Oleh: M. Fahmi
Biru memandang ke arah lautan. Biru laut terhampar di hadapannya. Lepas ia memandang, awan putih membentuk gumpalan-gumpalan dan sang mentari bersembunyi di baliknya. Angin bertiup semilir membelai rambutnya perlahan. Aroma laut mengingatkan akan masa lalunya. Ia berdiri di atas karang yang kokoh tegak ribuan tahun menahan terjangan ombak. Ia semakin larut dengan fikiran-fikirannya, lamunan-lamunannya, angan-angannya, dan semua yang ada di benaknya. Debur ombak di sela batu karang dan ikan-ikan berkejaran menikmati segarnya laut. Tiba–tiba ia dikejutkan dengan suara yang mengalahkan halilintar. Sampai pada akhirnya ia terbangun dari mimpi. Ia menatap seorang lelaki berdiri tegak di hadapannya, sambil membawa semprotan berisi air siap untuk menyiramnya. “Ampun Mas, ampun Mas! Dingin!”, air membasahi wajahnya dan ia segera berlari untuk wudlu.
Merupakan kesialan sekaligus keberuntungan baginya mempunyai ketua kamar sekaligus pengurus pondok PP. Bahrul ‘Ulum yang setiap pagi selalu membuyarkan mimpi-mimpi indahnya. Ia harus berhadapan dengan manusia yang luar biasa tangguh dan tak terkalahkan. Dengan segala perlengkapan semprotan berisi air di tangan kirinya, dan kayu menjalin yang hampir tak pernah lepas dari tangan kanannya. Begitulah cara Mas Syamsul menyapa para santri tiap pagi, jika ada santri yang masih tertidur pulas dan tidak sholat berjamaah di masjid. Gayanya mengalahkan pendekar dari negeri ‘Antah Berantah’. Itulah yang terjadi setiap kali Biru malas untuk bangun pagi.
***
Saat fajar mulai membentangkan sayap-sayapnya, sang subuhpun bersiap-siap menggantikannya. Hari itu Biru tidak lagi dibangunkan oleh Mas Syamsul. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan memegang prinsip tujuanya di sini. Ia berusaha membuang sifat malas, manja dan lain sebagainya. Pertama memang sangat berat baginya untuk bangun shubuh. Saat adzan shubuh terngiang di telinganya, ia pun beranjak bangun dan segera berwudlu. Ketika ia keluar dari kamarnya, hawa dingin tiba-tiba menyergapnya. Dengan segala tekad ia memberanikan diri untuk memeluk angin shubuh itu. Ia mengikuti sholat shubuh berjamaah lalu mengikuti rutinan pengajian kitab Riyadus-Shalihiin.
Ketika lubuk langit memantulkan semburat kemilaunya yang putih menerangi belahan bumi, sang mentari mulai menyingsing menelan sisa-sisa malam yang merambat pagi. Ia melangkahkan kakinya sambil memantapkan niatnya. Tak lama kemudian ia tiba di madrasah yang sangat ia banggakan, yakni MAN Tambakberas Jombang.
Biru berlari-lari kecil memasuki halaman madrasah. Dihirupnya udara dalam-dalam. Sudah dua bulan ini ia dekat dengan seorang santri putri. Kegiatan OSIS di madrasahnya-lah yang mempertemukan dengannya. Bisa dibilang dia sangat sempurna. Wajahnya cantik jelita, berposter tubuh ideal dan tingginya tepat sebahu Biru. Ia biasa dipanggil dengan “Pink”. Entah karena memang nama aslinya demikian atau memang kesukaannya pada warna merah muda itu. Sebenarnya, hati Biru sangat tertarik pada santri itu. Tapi ia tak ingin terlalu cepat mengambil sebuah keputusan. Perasaan itu disimpan begitu saja sampai kelas akhir.
“Besok akan diumumkan siapa yang mendapat beasiswa pendidikan S1 di luar negri itu,” kata Pink pada suatu ketika.
“Ah, iya. Saya juga dengar, katanya besok Sabtu,” balas Biru.
