Berdialog dengan Diri


Berdialog dengan Diri
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Aku tidak tahu dengan kalimat apa mesti kutulis setetes tinta ini untukmu. Malam begitu dinginnya, sementara angin tanpa permisi masuk menembus tulang-tulang persendianku. Suara deburan angin malam yang lirih terdengar bagai nyanyian orang kesepian. Lalu nyanyian itu berubah menjadi rintih kesedihan. Kesedihan dari orang-orang terluka, orang-orang kalah, orang-orang yang tersingkir, atau sengaja disingkirkan dari kehidupan. Boleh jadi, rintihan itu juga merupakan ratap keperihan dari harapan yang tak pernah sampai, atau cita-cita yang kandas di tengah jalan. Rintihan itu membuat mataku tak juga bisa terpejam.

Sedang apa kau malam ini? Mungkin selama ini aku yang bersalah padamu. Aku yang sering membuatmu marah. Maafkan atas segala tingkahku. Maaf, jika jejak–jejak masa itu menyisakan luka yang teramat mendalam. Bukan maksudku mengganggu ataupun mengotori kisah kehidupanmu yang putih. Ya, aku yang bersalah, meskipun munculnya keraguan itu sebetulnya datang darimu. Mengapa aku berkata demikian? Teramat sulit bagiku untuk menjelaskan kepadamu dengan kalimat-kalimat biasa di lembaran sesempit ini.

Setelah bertahun-tahun lamanya aku mengembara arungi semesta raya akhirnya terdamparlah aku disini. Di sinilah akhirnya aku menemukan hakikat kehidupan. Di sinilah akhirnya aku menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Di bumi Allah inilah aku berdiri dan mencoba untuk menyelami di kedalaman samudra ilmu. Walaupun jalanku menuju-Nya masih meraba-raba dalam gelap, tapi aku yakin, akan kutemukan “nur” kearifan itu. Jika anugerah itu telah sampai kepada kita, mengapa kita tidak mencoba mengabadikan dan menyusunnya menjadi syair hidup yang kelak akan selalu kita kenang tentunya?

Pencarianku belum selesai sampai di sini. Jalan yang harus aku tempuh masih panjang membentang di depan. Aku tak tahu, apa mungkin melewati jalan itu. Pada setiap persimpang jalan selalu kutemukan kepalsuan, kecurangan, kebohongan, dan keamburadulan. Kejujuran sangat sulit kutemukan di sepanjang sajak jalan ini.

Waktu terus mengalir dan tak mungkin berhenti mengalir. Aku ingin mengikuti aliran waktu, dan tak mau berhenti untuk menemukan apa yang aku cari. Pada setiap jalan yang kulewati, segala kejadian kurekam dalam ingatan, dan kucatat bagian-bagian penting di sebuah buku harian yang selalu menemaniku dalam perjalanan.

Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, dan hanya secuil kelebihan yang kumililki. Dari secuil kelebihan itulah aku mencoba memperkuat keimanan, menghindari semua godaan yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku.

Coba lihat, apa yang ada di luar sana? Gelap. Ya, gelap. Belakangan ini langit selalu tampak gelap. Sebagaimana dunia yang selalu dilanda kekacauan, kebohongan, kepalsuan, kecurangan, dan keamburadulan. Banyak orang yang “pura-pura” pintar, tapi tidak jujur dan tidak arif dalam menyikapi kehidupan. Jusrtu egonya yang berperan. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka, sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Aku prihatin. Melihat dunia yang semakin hari semakin jauh dari garis yang hakiki. Kemaksiatan telah merajalela. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Seperti sudah tak ada lagi yang mengenal hukum Allah. Ah, sudah sampai peradaban manakah ini, sehingga orang-orang tak lagi mengenal hakikat?

