Ketika Manusia Berkarya
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Seorang penulis dari Inggris, Muriel Rukeyser, mengatakan, “Konon, Alam semesta raya ini terbuat dari cerita-cerita, bukan dari atom-atom.” Kemudian sastrawan, Horace, menambahkan, “Cerita adalah tentang diri kita sebagai manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.” Hal ini pun—agaknya—sesuai dengan kitab Daqaaiqul Akhbar, bahwa Allah menciptakan makhluk yang pertama kali setelah Nur Muhammad adalah sebuah qalam atau pena. Dari pena tersebut disusunlah cerita demi cerita tentang manusia dan alam raya ini di sebuah tempat yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia: Lauh Al-Mahfudz. Dari sanalah segalanya bermula; cerita dan kisah di sepanjang perjalanan abad. Cerita tentang adanya kita—yang ada di dalam rangkaian cerita yang maha panjang itu.

Di rangkaian cerita itu, lahirlah makhluk bernama ruang dan waktu, hingga dimensi ke-n yang lain. Adanya berbagai dimensi tersebut sangatlah memungkinkan seluruh makhluk-Nya dapat tinggal di sana. Semua makhluk yang ada di muka Bumi dan Langit, serta yang ada di antara keduanya sejatinya senantiasa me-Mahasucikan Allah, hanya saja terkadang manusia terlupa akan siapa sebetulnya dirinya. Kehidupan ini begitu indah, bukan? Dialah Allah, Sang Kreator Mutlak. Lihatlah, seluruh aksara karya Agung-Nya yang maha ajaib ini, yang tak pernah ada makhluk yang sama persis baik dari segi karakter maupun fisik. Allah sungguh hebat dan kreatif, bukan? Dialah yang Maha Qadim—yang “dahulu”Nya tanpa adanya permulaan, berbeda dengan semua makhluk-Nya selalu berhulu dan bermuara. Akan ada banyak sekali keajaiban dalam Kehidupan yang Maha Akbar ini jika manusia mau membacanya.

Sebagaimana uraian di atas, bahwa kisah hidup kita dan sejarah dunia ini telah ditulis oleh Tangan yang sama. Masa depan telah ditulis dan apa-apa yang ditulis-Nya selalu untuk kebaikan manusia. Setiap orang memiliki legenda pribadi. Semakin dekat seseorang ke perwujudan legenda pribadinya, semakin besar legenda itu menjadi alasan utamanya untuk selalu belajar dan berkarya di dalam Kehidupan. Saya jadi teringat mutiara kalam Imam asy-Syafi’i, “..Bila kau tak tahan lelahnya belajar dan berkarya, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan..”. Kata-kata yang sederhana tapi terkesan utuh itulah yang berhasil memotivasi saya untuk selalu belajar dan berkarya.

Legenda pribadi adalah apa yang selalu ingin ditunaikan oleh manusia dalam Kehidupan. Masing-masing manusia memiliki cita-cita dalam hidupnya. Semua dari mereka menjalani legenda pribadinya sampai selesai, sebab hidup tidak akan pernah tuntas sebelum seorang anak manusia menyelesaikan misinya yang agung. Mereka berkelana, berbicara dengan orang-orang bijak, menunjukkan keajaiban-keajaiban kepada yang ragu. Dan ketika seorang anak manusia itu menginginkan sesuatu, maka segenap Alam raya bersatu untuk membantu meraihnya.
Jika Tuhan yang dengan segala karya agung-Nya dapat sedemikian kreatif menjadikan segala sesuatu, mengapa manusia tidak? Bukan berarti mau menyaingi ciptaan demi ciptaan-Nya, tapi dengan berkarya maka setidaknya seorang anak manusia akan senantiasa belajar meng-iqro’i segala karya agung-Nya di alam raya ini. Pun dengan berkarya, ia akan menemukan dirinya yang sesungguhnya. Melukis, menulis, memahat, membaca, bermusik, dan segala aktivitas berkarya lainnya ternyata bukan hanya sekadar aktivitas seni, tapi juga merupakan pengembaraan, pencarian, perjalanan, sekaligus pencapaian seorang kreator dalam menggapai Cahaya Maha Cahaya; yang adanya adalah sebagai puncak Keindahan tertinggi. Semua ilmu berhulu dari pemikiran (filsafat) dan akan bermuara menjadi seni.

Menulis—terkhusus mengarang—adalah proses merevisi naskah sepanjang hari, seperti seorang pelukis yang terus memoleskan kuasnya di kanvas dari waktu ke waktu untuk mencapai taraf keindahan tertinggi. Jadi, tidak akan bisa rampung saat itu juga. Harus sabar dan tetap ulet dalam menyelesaikannya, sampai suatu nanti ketika kita sendiri merasa puas membacanya. Kalau kita sendiri puas, insya Allah pembaca pun puas. Sebab, menulis pada hakikatnya adalah untuk kepuasan batin penulis sendiri. Pembaca hanyalah audiens yang kebetulan terkena efek dari keindahan batin seorang penulis.

Menulis itu pun sebetulnya tidak ada bedanya dengan kebutuhan sholat, makan, dan minum. Hanya saja, dengan tulisan, kemungkinan untuk menggapai makna hidup yang lebih tinggi bisa lebih terwakili. Pertarungan paling panjang adalah pertarungan abadi antara pertentangan hati nurani manusia yang ingin berdiri sendiri dengan suara-suara lain—entah itu datang dari setan atau nafsu—yang berusaha menggoyahkan keyakinannya. Itu pulalah sebabnya mengapa manusia berkarya. Hanya karyalah yang akan ditinggalkan manusia sebagai jejak kehidupan dalam pengembaraan yang tidak ada ujung pangkalnya ini.

Apakah manusia dalam perjalanan berkaryanya selalu benar? Tidak. Mereka akan menjumpai berbagai rintangan yang kemudian—bisa jadi—ia tidak selamanya berjalan di ruang yang benar. Namun, justru dari perjalanan itulah seseorang—sebetulnya—dapat belajar untuk sampai pada titik yang benar. Saya pribadi, cukuplah menjadi orang “sederhana” dengan pikiran “sederhana” dan hidup “sederhana”. Saya ingin hadir apa adanya di muka bumi ini sebagaimana keberadaan air, angin, api, dan tanah yang ikhlas untuk apa mereka hadir.

Sebagai bahan belajar bersama, saya punya beberapa tips: Tulislah apa yang paling kita ketahui. Biasanya pengalaman pribadi adalah hal yang paling mudah untuk ditulis. Tidak jarang, pengalaman pribadi menjadi sumber ilham terbesar bagi seorang pengarang setelah diramu dengan imajinasi dan bahan-bahan lain yang ada. Tulisan bisa membekas di hati pembaca karena tulisan itu memiliki “ruh”—yang dengannya kata demi kata yang disampaikan akan menjadi terasa “hidup” dan akan sampai pada maksud makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengantarkan pembaca sampai pada titik hikmah. Ada keindahan kata-kata yang tidak bisa digantikan dengan gambar, lukisan, suara, atau bahasa yang lain. Itulah sastra. Di sana, pengarang akan benar-benar terlibat dalam pembuatannya dengan mencurahkan segala rasa yang ia punya.

Apa yang perlu dihindari saat menulis? Kalau saya pribadi percaya, bahwa saat menulis itu ada kekuatan tak kasat indera yang tanpa kita sadari sedang membimbing kita dalam menulis, dan itu pun tergantung pada niat dan apa yang kita tulis. Sebab, ketika kita menulis maka sebenarnya kita memiliki tanggungjawab moral kepada pembaca, terlebih kepada Tuhan. Untuk itu, hindari segala perbuatan yang tidak diridhoi Allah—yang dibenci sekaligus dimurkai oleh Allah. Maka setidaknya, dalam kehidupan keseharian kita harus taat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Insya Allah apa yang kita inginkan tercapai. Nampaknya hal ini sepele dan terkesan simpel, namun inilah esensi Kehidupan. Agama bukanlah ritual yang hanya sekadar menjemukan atau dogma yang memaksa, melainkan keyakinan dan keteguhan.

Semoga kita bisa saling berbagi dan menyemangati. Seorang penulis tidak akan berarti apa-apa kalau karyanya tidak ada yang membaca. Penulis hidup dalam kesunyian dan sahabatnya yang sejati adalah pembaca. Salam sukses selalu, Sahabatku. Teruslah berkaya untuk sahabat, untuk bangsa, untuk Cinta!

Wallahu a’lam.
Malang, 22 Pebruari 2015


Bentangan Alam Rindu
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Mengalah, biarlah aku mengalah. Biarlah aku meninggalkan dalam percaturan cinta ini. Biarkan rindu yang kutanggung kan kubawa ke negeri sebrang. Karena di situlah awal rindu dalam tangis sendu tak terperikan. Aku ikhlas dan rela menerima keputusan ini. Sekali lagi kembalikanlah kapal ke pangkalannya. Mungkin di pangkalan itu engkau sudah tahu di mana tempat berlabuh dan barsauh. Mungkinkah engkau masih bisa berlabuh lagi di hatiku? Ah, aku sempat putus asa. Ingin kulupakan lembaran-lembaran sejarah di antara kita. Sebaiknya kita mengaku sebagai “saudara” dalam ikatan tauhid!

Aku akan menyongsong hari-hari baru, di mana mentari bertebaran memompa semangat perjuangan hidupku. Desiran angin pagi ini membawa asa melayang lebih jauh lagi. Hidup ini tidak bisa ditimbang dengan perasaan, sebab dengan pertimbangan perasaan aku hanya akan dibawa hanyut dan larut dalam kesedihan, yang akhirnya menghancurkan diri sendiri dalam penderitaan. Di sini tidak ada kata “berhenti”, karena berhenti berarti mati, berarti tidak melangkah untuk berproses. Bukankah segala sesuatu itu membutuhkan proses? Kisah kekecewaan boleh berubah dan luka hatipun harus segera dikubur bersama peristiwa-peristiwa yang meliputinya. Aku harus membuka lembaran dan cerita baru lagi bagi sejarah kehidupanku selanjutnya.

