Cerita Antara Orang Gila dan Orang Waras
Oleh: M. Fahmi
~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~
Dulu, Demo memang punya tingkah agak aneh di benak Sejo. Ke mana saja pergi, Demo selalu mencari burung yang terkurung dalam sangkar, lalu dibebaskannya burung-burung itu. Dan ia merasa seolah tidak mempunyai kesalahan sedikit pun terhadap perbuatannya itu. Tentu saja orang-orang marah kepadanya. Berkali-kali ia digebuki massa hingga babak belur. Akan tetapi, ia tidak pernah kapok. Ia tetap mencari burung yang terkurung dalam sangkar, lalu berusaha untuk membebaskannya.
Banyak cerita tentang Demo yang diingat Sejo. Pernah suatu ketika Demo masuk penjara gara-gara berkelahi dengan seorang tentara, bahkan nyaris membunuhnya. Ia benar-benar bonyok dihajar tentara itu, sampai hidung belangnya penyok dan giginya rompal. Sejo sendiri tidak tahu persis duduk perkaranya mengapa ia berani melawan tentara. Dia dimasukkan penjara pun tanpa proses peradilan yang jelas. Di dalam penjara, kondisi fisiknya tambah babak belur dihajar oleh para napi lainnya. Kemudian ia dibebaskan begitu saja tanpa keterangan yang jelas.
Begitulah cerita tentang Demo. Sejak tamat sekolah, Sejo jarang bertemu dengannya. Demo tidak balik-balik lagi ke kampung halaman. Jangankan batang hidungnya, kabar tentang dirinya tak seorang pun tahu. Ada yang bilang, ia sudah pergi ke tanah seberang dan tak mungkin kembali lagi ke desa karena ingin melupakan masa lalunya yang kelam. Ada pula yang mengatakan ia sudah mati dikubur dengan identitas tak dikenal, tetapi di mana jasadnya dikuburkan tak seorang pun tahu. Cerita yang lain mengabarkan ia telah menjadi gelandangan dan hidup luntang-lantung. Namun suatu hari, ada yang melihat dia sedang memimpin demonstrasi di tengah kota dan berteriak-teriak lantang menyeru agar para koruptor digantung. Dari sekian banyak cerita itu, Sejo tidak tahu mana yang benar.
Suatu ketika, dua orang sahabat itu ditakdirkan bertemu di sebuah perlintasan jalan. Hari telah ditelan gelap, sementara mega merah telah sepenuhnya menghilang. Jam tangan menunjukkan pukul delapan malam. Kebetulan motor Sejo melaju dengan lambat, sehingga ia mendengar teriakan orang yang menyapanya. Sejo segera mengerem motor vespanya dan menghampiri seseorang yang ada di seberang jalan itu. Di perlintasan jalan Merdeka itu, mereka saling menyapa dan nampak pangkling. Terlihat sangat jelas perbedaan fisik di waktu mereka masih remaja—saat paling asyiknya belajar dan bermain di sekolah menengah atas—dengan saat pertemuan di malam itu.
“Assalamu’alaikum..,” teriak Demo.
“Wa’alaikum salam, wr.wb..,” sahut Sejo.
“Eh, siapa kamu? Demo, bukan?” tanya Sejo sambil mengernyitkan dahi, ia seperti tidak percaya kalau yang ditemuinya itu adalah sahabat lamanya yang telah lama menghilang.
“Hahaha, iya.. Jo. Ternyata kamu masih ingat aku juga,” lelaki itu tersenyum singkat. Seperti ada yang mengalir dari mata Demo. Ia terharu entah karena apa. Dirangkulnya sahabat lamanya itu.
“Sudah lama kita tak jumpa, Kawan. Kamu ke mana saja selama ini? Ayo kita mengobrol dulu. Kamu sekarang tidak sibuk, bukan?” tanya Sejo sambil memegang pundak Demo.
“Haha, ayo kita mengobrol, Jo. Seperti yang kau lihat semenjak dahulu, aku tidak pernah menjadi orang sibuk sepertimu.” Demo tertawa terkekeh-kekeh, mengingatkan kembali masa lampau yang pernah mereka lewati bersama.
