Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

This is a book that I specially dedicate to my beloved wife. Click here to read it.




Casual Chatting with Two Cogan, hehe ;) 


Salamun 'alaikum.


Hi there, for my friends who like to write short stories, you can see my suggestions regarding the art of writing short stories here.


You can also read some of my short stories on the Sukma.co website here.


Happy arts!

Lelaki dan Seekor Kucing Kesayangannya

Baiklah, kali ini saya akan bercerita tentang kisah seorang lelaki dan seekor kucing kesayangannya. Barangkali kamu sudah pernah mendengarnya, tapi ada baiknya kamu membacanya kembali. Sebab kehidupan merupakan proses membaca yang tak habis-habisnya.

Alkisah seorang lelaki yang sedang pulang dari perjalanannya menemukan seekor kucing kecil yang terlantar di jalanan. Kucing kecil itu tak pernah tahu di mana orang tuanya berada. Tubuh kucing itu basah oleh air hujan dan lusuh penuh dengan kotoran. Ia menggigil kedinginan sambil mengeong, berharap ada seseorang yang iba dan memberinya makanan.

Seorang lelaki yang saya ceritakan itu kemudian mengambil kucing itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak. Ia berniat membawanya pulang. Sesampainya di rumah, ia membersihkan tubuh kucing itu dengan air hangat, mencuci dengan sabun wangi, mengelap dengan handuk dan mengeringkannya dengan alat pengering. Kucing itu terlihat cantik sekali sekarang. Lelaki itu kemudian memberi makan kucing itu dengan beberapa makanan dan tulang ikan. Kebetulan lelaki itu hidup sendiri di rumah, maka ia memutuskan untuk merawat kucing itu. Kucing itu diberi nama Shelia.

Berbulan-bulan lelaki itu merawat dan memberi makan kucing itu di rumahnya hingga ia tumbuh besar. Suatu hari, kucing itu tak terlihat di dalam rumah. Lelaki itu sangat cemas dan kemudian mencarinya. Ia menemukan kucing itu sedang berada di sebuah taman yang banyak sekali orang-orang yang sedang lalu-lalang. Saat ditanya oleh lelaki itu mengapa ia berada di sana, kucing itu menjawab ia tidak ingin terpenjara di dalam sebuah rumah. Lelaki itu menasihati kucing itu, bahwa di luar rumah ada banyak sekali bahaya. Ia harus berhati-hati. Kucing itu mengangguk pelan dan bersedia pulang kembali ke rumah. Lelaki itu memang tak punya banyak waktu saat di rumah. Ia sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di kantor.

Kejadian yang sama terulang kembali pada minggu berikutnya. Kali ini kucing itu terlihat oleh lelaki itu di sebuah pasar dekat rumahnya. Ia bermain bersama kucing-kucing yang lain. Lelaki itu menasihatinya kembali. Hal yang sama dilakukan oleh kucing itu saat ia sedang bersalah.

Dan lagi. Namun kini lelaki itu sudah tidak lagi menasihati kucing itu. Lelaki itu akhirnya memahami, kucing itu hanya ingin sebuah pengertian, sebagaimana kucing-kucing yang lain. Dalam hatinya, baiklah kau boleh pergi ke mana saja sesuka hatimu.

Kucing itu sedikit ragu saat dilepaskan oleh lelaki itu. Ia kemudian pamit dari rumah dan mencari udara segar di luar. Ia mencari banyak tempat dan juga orang-orang yang bisa membuatnya bahagia. Berbulan-bulan, lelaki itu sudah tidak pernah mengikat kucing itu dengan sebuah nasihat. Kucing itu boleh keluar ke mana saja, boleh juga ia kembali ke rumah lelaki itu. Pintu rumah lelaki itu selalu terbuka untuk kucing itu, selagi ia ingin kembali.

