Pertanyaan untuk Diri Kita
Oleh: M. Fahmi
~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~
“Hamba Allah kah kita?” Coba hitung kembali usia kita yang berpuluh tahun sejak lahir dahulu kala, berapa persen kita menjadi hamba Allah, berapa persen kita menjadi hamba setan, berpa persen kita menjadi hamba nasfu, berapa persen kita menjadi hamba harta, dunia, dan kekuasaan?
Bagaimana kita mengku sebagai hamba Allah, sedangkan berhala iri, dengki, egoisme, nafsu birahi, kuasa, harta, berhala yang kita bangun sebagai patung pujaan dan kebanggan adalah kuburan yang mengerikan bagi kematian jiwa kita?
Bagaimana kita bisa mengaku sebagai hamba Allah, sedangkan kita tidak pernah mau mencatatkan diri kita di buku harian Ilahi sebagai benar-benar hamba Allah? Ataukah mungkin nama kita pernah dicatat di sana sebagai hamba Allah, sedangkan di lembar berikutnya nama kita sudah dicoret dengan tinta merah di Lauhul Mahfudz sana?
Bagaimana kita mesra menjadi hamba Allah sedangkan ibadah yang kita lakukan selama ini bukan untuk Allah, tetepi agar kita sukses meraih kehidupan dunia, agar kita lebih sejahtera di dunia, atau agar kita bahagia di akhirat?
Bagaimana kita bisa disebut sebagai hamba Allah sedangkan kita menghadap Allah dengan muka berpaling bahkan dengan muka mesum yang dilumuri bau busuk ambisi dan nafsu kita?
Bagaimana kita mengaku hamba Allah, hanya dangan surban, hanya dengan tangisan di media massa, hanya teriakan takbir yang sia-sia, sementara hati kita tak pernah bersurban, jiwa kita dipenuhi kesombongan dan riya’, roh kita dijubahi oleh rasa bangga sebagai tokoh agama?
Bagaimana mungkin kita dicatat sebagai hamba-Nya, ketika hari-hari ini kita lebih senang menjadi binatang jalang, menjadi budaknya setan, menjadi buruhnya hawa nafsu kita, menjadi penyembah patung-patung yang kita buat sendiri dari limbah-limbah kotoran kita sendiri?
Astaghfirullaahal adziim. Jangan pernah berhenti memohon ampunan-Nya. Karena sesungguhnya istighfar itu adalah pelukan cinta-Nya ketika kita telah lama hilang dari kinasih-Nya. Jangan berhenti, jangan pula melepaskan diri dari elusan mesra-Nya, dalam dekapan-Nya. Di sanalah sesungguhnya kita telah menjadi hamba-Nya.
Wallaahu a’lam.
Tambakberas, 5 Agustus 2011