Kemudian Sejo segera mengajak temannya yang bernama Demokrasi itu ke sebuah warung terdekat untuk beristirah sejenak sembari bertukar cerita. Sesampainya di warung, Sejo menaruh tasnya, kemudian kembali memperhatikan tubuh sahabatnya yang tampak kurus itu.
“Sepertinya engkau ingin makan, Kawan. Kita makan dulu yuk?” matanya mengerlip, menandakan sebuah kode rayuan.
“Sebenarnya, aku sudah tidak lagi punya keinginan apa-apa, Kawan. Apalagi soal peduli makan atau tidak. Aku hanya makan di saat benar-benar lapar. Itu pun aku ambil dari makanan sisa orang waras, agar tidak menjadi sesuatu yang mubadzir. Sebab, aku tidak bisa rakus seperti orang waras. Sebab, di luar sana, masih banyak saudara kita yang belum makan, sementara orang waras selalu tenang-tenang saja. Tapi demi engkau, Sahabatku. Aku tak bisa menolak tawaranmu.”
Sejo hanya tersenyum mendengar jawaban Demo. Sejenak, Sejo menjadi terhenyak. Waktu dua puluh tahun lamanya telah mengubah sahabatnya itu menjadi orang gila. Ia pun mengelus dada, alangkah malang nasib sahabatnya itu. Lakon apa yang dikerjakannya hingga ia sekarang menjadi orang tak waras seperti ini. Dilihatnya kembali penampilan sahabatnya itu. Pakaian yang lusuh, rambut yang gondrong, kulit yang hampir tertutup oleh tanah. Ia hampir saja tidak mengenali sahabatnya itu. Untung saja ada semacam tahi lalat yang melekat di kening kirinya. Dan, ia masih ingat betul bahwa yang dijumpainya itu adalah sahabat lamanya, Demo. Kemudian Sejo segera memesan dua nasi lodeh, beberapa gorengan, dan dua cangkir kopi panas.
“Ayo, Demo. Makan dulu, tak perlu lah kamu sungkan-sungkan begitu. Aku yang nraktir semua ini,” ajak Sejo.
“Iya, iya, Kawan. Ayo kita makan. Tapi jangan lupakan pesan Pak Kyai dahulu, kita harus baca doa dulu sebelum makan. Allahumma barik lana fi ma rozaqtana wa qina adzaban naar, Aamiin.” Demo mengangkat kedua tangannya, kemudian mengusapkan ke wajahnya. Demi melihat apa yang baru saja terjadi dan mendengar serak suara doa Demo itu, ulu hati Sejo menjadi tersengat. Ia tak menyangka, ternyata ada rasa tulus yang mengalir dari dalam jiwa Demo.
Mereka berdua kemudian makan dengan lahap, sementara udara malam kota Bogor menjadi semakin dingin, menembus sela-sela jendela warung itu. Selesai makan, mereka mengambil tempat ke emperan di depan warung itu. Tak lupa, gorengan dan kopi mereka bawa ke luar juga. Mereka duduk beralaskan tikar sederhana. Warung itu memang buka mulai dari waktu sore, dan tutup sampai menjelang subuh. Dingin memang, tapi cerita, obrolan, dan kopi mampu menukar dingin dengan kehangatan. Begitulah pikir keduanya.
“Ngomong-ngomong kamu sekarang bekerja di mana, Demo?” tanya Sejo mengawali pembicaraan.
“Haha. Kawan, aku tidak pernah bekerja seperti yang menjadi kesibukan orang-orang waras,” jawab Demo sederhana.
“Maksudmu apa, Demo, aku tidak paham sama sekali,” tangan Sejo mendadak menggaruk-garuk kepala.
“Seperti yang kamu ketahui semenjak dulu, orang-orang banyak yang memanggilku sebagai orang gila, bukan?” sahutnya kemudian.