Kau tahu, dari sekian banyak tempat dan orang-orang yang dikunjungi oleh kucing itu, tak ada yang sebaik lelaki itu. Ia sudah lelah tertipu dan tersakiti oleh orang-orang ataupun kucing-kucing di luar sana. Dunia ternyata tidak sedang baik-baik saja sebagaimana pemikiran kucing itu. Ia tidak mengerti bahwa ia sudah ditipu dan dimanfaatkan oleh orang-orang, ia tidak mengerti bahwa ia telah digunjing dan dipermainkan oleh teman-temannya, ia tidak mengerti bahwa kucing-kucing yang lain hanya bersikap sangat baik di depan, namun begitu keji dan menjerumuskan di belakang. Batinnya, mengapa mereka tidak membicarakan aib-aibnya sendiri, mengapa malah sibuk membicarakan aib orang lain, dan lain sebagainya. Dunia ternyata begitu kejam, tidak seperti kebaikan-kebaikan yang ada di dalam kepalanya. Dan ketika ia baru menyadari itu semua, mendadak ia menjadi membenci semua. Ya, membenci semua kepalsuan dan kepura-puraan. Ia ingin menjalani hidup apa adanya, sebagaimana yang telah digariskan untuknya. Lebih baik terasing baginya, daripada tenggelam ke dalam dunia yang penuh dengan kemunafikan.

Ia kemudian sangat merindukan sebuah ketulusan. Ia merindukan nasihat dan kisah-kisah yang biasa diceritakan oleh lelaki itu saat hari hampir malam. Kucing itu menangis dalam diamnya. Ia menyesal sedalam-dalamnya. Ia ingin pulang ke rumah lelaki itu, tapi ia sudah cukup malu. Ia berpikir, bahwa ia ingin sekali hidup kembali ke masa lalunya. Jika saja bisa, itu akan menjadi hari yang sangat menyenangkan baginya dan tentu saja ia akan berbuat yang terbaik.

Suatu pagi, pagi sekali, saat jemaah subuh di suatu musala bubar, lelaki itu mendapati kucing itu berada di depan pagar musala. Kucing itu terlihat jauh lebih kurus dari sebelumnya, kecuali perutnya yang membesar. Tubuhnya lusuh dan matanya kering. Lelaki itu hampir saja tak mengenalinya. Mereka saling menatap. Lelaki itu sangat sedih melihat keadaan kucing itu dan kemudian mengajaknya pulang. Kucing itu tak mampu berkata-kata lagi, ia menangis sesenggukan dalam dekapan lelaki itu.

Di rumah, lelaki itu memperlakukan kucing itu sebagaimana yang ia lakukan saat pertama kali menemukannya di jalanan. Kucing itu tak ingin lagi pergi ke tempat-tempat yang lain. Ia hanya ingin mengabdikan diri sepenuhnya dan mencintai tuannya, sebagaimana tuannya yang senantiasa menyayanginya. ~

Mukhammad Fahmi
Dunia Kecil yang Tumbuh di Kepalanya

Seorang lelaki yang tidak sengaja saya temui tadi pagi seperti masih sama ketika terakhir kali kami bertemu, kurang lebih sekitar lima tahun yang lalu. Suaranya, cara ia tertawa, gayanya berpakaian, juga warna matanya, semua masih sama seperti dahulu. Ia memiliki mata yang sama persis dengan mata ibunya.

Tadi pagi saya melihat keseluruhan dirinya. Seorang lelaki yang menjadi pelukis lepas itu memang sering sakit-sakitan. Batuk kronisnya selalu kambuh. Berkali-kali ia keluar-masuk rumah sakit. Ia pernah berjanji kepada saya untuk tidak merokok. Ia berusaha meyakinkan kepada dirinya sendiri bahwa rokok itu pahit dan tidak enak, dan ia begitu bangga karena telah melampaui beberapa minggu. Tapi entah kenapa ia kemudian merokok lagi.

Namun sesungguhnya, ia tidak begitu risau dengan penyakit batuk kronis yang ia alami. Jauh lebih dari sekadar itu. Orang-orang menyebutnya sebagai autisme, semacam gangguan perkembangan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Perasaannya mudah sekali terganggu. Ia lebih suka berbicara dan bermain dengan dirinya sendiri, dengan lukisan-lukisannya sendiri. Ia melihat lukisan-lukisan itu serasa lebih hidup daripada manusia-manusia yang banyak sekali berbicara.

Dulu waktu masih kecil, ibunya pernah berkata kepadanya, bahwa ia berbeda dengan anak-anak yang lain. Ia memerlukan perhatian khusus. Katanya, ia punya dunia sendiri yang sangat istimewa. Kelak suatu saat ia pasti mengerti kata-kata ibunya. Ibunya selalu memberi semangat dan meyakinkan bahwa ia pasti bisa melewati semua itu. Adalah penglihatannya, yang membuat ia menjadi istimewa. Sebelum meninggal ibunya berpesan, "Lihatlah semuanya sebagaimana dan seperti yang Ibu lihat. Kau tahu, kita memiliki bola mata yang sama, Nak."

