Sandal Habib Bahrul

Planggggggg...!!!

Suara itu mengejutkan seluruh jemaah masjid Qolbun Salim. Orang-orang yang mendengarnya segera mendekati sumber suara itu. Sebagian yang lain hanya melongo, memerhatikan dari jauh. Para jemaah dan pengurus masjid benar-benar tersentak dan tidak menyangka, Habib Bahrul yang tadinya memimpin khotbah Jumat dengan tenang dan berwibawa kemudian mengimami salat Jumat dengan bacaan yang fasih dan berirama, kini mendadak marah-marah dan memukul gerbang besi masjid dengan sebuah kayu yang tergeletak di sampingnya, hanya karena kehilangan sandal, hingga terdengarlah suara keras, planggggggg...!!!

Kejadian itu sebetulnya bukan hanya terjadi sekali. Kejadian yang menimpa Habib Bahrul itu telah terjadi berkali-kali bahkan hampir setiap kali ia menjadi imam masjid atau bertugas sebagai khotib di setiap masjid. Kejadian yang sudah tidak lagi bisa dihitung. Sampai-sampai pembatu rumah Habib Bahrul terkadang merasa heran karena berulang kali ia disuruh untuk membeli sandal yang banyak di pasar.

“Bagaimana umat Islam bisa maju kalau moralnya saja seperti ini! Yang telah hilang dari umat Islam di masa sekarang adalah akhlak. Moralnya sudah rusak. Zaman sudah akhir. Tidak lama lagi semuanya akan hancur lebur dilumat hari kiamat!” cerca Habib Bahrul dengan nada tinggi dan tidak mau tahu, seperti sedang menyambung khotbah yang tadi telah disampaikannya, sembari mencari-cari sandalnya di sekeliling masjid.

Para jemaah dan pengurus masjid merasa tidak enak hati dan segera ikut membatu untuk mencarikan sandal Habib Bahrul. Tapi tidak kunjung ketemu.

Salah seorang pengurus masjid kemudian menghampiri Habib Bahrul, “Hmm, begini saja, Ustaz. Bagaimana kalau Ustaz memakai sandal saya dulu. Kami akan segera membelikan sandal baru sebagai gantinya. Nanti kami antar langsung ke ndalem Ustaz,” bujuk pengurus masjid itu, berusaha menenangkan amarah ustaz.

“Tidak usah. Kalau cuma sandal saja saya bisa beli sendiri. Ini bukan soal ganti-mengganti yang remeh begitu. Kau tahu, kejadian semacam ini entah sudah yang ke berapa kali. Betapa mengesalkan peristiwa ini!” ucap Habib Bahrul sebal sambil langsung berbalik ke mobilnya dengan kaki telanjang. Mobil itu kemudian berlalu, meninggalkan orang-orang yang masih melongo menatap kepergiannya.

***

Semenjak kejadian yang terus menimpanya, dan pada kejadian yang terakhir di masjid Qolbun Salim itu, Habib Bahrul kemudian memberikan syarat tegas kepada pengurus masjid, untuk menyediakan tempat khusus bagi penitipan sandal di lemari yang ada kuncinya, atau paling tidak ada petugas yang menjaganya di tempat penitipan demi menghindari kejadian yang selalu menimpanya. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, maka ia tidak akan bersedia memenuhi undangan menjadi imam atau khatib.
Namun, sama saja. Sandalnya tetap saja hilang.

“Tempat penitipan macam apa ini? Mengapa masih bisa hilang? Apa ada seseorang yang masuk kemudian mencurinya?” bentak Habib Bahrul menunjuk petugas penitipan sandal dengan rentetan kejengkelan.

“Saya juga tidak tahu, Ustaz,” jawab petugas pelan.

“Mengapa bisa tidak tahu? Apa kamu tidak menjaganya? Bukankah kamu yang bertanggung jawab dengan segala yang dititipkan di sini?” balas Habib Bahrul keras.

“Saya bertanggung jawab, Ustaz. Saya juga tidak lupa mengunci pintu ruang penitipan ini sebelum ikut salat jamaah tadi,” tambah sang petugas hati-hati.

