Lelaki dan Seekor Kucing Kesayangannya

Baiklah, kali ini saya akan bercerita tentang kisah seorang lelaki dan seekor kucing kesayangannya. Barangkali kamu sudah pernah mendengarnya, tapi ada baiknya kamu membacanya kembali. Sebab kehidupan merupakan proses membaca yang tak habis-habisnya.

Alkisah seorang lelaki yang sedang pulang dari perjalanannya menemukan seekor kucing kecil yang terlantar di jalanan. Kucing kecil itu tak pernah tahu di mana orang tuanya berada. Tubuh kucing itu basah oleh air hujan dan lusuh penuh dengan kotoran. Ia menggigil kedinginan sambil mengeong, berharap ada seseorang yang iba dan memberinya makanan.

Seorang lelaki yang saya ceritakan itu kemudian mengambil kucing itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak. Ia berniat membawanya pulang. Sesampainya di rumah, ia membersihkan tubuh kucing itu dengan air hangat, mencuci dengan sabun wangi, mengelap dengan handuk dan mengeringkannya dengan alat pengering. Kucing itu terlihat cantik sekali sekarang. Lelaki itu kemudian memberi makan kucing itu dengan beberapa makanan dan tulang ikan. Kebetulan lelaki itu hidup sendiri di rumah, maka ia memutuskan untuk merawat kucing itu. Kucing itu diberi nama Shelia.

Berbulan-bulan lelaki itu merawat dan memberi makan kucing itu di rumahnya hingga ia tumbuh besar. Suatu hari, kucing itu tak terlihat di dalam rumah. Lelaki itu sangat cemas dan kemudian mencarinya. Ia menemukan kucing itu sedang berada di sebuah taman yang banyak sekali orang-orang yang sedang lalu-lalang. Saat ditanya oleh lelaki itu mengapa ia berada di sana, kucing itu menjawab ia tidak ingin terpenjara di dalam sebuah rumah. Lelaki itu menasihati kucing itu, bahwa di luar rumah ada banyak sekali bahaya. Ia harus berhati-hati. Kucing itu mengangguk pelan dan bersedia pulang kembali ke rumah. Lelaki itu memang tak punya banyak waktu saat di rumah. Ia sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di kantor.

Kejadian yang sama terulang kembali pada minggu berikutnya. Kali ini kucing itu terlihat oleh lelaki itu di sebuah pasar dekat rumahnya. Ia bermain bersama kucing-kucing yang lain. Lelaki itu menasihatinya kembali. Hal yang sama dilakukan oleh kucing itu saat ia sedang bersalah.

Dan lagi. Namun kini lelaki itu sudah tidak lagi menasihati kucing itu. Lelaki itu akhirnya memahami, kucing itu hanya ingin sebuah pengertian, sebagaimana kucing-kucing yang lain. Dalam hatinya, baiklah kau boleh pergi ke mana saja sesuka hatimu.

Kucing itu sedikit ragu saat dilepaskan oleh lelaki itu. Ia kemudian pamit dari rumah dan mencari udara segar di luar. Ia mencari banyak tempat dan juga orang-orang yang bisa membuatnya bahagia. Berbulan-bulan, lelaki itu sudah tidak pernah mengikat kucing itu dengan sebuah nasihat. Kucing itu boleh keluar ke mana saja, boleh juga ia kembali ke rumah lelaki itu. Pintu rumah lelaki itu selalu terbuka untuk kucing itu, selagi ia ingin kembali.

Kau tahu, dari sekian banyak tempat dan orang-orang yang dikunjungi oleh kucing itu, tak ada yang sebaik lelaki itu. Ia sudah lelah tertipu dan tersakiti oleh orang-orang ataupun kucing-kucing di luar sana. Dunia ternyata tidak sedang baik-baik saja sebagaimana pemikiran kucing itu. Ia tidak mengerti bahwa ia sudah ditipu dan dimanfaatkan oleh orang-orang, ia tidak mengerti bahwa ia telah digunjing dan dipermainkan oleh teman-temannya, ia tidak mengerti bahwa kucing-kucing yang lain hanya bersikap sangat baik di depan, namun begitu keji dan menjerumuskan di belakang. Batinnya, mengapa mereka tidak membicarakan aib-aibnya sendiri, mengapa malah sibuk membicarakan aib orang lain, dan lain sebagainya. Dunia ternyata begitu kejam, tidak seperti kebaikan-kebaikan yang ada di dalam kepalanya. Dan ketika ia baru menyadari itu semua, mendadak ia menjadi membenci semua. Ya, membenci semua kepalsuan dan kepura-puraan. Ia ingin menjalani hidup apa adanya, sebagaimana yang telah digariskan untuknya. Lebih baik terasing baginya, daripada tenggelam ke dalam dunia yang penuh dengan kemunafikan.

Ia kemudian sangat merindukan sebuah ketulusan. Ia merindukan nasihat dan kisah-kisah yang biasa diceritakan oleh lelaki itu saat hari hampir malam. Kucing itu menangis dalam diamnya. Ia menyesal sedalam-dalamnya. Ia ingin pulang ke rumah lelaki itu, tapi ia sudah cukup malu. Ia berpikir, bahwa ia ingin sekali hidup kembali ke masa lalunya. Jika saja bisa, itu akan menjadi hari yang sangat menyenangkan baginya dan tentu saja ia akan berbuat yang terbaik.

Suatu pagi, pagi sekali, saat jemaah subuh di suatu musala bubar, lelaki itu mendapati kucing itu berada di depan pagar musala. Kucing itu terlihat jauh lebih kurus dari sebelumnya, kecuali perutnya yang membesar. Tubuhnya lusuh dan matanya kering. Lelaki itu hampir saja tak mengenalinya. Mereka saling menatap. Lelaki itu sangat sedih melihat keadaan kucing itu dan kemudian mengajaknya pulang. Kucing itu tak mampu berkata-kata lagi, ia menangis sesenggukan dalam dekapan lelaki itu.

Di rumah, lelaki itu memperlakukan kucing itu sebagaimana yang ia lakukan saat pertama kali menemukannya di jalanan. Kucing itu tak ingin lagi pergi ke tempat-tempat yang lain. Ia hanya ingin mengabdikan diri sepenuhnya dan mencintai tuannya, sebagaimana tuannya yang senantiasa menyayanginya. ~

Mukhammad Fahmi
Dunia Kecil yang Tumbuh di Kepalanya

Seorang lelaki yang tidak sengaja saya temui tadi pagi seperti masih sama ketika terakhir kali kami bertemu, kurang lebih sekitar lima tahun yang lalu. Suaranya, cara ia tertawa, gayanya berpakaian, juga warna matanya, semua masih sama seperti dahulu. Ia memiliki mata yang sama persis dengan mata ibunya.

Tadi pagi saya melihat keseluruhan dirinya. Seorang lelaki yang menjadi pelukis lepas itu memang sering sakit-sakitan. Batuk kronisnya selalu kambuh. Berkali-kali ia keluar-masuk rumah sakit. Ia pernah berjanji kepada saya untuk tidak merokok. Ia berusaha meyakinkan kepada dirinya sendiri bahwa rokok itu pahit dan tidak enak, dan ia begitu bangga karena telah melampaui beberapa minggu. Tapi entah kenapa ia kemudian merokok lagi.