Suatu hari ia pernah ingin sekali berterima kasih kepada sebilah pisau dapur. Pisau dapur itulah yang bisa menyelamatkan ia dari segala jenis perasaan dan membuat hidupnya menjadi lebih tenang, begitu katanya. Ia ingin sekali keluar dari sebuah penjara bernama rasa. Sesungguhnya ia telah sedemikian lelah dengan berbagai macam perasaan yang melekat di dalam dirinya. Semua perasaan yang selalu saja mengganggu dan menghantuinya. Hidup baginya bukan perkara yang mudah, ibarat pertarungan abadi melawan segala jenis perasaan yang ada di dalam dirinya. Sumber dari segala perasaan sesungguhnya ada di dalam dirinya sendiri. Dan untuk itu, sebilah pisau dapur menjelma sosok penyelamat yang begitu menarik baginya. Mungkin itu adalah satu-satunya pilihan. Namun ia segera mengurungkan dan membuang jauh-jauh pikiran itu. Ia sadar, itu bukan jalan yang baik.

Ia khilaf. Sebetulnya ada yang lebih dekat dengan dirinya dari segala sesuatu. Dekat yang tanpa jarak sekalipun. Yang Maha Menyertai. Yang semestinya harus terus-menerus ia hadirkan untuk melawan semua jenis perasaan yang ada di dalam dirinya.

Ia pernah berkata kepada saya, bahwa ia begitu iri kepada orang-orang yang buta matanya, kepada orang-orang yang tuli telinganya, kepada orang-orang yang bisu mulutnya, dan juga kepada orang-orang gila. Betapa Tuhan sangat mencintai mereka. Tuhan tidak ingin orang buta itu melihat selain wajah-Nya. Tuhan tidak ingin orang tuli itu mendengar selain kalam-Nya. Tuhan tidak ingin orang bisu itu berbicara selain kepada-Nya. Tuhan tidak ingin orang gila itu mengingat selain-Nya. Dan sesungguhnya, mereka juga telah diselamatkan dari segala jenis perasaan.

Sebagai sahabatnya saya tahu betul, ia memiliki semangat hidup dan daya juang yang tinggi. Sekalipun orang-orang yang pernah hadir di dalam hidupnya, orang-orang yang pernah tertarik, orang-orang yang menaruh hati dan harapan padanya, banyak yang kemudian menjauhi dan melupakannya karena menganggap dirinya sebagai orang yang berpikiran tidak waras, sebagaimana pemikiran orang-orang. Namun bagi saya ia tetaplah sahabat baik saya. Saya akan selalu menyayangi dan memahami lewat lukisan-lukisannya. Saya yakin, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan Tuhan telah memberi keistimewaan kepada lelaki itu yang mungkin tak dimiliki kebanyakan orang.

Sesekali kau perlu mengunjungi rumahnya yang lumayan jauh dari kota. Perjalanan yang kau tempuh menuju rumahnya akan serasa begitu mendamaikan, seperti perjalanan sunyi mencari kitab suci. Sesampainya di sana kau akan menemukan begitu banyak jenis dan warna bunga yang bertebaran di halaman rumahnya. Sedang di dalam rumahnya terdapat banyak kuas, cat air, dan lukisan-lukisan bunga. Ya, lelaki itu suka sekali menanam dan melukis bunga-bunga. Tidak sedikit orang dari luar daerah yang membeli lukisan-lukisannya. Ia tak perlu banyak bicara. Ia hanya ingin melukis dan tumbuh bersama bunga-bunga itu. Bunga-bunga yang akan memenuhi dunia kecil di kepalanya dan menghapus segala jenis perasaan. Kau tahu, lelaki itu sudah kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Kecuali satu yang membuatnya pantang menyerah dalam menghadapi setiap penggal kehidupan: setitik harapan. ~

Bulan November yang baik.
Mukhammad Fahmi.
Sandal Habib Bahrul

Planggggggg...!!!