“Berarti, boleh jadi kamu sendiri yang mencuri!” tuduh Habib Bahrul. Halaman sekitar penitipan sandal jadi ramai oleh jemaah yang menonton tingkah Habib Bahrul. Ia tidak menghiraukan sembari pergi dan terus mencerca. Ia mengancam akan melaporkan kejadian itu pada pihak yang berwajib.

Tentu saja ancaman itu hanya untuk menakut-nakuti. Habib Bahrul tahu, bahwa ia tak mungkin berbuat sejauh itu. Akan tetapi kejadian sandalnya yang hilang tetap saja terulang kembali di masjid mana saja, meski di tempat penitipan yang telah diberikan kunci khusus bagi tiap jemaah.

Pernah juga ia membawa sandal yang diberi rantai agar bisa digembok di gerbang masjid. Alhasil sama saja, sandalnya tetap saja hilang! Hanya sandalnya yang hilang, gembok dan rantainya masih melekat di gerbang dengan kondisi gembok yang sudah terbuka. Ia sempat berpikir, apa jangan-jangan pelakunya adalah seorang tukang ahli kunci? Tapi mengapa harus sandal yang dicuri? Mengapa bukan sekalian mobilnya yang lebih mahal?

Habib Bahrul seperti merasa sedang dikerjai oleh seseorang yang entah itu siapa untuk mengambil sandal-sandalnya selama ini. Ia benar-benar merasa sangat sebal dan heran, kenapa yang hilang selama ini hanya sandalnya, sementara sandal para jemaah yang lain tidak ada satu pun yang hilang. Ia merasa kejadian ini bukanlah hal yang biasa dan membuatnya semakin kesal.

Maka niatnya untuk menghadiri undangan dari pengurus masjid kini telah berubah menjadi keinginannya untuk menyelidiki, siapa dalang di balik semua ini, siapa orang yang selalu usil mengambil sandal-sandalnya selama ini. Ia hanya berkenan menghadiri masjid yang ada kamera CCTV-nya.

Hingga pada suatu ketika pun tiba. Ia diundang untuk menjadi imam masjid salat Idul Adha di masjid agung Bandung. Rencananya kali ini tidak boleh gagal. Tidak boleh. Pokoknya ia harus menemukan orang itu. Harus. Betapa ia ingin sekali memakan orang itu bulat-bulat. Sandalnya kini sudah siap di letakkan di tempat yang terlihat jelas oleh kamera CCTV. Ia pun melangkah masuk ke dalam masjid dengan tenang.

Dan apa yang terjadi setelah Habib Bahrul akan pulang? Sandalnya tetap saja hilang! Namun ia tetap tenang. Ia meminta petugas untuk melihat CCTV. Rekaman CCTV kemudian diputar ulang. Habib Bahrul memerhatikan layar monitor dengan cermat. Mulai dari awal ia menaruh sandal, benda itu terlihat dengan sangat jelas. Tapi beberapa saat kemudian, beberapa detik saja layar monitor hanya menampilkan warna yang gelap dan kemudian terang kembali. Dan sandalnya sudah tidak ada!

“Bagaimana bisa gelap begitu? Bukankah itu bagian dari pencurian sandal saya? Ini seperti disengaja!!!” tuding Habib Bahrul kepada petugas CCTV.

“Saya benar-benar tidak tahu, Ustaz,” jawab petugas CCTV hati-hati.

“Kamu telah mengutak-atiknya!” tuduh Habib Bahrul tajam. “Saya benar-benar akan melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib!”  bentaknya lagi sembari pergi.

Petugas CCTV dan pengurus masjid kemudian benar-benar berurusan dengan kepolisian. Dan sebagaimana sebelumnya, kejadian sandalnya yang hilang di masjid yang memiliki CCTV, di mana saja, kapan saja, terus saja terulang dalam bentuk yang sama: peristiwa pencurian sandal termasuk siapa pelakunya yang tidak terekam. Berulang-ulang pula pengurus masjid dan petugas CCTV berurusan dengan kepolisian.