Namun sesungguhnya, ia tidak begitu risau dengan penyakit batuk kronis yang ia alami. Jauh lebih dari sekadar itu. Orang-orang menyebutnya sebagai autisme, semacam gangguan perkembangan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Perasaannya mudah sekali terganggu. Ia lebih suka berbicara dan bermain dengan dirinya sendiri, dengan lukisan-lukisannya sendiri. Ia melihat lukisan-lukisan itu serasa lebih hidup daripada manusia-manusia yang banyak sekali berbicara.

Dulu waktu masih kecil, ibunya pernah berkata kepadanya, bahwa ia berbeda dengan anak-anak yang lain. Ia memerlukan perhatian khusus. Katanya, ia punya dunia sendiri yang sangat istimewa. Kelak suatu saat ia pasti mengerti kata-kata ibunya. Ibunya selalu memberi semangat dan meyakinkan bahwa ia pasti bisa melewati semua itu. Adalah penglihatannya, yang membuat ia menjadi istimewa. Sebelum meninggal ibunya berpesan, "Lihatlah semuanya sebagaimana dan seperti yang Ibu lihat. Kau tahu, kita memiliki bola mata yang sama, Nak."

Suatu hari ia pernah ingin sekali berterima kasih kepada sebilah pisau dapur. Pisau dapur itulah yang bisa menyelamatkan ia dari segala jenis perasaan dan membuat hidupnya menjadi lebih tenang, begitu katanya. Ia ingin sekali keluar dari sebuah penjara bernama rasa. Sesungguhnya ia telah sedemikian lelah dengan berbagai macam perasaan yang melekat di dalam dirinya. Semua perasaan yang selalu saja mengganggu dan menghantuinya. Hidup baginya bukan perkara yang mudah, ibarat pertarungan abadi melawan segala jenis perasaan yang ada di dalam dirinya. Sumber dari segala perasaan sesungguhnya ada di dalam dirinya sendiri. Dan untuk itu, sebilah pisau dapur menjelma sosok penyelamat yang begitu menarik baginya. Mungkin itu adalah satu-satunya pilihan. Namun ia segera mengurungkan dan membuang jauh-jauh pikiran itu. Ia sadar, itu bukan jalan yang baik.

Ia khilaf. Sebetulnya ada yang lebih dekat dengan dirinya dari segala sesuatu. Dekat yang tanpa jarak sekalipun. Yang Maha Menyertai. Yang semestinya harus terus-menerus ia hadirkan untuk melawan semua jenis perasaan yang ada di dalam dirinya.

Ia pernah berkata kepada saya, bahwa ia begitu iri kepada orang-orang yang buta matanya, kepada orang-orang yang tuli telinganya, kepada orang-orang yang bisu mulutnya, dan juga kepada orang-orang gila. Betapa Tuhan sangat mencintai mereka. Tuhan tidak ingin orang buta itu melihat selain wajah-Nya. Tuhan tidak ingin orang tuli itu mendengar selain kalam-Nya. Tuhan tidak ingin orang bisu itu berbicara selain kepada-Nya. Tuhan tidak ingin orang gila itu mengingat selain-Nya. Dan sesungguhnya, mereka juga telah diselamatkan dari segala jenis perasaan.

Sebagai sahabatnya saya tahu betul, ia memiliki semangat hidup dan daya juang yang tinggi. Sekalipun orang-orang yang pernah hadir di dalam hidupnya, orang-orang yang pernah tertarik, orang-orang yang menaruh hati dan harapan padanya, banyak yang kemudian menjauhi dan melupakannya karena menganggap dirinya sebagai orang yang berpikiran tidak waras, sebagaimana pemikiran orang-orang. Namun bagi saya ia tetaplah sahabat baik saya. Saya akan selalu menyayangi dan memahami lewat lukisan-lukisannya. Saya yakin, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan Tuhan telah memberi keistimewaan kepada lelaki itu yang mungkin tak dimiliki kebanyakan orang.

Sesekali kau perlu mengunjungi rumahnya yang lumayan jauh dari kota. Perjalanan yang kau tempuh menuju rumahnya akan serasa begitu mendamaikan, seperti perjalanan sunyi mencari kitab suci. Sesampainya di sana kau akan menemukan begitu banyak jenis dan warna bunga yang bertebaran di halaman rumahnya. Sedang di dalam rumahnya terdapat banyak kuas, cat air, dan lukisan-lukisan bunga. Ya, lelaki itu suka sekali menanam dan melukis bunga-bunga. Tidak sedikit orang dari luar daerah yang membeli lukisan-lukisannya. Ia tak perlu banyak bicara. Ia hanya ingin melukis dan tumbuh bersama bunga-bunga itu. Bunga-bunga yang akan memenuhi dunia kecil di kepalanya dan menghapus segala jenis perasaan. Kau tahu, lelaki itu sudah kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Kecuali satu yang membuatnya pantang menyerah dalam menghadapi setiap penggal kehidupan: setitik harapan. ~

Bulan November yang baik.
Mukhammad Fahmi.
Penglihatan

Ketika kita sedang memperhatikan orang lain, maka selalu lihatlah kebaikan-kebaikannya, jangan sampai berpikiran negatif. Siapa tahu ia bisa selamat dengan sifat kasih sayang dan kemurahan-Nya. Saat ia melakukan kesalahan atau kemungkaran, boleh jadi apa yang kita lihat itu menjelma sebuah ujian bagi kita. Maka jika kita benar-benar menyayanginya, kita hanya perlu mengingatkan secara pribadi, dengan kalimat-kalimat yang baik. Kebanyakan orang tidak demikian, di dalam hatinya malah tumbuh penyakit prasangka dan kebencian, bahkan memberitakan dan membicarakan bersama banyak orang. Dalam kasus ini, boleh jadi kita yang malah tidak akan selamat. Kita tidak boleh membenci siapa pun, kita hanya boleh untuk tidak menyukai sesuatu yang dilakukannya, bukan orangnya.

Saat kita sedang memperhatikan diri sendiri, maka selalu lihatlah keburukan-keburukan kita, jangan merasa bisa selamat hanya dengan prestasi amal. Siapa tahu kita tidak bisa selamat dengan sifat keadilan-Nya. Saat kita melakukan kebaikan, boleh jadi apa yang kita rasakan menjelma sebuah ujian bagi kita. Maka jika kita benar-benar menyayangi diri kita sendiri, perbanyaklah memohon ampunan. Semakin banyak kita melakukan kebaikan seharusnya semakin banyak pula kita memohon ampunan dan meminta keselamatan. Jangan sampai melebih-lebihkan diri di atas orang lain. Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya.

"Apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening," begitu kata Gus Mus dalam salah satu cerpennya. Sudah menjadi keniscayaan, setiap manusia senantiasa dilengkapi oleh patahan-patahan waktu, dilengkapi dengan perangai baik-buruk, dan dengan dirinya yang tidak sempurna.