***
Bentangan pematang sawah yang tak seperti dahulu, yang penuh kenangan ini tiba-tiba menghadirkan kelebat jejak dan riwayat. Ketika pikiranku melayang ketujuh tahun lalu, rasanya tak kuat lagi aku untuk menyimpan rapi di benak ini. Harapan kini hanya tinggal bait-bait kerinduan yang mengalun merdu bersama kegirangan padi yang menikmati sentuhan angin. Mungkinkah engkau dan aku nantinya akan bertemu lagi dalam naungan kasih? Semoga saja Allah meng-iyakan atas rentetan pertanyaan yang tak mampu lagi untuk kubendung.

Ah, rasanya sekarang aku seperti berada di tujuh tahun lalu. Di mana kita pernah bersama di pematangan sawah ini. Setelah lama aku meninggalkan desa ini, kini aku kembali dari negeri sebrang untuk menyapa lagi desa kelahiranku ini. Desa yang pernah menggoreskan harapan yang tiada batas. Kita dulu pernah bermain layang-layang bersama di sini, bukan? Tapi sekarang engkau di mana? Setelah kepergianku, tak ada kabar sama sekali tentang dirimu. Orang-orang desa sini juga tak mengerti keberadaaanmu. Mungkinkah engkau masih ingat aku?

Pikiranku kini melayang lagi. Engkaupun tersenyum. Ah, senyum yang menghadirkan berjuta kenangan. Senyum yang pernah hadir di masa kelamku. Senyum yang pada ujung-ujungnya menyimpan rindu dan sedih, yang mengibarkan rasa perih. Aku hanya sekedar mengenang sesuatu yang telah retak di sela-sela bentangan sejarah. Desaku kini telah berubah total. Gubuk-gubuk yang dahulu terbuat dari rotan dan bambu kini telah berubah menjadi tembok besi. Jalan setapak dahulu sering kulewati bersamamu ketika berangkat sekolah kini telah beraspal semuanya. Ladang-ladang dan sawah-sawah yang dahulu sedemikian hijaunya, kini telah banyak yang dibuat pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan. Sebelumnya aku tak yakin bisa seperti ini. Tapi karena realita telah berbicara kepadaku, setidaknya itu telah memberi jawaban atas segalanya. Aku tidak habis fikir. Waktu telah mengubah desaku begitu cepat, secepat kilat yang melesat menembus sekat-sekat rimba. Menyambung jarak yang waktu demi waktu terus membuat engkau dan aku meninggalkan jejak riwayat.

Di sini, waktu berubah menjadi jurang, tempat menampung segala gundah. Seharusnya aku menempatkan engkau sebagai “sahabat hati saudara sejiwa”, tidak lebih dari itu. Dan aku tahu, sesuatu yang berlebihan cepat atau lambat pasti akan sirna.

Ternyata Allah belum mengizinkan kita untuk bertemu dan dipersatukan oleh-Nya. Aku menyadari bahwa aku hanya bisa berharap. Akupun menyadari, bahwa aku bukanlah apa-apa di matamu dan juga bukan siapa-siapa di hatimu. Aku hanya seorang yang lemah, bodoh dan hina di matamu.

Ya Allah, tiada lagi tempatku mengadu untung dan nasib atas pahit getirnya kehidupan yang aku alami, kecuali hanya kepada-Mu yang mampu memberikan jalan terbaik bagiku. Biarlah semua terjadi di atas lembar kehendak-Mu. Engkau adalah Tuhan yang sulit kubaca. Engkau adalah seminam tak terduga. Jadi, biarlah engkau yang mengatur semua ini. Dan memang Engkau mengetahui hasrat setiap makhluk-Mu.

Mungkin ini adalah bentangan alam rindu yang berada di ufuk jiwaku, yang selama ini terpendam jauh di lubuk hati terdalam ini. Namun, setiap kali aku berusaha melewati rindu, malah rindu itu yang kian membawaku pada lembah kebingungan. Akhirnya ia keluar sebagai pemenang dan aku menjadi pecundang. Ah, kekuatan rindu telah mengalahkan benteng pertahanan diriku.

Jombang, 5 Februari 2012

Surat Itu Datang Juga
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Beberapa hari yang lalu, saya menerima surat. Surat yang tanpa identitas, beramplop merah jambu itu diantar oleh Pak Pos ke asramaku. Ku amati tulisan tangan itu. Dan aku, seprti mengenal tulisan itu. Masih sama persis semenjak tujuh tahun yang lalu, ketika aku membaca tulisannya. Sebelumnya saya meminta maaf, karena belum kunjung juga kubalas surat itu. Entahlah. Berikut isinya.

Sobat, ini adalah surat penuh luka dariku yang malang. Yang ditulis dengan penuh rasa malu setelah lama menimbang dan lama menunggu. Aku menahan goresan pena ini berkali-kali, air mata menghadang dan menghentikannya berkali-kali. Maka mengalunlah rintihan hati.

Sobat, setelah melewati usia yang semakin panjang ini aku telah melihat engkau menjadi orang dewasa yang memiliki akal sempurna dan jiwa yang matang. Maka sudah menjadi hakku atasmu agar membaca lembaran surat ini. Jika engkau tak berkenan silakan merobeknya setelah engkau membacanya sebagaimana engkau telah merobek-robek hatiku.

Sobat, tujuh tahun yang lalu adalah hari yang penuh bahagia dalam hidupku. Ketika kita masih bersama saat itu.

Sobat, semua orang pasti mengetahui apa makna kalimat ini. Yaitu kumpulan dari kegembiraan dan kebahagiaan serta awal dari perjuangan. Tak kusangka penampilanmu kini setampan itu. Setelah menerima berita gembira itu, aku menerimanya dengan penuh suka cita.

Sobat, perjuanganku tidak bisa dilukiskan dengan apapun. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi cintaku padamu dan kegembiraanku menyambut kehadiranmu. Bahkan rasa sayang itu terus bersemi seiring dengan bergantinya hari dan kerinduanku terhadapmu semakin mendalam.

Aku sudah lama memendam perasaan ini dengan kesusahan di atas kesusahan, rasa sakit di atas rasa sakit. Aku gembira dan bahagia bisa ditakdirkan untuk bertemu denganmu, walau hanya sekejap.

Sebuah perjuangan panjang yang mendatangkan fajar kebahagiaan sesudah berlalunya malam panjang. Aku tidak bisa tidur dan memejamkan mata. Aku merasakan rasa sakit yang sangat, rasa takut dan cemas yang tidak bisa aku guratkan dengan pena dan tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Saat itu bercampur aduklah antara air mata tangismu dengan air mata kegembiraanku. Hilanglah seluruh rasa sakit dan perih yang aku rasakan.

Sobat, tahun demi tahun telah berlalu dari umurmu sedangkan aku senantiasa membawamu dalam hatiku. Harapanku setiap hari adalah melihat senyumanmu dan kebahagiaanmu setiap waktu—engkau memintaku sesuatu agar aku lakukan untukmu. Itulah puncak dari kebahagiaanku.

Siang berganti malam sementara aku tetap setia dalam kondisi itu. Senantiasa berkhidmat tanpa adanya lelah, senantiasa bekerja tanpa putus hingga engkau tumbuh dewasa..

Telah lewat masa-masa yang berat. Tapi ternyata engkau bukanlah “sobat” yang selama ini aku kenal. Engkau mengacuhkan diriku dan melupakan aku. Sudah berhari-hari lamanya aku tidak mendengar suaramu. Engkau telah melupakan seeorang yang selama ini merindukanmu siang-malam.

Sobat, aku tidak banyak meminta banyak kepadamu. Aku hanya meminta agar engkau menempatkan diriku seperti halnya engkau menempatkan teman-temanmu yang paling akrab dan yang paling jauh langkahnya bagimu.
Sobat, jadikanlah aku salah satu terminal hidupmu sehari-hari sehingga aku dapat melihatmu walaupun hanya sekejap.

Sobat, telah melemah punggungku dan telah gemetar anggota tubuhku, penyakitpun mulai menggerogoti dan mengunjungiku. Akan tetapi hatiku senantiasa untukmu. Manakah kini balasan dan manakah kesetiaan?

Apakah kerasnya hatimu hingga separah itu, apakah sehari-hari penuh kesibukanmu telah menyita waktumu?

Sobat, sepanjang pengetahuanku selama engkau berbahagia dalam hidupmu, maka akan bertambah kebahagiaan dan kegembiraanku.

Tidak usah heran karena engkau adalah buah cinta dan hatiku. Apa dosaku sehingga engkau memusuhiku dan tidak mau lagi melihatku serta merasa berat untuk mengunjungiku? Apakah aku pernah salah bersikap kepadamu sehingga kau campakkan diriku?

Kini semua hanyalah kisah kenangan yang terbuang dari kehidupan. Dan aku kini tak lagi dapat menyimpannya.

Jika kau ingat kembali, aku tak pernah mengatakannya. Barang sejenak, tidak sama sekali. Tapi kaulah yang memintanya. Atau. Mungkin. Aku yang salah. Tidak seharusnya dulu aku sering bersamamu di kebanyakan waktu.