“Betapapun demikian, apa pun cerita orang tentangmu, sampai sekarang aku masih menganggapmu sebagai sahabat yang baik dan tetap yang terbaik, meskipun orang-orang sudah melupakanmu, Kawan,” Sejo menenangkan sahabatnya itu.
“Tapi, jalan kita benar-benar berbeda, Kawan. Kau tumbuh sebagai orang yang bahagia, sabagaimana kebanyakan orang. Tapi diriku...” Demo tak mampu melanjutkan kata-katanya, seperti ada yang menghalang-halanginya untuk berbicara. Demo mengalihkan pandangannya ke sudut ruang yang lain. Sejo melihat dengan jelas, mata Demo hampir saja berair, tapi Demo cukup tangguh untuk menyembunyikan rasa.
Teringat kembali cerita tentang Demo di benak Sejo. Sesungguhnya Demo telah kehilangan kasih sayang sejak kecil, yaitu semenjak ayah dan ibunya cerai. Umurnya saat itu baru enam tahun. Lalu ayahnya kawin lagi, begitu pula ibunya. Ia memiliki dua ayah dan dua ibu, tapi ia tak pernah nyaman bersama mereka. Dihabiskannya hidupnya di jalanan. Ia bagai anak terbuang yang kehilangan induk.
“Mengapa kamu sekarang menjadi seperti ini, Demo?” tanya sahabatnya itu.
“Dan, mengapa kamu juga sekarang menjadi seperti ini, Sejo?” timpal Demo kemudian. Lalu ia tertawa. Tawa yang akhirnya membuat Sejo mau tidak mau ikut tertawa juga.
“Kawan, izinkanlah aku menjelaskan semuanya,” lanjut Demo. Ekspresi Demo mendadak serius. Anehnya, Sejo pun mengikuti jejak mimik Demo yang serius itu. “Entah kenapa, orang-orang memanggilku sebagai orang gila. Tapi itu bukan menjadi soal bagiku. Orang mau menyebut apa tentangku, aku pasti terima. Bagiku, itu semua tidaklah penting. Tenang saja, Kawan. Pun orang gila tidak akan pernah bisa marah. Mungkin, ia hanya bisa tersenyum, menangis, atau tertawa. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Biarlah aku menjadi orang gila. Tapi setidaknya, orang gila itu tak perlu bersedih, merasa sakit hati, berburuk sangka, apalagi memendam dendam. Mereka selalu bersenang hati. Tak apalah kau panggil aku dengan sebutan orang gila. Tapi lihatlah dahulu, setidaknya orang gila tidak pernah menyombongkan diri. Lagi pula, apa yang musti disombongkan? Harta tak punya, jabatan tak punya, rumah, mobil, atau bahkan dirinya sendiri pun tak punya. Ia tak berhak memilki otak, sebab ia telah lama kehilangan pikiran. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Orang gila tidak akan pernah menuruti keinginan dan nafsu, seperti yang orang waras kerjakan. Hati mereka merdeka dari segala hal yang membelenggu. Terkadang, mereka kasihan kepada orang waras yang terpenjara oleh gemerlapnya gambar yang nisbi. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Orang gila tidak pernah terlena oleh kesenangan yang bersifat khayalan. Orang gila memandang dunia ini tak ada nilainya. Mereka memandang manusia dan alam raya hanyalah sebagai bayangan semata. Sebuah bayangan bukanlah merupakan wujud yang asli. Ia nampak, namun hakikatnya tidak ada. Dengan demikian, wanita, harta, dan jabatan hanyalah bayangan di mata orang gila. Itulah sebabnya, orang gila tak pernah tertarik dengan itu semua. Bayangan tidak mungkin ada. Maka mereka tak hendak menuntut apa-apa dari dunia dan segala keinginannya. Sebab, bayangan tetaplah sebagai sebuah bayangan. Bayangan tidak mungkin menjadi tempat tujuan, ia hanya sarana untuk mengejewantahkan eksistensinya yang sesungguhnya. Sementara, yang menjadi tujuan hanyalah yang Maha Asli dan Ada, yang bukan bayangan, yang tak akan lekang oleh masa. Orang gila tidaklah pintar. Dan ia tak mengerti jalan pikiran orang waras. Kawan, tentu kau masih ingat tutur Pak Kyai dahulu kala, bahwa agama Islam ini lahir dengan aneh, dan akan kembali dalam keadaan aneh pula. Dulu, Nabi dianggap sebagai orang gila tapi tak pernah marah, malah ia membesuk dan mendoakan orang yang sering menghujani dengan batu dan air ludah. Kau masih ingat, bukan?” begitulah panjang lebar Demo menjelaskan perihal pemikiranya. Suara Demo hangat, menghangatkan angin yang berhembus di malam itu.