“Enak ya, kalau bisa dapat. Kita tidak perlu keluar uang sampai lulus nanti!”
“Ah, kalau aku bisa dapat beasiswa itu, Emak pasti tak perlu bekerja keras untuk membiayaiku kuliah. Aku bisa meringankan beban Emak,” angan Biru.
“Mungkin kamu yang akan mendapat beasiswa itu Biru. Kamu kan selalu menjadi juara umum di madrasah kita,” cetus Pink membuyarkan lamunan Arif.
“Kamu saja Pink!”
“Lho, kenapa? Kalau kamu yakin akan berhasil, maka kamu akan benar-benar berhasil,” ucap Pink menyemangati temannya.
Biru dan Pink sama-sama akan menjalani ujian kelulusan bulan depan. Setelah lulus mereka yang mendapat beasiswa itu akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi luar negri tanpa biaya. Tentu saja Biru berharap agar dia mendapat beasiswa itu. Dia ingin membahagiakan hati Emak. Ia ingin Emak tidak lagi susah-susah membanting tulang untuk membiayai kuliahnya.
***
Pagi itu, langit tampak indah, matahari di ufuk timur bersinar cerah. Seindah suasana di madrasah itu.
“Wah, kamu jadi orang penting sekarang. Selamat ya, kamu telah berhasil untuk mendapatkan beasiswa itu!” ucap Pink.
“Ah, kamu sudah mengatakannya untuk yang keseratus kali,” cibir Biru. Suasana pun hening sesaat.
“Kamu ingin melanjutkan ke mana Pink?” Tanya Biru.
“Ah, aku ingin melanjutkan di sini saja!” sahut Pink datar.
Perasaan Biru berada di ambang ketidak-pastian. Di antara bahagia dan sedih. Bahagia karena bisa meringankan beban Emak. Dan sedih karena ia tak akan lagi dapat bertemu dengan Pink. Sahabat jiwanya.
Pagi itu adalah pagi perpisahan. Dan rasa itu dibiarkan mengalir begitu saja oleh Biru. Ia tak ingin Pink tahu akan perasaan yang dimilikinya.
***
Lima tahun kemudian...
Ah, rasanya sekarang aku seperti berada di ruang lima tahun lalu. Di mana kita pernah bersama di pesantren ini ini. Setelah lama meninggalkan pesantren ini, kini aku kembali dari negri sebrang untuk menyapa lagi pondok yang telah banyak mengajarkanku arti hidup. Pesantren yang pernah menggoreskan harapan tiada batas. Kita dulu pernah bersama di sini. Tapi sekarang engkau di mana? Setelah kepergianku, tak ada kabar sama sekali tentang dirimu. Mungkinkah engkau masih mengingatku Pink? Semoga saja.
Pikiranku kini melayang lagi. Engkaupun tersenyum. Ah, senyum yang menghadirkan berjuta kenangan. Senyum yang pernah hadir di masa kelamku. Senyum yang pada ujung-ujungnya menyimpan rindu, yang mengibarkan rasa perih. Aku hanya sekedar mengenang sesuatu yang telah retak di sela-sela bentangan sejarah.
Mungkin ini adalah bentangan alam rindu yang berada di ufuk jiwaku, yang selama ini terpendam jauh di lubuk hati terdalam ini. Namun, setiap kali aku berusaha melewati rindu, malah rindu itu yang kian membawaku pada lembah kebingungan. Akhirnya ia keluar sebagai pemenang dan aku menjadi pecundang. Begitulah angan panjang Biru saat akan menghadiri acara reuni di PP. Bahrul ‘Ulum.
Acara reuni santri-santri alumni PP. Bahrul ‘Ulum kali ini benar-benar ramai. Di sana Biru bertemu lagi dengan teman-temannya dulu, termasuk Mas Syamsul yang setiap paginya selalu membuyarkan mimpi-mimpi indahnya. Canda tawa merekahadirkan zona masa lalu yang sarat akan kenangan.
