban lain yang mendekati benar? Entahlah. Lalu, bagaimana kita dan perjalanan ini bisa ada? Siapa yang membuat perjalanan ini bisa ada? Untuk apa perjalanan ini ada? Dari mana awal mula perjalanan ini? Sejak kapan kita memulai sebuah perjalanan? Apakah ada titik akhir dari perjalanan yang selama ini kita jalani? Jika iya, kapan perjalanan ini akan terhenti? Di mana titik perhentian perjalanan ini? Kemudian jika tidak, bagaimana engkau bisa menjelaskan kepadaku bahwa perjalanan ini tidak pernah ada batas akhirnya? Apakah ada perjalanan selanjutnya setelah perjalanan di bumi? Ataukah perjalanan merupakan proses menuju keabadian dan alam yang kekal sedemikian hingga kita tak akan pernah menemui titik perhentian? Apa yang sebenarnya kita cari dari perjalanan yang sedang kita lalui? Tahukah kita bagaimana cara menginjak bumi yang benar? Tahukah kita bagaimana cara memahami perjalanan agar kita menjadi manusia yang bijak? Mengertikah kita, cakrawala mana yang hendak kita tuju dari seluruh perjalanan ini? Kepada siapa kelak kita akan kembali?
Pertanyaan demi pertanyaan mengenai perjalanan begitu menggugah saya untuk lebih dalam memahami dan menguak interior semesta raya ini. Konon, setiap manusia ditakdirkan menjadi pengembara dalam hidupnya yang tak pernah berhenti pada satu titik perhentian. Ia berkelana menjelajah jagat raya dengan langkah dan imajinasinya hingga sampai pada batas ketakberhinggaan.
Konon juga, hidup ini tidak akan pernah tuntas sebelum seorang anak manusia menyelesaikan misinya yang agung. Setiap orang di muka bumi ini memainkan peran sentral dalam sejarah dunia, tanpa ia menyadarinya. Mengenai tujuan dan pemilik arah dari sepanjang perjalanan, saya teringat beberapa firman Allah dalam Al-Quran. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS. Al-Baqarah: 115).
...Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus (QS. Al-Baqarah: 142).
...Tuhan Yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal (QS. Asy-Syuaraa: 28)
“Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur dan barat (QS. Al-Maaarij: 40).
Dari kesamaan makna berbagai ayat tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya Allah-lah pemilik arah timur dan barat. Maka setiap detik pencarian seorang pengembara bisa jadi merupakan momen perjumpaan dengan Allah yang sangat berharga.
Semua manusia pada hakikatnya hanif dan baik. Namun, dalam menempuh perjalanan mengarungi hidup di kehidupan ini ada berbagai warna alam yang mempengaruhinya, sehingga menjadilah ia sebagaimana ia menjadi. Manusia dinilai bukan dari seberapa lama ia melewati perjalanan, melainkan bagaimana ia melewati perjalanan. Keberanian yang kita harapkan dan kita junjung tinggi bukanlah keberanian untuk menjadi orang yang terhormat di sepanjang perjalanan ini, melainkan adalah bagaimana melewati perjalanan ini secara jantan. Jantan itu bukan terletak pada kekuatan, kekayaan, atau kemasyhuran, melainkan pada keberanian. Keberanian muncul karena adanya kejujuran, kebenaran, dan keikhlasan.
Manusia akan terus melewati semua perjalanan untuk mencari dan mencari. Sebuah pencarian merupakan proses yang tak ada habis-habisnya. Apalagi pencarian sebuah hakikat, sebuah kemurnian, dan sebuah cinta. Begitulah manusia pencari, bersunyi-sunyi dan terasing dari sekitarnya karena realita sesungguhnya telah menjauhkannya dari inti pencarian itu; sebuah Kebenaran. Kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui. Pada puncak kesunyian itulah, rindu pada Kebenaran terpuaskan. Sementara cinta merupakan bahasa universal yang usianya lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun, sebuah bahasa yang hanya bisa dipahami oleh setiap manusia di muka bumi ini dengan hati merdeka; juga sesuatu paling mulia yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sepahit apa pun perjalanan manusia, di sana akan tetap ditemukan isyarat keindahan dari bahasa yang universal itu. Sebab, hanya dengan bahasa universal itulah yang akan dapat mengantarkan perjalanan manusia sampai pada inti kesadaran dan hikmah.
Hidup setelah mati merupakan proses perjalanan panjang menuju keabadian. Jangan sampai kita kembali kepada Allah dalam keadaan dimurkai. Jangan sampai manusia pergi dengan tidak membawa bekal. Berbahaya. Bisa kelaparan di tengah jalan itu. Dan, kelak manusia akan menangis dalam dua perkara: menangis bahagia atas jerih payah dan perjuangan dalam mencintai kebaikan selama hidup di dunia dan menangis sedih atas kebodohannya tidak menetapi agama Allah selama hidup di dunia. Barang siapa menanam kebaikan, maka ia akan memperoleh buah kebaikan. Barang siapa menanam keburukan, maka ia juga akan memperoleh buah keburukan. Kehidupan itu seperti siklus memberi dan menerima. Hari ini kita memberi, esok kita akan menerima, dan akan selalu berjalan seperti itu. Peristiwa timbal balik dalam kehidupan akan selalu ada, sebab semua yang ada ini merupakan sunnatullah dan hukum alam yang terbantahkan.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (melakukan perjalanan) dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. Al-Insyiqaaq: 6).
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih dan kekal baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-Anaan: 32)
Malang, 21 September 2014