“Haha, benar juga kau, Sahabatku. Tapi apa kau tidak tahu, orang gila itu tidak menikah lho, tapi Nabi tetap menikah, bahkan mempunyai empat istri. Beliau juga bekerja, makan, dan mengurus umatnya. Lelaki yang belum menikah, hidupnya adalah sebuah komedi. Bila telat menikah, tingkat kekomediannya semakin lucu, membuat orang yang melihatnya tertawa antara rasa kasihan, curiga, sekaligus kutukan. Tapi lelaki yang menikah hanya menghadapi satu pilihan sandiwara kehidupan yang ujungnya adalah: "tragedi." Dan hanya sang pemberani yang siap menghadapi resiko tragedi itu,” sindir Sejo.
“Kalau menjadi orang waras sangatlah mudah, maka untuk apa memaksakan diri menjadi orang gila?” lanjut Sejo, matanya menatap tepat di retina Demo.
“Jujur, Kawan. Aku sama sekali tidak ingin memaksa diriku untuk menjadi orang gila, tapi alamlah yang mengajariku, agar tidak mengambil jalan orang-orang waras. Kegilaan bagiku sewaktu-waktu diperlukan dalam hidup seseorang, sebab kegilaan adalah langkah pertama menuju sikap untuk tidak mementingkan diri sendiri. Katakanlah aku ini orang gila, biar tersingkap segala misteri apa sebetulnya yang ada di balik selubung kesehatan jiwa. Tujuan hidup ini adalah untuk membawa kita lebih dekat lagi kepada segala "rahasia" itu. Ya segala rahasia itu, dan kegilaan menurutku adalah satu-satunya jalan. Sesungguhnya satu-satunya orang gila di tengah-tengah orang pada zaman gila ini maka dialah satu-satunya orang waras. Ketahuilah, Kawan, bahwa kebenaran telah lama menghilang, bersama menghilangnya kesadaaran, cinta telah lama mati bersama matinya hati nurani. Itulah sebabnya, aku ingin menghidupkan cinta yang telah lama terkubur di zaman yang kian menjarah nurani dan kesadaran ini. Kiamat kesadaran telah terjadi, Kawan. Kapan kiamat yang sesungguhnya itu terjadi?” sorot matanya tajam, menembus segala sekat-sekat gelap yang mencoba menghalangi jalan pikirannya.
“Aku sendiri tak tahu, Kawan. Hal itu sudah menjadi privasi Allah. Hanya Ia yang tahu.” Ucap Sejo.
“Terimakasih, Kawan. Engkau telah kembali mengingatkanku. Dulu pernah kucoba memberi arti, arti dari segala apa yang kurasakan di dalam hatiku, tapi aku takut mengartikan semua itu, karena aku tahu siapa diriku. Sekarang setelah aku jauh dari Allah, ada rasa rindu di sudut hatiku, rindu yang telah memberi arti, bahwa aku ternyata sangat mencintaiNya,” suara Demo parau. Kembali ia hampir meneteskan air matanya. Tapi ia selalu pandai mengusir air mata itu kembali ke dalam kelopak matanya.
“Bersabarlah dengan cinta, Kawan. Lebih baik kita yang kecewa dan terluka daripada mengecewakan atau melukai. Belajarlah dari kecewa untuk tidak mengecewakan Allah dan belajarlah dari rasa sakit untuk tidak menyakiti Allah. Mungkin, salah satu cara untuk sedikit mengurangi kekecewaan dan ketersakitan adalah dengan menyadari bahwa perasaan kecewa dan luka itu ternyata memang selalu ada.” begitu Sejo bertutur.