Jombang, Maret 2012

Berdialog dengan Diri
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Aku tidak tahu dengan kalimat apa mesti kutulis setetes tinta ini untukmu. Malam begitu dinginnya, sementara angin tanpa permisi masuk menembus tulang-tulang persendianku. Suara deburan angin malam yang lirih terdengar bagai nyanyian orang kesepian. Lalu nyanyian itu berubah menjadi rintih kesedihan. Kesedihan dari orang-orang terluka, orang-orang kalah, orang-orang yang tersingkir, atau sengaja disingkirkan dari kehidupan. Boleh jadi, rintihan itu juga merupakan ratap keperihan dari harapan yang tak pernah sampai, atau cita-cita yang kandas di tengah jalan. Rintihan itu membuat mataku tak juga bisa terpejam.

Sedang apa kau malam ini? Mungkin selama ini aku yang bersalah padamu. Aku yang sering membuatmu marah. Maafkan atas segala tingkahku. Maaf, jika jejak–jejak masa itu menyisakan luka yang teramat mendalam. Bukan maksudku mengganggu ataupun mengotori kisah kehidupanmu yang putih. Ya, aku yang bersalah, meskipun munculnya keraguan itu sebetulnya datang darimu. Mengapa aku berkata demikian? Teramat sulit bagiku untuk menjelaskan kepadamu dengan kalimat-kalimat biasa di lembaran sesempit ini.

Setelah bertahun-tahun lamanya aku mengembara arungi semesta raya akhirnya terdamparlah aku disini. Di sinilah akhirnya aku menemukan hakikat kehidupan. Di sinilah akhirnya aku menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Di bumi Allah inilah aku berdiri dan mencoba untuk menyelami di kedalaman samudra ilmu. Walaupun jalanku menuju-Nya masih meraba-raba dalam gelap, tapi aku yakin, akan kutemukan “nur” kearifan itu. Jika anugerah itu telah sampai kepada kita, mengapa kita tidak mencoba mengabadikan dan menyusunnya menjadi syair hidup yang kelak akan selalu kita kenang tentunya?

Pencarianku belum selesai sampai di sini. Jalan yang harus aku tempuh masih panjang membentang di depan. Aku tak tahu, apa mungkin melewati jalan itu. Pada setiap persimpang jalan selalu kutemukan kepalsuan, kecurangan, kebohongan, dan keamburadulan. Kejujuran sangat sulit kutemukan di sepanjang sajak jalan ini.

Waktu terus mengalir dan tak mungkin berhenti mengalir. Aku ingin mengikuti aliran waktu, dan tak mau berhenti untuk menemukan apa yang aku cari. Pada setiap jalan yang kulewati, segala kejadian kurekam dalam ingatan, dan kucatat bagian-bagian penting di sebuah buku harian yang selalu menemaniku dalam perjalanan.

Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, dan hanya secuil kelebihan yang kumililki. Dari secuil kelebihan itulah aku mencoba memperkuat keimanan, menghindari semua godaan yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku.

Coba lihat, apa yang ada di luar sana? Gelap. Ya, gelap. Belakangan ini langit selalu tampak gelap. Sebagaimana dunia yang selalu dilanda kekacauan, kebohongan, kepalsuan, kecurangan, dan keamburadulan. Banyak orang yang “pura-pura” pintar, tapi tidak jujur dan tidak arif dalam menyikapi kehidupan. Jusrtu egonya yang berperan. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka, sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Aku prihatin. Melihat dunia yang semakin hari semakin jauh dari garis yang hakiki. Kemaksiatan telah merajalela. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Seperti sudah tak ada lagi yang mengenal hukum Allah. Ah, sudah sampai peradaban manakah ini, sehingga orang-orang tak lagi mengenal hakikat?

Lihatlah, tak satupun bintang terlihat di sana. Mendung hitam sedang menjadi raja dan sudah beberapa hari ini bumi terus diguyur hujan. Bagaimana dengan daerahmu di sana? Apakah  malam ini juga sedang turun hujan? Ataukah hanya sekedar bermendung? Aku yakin, sebentar lagi hujan deras pasti akan segera turun.
“Segeralah turun, wahai hujan. Biar pohon-pohon yang telah mengakar pada bumi tumbuh subur. Biar mereka dapat meminum air kehidupan.” Mataku pun berkaca-kaca melihat langit. Sesuatu yang kudambakan itu akhirnya menjadi kenyataan. Hujan pun turun. “Terimakasih, ya Allah...! Terimakasih. Oh, ternyata Engkau masih mendengar suara batinku.” Aku pun kegirangan.
Aku tahu, semua yang ada di dunia ini fana dan tidak ada yang abadi. Termasuk sajak kenangan yang pernah kita tanam bersama itu, mungkin juga akan sirna. Tapi aku yakin, di balik semua ini ada yang Abadi. Kau harus tau itu. Sesuatu yang Abadi adalah sesuatu yang Hakiki, yang akan Hidup untuk selama-lamanya, karena Ia adalah Sang pemilik Cinta itu sendiri. Dialah yang lebih dekat dari segala sesuatu. Dialah puncak Keagungan, Keindahan, dan Sang Kebenaran. Dialah yang memberikan sebuah pertemuan dan perpisahan.

Dulu. Saat aku mengenal cinta untuk pertama kalinya, dan saat aku bertempur secara habis-habisan dengannya, sesungguhnya aku telah ditipu dan diperbudak olehnya. Ah, cinta. Betapa cengeng tampaknya. Mestikah seumur hidup manusia hanya cukup mengurusi persoalan cinta?

Padahal, betapa banyak persoalan lain yang mesti dituntaskan dalam kehidupan ini di luar cinta. Tapi setidaknya, begitulah dulu aku berpendapat. Dulu, aku seperti tidak dapat hidup bila jiwaku membisu tanpa mengkidungkan nyanyian cinta. Padahal untuk selamanya, atau mungkin hingga akhir hayat kelak seseorang yang pernah dirindukan siang dan malam hingga bertahun-tahun lamanya itu, tak akan pernah kembali dan tak mungkin menjadi milikku.

“Aku memang tak akan pernah memilikinya. Tapi salahkah aku, bila hanya ingin sekedar menanam rasa itu di lubuk jiwaku yang terdalam agar cinta itu tetap mekar untuk selamanya sebagai penyegar Kehidupan? Siapa  tahu, nanti aku dapat memetiknya di kurun waktu yang lain.” Demikianlah dulu aku beralasan.

Dulu, aku juga pernah berkata, “Engkau mungkin tidak tahu apa yang sedang merasuk dalam sukma terdalamku malam ini. Hatiku telah menjadi serpihan kepingan luka sejak pengembaraan ini kulakukan. Hidupku memang busuk. Tapi kau harus ingat, seburuk apapun realita yang menimpa diriku, aku masih menyimpan harapan. Ya, harapan untuk memperoleh cinta itu kembali meskipun harus kutebus dengan seribu penderitaan. Inilah milikku satu-satunya yang paling berharga!”

Tapi sekarang, aku telah insyaf. Telah kubuang jauh-jauh sesuatu yang bernama perasaan itu. Bagiku asmara sudah menjadi sesuatu yang tidak penting lagi. Sebab, kesibukan melakukan sesuatu yang tidak menjadi tujuan beararti berpaling dari sesuatu yang menjadi tujuan. Aku sudah tidak lagi bersikap lemah dan alay. Tidak juga galau dan risau. Kuhadapi segala proses kehidupan ini dengan kekuatan. Dan, aku lebih tidak peduli lagi soal rasa. Karena memang hanya soal rasa. Kadang bisa berubah kapan saja. Sebab, cinta telah lama mati bersama matinya hati nurani. Hanya rasa kepada Allahlah yang akan abadi untuk selamanya.

Jombang, 8 November 2011

Aku dan Bulatan Bunga Sabun
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Kutulis segenggam asa ini. Kutulis semata-mata karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis dan segala resah gelisahku tertuang dalam catatan ini, maka akan legalah perasaanku.
Sore ini, semula aku tak ingin berbuat apa-apa. Pikiranku kusut memikirkan sesuatu. Tapi, hatiku bisa beku bila tak melakukan sesuatu. Ruangan kamar pondok ini terlalu sempit bagi jiwaku yang ingin terus mengembara tanpa batas. Itulah sebabnya, aku sengaja memilih keluar sore ini. Aku sering memilih jalan sunyi yang mendaki lagi sukar penuh onak dan duri, serta batu-batu krikil yang tajam menantang merintang. Inilah pengembaraan yang lebih panjang untuk membuktikan kemurnian itu. Kemurnian bukanlah sekadar ucapan yang tak bermakna dan terkadang pun bisa berbohong. Hatilah yang sebenarnya paling jujur. Aku menerawang jauh, bahwa perjalanan yang kelak akan kutempuh tak akan pernah ada habisnya untuk menghidupkan kembali kemurnian yang sirna, demi menggapai puncak yang paling tinggi.

Sejenak, kualihkan arah pandangan pada jam kehidupanku. Ternyata, aku akan segera sampai di penghujung. Tapi aku baru sadar. Bahkan begitu sadar, bahwa aku belum berbuat apa-apa. Mungkin begitu cepatnya waktu menguap ataukah aku sendiri yang kurang menyadari betapa, waktu telah menggilas segalanya. Sekali waktu melesat maka tak akan ada yang dapat mengembalikannya. Hidupku terkadang suka, terkadang duka, dan tak jarang datar tanpa ekspresi.

Di sinilah aku mengukir harapan untuk mengarungi kehidupan esok. Ya, esok. Ketika aku telah meninggalkan kehidupanku di sini. Aku melihat tergambar di luar sana, entah akan ada suasana riuhnya dunia kampus, atau entah sesaknya dunia kerja, atau bahkan entah ribetnya persoalan masyarakat. Di sini, hidupku terlindungi dan terjaga dari segala kemusta’malan. Aku menikmatinya. Sebab di sinilah aku belajar mengatur diri. Sayangnya, gerakku di sini begitu terbatas. Semuanya dibatasi oleh ketentuan hukum yayasan pesantren. Ibaratnya seperti dibatasi oleh lapisan yang begitu tipis; dan sekuat apa pun aku tak akan pernah bisa menolak adanya lapisan itu. Seperti terbuat dari tiupan sabun cuci, membentuk bulatan yang bila tesapu cahaya tampak warna-warni mejikuhibiniu. Dan di dalam bulatan itulah aku hidup.