Suara itu mengejutkan seluruh jemaah masjid Qolbun Salim. Orang-orang yang mendengarnya segera mendekati sumber suara itu. Sebagian yang lain hanya melongo, memerhatikan dari jauh. Para jemaah dan pengurus masjid benar-benar tersentak dan tidak menyangka, Habib Bahrul yang tadinya memimpin khotbah Jumat dengan tenang dan berwibawa kemudian mengimami salat Jumat dengan bacaan yang fasih dan berirama, kini mendadak marah-marah dan memukul gerbang besi masjid dengan sebuah kayu yang tergeletak di sampingnya, hanya karena kehilangan sandal, hingga terdengarlah suara keras, planggggggg...!!!

Kejadian itu sebetulnya bukan hanya terjadi sekali. Kejadian yang menimpa Habib Bahrul itu telah terjadi berkali-kali bahkan hampir setiap kali ia menjadi imam masjid atau bertugas sebagai khotib di setiap masjid. Kejadian yang sudah tidak lagi bisa dihitung. Sampai-sampai pembatu rumah Habib Bahrul terkadang merasa heran karena berulang kali ia disuruh untuk membeli sandal yang banyak di pasar.

“Bagaimana umat Islam bisa maju kalau moralnya saja seperti ini! Yang telah hilang dari umat Islam di masa sekarang adalah akhlak. Moralnya sudah rusak. Zaman sudah akhir. Tidak lama lagi semuanya akan hancur lebur dilumat hari kiamat!” cerca Habib Bahrul dengan nada tinggi dan tidak mau tahu, seperti sedang menyambung khotbah yang tadi telah disampaikannya, sembari mencari-cari sandalnya di sekeliling masjid.

Para jemaah dan pengurus masjid merasa tidak enak hati dan segera ikut membatu untuk mencarikan sandal Habib Bahrul. Tapi tidak kunjung ketemu.

Salah seorang pengurus masjid kemudian menghampiri Habib Bahrul, “Hmm, begini saja, Ustaz. Bagaimana kalau Ustaz memakai sandal saya dulu. Kami akan segera membelikan sandal baru sebagai gantinya. Nanti kami antar langsung ke ndalem Ustaz,” bujuk pengurus masjid itu, berusaha menenangkan amarah ustaz.

“Tidak usah. Kalau cuma sandal saja saya bisa beli sendiri. Ini bukan soal ganti-mengganti yang remeh begitu. Kau tahu, kejadian semacam ini entah sudah yang ke berapa kali. Betapa mengesalkan peristiwa ini!” ucap Habib Bahrul sebal sambil langsung berbalik ke mobilnya dengan kaki telanjang. Mobil itu kemudian berlalu, meninggalkan orang-orang yang masih melongo menatap kepergiannya.

***

Semenjak kejadian yang terus menimpanya, dan pada kejadian yang terakhir di masjid Qolbun Salim itu, Habib Bahrul kemudian memberikan syarat tegas kepada pengurus masjid, untuk menyediakan tempat khusus bagi penitipan sandal di lemari yang ada kuncinya, atau paling tidak ada petugas yang menjaganya di tempat penitipan demi menghindari kejadian yang selalu menimpanya. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, maka ia tidak akan bersedia memenuhi undangan menjadi imam atau khatib.
Namun, sama saja. Sandalnya tetap saja hilang.

“Tempat penitipan macam apa ini? Mengapa masih bisa hilang? Apa ada seseorang yang masuk kemudian mencurinya?” bentak Habib Bahrul menunjuk petugas penitipan sandal dengan rentetan kejengkelan.

“Saya juga tidak tahu, Ustaz,” jawab petugas pelan.

“Mengapa bisa tidak tahu? Apa kamu tidak menjaganya? Bukankah kamu yang bertanggung jawab dengan segala yang dititipkan di sini?” balas Habib Bahrul keras.

“Saya bertanggung jawab, Ustaz. Saya juga tidak lupa mengunci pintu ruang penitipan ini sebelum ikut salat jamaah tadi,” tambah sang petugas hati-hati.

“Berarti, boleh jadi kamu sendiri yang mencuri!” tuduh Habib Bahrul. Halaman sekitar penitipan sandal jadi ramai oleh jemaah yang menonton tingkah Habib Bahrul. Ia tidak menghiraukan sembari pergi dan terus mencerca. Ia mengancam akan melaporkan kejadian itu pada pihak yang berwajib.

Tentu saja ancaman itu hanya untuk menakut-nakuti. Habib Bahrul tahu, bahwa ia tak mungkin berbuat sejauh itu. Akan tetapi kejadian sandalnya yang hilang tetap saja terulang kembali di masjid mana saja, meski di tempat penitipan yang telah diberikan kunci khusus bagi tiap jemaah.