“Benar katamu, Kawan. Itulah sebabnya, aku ingin mencintai segala sesuatu dengan sederhana,” tegas Demo.
“Haa, memang benar itu, Kawan. Segala sesuatu harus kita cintai dengan sederhana dan ala kadarnya, baik cinta kepada lawan jenis, kepada saudara, tanah air, makhluk, dan lain sebagainya. Sebab cinta yang berlebihan terkadang justru menjadi bumerang. Tapi tidak cinta kepada Tuhan. Hanya dengan cinta yang melebihi segala sesuatu yang ada di dunia, maka persembahan cinta itu akan sampai. Tidakkah kau perhatikan bagaimana sejarah nabi Ibrahim, Musa dan Ayub dalam mencintai Tuhannya? Hanya dengan cinta luar biasa dan dengan cara yang luar biasa pula Ibrahim tak terbakar api, Musa dapat membelah laut, dan Ayub dapat mempertahankan keimanannya dari cobaan penderitaan yang mahaberat. Hanya cinta luar biasa yang telah teruji oleh hempasan zaman, dan itu tidaklah bisa dilakukan dengan kesederhanaan lagi, melainkan harus dengan cara di atas rata-rata, sebab Tuhan adalah kualitas tertinggi dari cinta,” kilah Sejo.
“Kawan, sekarang aku mengerti maksudmu. Semenjak kita berpisah, kita jarang mengobrol bersama. Maka persilakan daku bercerita. Jika kau tahu, aku telah lama mempelajari sastra. Kuarungi samudera yang mahaluas, kudaki gunung yang menjulang tinggi, kulewati jalan yang terjal penuh duri, demi mendapatkan esensi dari sastra itu. Tapi apa yang kudapat sekarang, aku malah dianggap orang gila, tak ada yang kudapatkan dari perjalanan sejauh ini, sia-sialah teaterku selama ini,” wajah Demo menunduk, sementara tangannya mengepal.
“Sastra memang membingungkan, Kawan. Satu kata saja dapat dipermainkan menjadi bermilyar makna dan tafsiran. Inilah yang sering terjadi di kancah kesusastraan manapun. Aku memahami betul, Kawan, karena aku dulu juga pernah bergelut di dalamnya. Ini pula yang membuat aku enggan bersastra, sebab kepastian tertinggi hanyalah omong kosong, kenisbian, dan kenihilan. Ini pulalah yang menjadikan aku—saat ini—orang sains dan orang waras. Dunia matematika memberi ruang kebenaran yang nyata dan real di dalam kehidupan, meskipun harus kutebus dengan penderitaan sakit kepala. Mungkin orang gila tak pernah merasakan betapa sakitnya berpikir, namun suatu saat ia akan menderita sakit yang berada di atas segala ketersakitan. Sakit itu adalah sakit hati. Dan, obatnya pun amatlah jarang ditemukan di jalan-jalan.” begitulah, kata-kata Sejo membujuk sahabatnya itu, agar ia kembali ke jalan orang-orang waras. Ia masih melanjutkan nasihatnya.
“Demo, bangunlah dari mimpi dunia hayalanmu, bergegaslah, sebab ini saat ini kita ada di dunia nyata. Imajinasi memang sangatlah penting, tapi lebih penting lagi adalah berpikir dengan logika. Orang akan percaya kepada hal-hal yang terbukti. Lihatlah, penyair hanya memohon agar kepalanya bisa menyentuh atap langit. Namun pemikir berusaha agar segala isi langit dapat masuk ke dalam kepalanya. Dan sakitlah kepalanya. Kau harus mengerti itu, Kawan. Hahaha...” sekarang ganti Sejo yang tertawa terbahak-bahak.