Semakin banyak belajar, kita akan menemukan ada begitu banyak orang-orang baik di dunia ini. Semua orang itu baik. Tuhan telah memberi anugerah penglihatan yang baik. Maka di saat kita berpikir ada orang yang tidak baik, berarti ada yang salah dengan penglihatan kita.

Setiap dari kita sedang belajar mencintai. Menemukan setiap warna kebaikan di sepanjang penglihatan, untuk kemudian kita tanam dan rawat di pekarangan kalbu. Kita juga sedang belajar membuang kebencian. Menghapus gumpalan-gumpalan hitam yang menyesakkan dada.

Konon, semakin tinggi derajat seseorang, maka ujiannya pun akan semakin besar. Kita pasti ingat kisah seorang ulama besar, punya ribuan santri yang kesemuanya bisa terbang di langit. Tapi di akhir hayatnya ia malah ditakdirkan tidak selamat, karena terpedaya oleh rajanya Iblis. Na'udzubillah tsumma na'udzubillah min dzalik. Kalau boleh dipikir, lebih enak menjadi orang biasa, karena ujiannya tidak terlalu besar, paling cuma diganggu oleh golongan setan yang kecil-kecil dan lucu, kemungkinan bisa juga diajak bercanda, atau sekali-kali kita tipu, dan kita ajak ke dalam kebaikan. Hehehe. ~

Mukhammad Fahmi
You're Still Growing

Sebagian besar waktu manusia digunakan untuk self talk atau berbicara dengan diri sendiri. Secerewet apapun manusia masih jauh lebih banyak ia berbicara sendiri dengan hatinya daripada berbicara dengan mulutnya. Setiap dan segala pembicaraan akan terekam dan tumbuh menjelma doa dalam tubuhnya karena sebagian besar tubuh manusia adalah air. Sebagaimana yang pernah kau pahami, air merupakan makhluk yang sangat peka jika ia diberikan kalimat-kalimat. Air merupakan penghantar yang baik. Maka berhati-hatilah dalam setiap pembicaraan, baik bersama diri maupun bersama manusia.

Jika engkau ingin berbicara, berbicaralah bersama Allah, jangan bersama dirimu sendiri. Sebab di dalam diri manusia tertanam sebuah makhluk tak kasat mata, yang akan menjerumuskanmu ke jalan yang begitu menyedihkan.

Kau mungkin sudah sedemikian jauh. Kau tak akan sampai.

Sekarang, lihatlah Allah dalam segala sifat-sifat-Nya, dalam segala sesuatu, dalam setiap waktu, dalam segala hal. Berbicaralah dengan-Nya. Engkau akan memiliki dunia tersendiri bersama Allah. Sebuah dunia yang jauh lebih luas dari sekadar bola bumi beserta seluruh permasalahan yang tak habis-habisnya. Engkau tak akan sibuk melihat gambar dan rupa selain zat-Nya. Engkau tak akan sebal atau bahagia yang sementara hanya sebab merasakan manusia-manusia atau segala kejadian. Engkau tak akan lelah memikirkan dunia dan berulang kali menyalahkan keadaan. Karena yang engkau pandang hanya Allah, bukan yang lain. Hidupmu akan jauh lebih tenang diselimuti rahmat dan fadhol-Nya. Damai dalam ruang pribadi dan dunia tersendirimu bersama Allah Azza wa Jalla, yang Maha Ada, yang Maha Lembut. Cahaya Maha Cahaya yang tak pernah menyilaukan mata. Cahaya yang akan menuntunmu ke jalan abadi yang membahagiakan. Yang akan membuat seluruh permasalahan itu menjadi bahasa yang lebih sederhana untuk kau nikmati sebagai bahan gurauan.

Saya menulis ini karena ingin mengingatkan diri saya sendiri. Saya mungkin sudah sedemikian jauh. Saya merindukan diri saya sendiri. ~

Mukhammad Fahmi
Sandal Habib Bahrul

Planggggggg...!!!

Suara itu mengejutkan seluruh jemaah masjid Qolbun Salim. Orang-orang yang mendengarnya segera mendekati sumber suara itu. Sebagian yang lain hanya melongo, memerhatikan dari jauh. Para jemaah dan pengurus masjid benar-benar tersentak dan tidak menyangka, Habib Bahrul yang tadinya memimpin khotbah Jumat dengan tenang dan berwibawa kemudian mengimami salat Jumat dengan bacaan yang fasih dan berirama, kini mendadak marah-marah dan memukul gerbang besi masjid dengan sebuah kayu yang tergeletak di sampingnya, hanya karena kehilangan sandal, hingga terdengarlah suara keras, planggggggg...!!!

Kejadian itu sebetulnya bukan hanya terjadi sekali. Kejadian yang menimpa Habib Bahrul itu telah terjadi berkali-kali bahkan hampir setiap kali ia menjadi imam masjid atau bertugas sebagai khotib di setiap masjid. Kejadian yang sudah tidak lagi bisa dihitung. Sampai-sampai pembatu rumah Habib Bahrul terkadang merasa heran karena berulang kali ia disuruh untuk membeli sandal yang banyak di pasar.

“Bagaimana umat Islam bisa maju kalau moralnya saja seperti ini! Yang telah hilang dari umat Islam di masa sekarang adalah akhlak. Moralnya sudah rusak. Zaman sudah akhir. Tidak lama lagi semuanya akan hancur lebur dilumat hari kiamat!” cerca Habib Bahrul dengan nada tinggi dan tidak mau tahu, seperti sedang menyambung khotbah yang tadi telah disampaikannya, sembari mencari-cari sandalnya di sekeliling masjid.

Para jemaah dan pengurus masjid merasa tidak enak hati dan segera ikut membatu untuk mencarikan sandal Habib Bahrul. Tapi tidak kunjung ketemu.

Salah seorang pengurus masjid kemudian menghampiri Habib Bahrul, “Hmm, begini saja, Ustaz. Bagaimana kalau Ustaz memakai sandal saya dulu. Kami akan segera membelikan sandal baru sebagai gantinya. Nanti kami antar langsung ke ndalem Ustaz,” bujuk pengurus masjid itu, berusaha menenangkan amarah ustaz.

“Tidak usah. Kalau cuma sandal saja saya bisa beli sendiri. Ini bukan soal ganti-mengganti yang remeh begitu. Kau tahu, kejadian semacam ini entah sudah yang ke berapa kali. Betapa mengesalkan peristiwa ini!” ucap Habib Bahrul sebal sambil langsung berbalik ke mobilnya dengan kaki telanjang. Mobil itu kemudian berlalu, meninggalkan orang-orang yang masih melongo menatap kepergiannya.

***

Semenjak kejadian yang terus menimpanya, dan pada kejadian yang terakhir di masjid Qolbun Salim itu, Habib Bahrul kemudian memberikan syarat tegas kepada pengurus masjid, untuk menyediakan tempat khusus bagi penitipan sandal di lemari yang ada kuncinya, atau paling tidak ada petugas yang menjaganya di tempat penitipan demi menghindari kejadian yang selalu menimpanya. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, maka ia tidak akan bersedia memenuhi undangan menjadi imam atau khatib.
Namun, sama saja. Sandalnya tetap saja hilang.