Pernah juga ia membawa sandal yang diberi rantai agar bisa digembok di gerbang masjid. Alhasil sama saja, sandalnya tetap saja hilang! Hanya sandalnya yang hilang, gembok dan rantainya masih melekat di gerbang dengan kondisi gembok yang sudah terbuka. Ia sempat berpikir, apa jangan-jangan pelakunya adalah seorang tukang ahli kunci? Tapi mengapa harus sandal yang dicuri? Mengapa bukan sekalian mobilnya yang lebih mahal?

Habib Bahrul seperti merasa sedang dikerjai oleh seseorang yang entah itu siapa untuk mengambil sandal-sandalnya selama ini. Ia benar-benar merasa sangat sebal dan heran, kenapa yang hilang selama ini hanya sandalnya, sementara sandal para jemaah yang lain tidak ada satu pun yang hilang. Ia merasa kejadian ini bukanlah hal yang biasa dan membuatnya semakin kesal.

Maka niatnya untuk menghadiri undangan dari pengurus masjid kini telah berubah menjadi keinginannya untuk menyelidiki, siapa dalang di balik semua ini, siapa orang yang selalu usil mengambil sandal-sandalnya selama ini. Ia hanya berkenan menghadiri masjid yang ada kamera CCTV-nya.

Hingga pada suatu ketika pun tiba. Ia diundang untuk menjadi imam masjid salat Idul Adha di masjid agung Bandung. Rencananya kali ini tidak boleh gagal. Tidak boleh. Pokoknya ia harus menemukan orang itu. Harus. Betapa ia ingin sekali memakan orang itu bulat-bulat. Sandalnya kini sudah siap di letakkan di tempat yang terlihat jelas oleh kamera CCTV. Ia pun melangkah masuk ke dalam masjid dengan tenang.

Dan apa yang terjadi setelah Habib Bahrul akan pulang? Sandalnya tetap saja hilang! Namun ia tetap tenang. Ia meminta petugas untuk melihat CCTV. Rekaman CCTV kemudian diputar ulang. Habib Bahrul memerhatikan layar monitor dengan cermat. Mulai dari awal ia menaruh sandal, benda itu terlihat dengan sangat jelas. Tapi beberapa saat kemudian, beberapa detik saja layar monitor hanya menampilkan warna yang gelap dan kemudian terang kembali. Dan sandalnya sudah tidak ada!

“Bagaimana bisa gelap begitu? Bukankah itu bagian dari pencurian sandal saya? Ini seperti disengaja!!!” tuding Habib Bahrul kepada petugas CCTV.

“Saya benar-benar tidak tahu, Ustaz,” jawab petugas CCTV hati-hati.

“Kamu telah mengutak-atiknya!” tuduh Habib Bahrul tajam. “Saya benar-benar akan melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib!”  bentaknya lagi sembari pergi.

Petugas CCTV dan pengurus masjid kemudian benar-benar berurusan dengan kepolisian. Dan sebagaimana sebelumnya, kejadian sandalnya yang hilang di masjid yang memiliki CCTV, di mana saja, kapan saja, terus saja terulang dalam bentuk yang sama: peristiwa pencurian sandal termasuk siapa pelakunya yang tidak terekam. Berulang-ulang pula pengurus masjid dan petugas CCTV berurusan dengan kepolisian.

***

Habib Bahrul kemudian berpikir, ia sudah tidak mau lagi menjadi ustaz. Ia berniat berhenti saja. Mungkin itulah satu-satunya jalan agar ia tidak lagi berurusan dengan kejadian sandal hilang. Ia tidak ingin berurusan dengan masalah yang itu-itu terus. Ia sudah tidak tahan lagi. Memang lebih baik berhenti, batinnya. Menurutnya, ia sama sekali tidak rugi kalau tidak jadi ustaz. Apalagi memang ia tidak pernah mengeluarkan biaya apapun untuk menjadi ustaz. Pikirannya menerawang, mengenang masa-masa ia dipanggil ustaz dahulu.

Menjadi ustaz memang bukanlah keinginan dirinya. Orangtuanyalah yang sangat menginginkan. Karena itu, sejak dilahirkan ia diberi nama Habib Bahrul, lengkapnya Habib Bahrul bin Smith. Nama Habib sendiri bukan berarti ia keturunan nabi. Ia hanya kebetulan saja diberi nama Habib, agar kelak menjadi ustaz atau paling tidak menjadi orang baik. Maka panggilan itu bukanlah berlebihan, karena memang begitu adanya.