“Di atas orang waras selalu ada orang yang lebih waras, Kawan. Maka jangan pernah menganggap dirimu paling waras. Sesungguhnya orang yang lebih waras itu adalah orang gila. Hahaha.. ” Demo tak mau kalah berdebat. Ia meneruskan kata-katanya. “Tak apalah engkau mengejek dan mengatakan bahwa orang gila adalah orang yang paling tidak mengerti. Bahkan, orang gila tak hendak menuntut apa-apa dari penghinaan dan kekejaman orang waras. Kegilaan sebetulnya hanyalah sebuah humor. Kebenaran tanpa humor sifatnya meragukan. Humor sebenarnya juga merupakan cerminan dari sesuatu yang serius. Jika kau mengerti, Kawan. Orang gila tak pernah berhenti mencari Kekasih. Meski ada banyak yang ingin membunuh kegilaannya lewat nasihat atau pengalaman ruhani orang lain, ia akan tetap bersikukuh untuk memilih gila selamanya. Adapun orang yang telah sembuh dari kegilaannya karena petunjuk orang lain, berarti ia tidak menepati janji dan ikrar orang gila, sebagaimana adat yang orang gila jalani. Orang gila tak akan pernah sembuh dari kegilaan, sebab ia telah melihat, betapa Kekasih tetap akan lebih Indah dari apapun dan siapapun dan ia selalu terbuai dengan pesona-Nya,” Demo tesenyum, ia merasa telah memenangkan perdebatan.
“Kawan, seseorang tidak akan pernah mengerti kepada sesuatu yang seharusnya dimengerti apabila ia sendiri belum sampai kepada pemahaman tentang makna pengertian itu sendiri, sebagaimana orang tahu, bahwa pendidikan itu penting, maka seseorang harus sekolah biar tahu bahwa sekolah itu sebetulnya tidak penting. Tapi untuk tahu bahwa sekolah itu tidak penting maka seseorang harus tetap sekolah. Hehe, tentu perkataan orang waras ini sulit dimengerti orang gila. Tapi tak apalah, kau dengarkan dulu aku bicara. Kawan, ternyata dunia memang sudah terbalik. Saat ini, orang waras banyak yang menjadi orang gila dan orang gila merasa dirinya waras. Yang berbahaya adalah orang waras yang mengaku dirinya waras padahal ia sebetulnya benar-benar telah gila! Atau orang gila yang berpura-pura gila padahal sebetulnya ia benar-benar telah gila. Sungguh antara waras dan gila saat ini sulit dibedakan, bahkan membingungkan! Siapakah sebenarnya yang benar-benar gila atau yang benar-benar waras, kau atau aku?” wajah Sejo menjadi tampak kebingungan. Tapi entah kebingungan benar atau bukan, Demo tak tahu.
“Kawan, mengapa sekarang orang yang benar malah dianggap sebagai orang tak waras? Atau jangan-jangan mereka yang menganggap itulah yang sedang stress, gila, dan berpenyakit jiwa!” nafas Demo mendadak menjadi tidak beraturan. Namun ia tetap melanjutkan pembicaraannya itu.
“Kawan, bila engkau ragu dengan kewarasanmu dan merasa tidak nyaman menjadi orang waras, maka bergabunglah bersama orang-orang gila seprtiku. Orang gila itu hidup merdeka, bebas dari tuntutan hukum dan mereka tidak wajib menjalankan adat kewarasan,” demikian lanjut Demo.
“Hehe, sepertinya jika kita lanjutkan pembicaraan ini, maka sudah barang tentu tidak akan pernah ada ujungnya. Ya, kini terserah kita masing-masing, Kawan. Aku memilih jalan orang waras, sementara engkau memilih jalan orang gila. Tak apalah, yang penting kita punya pemikiran dan dasar masing-masing. Lihatlah, hari telah berganti, sementara subuh sebentar lagi tiba. Kita akhiri saja ya pembicaraan ini,” Sejo berpendapat.