“Tempat penitipan macam apa ini? Mengapa masih bisa hilang? Apa ada seseorang yang masuk kemudian mencurinya?” bentak Habib Bahrul menunjuk petugas penitipan sandal dengan rentetan kejengkelan.

“Saya juga tidak tahu, Ustaz,” jawab petugas pelan.

“Mengapa bisa tidak tahu? Apa kamu tidak menjaganya? Bukankah kamu yang bertanggung jawab dengan segala yang dititipkan di sini?” balas Habib Bahrul keras.

“Saya bertanggung jawab, Ustaz. Saya juga tidak lupa mengunci pintu ruang penitipan ini sebelum ikut salat jamaah tadi,” tambah sang petugas hati-hati.

“Berarti, boleh jadi kamu sendiri yang mencuri!” tuduh Habib Bahrul. Halaman sekitar penitipan sandal jadi ramai oleh jemaah yang menonton tingkah Habib Bahrul. Ia tidak menghiraukan sembari pergi dan terus mencerca. Ia mengancam akan melaporkan kejadian itu pada pihak yang berwajib.

Tentu saja ancaman itu hanya untuk menakut-nakuti. Habib Bahrul tahu, bahwa ia tak mungkin berbuat sejauh itu. Akan tetapi kejadian sandalnya yang hilang tetap saja terulang kembali di masjid mana saja, meski di tempat penitipan yang telah diberikan kunci khusus bagi tiap jemaah.

Pernah juga ia membawa sandal yang diberi rantai agar bisa digembok di gerbang masjid. Alhasil sama saja, sandalnya tetap saja hilang! Hanya sandalnya yang hilang, gembok dan rantainya masih melekat di gerbang dengan kondisi gembok yang sudah terbuka. Ia sempat berpikir, apa jangan-jangan pelakunya adalah seorang tukang ahli kunci? Tapi mengapa harus sandal yang dicuri? Mengapa bukan sekalian mobilnya yang lebih mahal?

Habib Bahrul seperti merasa sedang dikerjai oleh seseorang yang entah itu siapa untuk mengambil sandal-sandalnya selama ini. Ia benar-benar merasa sangat sebal dan heran, kenapa yang hilang selama ini hanya sandalnya, sementara sandal para jemaah yang lain tidak ada satu pun yang hilang. Ia merasa kejadian ini bukanlah hal yang biasa dan membuatnya semakin kesal.

Maka niatnya untuk menghadiri undangan dari pengurus masjid kini telah berubah menjadi keinginannya untuk menyelidiki, siapa dalang di balik semua ini, siapa orang yang selalu usil mengambil sandal-sandalnya selama ini. Ia hanya berkenan menghadiri masjid yang ada kamera CCTV-nya.

Hingga pada suatu ketika pun tiba. Ia diundang untuk menjadi imam masjid salat Idul Adha di masjid agung Bandung. Rencananya kali ini tidak boleh gagal. Tidak boleh. Pokoknya ia harus menemukan orang itu. Harus. Betapa ia ingin sekali memakan orang itu bulat-bulat. Sandalnya kini sudah siap di letakkan di tempat yang terlihat jelas oleh kamera CCTV. Ia pun melangkah masuk ke dalam masjid dengan tenang.

Dan apa yang terjadi setelah Habib Bahrul akan pulang? Sandalnya tetap saja hilang! Namun ia tetap tenang. Ia meminta petugas untuk melihat CCTV. Rekaman CCTV kemudian diputar ulang. Habib Bahrul memerhatikan layar monitor dengan cermat. Mulai dari awal ia menaruh sandal, benda itu terlihat dengan sangat jelas. Tapi beberapa saat kemudian, beberapa detik saja layar monitor hanya menampilkan warna yang gelap dan kemudian terang kembali. Dan sandalnya sudah tidak ada!

“Bagaimana bisa gelap begitu? Bukankah itu bagian dari pencurian sandal saya? Ini seperti disengaja!!!” tuding Habib Bahrul kepada petugas CCTV.

“Saya benar-benar tidak tahu, Ustaz,” jawab petugas CCTV hati-hati.

“Kamu telah mengutak-atiknya!” tuduh Habib Bahrul tajam. “Saya benar-benar akan melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib!”  bentaknya lagi sembari pergi.

Petugas CCTV dan pengurus masjid kemudian benar-benar berurusan dengan kepolisian. Dan sebagaimana sebelumnya, kejadian sandalnya yang hilang di masjid yang memiliki CCTV, di mana saja, kapan saja, terus saja terulang dalam bentuk yang sama: peristiwa pencurian sandal termasuk siapa pelakunya yang tidak terekam. Berulang-ulang pula pengurus masjid dan petugas CCTV berurusan dengan kepolisian.

***

Habib Bahrul kemudian berpikir, ia sudah tidak mau lagi menjadi ustaz. Ia berniat berhenti saja. Mungkin itulah satu-satunya jalan agar ia tidak lagi berurusan dengan kejadian sandal hilang. Ia tidak ingin berurusan dengan masalah yang itu-itu terus. Ia sudah tidak tahan lagi. Memang lebih baik berhenti, batinnya. Menurutnya, ia sama sekali tidak rugi kalau tidak jadi ustaz. Apalagi memang ia tidak pernah mengeluarkan biaya apapun untuk menjadi ustaz. Pikirannya menerawang, mengenang masa-masa ia dipanggil ustaz dahulu.

Menjadi ustaz memang bukanlah keinginan dirinya. Orangtuanyalah yang sangat menginginkan. Karena itu, sejak dilahirkan ia diberi nama Habib Bahrul, lengkapnya Habib Bahrul bin Smith. Nama Habib sendiri bukan berarti ia keturunan nabi. Ia hanya kebetulan saja diberi nama Habib, agar kelak menjadi ustaz atau paling tidak menjadi orang baik. Maka panggilan itu bukanlah berlebihan, karena memang begitu adanya.

Namun ia tetap tidak memiliki niat menjadi ustaz meskipun ia mempunyai pengetahuan agama karena waktu kecil ia sempat dibesarkan di lingkungan pesantren, meski tidak lama. Ia menjadi ustaz malah kebetulan saja. Karena namanya Habib dan sempat mondok di pesantren, lingkungannya kemudian seperti benar-benar menganggapnya seorang Habib atau ustaz yang mempunyai pengetahuan agama yang lebih dibanding kebanyakan orang. Suatu saat orang memintanya untuk menjadi imam salat di musala, dan ia melakukannya. Saat berikutnya orang memintanya untuk mengisi ceramah, menggantikan ustaz yang tidak datang, ia melakukannya. Sejak itulah ia menjadi ustaz yang diundang ke beberapa tempat untuk mengisi ceramah, khotbah, atau menjadi imam.