Bunga sabun ini suatu saat akan pecah. Tinggal kapan dan siapkah aku menghadapi realita yang akan terjadi. Apakah aku akan terlempar jauh ke bawah ataukah mi’raj di ketinggian tertinggi? Entahlah. Siapkah aku untuk menjaga kemurnian yang selama ini kujalani setelah keluar dari pelindung bulat ini? Di luar memang terlihat lebih indah, megah, dan menantang. Tapi di sana akan lebih bahaya dan tak aman, karena sekali salah melangkah maka akan tenggelam ke dalam jurang yang teramat curam. Bukannya aku takut dengan kehidupan di luar sana. Tapi dari detik ini, setidaknya aku telah siap dan meyakinkan segenap iman yang telah lama membaja dalam jiwaku. Sebab musuh sejatiku esok nanti bukanlah musuh yang berwujud, melainkan sesuatu yang tak kasat mata. Di zaman sekarang ini, tidaklah sama seperti pada zaman Nabi yang ketika perang melawan musuh dengan menggunakan kekuatan fisik. Di di era sekarang, yang entah apa orang menyebutnya, yang terjadi adalah perang dalam diri. Seseorang akan disebut kalah dari peperangan jika ia menjual keyakinannya. Ya, itulah iman. Kini berpegang teguh pada iman ibarat memegang batu bara yang membara. Jika tak kuat menahan panasnya api kebenaran, maka tewaslah ia dalam menghadapi pertempuran melawan dirinya sendiri.

Aku harus sesegera mungkin berbenah diri dan berusaha melakukan sesuatu yang terbaik dari yang terbaik. Mulai dari sekarang, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari diri sendiri. Detik-detik akhir ini aku seperti menemukan kesadaran baru. Kesadaran bahwa, untuk apa sebenarnya aku diciptakan dan dihadirkan oleh Allah di dunia ini? Di samping itu, yang selalu melekat dalam alam pikiranku adalah aku akan berpisah dengan orang-orang hebat seperti mereka. Aku akan meninggalkan kisah paling indah di dalam bunga sabun ini. Hingga suatu saat “pluk”, tanpa suara yang heboh, tanpa efek yang luar biasa, bulatan bunga sabun itu pecah. Aku keluar dari bulatan bunga sabun itu menuju tempat yang telah digariskan olehNya. Dengan air mata aku menerima semua kenyataan. Dengan air mata aku tak bersama mereka lagi: penasehatku, pelipur dukaku, penyemangat hidupku, para masyayikh, orang-orang yang telah memberiku pelajaran dan kekuatan dalam kehidupan, guru-guru, dan semua orang yang telah mendidikku untuk menjadi orang yang dewasa dalam berpikir dan bersikap. Semua itu harus aku terima dengan air mata kenyataan yang belum aku tahu, karena ternyata bulatan bunga sabun yang kelak menjadi kenangan itu belum pecah. Hanya tinggal menunggu dan merelakan sang takdir bila harus bicara terhadap diriku.

—di penghujung tahun
Jombang, 31 Desember 2011

Keluar dari “Penjara” Rasa
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Laiknya fiksi, humor pun sebetulnya juga lahir dari sesuatu yang serius. Sesuatu yang kita sendiri mengalaminya hari demi hari, namun tak kunjung juga kita mengerti. Hidup ini dibuat biasa sajalah. Tak perlu tegang dan serius. Mungkin di antara kalian, sering melihat dan mendengar saya berhumor yang tidak jelas. Ya, harap dimaklumi. Mungkin dikarenakan sifat saya yang masih kekanak-kanakan.

Tapi, kau tahu. Ada latar belakang yang membuat saya sering berhumor dan tertawa. Dan yakinlah. Bahwa kebenaran dan kemurnian tanpa humor sifatnya meragukan. Dengan humor, sesuatu yang bersifat serius dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu baru yang bersifat rileks dan renyah. Karena itu, manajemen rasa itu dirasa penting. Kita perlu kondisi yang tenteram, bahagia, dan penuh kedamaian di sekeliling kita, agar hidup tak selalu tegang. Kenapa saya berpikir demikian. Sebab, sesuai dengan perjalanan pengalaman saya, di kelas, beberapa dosen yang killer membuat mahasiswanya tegang dan berpikir sedemikian seriusnya. Tak hanya di kelas, di luar pun, mahasiswa sering diburu ketakutan atas tugas-tugas dari dosen. Hari-hari saya selama kuliah membuat saya jarang berhumor. Hidup saya pun penuh dengan ketegangan dari hari ke hari. Jadilah saya orang sains yang sering serius dan jarang tersenyum, apalagi tertawa. Wajah saya pun agak berubah, laiknya dosen yang killer. Itulah sebabnya, saya suka berhumor di sana dan di sini. Sebab, betapa waktu di kelas, telah banyak menyita waktu humor saya dengan berbagai keseriusan.

Seperti halnya rasa marah, iri, benci, dendam, ketakutan, ego, suka, cemburu, cinta, nafsu. Tegang dan serius juga merupakan bagian dari semua itu, yang pada hakikatnya adalah sama, yaitu hanya sebuah “rasa”. Padahal kita sendiri yang menciptakan “rasa” itu. Kita sendiri pula yang disibukkan oleh “rasa” itu, dan kemudian tanpa disadari kita telah berada di sebuah penjara yang bernama penjara “rasa”. Untuk keluar dari penjara bernama penjara “rasa” itu, seseorang harus mengabaikan segala rasa yang sedang membelenggunya. Perlu kita ketahui. Bahwa di pusat panas yang paling panas, di situlah ada titik dingin paling dingin. Dengan filsafat, seseorang dapat mengubah panas menjadi dingin, mengubah api menjadi air, mengubah tegang menjadi santai. Filsafat tak ubahnya tongkat ajaib yang ampuh untuk menyulap apa saja yang bersifat keburukan, menjadi segala sesuatu yang baik dan rahmatan lil Aalamiin.

Ini cerita saya. Dulu, memang pribadi saya sangat labil. Cinta pun saya tuhankan. Saya menjadi buta dan tuli, hanya gara-gara cinta. Saya dibuat sibuk dan pusing oleh cinta. Saya pun diperbudak oleh cinta. Saat itu, saya belum pernah mengenal filsafat. Sehingga tak mengerti, mana yang patut diperjuangkan dan mana yang harus dibumihanguskan. Tapi, semua jejak cerita itulah yang akhirnya membuat saya kokoh pendirian. Kujadikan jejak cerita yang kelam itu menjadi sebuah pelajaran yang saya pakai di hari ini.
Cerita saya berawal dari sini. Pernah saya mengagumi seseorang. Kupuji ia dalam siang dan malam. Dalam salat, saya tak tahu harus menghadap Allah ataukah seseorang yang selalu kuingat namanya itu. Wajah saya penuh dosa karena mengkhianati nurani saya. Seharusnya saya hanya menghadap Allah, bukan yang selainNya. Saya tak berani mengutarakan pada perempuan. Diam-diam suka, diam-diam cemburu, dan diam-diam cinta.

Dulu, saya juga pernah pacaran. Satu kali dalam hidup saya, hingga saat ini. Tapi nahasnya hanya berlangsung dua hari. Hari pertama saya menyatakan cinta. Dan hari kedua saya memberinya hadiah. Setelah itu, saya tak berani lagi mendekati, apalagi berbicara padanya. Semua telepon dan sms darinya saya abaikan. Kata dia, saya jahat. Memang di matanya begitu. Tapi entah lagi kalau di hadapan Allah. Ah, tahu apa saya soal cinta. Saya kemudian sadar, dan saya tinggalkan nafsu itu dalam keyakinan.

Semenjak itu, saya hanya bisa merindu dan mengkidungkan nyanyian cinta. Ternyata perjalanan cinta belum berakhir. Saya harus menanggung beban rindu dari hari ke hari. Hati saya masih labil oleh godaan cinta. Apakah itu cinta atau nafsu, saya belum bisa membedakan. Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan filsafat. Ialah yang mengantarkan saya pada ruang hikmah. Ialah yang menjelaskan segala yang terselubung dalam rahasia. Saya pun sadar, bahwa nafsu telah memenjara nurani saya yang asali. Saya seperti lahir kembali dari rahim kemurnian. Hingga saya tinggalkan segala bentuk cinta dalam keyakinan hati. Kupatahkan segala sayap-sayapku, agar aku tak lagi terbang mencari-cari cinta, sebab cinta sebetulnya selalu hadir di depan mata, di setiap pembuluh darah, dan di hati orang-orang yang beriman. Cinta tak pernah tumbuh di hati orang yang munafik, yakni orang yang membohongi nuraninya. Langkah dan bicaranya orang munafik sesungguhnya mengidap rasa sakit yang akut, sebab nuraninya menolak sepenuhnya. Orang munafik tak pernah jujur kepada dirinya sendiri. Apalagi tentang nafsu, orang munafik selalu menganggapnya sebagai cinta. Maka, tenggelamlah orang munafik itu ke dalam “rasa” berkepanjangan yang tak ada ujungnya.