“Haha, ternyata orang waras sudah lelah dan mengantuk rupanya. Ya sudahlah, orang gila mengakhiri celoteh dulu, libur menggila, sebab takut kata-katnya tidak dipahami atau disalahmengerti oleh orang waras. Orang gila juga mau berhenti gejekan karena imajinasi liar kadang bisa keluar dari kontek wahyu, padahal wahyu itu sendiri sebetulnya ada dalam maha wahyu. Maklumlah namanya juga orang gila. Kawan, maafkanlah atas ketidakwarasanku, sebab aku manusia lemah, bodoh dan dhoif yang kadang masih tergoda untuk melucu tapi ternyata tidak lucu,” Demo tersenyum pada Sahabatnya itu.
“Kawan, dalam hidup ini harus ada perdebatan, harus ada tukar pikiran, supaya jalan menuju kebenaran tambah lempang, agar pisau terasah dan tambah tajam. Jangan takut dengan perbedaan, apalagi kalau cuma dijelek-jelekkan. Kejelekan akan semakin menunjukkan di sana ada kebaikan,” tangan Sejo merangkul pundak Demo. “Terimakasih ya, kau mau menemani kekosonganku di malam ini, apa kau mau menginap dulu di rumahku?” Sejo kembali merayu sahabatnya itu.
“Aku yang seharusnya berterimakasih kepadamu, Kawan. Kau telah membelikan aku makanan gratis dan halal. Tidak, Kawan. Tidak enak nanti bila ada orang gila yang masuk ke rumahmu, nanti malah menakut-nakuti anak dan istrimu. Biarlah aku melanjutkan perjalananku ini. Ah, pencarian ini seperti tak akan pernah ada titik habisnya, Kawan,” tutur Demo.
“Hehe, ya sudahlah, Demo. Sebentar ya,” Sejo merapikan cangkir dan piring, kemudian memasukkannya ke dalam warung. Ia yang membayar biaya makan dan minum pada malam hari itu.
“Hmm, pesanku sebelum kita berpisah, Demo. Kamu harus tetap menjaga diri, sebab di sekitar sini banyak polisi yang berkeliling, bisa-bisa nanti kamu ditangkap lagi, hehehe,” di akhir perjumpaan Sejo menyempatkan bergurau kembali.
“Ah, tak perlu kau khawatir soal itu, Kawan. Aku sudah terbiasa beratapkan langit dan beralaskan bumi Allah yang maha Akbar ini. Biarlah Allah yang menjadi pelindungku, Kawan.” Demo memegang tangan Sejo, lama sekali. Sebenarnya ada yang ingin ia sampaikan, tapi ia tak sanggup. Dan untuk yang terakhir kali ini, Sejo melihat mata Demo berair.
“Tenangkan dirimu, Kawan. Yakinlah, doaku akan senantaisa menyertaimu. Kita selamanya berteman, bukan? Janji ya, sehidup semati! Kutunggu engkau, Kawan, di hari esok yang lebih panjang dan kekal adanya,” air mata Sejo pun ikut meleleh.
“Sekali lagi terima kasih, Kawan. Hanya engkau teman yang paling baik di mataku. Hanya engkau yang mengerti bahasa dan rasaku. Aku akan menepati janji itu, Kawan. Seperti yang menjadi namaku, Demonstrasi, aku tak akan pernah berhenti meneriakkan dengan lantang makna cinta dan kebenaran itu. Aku janji, Kawan. Kita pasti akan bertemu lagi, esok, di hari yang lebih cerah..,” Demo pun tersenyum.
Sebuah pertemuan singkat yang bermakna. Kedua sahabat itu bersalaman, mengucap salam, dan kemudian berpisah. Sejo segera berlalu dengan motor vespanya. Sementara itu, Demo berjalan dengan kaki telanjang, menembus pekat malam yang membeku. Keduanya berusaha mencari dan mengumpulkan cahaya di sepanjang perjalanan, agar tidak buta peta dan tujuan yang menjadi pijakannya masing-masing. Ada tak hingga cara untuk menuju suatu titik. Meski jalan mereka berbeda, tapi keduanya punya tujuan yang sama, yakni titik kebenaran. Kebenaran yang dirindukan oleh keduanya ibarat kekasih adanya. Kebenaran yang hari ini telah dilupakan oleh kebanyakan orang.
Malang, 29 Nopember 2015