Ia sebenarnya merasa tidak ada apa-apanya. Waktu kecil ia hanya mondok selama dua tahun lalu keluar begitu saja, dan tentu saja ia tidak lulus madrasah diniyah. Barangkali tambahannya ia dapatkan dari membaca buku-buku, mengikuti kajian-kajian di kampus, atau menonton ustaz masa kini di youtube. Ia mengambil kuliah pun bukan jurusan agama. Tapi begitulah, ia senantiasa diminta ke sana dan ke mari, masih demi masjid, untuk berceramah, berkhotbah, dan juga menjadi imam.

Oleh karena itu ia merasa tidak begitu rugi kalau berhenti, pikirnya kembali sambil menghapus kenangan. Sebab ia menjadi ustaz juga secara kebetulan. Namun permintaan dari masjid demi masjid terus saja mengalir. Ponselnya seperti tidak pernah putus berdering. Ia semakin kewalahan. Ia seperti tidak bisa memilih dan memutuskan. Maka ia berniat untuk berbicara baik-baik dengan pihak masjid ketika kebetulan ada pertemuan dan perkumpulan pengurus masjid se kota Bandung di aula masjid agung, dan kebetulan juga ia diundang ke sana untuk memimpin berdoa.

“Apa ustaz yakin dengan apa yang tadi ustaz sampaikan? Kami akan benar-benar merasa kehilangan,” tanya seorang pengurus masjid sedih ketika Habib Bahrul hendak pulang.

“Saya yakin. Di kota Bandung ini tidak kurang ustaz-ustaz yang punya pengetahuan melebihi pengetahuan saya. Saya hanya ingin berhenti, dan kalian jangan pernah mengundang saya lagi. Titik!”

Dan ketika hendak pulang sandalnya tidak ada lagi. Ia semakin geram dan berdoa dengan keras dan lantang, “Ya Tuhan, berikanlah azab kepada orang yang telah mengambil sandal-sandal saya...!!!” Seketika itu juga, entah mengapa atap bagian ujung masjid agung tiba-tiba runtuh dan menimpa kepala Habib Bahrul. Dalam waktu yang tidak lama kepala Habib Bahrul pun berdarah dan penglihatannya menjadi gelap.

***

Beberapa jam kemudian, Habib Bahrul mengetahui dirinya sudah berada di atas pembaringan di rumah sakit. Orang-orang begitu banyak yang berkunjung ke rumah sakit saat mengetahui Habib Bahrul dirawat di sana, termasuk sanak keluarga, para jemaah pengajian, dan para pengurus masjid.

Ia meraba-raba kepalanya yang masih dililit perban. Tiba-tiba ia merasakan perihnya. Tapi tiba-tiba pula ia mengucapkan, “Astaghfirullah...” Mungkin karena sesuatu yang menimpa kepalanya ini, pikirnya. Ya, karena benturan inilah ia jadi bisa mengingat kelakuannya yang tidak baik di masa kecil, ketika di pondok pesantren ia sering sekali mengambil sandal temannya tanpa izin!

Tidak sengaja ia tersenyum.

“Ada apa, Ustaz?” tanya salah seorang pengurus masjid yang menjenguknya heran, namun tidak sengaja ia ikut tersenyum juga. Penjenguk yang lain pun ikut senang.

“Tidak apa-apa,” jawabnya, sambil masih tersenyum.

“Ustaz seperti mendapatkan ilham,” timpal yang lain.

“Saya sudah tidak ada masalah lagi keluar-masuk masjid. Kini saya benar-benar sudah tidak memerlukan sandal lagi,” ujarnya sambil masih tersenyum. Suaranya terdengar sangat tenang dan menenangkan. Jauh berbeda sekali dengan saat ia sedang marah-marah.

Tiba-tiba sesuatu yang hangat meleleh di pipi Habib Bahrul.

“Saya hanya ingin memohon maaf karena selama ini sering kali marah-marah yang tidak jelas kepada para pengurus masjid. Tolong maafkanlah saya,” ucap Habib Bahrul sambil memegang tangan salah seorang pengurus masjid.

Semua yang ada di ruangan itu pun terenyuh. Sebuah momen haru yang begitu mendamaikan. ~

Kopen, Agustus 2019.
Mukhammad Fahmi.
Menyentuh Langit Cinta-Mu

seberapa deras rindu yang hendak menahanku
di sini, waktu menjadi jurang
tempat menampung segala gundah berpintalan
sebelum akhirnya tumpah dalam degup
aku ingin pulang...
aku ingin pulang pada dingin sungai
yang mengalir ke laut-Mu

Kasih...
biarkanlah angin kan menjemputku,
dan membawaku kepada cahaya,
yang akan segera kembali menyala saat langit cinta-Mu
berhasil kusentuh dengan jemari air mata
mungkin juga guntur akan segera tumbuh,
pada lipatan doa yang membias dari ketinggian harapku
namun, siapa? siapa kini yang berani mengganti kerinduanku
pada belai kasih-Mu yang telah Kau kirim jauh...
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu?
kunyalakan lilin kasmaran pada sela-sela tulang rusukku
kubiarkan seluruh darah daging mendidih,
mematangkan rindu, cinta, dan air mata lewat doa
yang bergelantungan di ranting-ranting malam panjangku
sujudku barangkali hanya sebatas diam
menampung damai yang Kau dekap dalam selembar rindu
yang jazab oleh jumpa paling jeram

Malang, November 2015.
Mukhammad Fahmi.
Kupanggil Namamu
ku panggil namamu, Sahabat
manakala senja tiba membawa risalah dan kesunyian
camar-camar terbang sempurna menciumi sisa-sisa matahari yang basah,
sebelum akhirnya malam menjadikannya tiada
ini bukanlah jingga yang pertama, Sahabat
bukankah perihmu masih terbelit akar pepohonan?
maka kubiarkan tanah ini menyerap lukanya

di langit, mungkin matahari selalu muncul dari rasa gelisah,
takut, bahkan kecemasan yang tak kunjung usai
Sahabat, biarkanlah jiwa ini berkelana
sambil terus meneriakkan mimpi
untuk meredakan gelombang
dari sebuah jeruji senja yang begitu panjang

Sahabat, lihat, hari sudah petang
aku akan kembali ke dalam diriku, tapi kau?
masih saja kulihat di sudut matamu yang berawan;
ada derai yang memuai;
ada yang terus mengalir dari masa lalu
hingga ke lautan benak

mesti kita kejar ufuk itu, Sahabat
dan membiarkan sayapnya merangkul dalam gelap
yang menyayat sejarah air mata
sementara kisah-kisah itu masih menyimpan gemuruh laut,
tempatmu berjanji menautkan keinginan pada lempengan waktu
yang mengombak dalam doaku

Sahabat,
sudahkah kau berani jujur pada dirimu sendiri?
ataukah masih saja kau dustai nurani?
sudahkah kau telanjang polos di hadapan-Nya?
ataukah diam-diam masih saja kau coba tipu Dia?
sudahkah kau ingat, bagaimana cara menginjak bumi yang benar?
ataukah masih saja kau pura-pura tak mengerti?
sudahkah kau sambut cinta-Nya dengan cinta yang setara?
ataukah justru sembunyi-sembunyi kau jadikan Dia yang kedua?
sampai kapan kau tipu dirimu,
kau perdaya dirimu, kau pertuhan dirimu,
kau biarkan biarkan dirimu tenggelam dalam lumpur yang nista?