***

Habib Bahrul kemudian berpikir, ia sudah tidak mau lagi menjadi ustaz. Ia berniat berhenti saja. Mungkin itulah satu-satunya jalan agar ia tidak lagi berurusan dengan kejadian sandal hilang. Ia tidak ingin berurusan dengan masalah yang itu-itu terus. Ia sudah tidak tahan lagi. Memang lebih baik berhenti, batinnya. Menurutnya, ia sama sekali tidak rugi kalau tidak jadi ustaz. Apalagi memang ia tidak pernah mengeluarkan biaya apapun untuk menjadi ustaz. Pikirannya menerawang, mengenang masa-masa ia dipanggil ustaz dahulu.

Menjadi ustaz memang bukanlah keinginan dirinya. Orangtuanyalah yang sangat menginginkan. Karena itu, sejak dilahirkan ia diberi nama Habib Bahrul, lengkapnya Habib Bahrul bin Smith. Nama Habib sendiri bukan berarti ia keturunan nabi. Ia hanya kebetulan saja diberi nama Habib, agar kelak menjadi ustaz atau paling tidak menjadi orang baik. Maka panggilan itu bukanlah berlebihan, karena memang begitu adanya.

Namun ia tetap tidak memiliki niat menjadi ustaz meskipun ia mempunyai pengetahuan agama karena waktu kecil ia sempat dibesarkan di lingkungan pesantren, meski tidak lama. Ia menjadi ustaz malah kebetulan saja. Karena namanya Habib dan sempat mondok di pesantren, lingkungannya kemudian seperti benar-benar menganggapnya seorang Habib atau ustaz yang mempunyai pengetahuan agama yang lebih dibanding kebanyakan orang. Suatu saat orang memintanya untuk menjadi imam salat di musala, dan ia melakukannya. Saat berikutnya orang memintanya untuk mengisi ceramah, menggantikan ustaz yang tidak datang, ia melakukannya. Sejak itulah ia menjadi ustaz yang diundang ke beberapa tempat untuk mengisi ceramah, khotbah, atau menjadi imam.

Ia sebenarnya merasa tidak ada apa-apanya. Waktu kecil ia hanya mondok selama dua tahun lalu keluar begitu saja, dan tentu saja ia tidak lulus madrasah diniyah. Barangkali tambahannya ia dapatkan dari membaca buku-buku, mengikuti kajian-kajian di kampus, atau menonton ustaz masa kini di youtube. Ia mengambil kuliah pun bukan jurusan agama. Tapi begitulah, ia senantiasa diminta ke sana dan ke mari, masih demi masjid, untuk berceramah, berkhotbah, dan juga menjadi imam.

Oleh karena itu ia merasa tidak begitu rugi kalau berhenti, pikirnya kembali sambil menghapus kenangan. Sebab ia menjadi ustaz juga secara kebetulan. Namun permintaan dari masjid demi masjid terus saja mengalir. Ponselnya seperti tidak pernah putus berdering. Ia semakin kewalahan. Ia seperti tidak bisa memilih dan memutuskan. Maka ia berniat untuk berbicara baik-baik dengan pihak masjid ketika kebetulan ada pertemuan dan perkumpulan pengurus masjid se kota Bandung di aula masjid agung, dan kebetulan juga ia diundang ke sana untuk memimpin berdoa.

“Apa ustaz yakin dengan apa yang tadi ustaz sampaikan? Kami akan benar-benar merasa kehilangan,” tanya seorang pengurus masjid sedih ketika Habib Bahrul hendak pulang.

“Saya yakin. Di kota Bandung ini tidak kurang ustaz-ustaz yang punya pengetahuan melebihi pengetahuan saya. Saya hanya ingin berhenti, dan kalian jangan pernah mengundang saya lagi. Titik!”

Dan ketika hendak pulang sandalnya tidak ada lagi. Ia semakin geram dan berdoa dengan keras dan lantang, “Ya Tuhan, berikanlah azab kepada orang yang telah mengambil sandal-sandal saya...!!!” Seketika itu juga, entah mengapa atap bagian ujung masjid agung tiba-tiba runtuh dan menimpa kepala Habib Bahrul. Dalam waktu yang tidak lama kepala Habib Bahrul pun berdarah dan penglihatannya menjadi gelap.