Dari kejauhan, di mata Biru tampak seorang santri putri alumni PP. Bahrul ‘Ulum. Sejenak, Biru memperhatikannya. Dalam benaknya sempat bertanya-tanya. Siapakah dia? Mata yang dulu pernah hadir dalam hidupnya. Raut wajah itu tiba-tiba menghadirkan kelebat jejak dan riwayat. Ketika pikiran Biru melayang ke lima tahun lalu, rasanya tak kuat lagi ia untuk menyimpan rapi perasaan di benaknya. Harapan kini hanya tinggal bait-bait kerinduan yang mengalun merdu bersama kegirangan pucuk daun yang menikmati sentuhan angin. “Mungkinkah engkau masih mengingatku Pink?” gumam Biru. “Semoga saja Allah meng-iyakan atas rentetan pertanyaan yang tak mampu lagi untuk kubendung.” sambungnya. Tampak lelaki tegap itu telah berdiri di hadapan Pink. Gadis itu tampak sangat terkejut.
“Biru, kamu kah itu?” Pekik gadis itu sekuat tenaganya.
“Ah, ternyata kamu tak lupa padaku.”
“Akhirnya kau kembali juga.”
“Ya, karena ini amanat bagiku. Hmmm, ternyata kau masih saja seperti dulu Pink. Ya, seperti yang ku kenal dulu.”
“Hehehe…” tawa renyah pink.
“Dan masih kutemukan kunang-kunang di matamu. Masih hidup seperti dulu.”
“Ah, bisa saja kamu Biru. Dan kamupun masih seperti dulu. Ucapanmu tak pernah keseleo.”
Keduanya tertawa hampir bersamaan.
“Tidak… aku serius Pink. Aku seakan bisa melihat cahaya di kedua bola mata indahmu. Cahaya bening yang memancarkan semangat, kejujuran, dan ketulusan.”
“Aku rasa, setiap manusia juga memilikinya. Setiap orang juga mempunyai benih kebaikan di dalam hatinya. Tinggal apakah orang itu mau menyemainya atau tidak.” Kata Pink bijak.
Biru kini telah bertekad untuk mengungkapkan segalanya kepada Pink. Setelah sekian lama lama menimbang dan menunggu, kini kekuatan itu muncul lagi dengan membawa sinar terangnya. Terlalu cepat memang. Namun itulah Biru, jika sudah memutuskan sesuatu ia akan memegang teguh keputusannya. Dan di sanalah Biru berlutut menunggu jawaban Pink.
“Maukah engkau berubah menjadi ungu?” Pinta Biru penuh harap.
Pink merasa heran dengan pertanyaan Biru. Namun, sejenak kemudian Pink bisa memahami bahasa Biru. Ia memandang Biru sekilas. Sikap Biru yang malu-malu lebih tampak seperti seekor kucing yang memohon pada tuannya untuk sepotong kepala ikan. Ia berputar-putar gelisah di samping Pink menanti jawabannya.
“Maukah engkau berubah menjadi ungu, Pink?” Pinta Biru lagi.
“Maaf Biru, aku tak bisa……”
Jawaban itu sungguh di luar dugaan Biru. Uluran tangan Biru melemah, namun ia tetap tegar, menerima semua kemungkinan yang akan terjadi. Karena baginya, menyatakan perasaan adalah suatu keberanian yang dapat membuat hatinya lega.
“Aku tak bisa menolak permintaanmu….” Lanjut Pink di luar dugaan, sambil menerima cincin dari tangan Biru dan menyematkan di jari manisnya.
Ke empat mata itu saling menatap cukup lama. Keduanya membahasakan cinta dalam diam. Ada aura yang berbeda antara tatapan sekarang dengan sebelumnya. Entahlah, yang pasti tatapan itu tidak bisa dipahami oleh logika.
Biru tersenyum bahagia. Kini ia tak lagi merasa risau, karena semua rentetan pertanyaan yang ada dalam benaknya telah terjawab. Seseorang telah mau mengisi hatinya. Mereka tersenyum bahagia. Di luar sana, langit biru boleh berbangga. Karena rangkaian awan putih masih setia menghiasinya.
Jombang, 28 Maret 2013
Em Ef