Sahabat,
sampai kapan?
mau sampai kapan?

Jombang, Januari 2016.
Mukhammad Fahmi.
Aku dan Rumbai Kata

seberapa tajam kata yang hendak mengoyakku?
pada belantara yang lebih luas,
retorika zaman yang semakin ganas
kebebasan logika pemikiran manusia
berusaha menyayat-nyayat ulu imanku
kata-kata yang entah lahir dari peradaban mana berusaha
merobohkan surauku, menghempaskan keyakinanku
berbagai ideologi terbungkus rapi,
semakin saja membutakan penglihatanku,
mendungukan telingaku, mematikan rasaku
puisi-puisi yang tak kukenal
begitu lancang menghina firman Tuhan
lalu filsafat demi filsafat semakin memandang agama
sebagai candu dan bahkan fiksi

kata, begitu tajam, melesat menyesaki peradaban
begitu mudah mengubah dingin menjadi panas,
merekayasa kezaliman menjadi kebaikan,
menyulap kebohongan menjadi kebenaran,
dan seperti yang lain

di saat lautan manusia berselimut kata
bumi menjadi saksi atas ketidakhadirnya ruh
di setiap untai kata
kata terus mengalir biarpun tanpa jiwa
puisi-puisi terus saja lahir biarpun tanpa langkah nyata

aku pun dengan sisa-sisa imanku
mencoba membaca firman demi firman-Nya
“...penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu
tidakkah kau lihat,
mereka menenggelamkan diri
dalam sembarang lembah khayalan dan kata
dan mereka suka mengajarkan yang tak mereka kerjakan
kecuali mereka yang beriman, beramal baik,
banyak mengingat dan menyebut asma Allah,
dan melakukan pembelaan ketika dizalimi...”
begitulah, betapa sejuk kalam-Nya
mengalir, menyirami jiwa-jiwa yang kering
membangunkanku dari lelapnya puisi dan kata
menyembuhkan alpaku,
memanggil diriku yang telah lama hilang

di balik puisi dan kata aku terdiam
dengan lirih hatiku membisik
“Ilahi, maafkan puisi-puisiku
selamatkanlah aku dari lautan kata-kata
jagalah kata-kataku,
selamatkanlah puisi-puisiku.”

Malang, 2018.
Mukhammad Fahmi.
Rindu Jalan Pulang

Ketika kau terbangun
Masih gelap, tanya sepasang mata itu
Langit tak lagi seperti dahulu
Tanah bumi pun, gersang dan hampa
Sungguh, tiadakah Tuhan di sini?

Sejenak kau terdiam
Menatap jalan
Menafsirkan seluruh usia

Hanya engkau yang menjelma rindu
Hamba siapa
Dan hati yang lembut
Lekat pada jiwa-jiwa yang sejati

Ia mungkin bara menyala-nyala itu
Yang menjilat semua tubuh
Yang kini mesti digenggam
Sebelum lepas dihempas alpa
Engkau jadi pulang ke mana?

Malang, April 2018.
Mukhammad Fahmi.
Puisi Anak Kecil

aku ingin                                                     
hanyut dalam desir angin
menggericik dalam setiap tetes air
melesat bersama cahaya
tersenyum dalam setiap butiran bening embun di dedaunan
berdenyut dalam tiap detak waktu
berbaur dengan semua elemen, semua nada, semua warna
dan bernyanyi bersama kicau segala burung
di alam semesta raya ini!

Ilahi, Engkaulah
penolong di setiap gerak langkah hidupku;
di saat aku buta dan tertatih kehilangan-Mu,
Engkaulah kekasih abadi:
matahari hatiku, rembulan jiwaku,
pelipur dukaku, penyejuk mataku;
di saat semua sesungguhnya sirna
—karena hanya Engkau yang ada dalam ada,
Engkaulah yang bisa membawa langkahku
untuk mengenal siapa diriku dan juga Engkau,
Engkaulah tempat sejatiku bersujud dan berharap
dalam setiap bait hembus nafas-Mu,
yang telah Kau kirim jauh…
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu,
Engkaulah hakikat dan inti pencarianku,
puncak tertinggi kerinduanku

Ilahi, ajarilah aku mencintai-Mu
dengan cinta yang setara dengan cinta-Mu
agar segera sampai aku kepada-Mu
cukuplah sosok sepi ini dengan ridho-Mu
yang menyeluruh tiada batas-tepi itu

Ilahi, telah kuterima surat agung-Mu
kan kugenggam erat-erat seluruh ayat-ayat cinta-Mu
kubawa berlari, berlari, dan berlari..
betapa pun, di sini
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu
di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari segala kembara cintaku!

Ilahi, aku ingin…
berlayar dalam semesta maha karya akbar-Mu
di ruang dan waktu manapun

Jombang, Januari 2013.
Mukhammad Fahmi.

Zaman Now

Korupsi membudaya

Keadilan diperjualbelikan

Harta dan kekuasaan sudah didudukkan

dalam singgasana Tuhan

Kebenaran terlampau mudah dibungkam

Retorika zaman semakin ganas

Berbagai ideologi terbungkus rapi, berebut benar

Parade wajah-wajah penuh topeng, bertebaran

Hitam putih sulit diraba

Media maya sesak artis, berlomba muka, dijual murah

Pacaran sudah hal biasa

Zina di layar kaca

Bayi-bayi tak berdosa jadi tumbal

Dosa dipandang sebelah mata

Tuhan tak pernah dianggap ada

Kitab-kitab kehidupan tak lagi dibaca

Kegelapan ada di sekujur harinya

Kejahiliahan telah sampai pada puncaknya

Ketulusan tampak purba

Manusia-manusia semakin serakah

Bumi sudah terluka parah

Langit jadi saksi semua kejadian

Lalu, adakah kita hanya akan diam saja

Bersembunyi dalam kata-kata

Lalu, adakah kita masih punya wajah

untuk menghadap-Nya?



Malang, Februari 2018.
Mukhammad Fahmi.

Kutolak Cintamu, Bukan Karena Ku Tak Mencintaimu
kasih
tahukah engkau mengapa akhirnya harus kukatakan
semua ini padamu?

ketahuilah, Tuhan yang dulu engkau agung-agungkan itu
yang dulu kau puja, kau sebut nama-Nya
hingga bibirmu kelu lewat zikir sepimu
kini telah terkubur di lembah-lembah mesum
cahaya-Nya berkarat tenggelam dalam minum-minuman laknat
suara-Nya terjepit di antara ingar bingar musik jalanan
sabda-Nya pun tak laku lagi dijual di rumah-rumah ibadah
bahkan di pasar loak!