***

Beberapa jam kemudian, Habib Bahrul mengetahui dirinya sudah berada di atas pembaringan di rumah sakit. Orang-orang begitu banyak yang berkunjung ke rumah sakit saat mengetahui Habib Bahrul dirawat di sana, termasuk sanak keluarga, para jemaah pengajian, dan para pengurus masjid.

Ia meraba-raba kepalanya yang masih dililit perban. Tiba-tiba ia merasakan perihnya. Tapi tiba-tiba pula ia mengucapkan, “Astaghfirullah...” Mungkin karena sesuatu yang menimpa kepalanya ini, pikirnya. Ya, karena benturan inilah ia jadi bisa mengingat kelakuannya yang tidak baik di masa kecil, ketika di pondok pesantren ia sering sekali mengambil sandal temannya tanpa izin!

Tidak sengaja ia tersenyum.

“Ada apa, Ustaz?” tanya salah seorang pengurus masjid yang menjenguknya heran, namun tidak sengaja ia ikut tersenyum juga. Penjenguk yang lain pun ikut senang.

“Tidak apa-apa,” jawabnya, sambil masih tersenyum.

“Ustaz seperti mendapatkan ilham,” timpal yang lain.

“Saya sudah tidak ada masalah lagi keluar-masuk masjid. Kini saya benar-benar sudah tidak memerlukan sandal lagi,” ujarnya sambil masih tersenyum. Suaranya terdengar sangat tenang dan menenangkan. Jauh berbeda sekali dengan saat ia sedang marah-marah.

Tiba-tiba sesuatu yang hangat meleleh di pipi Habib Bahrul.

“Saya hanya ingin memohon maaf karena selama ini sering kali marah-marah yang tidak jelas kepada para pengurus masjid. Tolong maafkanlah saya,” ucap Habib Bahrul sambil memegang tangan salah seorang pengurus masjid.

Semua yang ada di ruangan itu pun terenyuh. Sebuah momen haru yang begitu mendamaikan. ~

Kopen, Agustus 2019.
Mukhammad Fahmi.
Menyentuh Langit Cinta-Mu

seberapa deras rindu yang hendak menahanku
di sini, waktu menjadi jurang
tempat menampung segala gundah berpintalan
sebelum akhirnya tumpah dalam degup
aku ingin pulang...
aku ingin pulang pada dingin sungai
yang mengalir ke laut-Mu

Kasih...
biarkanlah angin kan menjemputku,
dan membawaku kepada cahaya,
yang akan segera kembali menyala saat langit cinta-Mu
berhasil kusentuh dengan jemari air mata
mungkin juga guntur akan segera tumbuh,
pada lipatan doa yang membias dari ketinggian harapku
namun, siapa? siapa kini yang berani mengganti kerinduanku
pada belai kasih-Mu yang telah Kau kirim jauh...
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu?
kunyalakan lilin kasmaran pada sela-sela tulang rusukku
kubiarkan seluruh darah daging mendidih,
mematangkan rindu, cinta, dan air mata lewat doa
yang bergelantungan di ranting-ranting malam panjangku
sujudku barangkali hanya sebatas diam
menampung damai yang Kau dekap dalam selembar rindu
yang jazab oleh jumpa paling jeram

Malang, November 2015.
Mukhammad Fahmi.
Kupanggil Namamu
ku panggil namamu, Sahabat
manakala senja tiba membawa risalah dan kesunyian
camar-camar terbang sempurna menciumi sisa-sisa matahari yang basah,
sebelum akhirnya malam menjadikannya tiada
ini bukanlah jingga yang pertama, Sahabat
bukankah perihmu masih terbelit akar pepohonan?
maka kubiarkan tanah ini menyerap lukanya

di langit, mungkin matahari selalu muncul dari rasa gelisah,
takut, bahkan kecemasan yang tak kunjung usai
Sahabat, biarkanlah jiwa ini berkelana
sambil terus meneriakkan mimpi
untuk meredakan gelombang
dari sebuah jeruji senja yang begitu panjang