Malang, Mei 2015

Sahabat Jiwa
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Sahabat jiwaku. Janganlah heran, kalau sikap saya yang tidak pernah bisa romantis denganmu. Saya, mungkin terlalu kurang pergaulan, sehingga tidak tahu, bagaimana cara bersikap romantis. Harap dimaklumi, saya memang anak desa. Kurang begitu mengerti trend zaman masa kini yang begitu memukau. Entah itu tentang life style, makanan, mode pakaian, teknologi, atau tentang gaya-gaya hidup orang zaman sekarang. Kalau ada yang bertanya kepada saya, ada apa di luar sana. Maka saya hanya bisa menjawab, engkau mungkin lebih tahu daripada saya. Saya adalah manusia yang rabun akan berita dan asmara, apalagi isu-isu yang bertebaran di angkasa raya dan maya. Zaman sudah berubah ternyata. Sudah sampai manakah kita berjalan?

Sahabat Jiwaku. Suatu waktu aku mengetahui, kalau sebenarnya engkau sangat mengharapkan keseriusanku. Mana pernah aku tahu, Ding, bahwa engkau memendam rasa suka padaku. Ah, aku jadi takut pada asmara. Apalagi jika harus terbang bersamamu melewati langit biru itu. Aku menjadi takut jatuh dan sakit. Sementara engkau selalu bertanya padaku, “Begitu sibukkah dirimu, sampai-sampai engkau tak sempat untuk menanyakan padaku: cintakah aku padamu.” Aku hanya bisa diam.

Lalu engkau pun memberanikan untuk datang kepadaku, dan membawa pertanyaan yang lain, “apakah engkau mencintaiku? Masihkah ada cinta di antara kita?” Kali ini aku harus angkat bicara. Aku harus berani membetulkan kata-katanya itu. Kata orang, ini adalah resiko dari pergulatan asmara. Tapi aku tak begitu memahaminya karena aku memang tidak begitu peduli soal rasa. Dan pada akhirnya, aku mencoba mengumpulkan seluruh keberanian itu.

Sahabat jiwaku. Janganlah bertanya lagi, apakah aku mencintaimu. Sebab, itu sudah pasti. Apalagi, kita belum pernah mengukir janji untuk mencintai, maka jangan terburu-buru bertanya, masih adakah cinta di antara kita. Belum ada. Dan mungkin, akan ada untuk selamanya. Itu hanya usahaku untuk mencintaimu. Sementara, selebihnya itu jangan pernah menyalahkan takdir. Marilah saja, kita berdo’a bersama-sama, agar kita dipertemukan di ujung waktu, pada ufuk cakrawala yang indah, dalam suatu ikatan yang diridhoi-Nya. Aamiin.

“Oh, begitu ya. Tapi kamu harus memegang janji dan keyakinan itu ya!” desaknya kemudian.
“Iya, mungkin,” jawabku datar.
“Mungkin?” diulanginya jawabanku itu dengan nada bertanya. Ia seperti tak percaya padaku.
“Kenapa? Ada apa lagi, Ding? Tunggu aku di ujung waktu. Aku pasti akan datang menjemputmu!” tegasku.

Ia tersenyum. Ah, senyum itu. Maafkan aku, Ding. Kali ini, aku tak sengaja melihat matamu yang begitu teduh itu. Senyummu terlalu kekal untuk kuhapus dari ingatan. Gerai suaramu yang sempat ku dengar tadi, entahlah, mungkin sudah meresap ke relung jiwa terdalamku. Gemetar hatiku, Ding. Dan aku tak berani melakukannya lagi. Aku tak berani merindukanmu lagi. Persetan dengan kerinduan.

Sahabat jiwaku. Saya bukanlah orang yang romantis. Maka jangan pernah marah dan kecewa, kalau-kalau sikap saya yang selalu acuh kepadamu, atau kata-kata saya yang sama sekali tidak puitis. Saya memang begini, orangnya, biasa, tidak bisa romantis. Tidak suka alay. Tidak suka cinta yang berlebihan. Malahan, saya ingin mencintai apapun dengan biasa dan sederhana. Termasuk kamu, saya hanya bisa mencintaimu ala kadarnya, dengan cinta yang sederhana. Kecuali Allah, kekasih sejatiku, cintaku sepenuhnya untuk-Nya.

Entah lagi nanti kalau saya bisa romantis kepadamu gara-gara telah punya tanggung jawab yang serius, aku tak tahu lagi. Sampai sekarang, janur kuning itu sama sekali belum melengkung, bukan? Oiya. Dari tadi saya membahas seputar kamu, Ding. Saya jadi penasaran. Kamu yang kelak menemaniku sampai akhir hayat. Siapa namamu sebenarnya? Seperti apakah kamu sesungguhnya. Bahkan, aku tak tahu, kepada siapa, rindu sekaligus doa ini kelak kan kutambatkan.

Malang, 10 April 2015

Pesan-Pesan Rahasia
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Pesan rahasia pertama: Sebuah pencarian merupakan proses yang tak ada habis-habisnya. Apalagi pencarian sebuah hakikat, sebuah kemurnian, dan sebuah cinta. Begitulah manusia pencari, bersunyi-sunyi dan terasing dari sekitarnya karena realita telah menjauhkannya dari inti pencarian itu; sebuah kebenaran.

Kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui. Pada puncak kesunyian itulah, rindu pada kebanaran terpuaskan. Sementara cinta merupakan bahasa universal yang usianya lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun, sebuah bahasa yang hanya bisa dipahami oleh setiap manusia di muka bumi ini dengan hati merdeka; juga sesuatu paling mulia yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sepahit apa pun perjalanan cinta, di sana akan tetap ditemukan isyarat keindahan dari bahasa yang universal itu. Sebab, hanya dengan bahasa universal itulah yang akan mengantarkan manusia sampai pada inti kesadaran dan hikmah. Lalu, adakah manusia yang benar-benar manusia di antara bermiliar manusia di muka bumi ini? Adakah tempat yang benar-benar menjanjikan ketenangan dan kedamaian di setiap sudut kehidupan?

Pesan rahasia kedua: Untuk sampai pada puncak kearifan dan kebijaksanaan tidaklah selamanya seseorang harus menempuh perjalanan yang terjal lagi mendaki. Adakalanya ia harus menikung dan turun sebelum akhirnya naik kembali. Begitulah tangga alam mengajarkan kepada kita dalam meraih suatu tujuan. Karena itu, tidak selamanya hidup ini harus dihadapi dengan ketegangan yang kadang justru dapat mengurangi substansi dari nilai sebuah kebenaran, tapi sesekali hidup juga perlu diisi dengan humor-humor yang menyegarkan agar tujuan suci itu tercapai dan perjalanan ke arahnya tetap terjaga. Mengapa demikian? Sebab, kesucian tanpa humor sifatnya meragukan. Serius memang suatu keharusan tapi terkadang hiburan juga penting. Dengan humor manusia bisa melupakan kegetiran sejenak sebelum akhirnya kembali dalam kesejatian.

Pesan rahasia ketiga: Apakah hati akan beku jika tertawa? Ah, tidak betul itu, Kawan. Tertawa malah bikin awet muda. Tertawa juga bikin sehat jiwa, karena tawa dapat melepaskan dan mengendurkan syaraf-syaraf manusia dari ketegangan dan dari beratnya beban hidup. Tertawalah secukupnya dalam kewajaran. Tapi jangan tertawa sendirian tanpa sebab kalau tak ingin disebut orang tak waras, kecuali kalau sedang latihan drama atau memang sudah berada di rumah sakit jiwa. Hati akan beku kalau dimasukkan ke dalam kulkas.

Pesan rahasia keempat: Mengapa sekarang orang yang benar malah dianggap sebagai orang tak waras? Atau jangan-jangan mereka yang menganggap itulah yang sedang stress, gila, dan berpenyakit jiwa! Tapi percayalah, satu-satunya orang tak waras di tengah-tengah orang yang “gila” di zaman ini sesungguhnya dialah satu-satunya orang yang masih menjaga kewarasannya. Gila adalah satu cara agar seseorang tak lagi mementingkan diri. Dan justru dengan gila pula, seseorang tak perlu lagi merasa untuk sakit hati.

Pesan rahasia kelima: Kita selalu rindu untuk kembali ke asal mula; terbang di keluasan Alam Semesta, menuju puncak yang paling tinggi, mendekati Dzat yang sebetulnya paling dekat dengan diri manusia. Orang yang pernah masuk dalam dimensi seperti ini, akan selalu rindu untuk kembali. Tahukah kau, mengapa kaki kita masih menginjak bumi? Karena sayap kita cuma jiwa.

Pesan rahasia keenam: Orang alim itu tidak sempurna imannya apabila belum menghadapi empat cobaan: dimusuhi oleh musuh; dicela oleh teman-teman dekatnya; dicacat oleh orang-orang bodoh; dan dihasud oleh ulama’ (Imam Abu Al-Hasan Asy-Syadzili).

Pesan rahasia ketujuh: Harapan seseorang dengan kekasihnya hanyalah bertemu. Tak meminta apa-apa, kecuali hanya bertemu. Hatinya  merasa terpotong-potong karena sakitnya berpisah dengan kekasih (Allah).

Pesan rahasia kedelapan: Allah itu selalu mendampingi setiap orang yang  mengembara dan orang yang selalu sendiri untuk mengingat-Nya. Seorang pengembara berkata, “Ilahi, mengapa orang-orang tak lagi mengingat-Mu? Sungguh, Engkau adalah ganti dari segala sesuatu yang hilang dariku.”

Pesan rahasia kesembilan: Makna keindahan itu sangatlah luas, Kawan. Ada keindahan estetika, keindahan etika, keindahan rasa, keindahan bentuk, dan lain sebagainya. Dari semua itu, di muka bumi ini tidak ada keindahan yang benar-benar mutlak, sebab keindahan itu memang tidak memiliki titik batas. Hanya Allahlah yang menguasai kemutlakan itu. Pastikan bahwa hadirnya “keindahan” itu tidak perlu menunggu hari esok tiba, melainkan dapat kita ciptakan dan kita capai dalam detik ini juga dengan sebuah keyakinan! Orang yang berani berkata “pasti” berarti ia telah menggenggam kekayaan tertinggi, yaitu keyakinan. Dengan bekal keyakinanlah manusia akan sampai pada puncak keindahan itu.