Tuhan telah kau sulap menjadi buah-buah khuldi baru
yang siap engkau petik seenaknya, engkau isap, engkau makan,
dan engkau campakkan sisanya ke air comberan

Tuhan sudah lama mati terbunuh
engkaulah yang membunuh-Nya lewat janin-janin tak berdosa,
hasil hubungan gelap dengan pacarmu

Tuhan sudah lama mati kelaparan lewat derita orang-orang miskin
yang tak kau hiraukan lagi tangisnya

Tuhan telah lama pergi karena kau telah membuat-Nya cemburu,
lewat laku maksiat yang setiap saat kau lakukan

Tuhan telah lama tak ada karena kau tak pernah menganggap-Nya ada

Tuhan telah lama menghilang karena kau tak lagi membutuhkan-Nya

Tuhan telah engkau siksa, engkaulah yang memenggal leher-Nya,
kau cincang tubuh-Nya lewat amuk masa yang mengobarkan nafsu amarah

Tuhan telah engkau injak-injak lewat kekuasaan angkara murka

Tuhan telah kau tipu lewat omong kosongmu yang tak pernah kau kerjakan

Tuhan telah engkau potong lidah-Nya,
kau bungkam suara kebenaran-Nya

kemudian Tuhan engkau jadikan barang mainan anak-anak
yang terpajang di etalase-etalase toko di sepanjang jalan

dan kini, kau bebas menuhankan apa saja yang engkau suka
termasuk nafsu syahwat dan hawa kedaginganmu!

kasih
tahukah engkau mengapa akhirnya harus ku katakan semua ini padamu?
sebab, kini aku bukan lagi pribadi yang harus bisa menerima, juga menolak
karena cinta yang seperti itu mungkin hari ini sudah tak ada
orang-orang telah lupa, dan mungkin tak lagi mengingatnya lagi
apakah kau tak juga mengingat-Nya?
apakah kau tak juga merindukan-Nya?

kasih
ketahuilah,
cinta sudah lama mati bersama matinya hati nurani
cinta sudah lama menghilang bersama menghilangnya kesadaran
maka kutinggalkan nafsu dalam keyakinan hati
percayalah, justru aku sangat mencintaimu
itulah sebabnya,
kutolak cintamu bukan karena ku tak mencintaimu

Tuban, Juli 2016.
Mukhammad Fahmi.
Apakah Kita Masih Seperti Dahulu?

Saat pertama kali menjadi tanah
Yang lunak bagi segala jenis tanaman yang tumbuh
Yang lembut bagi air yang datang

Makna selalu terpendam
Dalam kebisuan tanah
Dalam halaman-halaman hari yang terlepas untuk kita temui
Dalam hening yang tak lagi tersentuh

Langkah kian menjauhi tanah
Mendekati bebatuan
Yang mengeraskan penglihatan
Mengeringkan mata air kalbu
Berkeping-keping

Waktu menggugurkan putik-putik usia
Kegamangan persimpangan jalan
Menyulut kembali api impian
Agar sesegera pulang pada tujuan
Namun, selalu saja tertinggal

Letih dalam remah-remah kisah
Menyisakan peluh kesah bagi kalbu
Yang tiada henti-hentinya
Menggali, mengeja
Kelembutan, kesunyian tanah
Tak sampai-sampai

21 Juli 2019.
Mukhammad Fahmi.
Di Kafe

Di kafe, kita diam saja
Hanya matamu yang sayu
Menambah kesunyian sore hari
Yang tak putus-putus

Di kafe, kita duduk saja
Aku memerhatikanmu hati-hati
Dan memikirkan kapan terakhir kali
Kita akrab
Baiklah, engkau lebih menyukai
Buku yang engkau baca

Sedang dua cangkir kopi panas
Yang telah kita pesan
Tiba di meja kita
Bahkan belum sempat
Kita meminumnya
Kau tumpahkan begitu saja ke lantai yang dingin
Baiklah, engkau lebih menyukai kita
Yang canggung

Orang-orang sekeliling melihat
Pertengkaran kecil kita
Kita hanya tersenyum
Dan meminta maaf
Ke arah mereka
Seperti tak sedang
Terjadi apa-apa

Sebelum hari hampir gelap
Kita berdiri pergi
Membuat janji lagi
Dan kita pun saling berebut
Untuk membayar pesanan kita
Yang bahkan belum sempat
Kita rasakan
Baiklah, engkau selalu mengajakku bercanda
Betapa parah
Cinta kita

Surabaya, 28.07.19.
Mukhammad Fahmi.
Serangkaian “Tiga” yang Tersaji di Kopdar Koma #02

Sabtu, 29 Juni 2019.

Kopdar ke dua Koma kali ini agak berbeda dengan Kopdar sebelumnya. Kopdar Koma ke dua ini sesungguhnya dan juga tanpa disadari (tentunya) terdiri dari rangkaian yang selalu berjumlah tiga. Sebelumnya tidak sampai terpikirkan, sampai salah satu di antara kami bercerita.

“Ada yang sadar tidak, bahwa karena logo Koma itu berbentuk segi tiga, yang dimanifestasikan sebagai iman, islam dan ihsan, maka saat ini, kita sedang diperlihatkan serangkaian kegiatan yang berjumlah tiga.”

Saya yang pada waktu itu tidak mengerti apa-apa maksudnya, berpikir agak lama.

“Maksudnya, Bang?”

“Coba sampean rasakan, tadi waktu acara Kopdar Koma di warung Lesehan Brawijaya kan yang hadir cuma tiga orang, kulo, sampean, sama Bang Ali.”

Saya mulai memahami dan mantuk-mantuk. Kebetulan memang Kopdar yang diadakan di warung Lesehan Brawijaya dihadiri oleh hanya tiga orang. Kang Jajad ternyata ketiduran sampai sore. Ninik tidak bisa hadir karena Suci juga tidak bisa hadir. Para santri di pondok juga pada belum balik. Sementara ketua umum, Hilman Muttaqin MA tidak bisa hadir juga karena persiapan akan berangkat ke Sulawesi. Jadi akhirnya hanya tiga orang.

Kemudian malamnya, ketika sesi kedua, dihadiri oleh saya, Kang Jajad, sama Bang Shomad. Juga tiga orang. Karena kami mengobrol di warung yang ada wifi-nya, maka percakapan kami menjadi kurang begitu hangat. Juga karena kami lupa (maklum manusia, hehe) tidak melakukan istiqomah kami sebagai penggiat Komunitas Koma yang telah ditabur sedemikian lama, yaitu membuka acara, tentu dengan bacaan basmalah dan alfatihah. Astaghfirullah.

Dan sesi acara Kopdar yang ketiga adalah mendaki gunung mButak. Juga dilakukan oleh tiga orang, yaitu saya, Bang Shomad, dan Nur Rokhim (adik BS).

Jadi begitulah, serangkaian “Tiga” yang tersaji di Kopdar Koma #02 ini begitu membawa kita kepada permenungan, agar jangan sampai lepas dari tiga yang utama. Aamiin.

Kopdar sesi pertama.


Kopdar sesi ke dua.

Berdoa dan sowan ke Mbah Wahab Sebelum Berangkat ke Gunung mButak.

Dini hari, Ahad, 30 Juni 2019.

Suatu pagi, lelaki itu mendapati dirinya menangis saat melakukan kunjungan ke maqbarah. Ia duduk sendiri di lantai yang dingin dengan wajah ia tundukkan. Saat itu, semua lantai sedang kosong dari para peziarah.