Namun ia tetap tidak memiliki niat menjadi ustaz meskipun ia mempunyai pengetahuan agama karena waktu kecil ia sempat dibesarkan di lingkungan pesantren, meski tidak lama. Ia menjadi ustaz malah kebetulan saja. Karena namanya Habib dan sempat mondok di pesantren, lingkungannya kemudian seperti benar-benar menganggapnya seorang Habib atau ustaz yang mempunyai pengetahuan agama yang lebih dibanding kebanyakan orang. Suatu saat orang memintanya untuk menjadi imam salat di musala, dan ia melakukannya. Saat berikutnya orang memintanya untuk mengisi ceramah, menggantikan ustaz yang tidak datang, ia melakukannya. Sejak itulah ia menjadi ustaz yang diundang ke beberapa tempat untuk mengisi ceramah, khotbah, atau menjadi imam.

Ia sebenarnya merasa tidak ada apa-apanya. Waktu kecil ia hanya mondok selama dua tahun lalu keluar begitu saja, dan tentu saja ia tidak lulus madrasah diniyah. Barangkali tambahannya ia dapatkan dari membaca buku-buku, mengikuti kajian-kajian di kampus, atau menonton ustaz masa kini di youtube. Ia mengambil kuliah pun bukan jurusan agama. Tapi begitulah, ia senantiasa diminta ke sana dan ke mari, masih demi masjid, untuk berceramah, berkhotbah, dan juga menjadi imam.

Oleh karena itu ia merasa tidak begitu rugi kalau berhenti, pikirnya kembali sambil menghapus kenangan. Sebab ia menjadi ustaz juga secara kebetulan. Namun permintaan dari masjid demi masjid terus saja mengalir. Ponselnya seperti tidak pernah putus berdering. Ia semakin kewalahan. Ia seperti tidak bisa memilih dan memutuskan. Maka ia berniat untuk berbicara baik-baik dengan pihak masjid ketika kebetulan ada pertemuan dan perkumpulan pengurus masjid se kota Bandung di aula masjid agung, dan kebetulan juga ia diundang ke sana untuk memimpin berdoa.

“Apa ustaz yakin dengan apa yang tadi ustaz sampaikan? Kami akan benar-benar merasa kehilangan,” tanya seorang pengurus masjid sedih ketika Habib Bahrul hendak pulang.

“Saya yakin. Di kota Bandung ini tidak kurang ustaz-ustaz yang punya pengetahuan melebihi pengetahuan saya. Saya hanya ingin berhenti, dan kalian jangan pernah mengundang saya lagi. Titik!”

Dan ketika hendak pulang sandalnya tidak ada lagi. Ia semakin geram dan berdoa dengan keras dan lantang, “Ya Tuhan, berikanlah azab kepada orang yang telah mengambil sandal-sandal saya...!!!” Seketika itu juga, entah mengapa atap bagian ujung masjid agung tiba-tiba runtuh dan menimpa kepala Habib Bahrul. Dalam waktu yang tidak lama kepala Habib Bahrul pun berdarah dan penglihatannya menjadi gelap.

***

Beberapa jam kemudian, Habib Bahrul mengetahui dirinya sudah berada di atas pembaringan di rumah sakit. Orang-orang begitu banyak yang berkunjung ke rumah sakit saat mengetahui Habib Bahrul dirawat di sana, termasuk sanak keluarga, para jemaah pengajian, dan para pengurus masjid.

Ia meraba-raba kepalanya yang masih dililit perban. Tiba-tiba ia merasakan perihnya. Tapi tiba-tiba pula ia mengucapkan, “Astaghfirullah...” Mungkin karena sesuatu yang menimpa kepalanya ini, pikirnya. Ya, karena benturan inilah ia jadi bisa mengingat kelakuannya yang tidak baik di masa kecil, ketika di pondok pesantren ia sering sekali mengambil sandal temannya tanpa izin!

Tidak sengaja ia tersenyum.

“Ada apa, Ustaz?” tanya salah seorang pengurus masjid yang menjenguknya heran, namun tidak sengaja ia ikut tersenyum juga. Penjenguk yang lain pun ikut senang.