Pesan rahasia kesepuluh: Dari manakah awal mula adanya air itu? Ke mana perjalanan akhir dari air? Dari mana awal mula lahirnya angin? Ke mana akhir dari pengembaraan angin? Dari mana awal mula terciptanya api itu? Ke manakah hilangnya panas yang membakar? Dan tanah, meski manusia sering memandang dengan sebelah mata, namun dalam diam ia selalu memamah segala yang ada sekaligus memberi kehidupan pada bumi yang dipijak manusia. Tanah merupakan pemersatu sekaligus sahabat setia air, angin, dan api yang tak terpisah untuk selamanya. Mungkin sebab itu pulalah, mengapa manusia tercipta dari tanah. Tanah akan kembali ke tanah, ruh ke ruh. Lalu ke mana perginya air, angin, dan api?

Pesan rahasia kesebelas: Harapan merupakan sesuatu yang disertai dengan perbuatan. Jika tidak, maka ia hanyalah angan-angan belaka (Syaikh Ibnu Athoillah As-Sakandary).

Pesan rahasia keduabelas: Seseorang yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga (HR. At-Turmudzi dari Abu Hurairah, R.A).

Pesan rahasia ketigabelas: Kesungguhan dan ketekunan seseorang akan dapat mendekatkan segala sesuatu yang jauh. Dan dengan ketekunan itu juga dapat membuka segala pintu kebodohan yang tertutup (Imam Asy-Syafi’i).

Pesan rahasia keempatbelas: Saat Nabi Muhammad wafat, datanglah malaikat Jibril dan berkata, “Ibadah yang dilakukan karena takut akan api neraka dinilai setara dengan perak. Ibadah yang dilakukan karena keinginan untuk masuk surga dinilai setara dengan emas. Ibadah yang dilakukan karena kecintaan kepada Allah semata dinilai setara dengan permata atau intan. Sementara permata atau intan merupakan sesuatu yang bernilai paling tinggi.

Pesan rahasia kelimabelas: Seseorang yang memakan makanan yang haram maka hatinya akan petang dan ibadahnya ditolak selama empat puluh hari.

Pesan rahasia keenambelas: Kesibukan melakukan sesuatu yang tidak menjadi tujuan hakiki berarti berpaling dari sesuatu yang menjadi tujuan.
Pesan rahasia ketujuhbelas: Kelezatan rohani jauh lebih tinggi tingkatannya daripada kenikmatan duniawi.

Pesan rahasia kedelapanbelas: Ilmu itu laksana binatang buruan, sementara tulisan laksana talinya. Maka ikatlah binatang (ilmu) itu dengan tali yang kuat.

Pesan rahasia kesembilanbelas: Kebahagiaan bagi binatang adalah apabila ia mendapatkan makanan, minuman, dan tidur yang puas.

Pesan rahasia keduapuluh: Orang yang mampu menahan hawa nafsu dan kedagingannya akan mendapatkan imbalan berupa kedekatan dengan Allah.

Pesan rahasia keduapuluh satu: Orang cerdas itu adalah orang yang mampu menaklukkan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.

Pesan rahasia keduapuluh dua: Ilahi, sungguh buta mata hati yang tak dapat melihat pengawasanMu dan sungguh rugi seorang hamba yang tak dapat bagian dari rasa cintaMu (Ibnu Athoillah).
Pesan rahasia keduapuluh tiga: Allah selalu bersamaku, Allah selalu menyaksikanku, Allah selalu mengawasiku.

Malang, Juni 2015

Tamu yang Datang di Hari Kemenangan
Oleh: M. Fahmi

Pagi bertakbir. Gemercik suara aliran sungai itu juga bertakbir. Udara pagi yang terasa sejuk ini pun ikut bertakbir. Kicauan burung-burung yang berkejaran itu pun tak pernah lepas dari menyebut asma-asma Allah. Bangunan, jalan, dan pohon-pohon itu pun ikut meramaikan zikir alam. Seluruh komponen yang terbentang di alam semesta raya ini mengagungkan kebesaran Allah. Hanya saja, sebagian manusia sering kali tidak mengerti bahasa takbir mereka. Dan ketika alam bertakbir, hanya sedikit manusia yang ikut dalam irama takbir mereka.

Setiap hari, aku selalu menyapa wajah kota Pasuruan. Di sini. Di tempatku berjuang melawan kebodohan, adalah bumi yang kupijak untuk mengukir berbagai cerita. Mulai dari cerita suka maupun cerita yang memaksa air mataku jatuh. Ah, tak dapat aku bayangkan, akan jadi orang seperti apa aku jika tak menimba ilmu di sini. Pesantren Al-Hikmah telah memberi kekuatan yang besar untuk tetap istiqomah dan bertahan, apapun bisikan angin yang datang. Aku akan tetap di sini, menjaga janji.

Pagi ini, setelah mandi dan salat subuh berjamaah di musala kompleks ribath, aku begitu terburu-buru untuk berangkat ke Masjid. Jarak dari ribath pondokku dengan Masjid tidak terlalu jauh, sekitar tiga ratus lima puluh meter. Hanya perlu jalan tanpa menggunakan kendaraan untuk sampai ke sana. Ku percepat langkah, sebab ada yang mesti sesegera mungkin untuk kutemui. Rindu ini seperti telah menyatu, bertakbir bersama alam. Rinai gerimis tadi malam dan suara ayam yang membangunkan pagi, membuat hati rindu sekaligus luka. Rahasia apa yang Kau simpan dalam gerimis? Bahasa apakah yang sesungguhnya didendangkan ayam itu? Oh, jagat ini. Fajar yang datang tiba-tiba, dinginnya udara yang menusuk, kadang membuat segalanya jadi lupa. Sungguh, aku rindu keheningan!
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar… Laailahaillallaahu Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillaahil-hamd…

Terdengar riuh suara sahut-sahutan itu, membelah pagi. Berdentam rasanya hatiku. Oh, sudah terlihat rupanya bangunan rumah-Mu itu. Gema asma suci-Mu berdengung di dalam, lagi-lagi gerimis turun pagi ini. Oh, baru pukul lima lebih dua puluh. Bersijingkat aku mengangkat lengan baju dan sarung, agak tergesa kubasuh muka; nawaitu wudhua lirof’il hadatsil ashghori fardon lillahi ta’ala … Sementara di luar sana terdengar semakin jelas orang-orang melantunkan takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar… Laailahaillallaahu Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillaahil-hamd… Gemetar sukma ini! Betapa ingin kusingkap misteri hati, agar hilang dahagaku, lebur dalam-Mu.

***
Usai salat hari raya, para jamaah masing-masing bersalaman, membentuk barisan. Keluar dari masjid, orang-orang bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga dan sanak kerabat. Mereka terlihat bahagia sekali menikmati hari yang fitri. Setelah berperang begitu hebatnya melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan, kini umat islam merayakan kemenangannya dalam melewati berbagai rintangan itu. Sebagian santri pulang ke daerah asalnya. Mereka adalah yang memiliki uang dan rumah asalnya tidak begitu jauh. Tapi tidak untuk Idul Fitri kali ini. Aku tak dapat menghitung jumlah teman santri yang minta pamit pulang kepadaku. Tak kulihat satu pun santri yang ikut jamaah di Masjid ini.

Ah, empat tahun sudah aku tidak pulang ke daerah asal. Empat tahun sudah aku tidak melihat senyum abi, umi, lek, bibik, dan saudara-saudaraku. Sudah empat tahun ini aku tidak mengucapkan maaf dan mengecup tangan secara langsung kepada mereka. Empat kali di hari yang fitri ini pula aku hanya bisa bertukar kabar serta meminta maaf dan doa lewat telepon. Suara mereka, meski tak mampu kusentuh, telah menenangkanku, menguatkan ketegaranku. Bukittinggi terlalu jauh di sana, tidak terlihat mata kepalaku. Ah, mungkin akan sangat menyenangkan sekali bersilaturahmi ke sana dan ke mari bersama keluarga. Hanya wajahku yang tak sama dengan wajah para jamaah itu. Aku hanya ikut bersalaman sambil terus menahan air mata. Sesudah bersilaturahmi ke masyarakat sekitar masjid, aku segera pulang ke ribath untuk bersilaturahmi dengan pak Kyai.

Acara halal bi halal atau yang kerap kali disebut dengan “riyayan” ini sudah menjadi tradisi umat muslim di bumi nusantara. Berkat dakwah para wali yang ramah, menjadikan islam di nusantara adalah islam yang rahmatan lil-alamiin. Di ndalem pak Kyai terlihat penuh oleh para tamu yang berdatangan dari berbagai golongan, mulai dari kelompok majelis ta’lim, takmir masjid, perangkat desa, ustadz-ustadz, dan masih banyak lagi. Aku hanya sempat mengecup tangan beliau, setelah itu kembali ke luar ndalem, untuk memberi ruang bagi tamu yang masuk. Aku berpapasan dengan putra pak Kyai dan segera mengecup tangannya. Ia menatap raut wajahku. Kesedihanku sempat dibaca oleh Gus Rahman, putra Pak Kyai Luqmanul Hakim. Ia mengerti betul tentangku. Aku pun segera berlari ke kamar. Ternyata ia ikut menyusulku ke dalam kamar.

“Tenanglah, Ri. Aku mengerti apa yang membuatmu sedih,” tuturnya halus.

“Hehe, mbo.. mboten wonten no.. nopo-nopo kok, Gus,”  ucapku terbata-bata.