Sahabat, lihat, hari sudah petang
aku akan kembali ke dalam diriku, tapi kau?
masih saja kulihat di sudut matamu yang berawan;
ada derai yang memuai;
ada yang terus mengalir dari masa lalu
hingga ke lautan benak

mesti kita kejar ufuk itu, Sahabat
dan membiarkan sayapnya merangkul dalam gelap
yang menyayat sejarah air mata
sementara kisah-kisah itu masih menyimpan gemuruh laut,
tempatmu berjanji menautkan keinginan pada lempengan waktu
yang mengombak dalam doaku

Sahabat,
sudahkah kau berani jujur pada dirimu sendiri?
ataukah masih saja kau dustai nurani?
sudahkah kau telanjang polos di hadapan-Nya?
ataukah diam-diam masih saja kau coba tipu Dia?
sudahkah kau ingat, bagaimana cara menginjak bumi yang benar?
ataukah masih saja kau pura-pura tak mengerti?
sudahkah kau sambut cinta-Nya dengan cinta yang setara?
ataukah justru sembunyi-sembunyi kau jadikan Dia yang kedua?
sampai kapan kau tipu dirimu,
kau perdaya dirimu, kau pertuhan dirimu,
kau biarkan biarkan dirimu tenggelam dalam lumpur yang nista?

Sahabat,
sampai kapan?
mau sampai kapan?

Jombang, Januari 2016.
Mukhammad Fahmi.
Aku dan Rumbai Kata

seberapa tajam kata yang hendak mengoyakku?
pada belantara yang lebih luas,
retorika zaman yang semakin ganas
kebebasan logika pemikiran manusia
berusaha menyayat-nyayat ulu imanku
kata-kata yang entah lahir dari peradaban mana berusaha
merobohkan surauku, menghempaskan keyakinanku
berbagai ideologi terbungkus rapi,
semakin saja membutakan penglihatanku,
mendungukan telingaku, mematikan rasaku
puisi-puisi yang tak kukenal
begitu lancang menghina firman Tuhan
lalu filsafat demi filsafat semakin memandang agama
sebagai candu dan bahkan fiksi

kata, begitu tajam, melesat menyesaki peradaban
begitu mudah mengubah dingin menjadi panas,
merekayasa kezaliman menjadi kebaikan,
menyulap kebohongan menjadi kebenaran,
dan seperti yang lain

di saat lautan manusia berselimut kata
bumi menjadi saksi atas ketidakhadirnya ruh
di setiap untai kata
kata terus mengalir biarpun tanpa jiwa
puisi-puisi terus saja lahir biarpun tanpa langkah nyata

aku pun dengan sisa-sisa imanku
mencoba membaca firman demi firman-Nya
“...penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu
tidakkah kau lihat,
mereka menenggelamkan diri
dalam sembarang lembah khayalan dan kata
dan mereka suka mengajarkan yang tak mereka kerjakan
kecuali mereka yang beriman, beramal baik,
banyak mengingat dan menyebut asma Allah,
dan melakukan pembelaan ketika dizalimi...”
begitulah, betapa sejuk kalam-Nya
mengalir, menyirami jiwa-jiwa yang kering
membangunkanku dari lelapnya puisi dan kata
menyembuhkan alpaku,
memanggil diriku yang telah lama hilang

di balik puisi dan kata aku terdiam
dengan lirih hatiku membisik
“Ilahi, maafkan puisi-puisiku
selamatkanlah aku dari lautan kata-kata
jagalah kata-kataku,
selamatkanlah puisi-puisiku.”

Malang, 2018.
Mukhammad Fahmi.
Rindu Jalan Pulang

Ketika kau terbangun
Masih gelap, tanya sepasang mata itu
Langit tak lagi seperti dahulu
Tanah bumi pun, gersang dan hampa
Sungguh, tiadakah Tuhan di sini?

Sejenak kau terdiam
Menatap jalan
Menafsirkan seluruh usia

Hanya engkau yang menjelma rindu
Hamba siapa
Dan hati yang lembut
Lekat pada jiwa-jiwa yang sejati

Ia mungkin bara menyala-nyala itu
Yang menjilat semua tubuh
Yang kini mesti digenggam
Sebelum lepas dihempas alpa
Engkau jadi pulang ke mana?