“Tidak apa-apa,” jawabnya, sambil masih tersenyum.

“Ustaz seperti mendapatkan ilham,” timpal yang lain.

“Saya sudah tidak ada masalah lagi keluar-masuk masjid. Kini saya benar-benar sudah tidak memerlukan sandal lagi,” ujarnya sambil masih tersenyum. Suaranya terdengar sangat tenang dan menenangkan. Jauh berbeda sekali dengan saat ia sedang marah-marah.

Tiba-tiba sesuatu yang hangat meleleh di pipi Habib Bahrul.

“Saya hanya ingin memohon maaf karena selama ini sering kali marah-marah yang tidak jelas kepada para pengurus masjid. Tolong maafkanlah saya,” ucap Habib Bahrul sambil memegang tangan salah seorang pengurus masjid.

Semua yang ada di ruangan itu pun terenyuh. Sebuah momen haru yang begitu mendamaikan. ~

Kopen, Agustus 2019.
Mukhammad Fahmi.
Sahabat Sejati

Jangan-jangan, hal yang paling berharga dalam hidup manusia adalah sahabat. Sahabat atau teman abadi yang akan menemani di sepanjang perjalanan. Tapi apakah sahabat sejati itu benar-benar ada? Sahabat yang akan dengan setia menemani manusia di seluruh perjalanan? Sahabat yang tak akan pernah meninggalkan manusia barang sedetik saja. Sahabat yang akan menemani untuk membela atau bahkan mencampakkannya sebagai pertanggungjawaban atas segalanya. Sahabat yang akan menemani manusia untuk kembali menghadap kepada yang telah menciptakannya. Selama ini tak pernah terdengar, ada teman yang sudi menemani sahabatnya dalam kubur ketika telah tiada. Kalau sudah demikian, siapa sesungguhnya sahabat manusia yang sejati?
Sahabat dan perjalanan merupakan dua diksi yang tak bisa dipisahkan. Lalu apakah yang sesungguhnya disebut sebagai perjalanan itu? Pernahkah kita berpikir, apa yang sedang dan akan terus-menerus kita jalani? Sebuah perjalanankah? Bagaimana kita dan perjalanan ini bisa ada? Siapa yang sesungguhnya menciptakan perjalanan ini? Untuk apa perjalanan ini ada? Bagaimana dan dari mana awal mula dari segala perjalanan? Apakah kelak ada batas akhir dan pemberhentian dari perjalanan yang selama ini kita jalani? Jika iya, kapan perjalanan ini akan terhenti? Di mana titik perhentian perjalanan itu? Kemudian jika tidak, bagaimana engkau bisa menjelaskan kepadaku bahwa perjalanan ini tidak pernah ada batas akhirnya? Apakah ada perjalanan selanjutnya setelah perjalanan di bumi? Ataukah perjalanan merupakan proses menuju keabadian dan alam yang kekal, sedemikian hingga kita tidak akan pernah menemui titik perhentian? Apa yang sebenarnya dan sesungguhnya kita cari dari perjalanan yang selama ini kita lalui? Tahukah kita bagaimana cara melewati jalan yang benar? Tahukah kita bagaimana cara memahami dan membaca dari setiap perjalanan agar kelak sampai di dermaga yang dinantikan oleh setiap pejalan? Mengertikah kita, cakrawala mana yang hendak kita tuju dari seluruh perjalanan ini? Kepada siapa kelak kita akan kembali?
Semua pertanyaan yang dulu selalu bergelayut di pikiranku itu kini telah terjawab. Ya, semuanya telah terjawab. Aku dan setiap manusia yang barangkali pernah berpikir seperti itu kini telah menemukan jawabannya. Aku telah melihatnya sekarang, di hari ini. Engkau yang membaca tulisanku ini boleh percaya boleh tidak. Aku akan menceritakan apa adanya. Jika saja aku mampu, akan kuberitakan pada semua penduduk yang ada di bumi agar mereka percaya. Namun ternyata waktu tidak pernah berjalan mundur. Hari kiamat telah benar-benar terjadi.