“Halah, kau masih juga bersandiwara, padahal sudah jelas sedih. Aku sudah mengenal kejujuranmu selama empat tahun. Matamu itu, tak pernah bisa berbohong,” Ia tersenyum, mencoba mengajakku untuk tersenyum pula.

“Ya sudah, daripada nganggur di kamar tak ada teman bicara, nanti sore ikut kami pergi ke ndalem Mbah ya?” gus meletakkan tangannya di atas pundakku.

“Mboten, Gus. Kulo mboten pantes nderek-nderek keluarga pak Kyai,” wajahku tertunduk malu.

“Kalau ini adalah perintah Abah, bagaimana perasaanmu? Hehehe..,” ia tertawa terbahak-bahak, hampir terdengar di ndalem pak Kyai.

“Hmm.. Geh, sendiko dhawuh, Gus,” akhirnya aku menuruti juga ajakan Gus Rahman.

***
Acara silaturahmi di ndalem Mbahnya Gus selesai sampai ba’da Isya jam sembilan malam. Kami pun kembali  pulang ke Pesantren Al-Hikmah. Gus dan keluarganya segera beristirahat karena kecapekan dari tadi pagi sibuk bersilaturahim. Waktu berjalan lambat, sementara mataku masih belum terpejam. Pikiranku melayang ke sembilan tahun yang lalu. Ah, ia datang lagi ketika aku hampir bisa melupakannya. Ia, yang entah siapa, telah memenjaraku dalam catatan yang indah. Hingga kusyukuri hidup ini sebagai karya Tuhan yang luar biasa. Ruangan di kamarku ini terlalu sesak untuk dihuni oleh seorang diri. Aku sudah terbiasa sendiri. Tapi demi melihat wajah rembulan yang kebetulan purnama itu, aku tertarik untuk tidak tidur dulu. Aku segera naik ke lantai paling atas, tepatnya di tempat jemuran pakaian. Tak lupa aku membawa secangkir kopi. Dan di sanalah akhirnya, aku merenung. Membuka kembali halaman demi halaman yang sempat terekam di Bukittinggi, tanah kelahiranku.

Ada hal yang musti kuceritakan, tentang cerita yang hingga detik ini belum usai diukir oleh masa. Wajah rembulan dan kupu-kupu di matanya itu yang kerap kali membuatku menyendiri, memaknai hidup. Pada pecahan cahaya purnama ini aku tersenyum. Pada kerinduan ini, aku membuat pengakuan. Angin malam menyambut asaku. Mendekatkan kami.

***
Di sini. Di bumi yang membesarkanku, tanahnya sangat subur. Segala jenis tanaman bisa tumbuh di sini, mulai dari tanaman toga, buah-buahan, sayur, kelapa sawit, palawija, karet, dan yang paling mengesankan adalah luasnya kebun teh. Dari ujung timur sampai ujung barat membujur pegunungan yang indah. Udaranya sejuk sekali, bebas dari debu dan bisingnya kendaraan kota.
Aku kini duduk di kelas tiga MTs. Sementara sepupuku, Risma, ia baru kelas tiga SD. Paman menitipkan putrinya kepadaku, untuk menemaninya pergi ke sekolah. Jalan yang kami lewati menuju sekolah sama. Jarak rumah dengan sekolah tidak begitu jauh. Hanya perlu melewati jalan setapak, sungai, kebun teh, pematang, dan sampailah ke sekolah. Kami sering bermain di kebun teh, sewaktu pulang dari sekolah.

“Engkau ada di mana, Ris?” tanyaku saat hampir menyerah mencari batang hidungnya.

Tiba-tiba dari arah belakang ia berlari secepat kilat, dan langsung menyambar bambu penyangga yang telah kami sepakati untuk dibuat rumah petak umpet. Ia tertawa hampir terbahak-bahak, dan matanya yang kutangkap itu seperti mengolok-olok ku, lalu lidahnya yang setengah keluar itu menertawakan kebodohanku.

“Ah, payah ini Kak Ari. Masak tidak bisa menemukanku?” ucapnya sambil terengah-engah.

“Iya deh. Kakak memang selalu payah. Sekarang kamu sudah senang, bukan? Ayo pulang, hari sudah sore,” bujukku.

“Satu kali permainan lagi ya?” tangannya menarik lengan bajuku.

“Kakak sudah capek ini. Ayolah pulang,” kembali aku merayu.

“Ndak mau, pokoknya ayo main lagi!”

“Ayolah, kalo pulangnya telat nanti bisa dimarahi sama Paman lho,”

“Hm, yaudah deh kalo begitu. Tapi tebak dulu, tadi Risma sembunyi di mana?”

“Waduh, ya kurang tahu lah kalo itu soal itu.

Memang kan, dari sejak kemarin sampai sekarang kakak belum bisa menemukan Risma gitu,”

“Iya, tapi tebak dulu, dong, Kak!”

“Hm, pasti Risma sembunyi di balik daun-daun teh yang besar itu ya?” aku menunjuk ke petak ladang teh yang daunnya lebih rimbun daripada yang lainnya.

“Hahaha. Kakak salah besar!” ia tertawa terkekeh-kekeh.

“Lalu di mana Risma sembunyi?” tanyaku penasaran.

“Risma bersembunyi di ruang yang tak akan pernah terjamah oleh siapa pun, kecuali kakak,” ujarnya riang. Kulihat matanya bertambah bening.

 “Maksudmu? Aku tak paham, Ris” kataku sambil menggaruk-garuk kepala, tanda bingung. Aku berpikir, mungkin kamu hanya belum bisa berbahasa yang baik dan benar. Atau akukah yang belum bisa mengeja kata-katamu yang bersayap itu?

Risma melihat mataku agak lama. Seperti mencari sesuatu yang entah apa itu. Jujur. Aku agak grogi sebenarnya ketika ia memandangku begitu. Lalu seperti tidak mempedulikan pertanyaanku, ia berlalu sekenanya dan meninggalkanku yang terdiam penuh tanda tanya di antara ladang teh. Ah, sore ini, aku benar-benar merasa sial sekali.

***
“Abi, Umi, Mbak Irma, Mas Ainun, Paman, Bibik, Risma. Ari pamit dulu ya. Doakan semoga Ari selamat sampai di tujuan,” aku menyalami satu per satu tangan mereka.

“Iya, Nak. Doa kami selalu menyertaimu. Semoga mendapat berkah dan manfaat. Ingat janji yang pernah abi sampaikan kepadamu ya, Nak,”

“Iya, Bi. Ari pasti akan selalu mengingat hal itu,”

“Kak Ari mau pergi ke mana?” Tanya Risma sambil mendekatiku.

“Kak Ari mau mencari ilmu di tanah jawa, Risma mau ikut ta?” Gurauku.

“Yah, kan Risma belum lulus SD, Kak! Jauh apa tidak, Kak? Cepat pulang ya!”

“Hehe, ya jauh lah, Ris. Sampai menyeberangi lautan yang luas, hehe. Soal waktu, tenang saja. Yakinlah, kakak pasti akan kembali,” kataku meyakinkannya.

“Awas kalau kakak tidak kembali. Risma tidak akan pernah memaafkan kakak, huhu..!!” ia menangis tersedu-sedu.

“Kakak janji deh, kakak pasti kembali kok! Sisakan air matamu untuk kepedihan yang lain, oke?” aku mencoba untuk menegarkannya.

Ia berlari ke dalam rumah. Aku tak tahu harus berbuat apa.

“Sudah, kau pergi saja sana, Ri. Tak perlu kau risaukan si Risma itu,” bibik menasehatiku.

“Geh, Bik. Kalau begitu tolong sampaikan saja salamku padanya,”

“Iya, pasti akan kutitipkan salammu padanya,” bibik tersenyum melihatku.

“Risma menyukaimu,” bisik bibik ke telingku.

“Bagaimana Bibik tahu?”

“Aku perempuan!

***
Kembali di malam ini. Malam yang terang, sebab cahaya rembulan sepenuhnya menyinari bumi. Ah, kisah tadi masih saja tersimpan di memoriku. Aku ternyata baru mengerti apa yang dikatakan olehnya waktu itu. Kulihat jam tangan. Sudah pukul sebelas malam rupanya. Empat tahun sudah, tak terlihat kesakralan suara dari penggalan alenia kehidupanmu, resah risaumu. Aku menghela kenaifan diri yang menjelma. Apa kabar malammu, Risma?

Aku menguap berkali-kali. Badanku pun rasanya sudah sangat lelah. Aku harus tidur sekarang. Besok masih ada agenda yang harus kuselesaikan. Kubereskan kopiku dan segera kembali ke kamar.

***
Statusku di pesantren adalah sebagai santri sekaligus abdi ndalem. Di sini. Aku tidak hanya nyantri, tapi juga sambil belajar di sekolah aliah. Namun, bulan Mei kemarin telah wisuda dan dinyatakan lulus oleh sekolah. Seperti biasa, setiap pagi dan sore aku selalu menyiram tanaman, membersihkan halaman ndalem, membantu petugas dapur memasak, menyuci pakaian, dan juga membelikan bahan-bahan makanan. Ah, Pagi yang amat cerah ini membuatku semangat untuk beraktifitas.

Sekelebat, ada sepasang mata yang menyapaku, ramah sekali. Aku seperti teringat dengan sinar mata itu. Kucoba mengingat-ingat kembali. Aku menemukannya. Mata itu pernah hadir di kehidupanku, empat tahun silam. Ah, mata itu masih sama seperti yang dulu kulihat dan kurasa. Tak ada yang hilang! Sinar mata itu memancarkan kelembutan, ketulusan, kejujuran, dan kedamaian. Lewat matanya, seakan aku dapat membaca isyarat tentang segala yang melekat dalam dirinya; berhati lembut, berjiwa ibu.