Malang, April 2018.
Mukhammad Fahmi.
Puisi Anak Kecil

aku ingin                                                     
hanyut dalam desir angin
menggericik dalam setiap tetes air
melesat bersama cahaya
tersenyum dalam setiap butiran bening embun di dedaunan
berdenyut dalam tiap detak waktu
berbaur dengan semua elemen, semua nada, semua warna
dan bernyanyi bersama kicau segala burung
di alam semesta raya ini!

Ilahi, Engkaulah
penolong di setiap gerak langkah hidupku;
di saat aku buta dan tertatih kehilangan-Mu,
Engkaulah kekasih abadi:
matahari hatiku, rembulan jiwaku,
pelipur dukaku, penyejuk mataku;
di saat semua sesungguhnya sirna
—karena hanya Engkau yang ada dalam ada,
Engkaulah yang bisa membawa langkahku
untuk mengenal siapa diriku dan juga Engkau,
Engkaulah tempat sejatiku bersujud dan berharap
dalam setiap bait hembus nafas-Mu,
yang telah Kau kirim jauh…
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu,
Engkaulah hakikat dan inti pencarianku,
puncak tertinggi kerinduanku

Ilahi, ajarilah aku mencintai-Mu
dengan cinta yang setara dengan cinta-Mu
agar segera sampai aku kepada-Mu
cukuplah sosok sepi ini dengan ridho-Mu
yang menyeluruh tiada batas-tepi itu

Ilahi, telah kuterima surat agung-Mu
kan kugenggam erat-erat seluruh ayat-ayat cinta-Mu
kubawa berlari, berlari, dan berlari..
betapa pun, di sini
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu
di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari segala kembara cintaku!

Ilahi, aku ingin…
berlayar dalam semesta maha karya akbar-Mu
di ruang dan waktu manapun

Jombang, Januari 2013.
Mukhammad Fahmi.

Zaman Now

Korupsi membudaya

Keadilan diperjualbelikan

Harta dan kekuasaan sudah didudukkan

dalam singgasana Tuhan

Kebenaran terlampau mudah dibungkam

Retorika zaman semakin ganas

Berbagai ideologi terbungkus rapi, berebut benar

Parade wajah-wajah penuh topeng, bertebaran

Hitam putih sulit diraba

Media maya sesak artis, berlomba muka, dijual murah

Pacaran sudah hal biasa

Zina di layar kaca

Bayi-bayi tak berdosa jadi tumbal

Dosa dipandang sebelah mata

Tuhan tak pernah dianggap ada

Kitab-kitab kehidupan tak lagi dibaca

Kegelapan ada di sekujur harinya

Kejahiliahan telah sampai pada puncaknya

Ketulusan tampak purba

Manusia-manusia semakin serakah

Bumi sudah terluka parah

Langit jadi saksi semua kejadian

Lalu, adakah kita hanya akan diam saja

Bersembunyi dalam kata-kata

Lalu, adakah kita masih punya wajah

untuk menghadap-Nya?



Malang, Februari 2018.
Mukhammad Fahmi.

Kutolak Cintamu, Bukan Karena Ku Tak Mencintaimu
kasih
tahukah engkau mengapa akhirnya harus kukatakan
semua ini padamu?

ketahuilah, Tuhan yang dulu engkau agung-agungkan itu
yang dulu kau puja, kau sebut nama-Nya
hingga bibirmu kelu lewat zikir sepimu
kini telah terkubur di lembah-lembah mesum
cahaya-Nya berkarat tenggelam dalam minum-minuman laknat
suara-Nya terjepit di antara ingar bingar musik jalanan
sabda-Nya pun tak laku lagi dijual di rumah-rumah ibadah
bahkan di pasar loak!