Makam Alm. KH. Abd Wahab Chasbullah (Pendiri NU)
Seekor kucing putih berusia empat tahun sedang berjaga di sana. Kucing itu diam saja melihat lelaki itu yang datang dengan tatapan menunduk. Ia kemudian ikut duduk di samping lelaki itu, di lantai yang dingin. Seseorang yang telah merawatnya berpesan padanya, agar tidak membiarkan lelaki itu menangis.

Lelaki itu sudah sedikit reda. Kini ia bertanya kepada dirinya sendiri.

Seperti apa hidup itu bagimu? Serumit itukah? Atau sesederhana kamu bisa memahaminya?

Lelaki itu sebenarnya tipikal orang yang pikirannya cukup rumit. Maka dari itu, ia suka belajar dan memahami orang-orang yang pikirannya sederhana. Menurutnya, pemahaman seseorang yang sederhana terbentuk dari cara ia memahami dirinya sendiri.

Ia hanya tidak menyukai gemerlap dan kebisingan; saat warna-warna dan kekosongan terlihat seperti bumerang waktu. Ia suka menenggelamkan dirinya pada buku-buku tua, atau pada ingatan usia, seperti yang dilakukannya saat ini, yang kerap membawanya pada dunia yang tak bersuara. Kamu tahu, di sanalah ia bisa mendengar banyak suara-suara yang tersurat untuknya.

Orang-orang selalu bertanya pada lelaki itu, sebuah prinsip dan keyakinan akan melahirkan apa? Barangkali tidak melahirkan apapun, atau mungkin akan membuat ia semakin banyak kehilangan. Kehilangan keinginan demi keinginan. Tapi ia tahu betul, itu pilihannya sejak awal. Tanpa ia mengerti mengapa ia memilih jalan yang sulit di antara jalan-jalan yang membuatnya lebih merasa nyaman untuk berada di sana. Tapi ia selalu yakin dengan prinsip itu. Kehilangan demi kehilangan itu akan tergantikan oleh sesuatu yang membahagiakannya kelak.

Dalam setiap pertemuannya dengan orang-orang, ia tahu Tuhan sedang memberikannya kesempatan untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Selagi ruh masih bersemayam di kandung badan, belum terlambat untuk senantiasa bersyukur dan melakukan kebaikan-kebaikan. Waktu tidak memberinya izin untuk menyia-nyiakannya. Ia selalu ragu masih ada hari esok. Masih meragukan malam akan menepati janjinya, kalau besok pasti pagi. Karena bisa saja besok adalah pekat.

Pada suatu kelak, lelaki itu akan tersenyum mengetahui balasan dari kesabaran dan kebaikan-kebaikan. Ia menjadi tahu mengapa orang-orang bisa hidup dengan prinsip dan keyakinan. Hanya saja, setiap orang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk meyakini segala sesuatunya. Perjalanan ini membuat pikirannya menjadi lebih sederhana untuk memahami, seperti apa hidup itu baginya. Perjalanan ini membuatnya lebih dekat dengan dirinya. ~

Note: Beberapa kalimat, saya terinspirasi dari pemikiran Kak Iha ;))


Reportase Pendakian Gunung mButak.

Malam hari, Ahad, 30 Juni 2019.

Tanjakan PHP.

Jam sepuluh malam, kami baru memulai perjalanan dari Pos pendaftaran. Sekitar lima belas menit kemudian, langkah kaki kami sampai di simpang jalan, dari papan penanda yang terpasang, terlihat kiri arah gunung Panderman, kanan arah gunung mButak. Kami pun bergegas ke kanan.

Pukul 23.30 WIB kami sampai di Pos 1 jalur pendakian yang ditandai dengan gemericik air yang mengalir deras. Setelah sejenak istirahat, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos 2, yang ternyata medannya cukup berat, berupa tanjakan pasir, yang seperti tak kenal kata akhir.

Di tengah perjalanan, kami bertemu rombongan pendaki yang sedang turun. Setelah saling sapa, salah seorang di antara mereka berkata, “Kok lewat sini mas? Ini namanya tanjakan PHP, terlalu berat kalau untuk rute naik.”

Yang lain kemudian menambahkan, “Idealnya mas ketika di pos 1 tadi mengambil jalur kiri mas, lewat jalur pipa, untuk perjalanan naik, medannya lebih bersahabat.”

Karena sudah lebih dari satu jam kami berjalan dari pos 1, maka kami pun sepakat untuk melanjutkan perjalanan via tanjakan PHP.

Sekitar pukul 02.00 WIB dini hari, kami sampai di pos 2, dalam kondisi yang sudah sangat lelah.

Kami pun mendirikan tenda, masak, dan lanjut istirahat tidur, berharap agar esok pagi, kami sudah punya cukup energi untuk melanjutkan perjalanan mendaki.













Tanjakan PHP
Menuju Puncak.

Senin, 1 Juli 2019.

Hari ke dua pendakian, setelah salat Subuh, kami segera berkemas, menyiapkan segala sesuatunya untuk melanjutkan pendakian.

Pukul 06.30 WIB kami mulai berjalan. Perjalanan menuju ke pos 3. Perjalanan cukup lancar. Selain medan yang tidak terlalu menanjak, dalam perjalanan kami juga berada di bawah naungan pepohonan yang berdaun lebar.

Sekitar pukul 08.00 WIB kami sudah sampai di pos 3. Setelah cukup istirahat, kami pun melanjutkan perjalanan ke pos 4 (Sabana).

Perjalanan menuju pos 4, lumayan cukup berat, selain medan yang semakin menanjak, panas matahari turut menjadi tantangan tersendiri, sehingga kami harus lebih sering berhenti untuk sekadar melepas lelah dan dahaga.

Saat matahari hampir tepat berada di atas kepala, kami sampai d pos 4 (Sabana). Selelah beristirahat cukup lama, sekitar jam 13.30 WIB kami melanjutkan pendakian menuju puncak. Dan alhamdulillah setelah sekitar satu jam berjalan, kami pun sampai di puncak.

Di puncak, lelah seakan tak lagi terasa, berganti takjub dengan pemandangan indah yang terhampar di depan mata. AlhamduliIIah.

—Bang Shomad, dalam Ahad Koma Berkarya, 15 Juli 2019.




































Puncak Gunnung mButhak

Pos 4, Sabana

Catatan: Hikmah dari Pendakian.

Apabila kita melakukan pendakian hanya mendapatkan rasa letih, maka kita sesungguhnya mengalami kerugian yang besar. Mendaki sebenarnya adalah sarana, agar kita bisa lebih mengenal diri sendiri. Orang yang mendaki ke gunung berpotensi berada dalam suasana capek, haus, lapar, dingin, ngantuk, dan hal-hal lain yang berada di luar kendali. Dalam keadaan demikian, secara psikologis orang akan cenderung bertindak dalam kontrol alam bawah sadar, sehingga kita akan dapat melihat watak asli seseorang. Man arofa nafsahu, faqod arofa robbahu. ~

—Bang Shomad.