“Assalamu’alaikum, Kak Ari…!!” Ia mengucap salam sambil berlari ke arahku.

Subhanallah, aku merinding mendengarnya. Risma. Mendengar suaramu itu, aku kembali menapaki gairah pagiku yang telah lama dimangsa angkara. Gerai suaramu telah mampu menjelma semangat pagiku.

“Apa kabar, Kak?” tanyanya sambil menyodorkan sebuah bingkisan.

“Alhamdulillah, baik, Ris. Kamu datang ke sini sama siapa?” dahiku mengernyit.

“Itu, mereka masih di sana,” ia menunjuk ke arah mobil Avanza yang diparkir di halaman pondok.
Kulihat Abi, Umi, Mbak Irma, Mas Ainun, Paman, dan Bibik menghampiri kami. Mereka tersenyum. Entah apa arti senyum itu. Segera kusalami mereka. Aku tak mampu menahan air mataku yang berderai. Hatiku berdentam. Tanganku bergetar merasakan keharuan yang membiru. Ilahi, apakah aku sedang berada di dunia mimpi?

“Ah, ternyata kalian masih sama seperti dahulu,” celetuk Bibik.

“Alhamdulillahirabbil aalamiin. Ari tidak menyangka akan bisa berkumpul lagi, dengan Abi, Umi, Mbak Irma, Mas Ainun, Paman, Bibik, dan Risma.”

“Iya, alhamdulillah, Nak.”

Kupersilakan mereka masuk ke ruang tamu. Tak lupa kuhidangkan aneka jajanan lebaran dan juga kubuatkan teh hangat. Kuberitahu Gus Rahman kalau keluargaku datang hari ini. Gus Rahman bersyukur sekali mendengarnya. Kemudian katanya, sebentar lagi Pak Kyai akan pulang, beliau habis dari acara Halal bi Halal.

“Selamat ya, kamu sudah menjalankan janji itu dengan baik!” Seru Abi kepadaku.
“Iya, Bi. Akhirnya saya bisa juga memenuhi janji itu, Bi. Hehe, sebelumnya kok ndak bilang ke Ari dulu kalau akan menjenguk Ari, Bi?”
“Itu idenya si Risma, Le. Sepertinya dia sudah kangen sama kamu,” sahut Bibik, dan semua yang ada di ruangan itu tertawa. Sementara Risma menyembunyikan wajahnya, dan mencubit dengan lembut lengan ibunya itu.
“Hmm.. Berangkat dari rumah kapan, Bi?” Kucoba untuk mengalihkan perhatian.
“Kemarin ba’da Dhuhur, Nak.”
“Wah, pasti capek sekali ya, Bi.”
“Ndak lah, kami banyak mampir di perjalanan,”
“Bagaimana kabar sekolah Aliyah mu?”

Sejak masuk pesantren Al-Hikmah, satu tahun kugunakan khusus untuk mendalami dasar ilmu agama agar tidak kaget, karena memang santri yang belum pernah belajar ilmu agama diwajibkan untuk mengikuti program satu tahun tersebut. Juga adaptasi yang lainnya, seperti bahasa Jawa, pergaulan, dan lain sebagainya. Setelah satu tahun berlalu, baru aku mendaftar sekolah aliah swasta yang ada di dalam yayasan Pesantren Al-Hikmah.

Saat ini, sekolah aliah ku telah usai. Abi bertanya, apakah ingin melanjutkan kuliah atau tidak. Aku berpikir sejenak.

“Alhamdulillah, sudah lulus dengan hasil yang memuaskan, Bi. Hmm.. Segala kebutuhan saya di sini telah banyak dicukupkan oleh Pak Kyai, Bi. Maka sebagai kebijakannya, saya akan ikut dengan apa yang diperintahkan oleh Pak Kyai. Jika Pak Kyai meminta saya untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, maka saya akan kuliah, jika tidak saya akan menimba ilmu di sini dulu, Bi.”

“Abi kagum dengan ketaatanmu sama Pak Kyai, Nak,” puji Abi.
“Ah, bisa saja Abi berkata begitu,”

Selang beberapa saat, Pak Kyai pun datang, dan beliau masuk ke ruang tamu diantar oleh Gus Rahman. Kami semua yang di ruang tamu memberi takzim dan mengecup tangan beliau. Tangan beliau yang dingin menyejukkan sanubari kami. Akhirnya keluargaku dan Pak Kyai pun bercakap-cakap, memperbincangkan soal aku, soal kegiatanku, dan lain sebagainya. Sementara Risma mengajakku keluar, kami pun izin sebentar. Kami pun duduk di taman yang dipenuhi rumput hijau, dan juga burung-burung merpati.

“Kak..” Rengeknya begitu kami duduk.
“Iya, ada apa, Ris? Taman ini indah, bukan? Lihat, di sana juga ada sungai, ikannya warna-warni, bagus kan?” kucoba sedapat mungkin mengalihkan perhatiannya. Tapi ia tetap menatapku. Aku diam saja, dan ia pun diam saja. Ah, sayang, aku selalu mati kutu di hadapannya. Kata-kata yang kugubah dalam angan seakan menguap entah ke mana. Barangkali takdirku memang tak bisa romantis.
“Kak..” Seperti ada sesuatu yang membuatnya ingin menyelami mataku lebih lama. Ia seperti ingin melunaskan rindu yang selama ini telah sedemikian membukit.
“Ayo main petak umpet lagi!” katanya tiba-tiba di luar perkiraanku.
“Ah, kamu ternyata masih sama seperti dulu, masih kekanak-kanakan!”
Ia mencubit lenganku, namun aku berhasil menghindar. Tiba-tiba ia tertawa.
“Terkadang dunia anak-anak itu lebih luas dari dunia manapun. Di sana tak ada kesedihan, iri, dengki, sombong, pamer, yang ada adalah keceriaan dan kebahagiaan,” ungkapnya berfilsafat.

“Ayo kita bermain lagi, Kak!” sambungnya
“Ayo, siapa takut!” tantangku.
Ah, engkau datang tepat di saat hatiku sedang gundah. Di hari kemenangan ini, kami kembali ke masa lalu, bermain petak umpet dan kejar-kejaran. Ah, taman ini seperti berubah menjadi kebun teh Bukittinggi yang hijau dan luas. Sepoi-sepoi angin melayangkan jiwa kami, terbang menuju ruang yang tak akan pernah terjamah oleh siapa pun, kecuali hanya kami.

Malang, 2 September 2015

Cerita di Sore Hari
Oleh: M. Fahmi

engkau selalu datang di waktu sore hari
menemuiku, mengucapkan salam, lalu buru-buru pulang bersama perginya mentari
engkau selalu bercerita tentang berbagai fenomena dan rahasia hidup dan kehidupan
anehnya, tak satu pun dari ceritamu yang masuk akal
tapi aku tetap yakin dan percaya akan kebenaran cerita-ceritamu
aku mengangguk asal mengangguk tatkala engkau menanyakan perihal kepahamanku
engkau juga selalu sabar mendengar setiap untai keluh kesahku
di dadaku ini, sudah seperti senja:
tabah menampung risalah cahaya dan gelap
antara tawa dan air mata
antara duka dan bahagia
yang senantiasa datang, entah dari ufuk yang mana
engkau selalu datang membawa senja yang purnama
sinarmu mengingatkanku, untuk selalu pulang pada langitNya
itulah yang  membuatku selalu takjub kepada Yang Menjadikanmu
aku tak pernah tahu dari mana engkau datang dan ke mana engkau pergi
pernah suatu ketika kucoba diam-diam bersembunyi, membuntuti langkahmu ketika pergi
namun, aku tak pernah berhasil mengikuti jejakmu
engkau selalu hilang entah ke langit bagian mana, dikala matahari tenggelam sepenuhnya
pun juga tak pernah ku ketahui darimana datangmu
engkau selalu datang menemuiku secara tiba-tiba
waktu itu, tanpa ku duga-duga engkau telah duduk-duduk santai di ambang cakrawala, menikmati sore hari
bagiku engkau misteri
tapi aku tak begitu mempedulikan hal-hal semacam itu
kehadiranmu itu sudah merupakan bagian dari rasa bahagiaku
sebab, sudah lama aku tak melihat senja di sore yang sama
sudah lama aku menempuh sore seorang diri
ku lalui berbagai liku sore seorang diri, tanpa satu pun sahabat yang menemani
dan kini engkau datang, Senja
menemani perjalananku pada setiap momen di sore hari
kini aku selalu terhibur, karena kedatanganmu selalu mengundang tawa
entah dari mana asal tawa itu
dan sepertinya aku menyukaimu
dari sudut ufukmu saja aku sudah bisa melihat kejujuran, ketulusan, juga kasih sayang
Senja, maafkanlah bila dalam menyampaikan bahasa aku terlalu alay
ini kulakukan agar semua dapat terpahami secara menyeluruh
dan, justru dengan kealay-an ini aku bisa mengungkapkan rasa dengan kejujuran yang murni
Senja, tapi mungkin ini adalah senja terakhir kita bertemu
sebab, kini aku telah menjelma pecahan fajar di pagi hari
Senja, izinkan aku pamit dengan sebait puisi ini, di sore ini
maafkan aku
aku harus berjalan lagi seorang diri
menyusuri jalan yang tak dipilih oleh kebanyakan orang
menempuh berbagai liku waktu di sepanjang ruang
melewati dimensi lain yang tak pernah ada di waktu sore hari
karena aku tahu, engkau tak akan pernah bisa menemaniku di waktu fajar
tapi, tetaplah menjadi senja yang menghangatkan
dan aku akan memulai semesta baru, di ruang fajar
percayalah, justru aku sangat merindukan saat-saat bersamamu, di waktu sore hari

Malang, 14.11.14
Em Ef