Tuhan telah kau sulap menjadi buah-buah khuldi baru
yang siap engkau petik seenaknya, engkau isap, engkau makan,
dan engkau campakkan sisanya ke air comberan

Tuhan sudah lama mati terbunuh
engkaulah yang membunuh-Nya lewat janin-janin tak berdosa,
hasil hubungan gelap dengan pacarmu

Tuhan sudah lama mati kelaparan lewat derita orang-orang miskin
yang tak kau hiraukan lagi tangisnya

Tuhan telah lama pergi karena kau telah membuat-Nya cemburu,
lewat laku maksiat yang setiap saat kau lakukan

Tuhan telah lama tak ada karena kau tak pernah menganggap-Nya ada

Tuhan telah lama menghilang karena kau tak lagi membutuhkan-Nya

Tuhan telah engkau siksa, engkaulah yang memenggal leher-Nya,
kau cincang tubuh-Nya lewat amuk masa yang mengobarkan nafsu amarah

Tuhan telah engkau injak-injak lewat kekuasaan angkara murka

Tuhan telah kau tipu lewat omong kosongmu yang tak pernah kau kerjakan

Tuhan telah engkau potong lidah-Nya,
kau bungkam suara kebenaran-Nya

kemudian Tuhan engkau jadikan barang mainan anak-anak
yang terpajang di etalase-etalase toko di sepanjang jalan

dan kini, kau bebas menuhankan apa saja yang engkau suka
termasuk nafsu syahwat dan hawa kedaginganmu!

kasih
tahukah engkau mengapa akhirnya harus ku katakan semua ini padamu?
sebab, kini aku bukan lagi pribadi yang harus bisa menerima, juga menolak
karena cinta yang seperti itu mungkin hari ini sudah tak ada
orang-orang telah lupa, dan mungkin tak lagi mengingatnya lagi
apakah kau tak juga mengingat-Nya?
apakah kau tak juga merindukan-Nya?

kasih
ketahuilah,
cinta sudah lama mati bersama matinya hati nurani
cinta sudah lama menghilang bersama menghilangnya kesadaran
maka kutinggalkan nafsu dalam keyakinan hati
percayalah, justru aku sangat mencintaimu
itulah sebabnya,
kutolak cintamu bukan karena ku tak mencintaimu

Tuban, Juli 2016.
Mukhammad Fahmi.
Apakah Kita Masih Seperti Dahulu?

Saat pertama kali menjadi tanah
Yang lunak bagi segala jenis tanaman yang tumbuh
Yang lembut bagi air yang datang

Makna selalu terpendam
Dalam kebisuan tanah
Dalam halaman-halaman hari yang terlepas untuk kita temui
Dalam hening yang tak lagi tersentuh

Langkah kian menjauhi tanah
Mendekati bebatuan
Yang mengeraskan penglihatan
Mengeringkan mata air kalbu
Berkeping-keping

Waktu menggugurkan putik-putik usia
Kegamangan persimpangan jalan
Menyulut kembali api impian
Agar sesegera pulang pada tujuan
Namun, selalu saja tertinggal

Letih dalam remah-remah kisah
Menyisakan peluh kesah bagi kalbu
Yang tiada henti-hentinya
Menggali, mengeja
Kelembutan, kesunyian tanah
Tak sampai-sampai

21 Juli 2019.
Mukhammad Fahmi.
Di Kafe

Di kafe, kita diam saja
Hanya matamu yang sayu
Menambah kesunyian sore hari
Yang tak putus-putus

Di kafe, kita duduk saja
Aku memerhatikanmu hati-hati
Dan memikirkan kapan terakhir kali
Kita akrab
Baiklah, engkau lebih menyukai
Buku yang engkau baca

Sedang dua cangkir kopi panas
Yang telah kita pesan
Tiba di meja kita
Bahkan belum sempat
Kita meminumnya
Kau tumpahkan begitu saja ke lantai yang dingin
Baiklah, engkau lebih menyukai kita
Yang canggung

Orang-orang sekeliling melihat
Pertengkaran kecil kita
Kita hanya tersenyum
Dan meminta maaf
Ke arah mereka
Seperti tak sedang
Terjadi apa-apa

Sebelum hari hampir gelap
Kita berdiri pergi
Membuat janji lagi
Dan kita pun saling berebut
Untuk membayar pesanan kita
Yang bahkan belum sempat
Kita rasakan
Baiklah, engkau selalu mengajakku bercanda
Betapa parah
Cinta kita

Surabaya, 28.07.19.
Mukhammad Fahmi.