Lihatlah, tak satupun bintang terlihat di sana. Mendung hitam sedang menjadi raja dan sudah beberapa hari ini bumi terus diguyur hujan. Bagaimana dengan daerahmu di sana? Apakah  malam ini juga sedang turun hujan? Ataukah hanya sekedar bermendung? Aku yakin, sebentar lagi hujan deras pasti akan segera turun.
“Segeralah turun, wahai hujan. Biar pohon-pohon yang telah mengakar pada bumi tumbuh subur. Biar mereka dapat meminum air kehidupan.” Mataku pun berkaca-kaca melihat langit. Sesuatu yang kudambakan itu akhirnya menjadi kenyataan. Hujan pun turun. “Terimakasih, ya Allah...! Terimakasih. Oh, ternyata Engkau masih mendengar suara batinku.” Aku pun kegirangan.
Aku tahu, semua yang ada di dunia ini fana dan tidak ada yang abadi. Termasuk sajak kenangan yang pernah kita tanam bersama itu, mungkin juga akan sirna. Tapi aku yakin, di balik semua ini ada yang Abadi. Kau harus tau itu. Sesuatu yang Abadi adalah sesuatu yang Hakiki, yang akan Hidup untuk selama-lamanya, karena Ia adalah Sang pemilik Cinta itu sendiri. Dialah yang lebih dekat dari segala sesuatu. Dialah puncak Keagungan, Keindahan, dan Sang Kebenaran. Dialah yang memberikan sebuah pertemuan dan perpisahan.

Dulu. Saat aku mengenal cinta untuk pertama kalinya, dan saat aku bertempur secara habis-habisan dengannya, sesungguhnya aku telah ditipu dan diperbudak olehnya. Ah, cinta. Betapa cengeng tampaknya. Mestikah seumur hidup manusia hanya cukup mengurusi persoalan cinta?

Padahal, betapa banyak persoalan lain yang mesti dituntaskan dalam kehidupan ini di luar cinta. Tapi setidaknya, begitulah dulu aku berpendapat. Dulu, aku seperti tidak dapat hidup bila jiwaku membisu tanpa mengkidungkan nyanyian cinta. Padahal untuk selamanya, atau mungkin hingga akhir hayat kelak seseorang yang pernah dirindukan siang dan malam hingga bertahun-tahun lamanya itu, tak akan pernah kembali dan tak mungkin menjadi milikku.

“Aku memang tak akan pernah memilikinya. Tapi salahkah aku, bila hanya ingin sekedar menanam rasa itu di lubuk jiwaku yang terdalam agar cinta itu tetap mekar untuk selamanya sebagai penyegar Kehidupan? Siapa  tahu, nanti aku dapat memetiknya di kurun waktu yang lain.” Demikianlah dulu aku beralasan.

Dulu, aku juga pernah berkata, “Engkau mungkin tidak tahu apa yang sedang merasuk dalam sukma terdalamku malam ini. Hatiku telah menjadi serpihan kepingan luka sejak pengembaraan ini kulakukan. Hidupku memang busuk. Tapi kau harus ingat, seburuk apapun realita yang menimpa diriku, aku masih menyimpan harapan. Ya, harapan untuk memperoleh cinta itu kembali meskipun harus kutebus dengan seribu penderitaan. Inilah milikku satu-satunya yang paling berharga!”

Tapi sekarang, aku telah insyaf. Telah kubuang jauh-jauh sesuatu yang bernama perasaan itu. Bagiku asmara sudah menjadi sesuatu yang tidak penting lagi. Sebab, kesibukan melakukan sesuatu yang tidak menjadi tujuan beararti berpaling dari sesuatu yang menjadi tujuan. Aku sudah tidak lagi bersikap lemah dan alay. Tidak juga galau dan risau. Kuhadapi segala proses kehidupan ini dengan kekuatan. Dan, aku lebih tidak peduli lagi soal rasa. Karena memang hanya soal rasa. Kadang bisa berubah kapan saja. Sebab, cinta telah lama mati bersama matinya hati nurani. Hanya rasa kepada Allahlah yang akan abadi untuk selamanya.

Jombang, 8 November 2011