Orang-orang seketika riuh, seperti semut yang mencoba berlari mencari perlindungan ke arah timur, barat, selatan, utara, tapi sepertinya mereka sudah terlambat. Mereka melihat kebenaran tentang apa yang selama ini mereka bohongkan. Terompet ajaib itu kini telah ditiup, semuanya menjadi tiada, binatang-binatang itu menjadi debu, para malaikat melesat dalam cahaya, sementara orang-orang itu lenyap dalam tanah. Tanah akan kembali ke tanah. Sementara setiap ruh akan kembali ke Pemilik ruh yang sejati. Sejarah tidak akan pernah mengkhianati ruh-ruh yang sejati. Sekarang, setelah semuanya lenyap, benar-benar lenyap dan senyap. Kecuali Yang Maha Ada yang akan senantiasa hidup dalam keabadian. Bumi telah berganti menjadi kehidupan baru. Dan seketika, hujan deras menyiram bumi selama empat puluh hari.
Setelah empat puluh hari lamanya dari peristiwa kiamat itu, terompet ajaib itu kembali ditiup. Kini akhirnya aku merasakan benar-benar terlahir kembali. Tiba-tiba aku teringat, cerita masa depan yang dahulu pernah disampaikan oleh guruku ternyata sama persis, memang benar nyatanya, kini aku melihatnya sendiri sekarang.
Setelah sekian entah dihujani bertubi pertanyaan oleh sosok raksasa mengerikan yang tak kukenal di alam tanah, sekarang aku bersama kawananku yang lain hidup kembali dan berjalan menuju entah. Kulihat ada yang berjalan menggunakan tubuhnya, ada yang berjalan menggunakan kepalanya, ada pula yang melesat menaiki kereta cahaya. 
“Maaf, kenapa wajahmu bisa begitu putih bercahaya?” tanyaku pada salah satu di antara mereka yang lewat. Tapi menoleh pun tidak. Orang-orang itu seperti sibuk sendiri-sendiri atas pertanggung-jawabannya, tak peduli pada kanan dan kirinya.
Lalu seperti ada suara tapi bukan datang dari orang yang kutanya tadi.
“Ia adalah orang yang ahli menjaga kesuciannya dengan senantiasa berwudu.”
“Oh, pantas saja,” batinku seraya mangut-mangut.
Lalu kami berjalan lagi, melewati ratusan ribu tahun waktu yang melelahkan. Hingga tibalah kami di sebuah tempat, di mana seluruh kawananku dikumpulkan. Tempat di mana matahari tepat di atas kepala. Tempat di mana tidak ada payung kecuali payung perlindungan-Nya. Suasana sangat panas sekali, sampai keringat yang keluar dari banyaknya manusia itu membanjiri padang ini. Kami tenggelam kepanasan.
Kemudian satu demi satu dari kami dipanggil. Pada saat inilah, waktu dari segala pengungkapan. Setiap dari anggota tubuh kami berbicara, bersaksi. Mulai dari mata, telinga, hidung, tangan, kaki, otak, hati, farji. Sementara mulut kami dibungkam. Bahkan, setiap benda yang dulu pernah kami gunakan pun bersaksi. Satu demi satu benda-benda itu datang dari arah yang entah. Sandal, buku, pena, tas, tasbih, sorban, laptop, hape, kaca mata, uang, sampai jam dinding juga. Semua berbicara dan diperhitungkan sebagai saksi. Tak ada yang luput dari satu perhitungan sekalipun.
Kini, setelah melihat semuanya. Aku mengerti. Siapa sesungguhnya sahabat sejati itu. Sahabat yang akan dengan sangat setia menemani di sepanjang usia perjalanan manusia. Sahabat yang membantu menjawab pertanyaan ketika di alam tanah. Sahabat yang menolong memberatkan ketika pertimbangan amal. Sahabat yang akan membantu menerima buku ajaib. Sahabat yang akan membantu menyeberangi jembatan. Sahabat yang tak akan membiarkan manusia kesepian sendiri dan hanya akan melepaskannya setelah tiba di sebuah tempat pulang yang damai. Sahabat sejati manusia ialah amal kebaikan dan keburukan. Amal kebaikan dan keburukan itu serupa hal-hal abadi. Betapa kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tidak akan pernah mati. Mereka akan hidup abadi hingga tiba hari yang dijanjikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu membersamai orang yang dulu pernah merawatnya ketika hidup di dunia. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu menjelma makhluk yang menemani perjalanan manusia di alam ini. Makhluk yang tahu balas budi.
“Kau siapa?” kucoba memberanikan bertanya pada makhluk berwajah damai itu.
“Aku adalah amal bacaan surat as-Sajdah yang setiap sebelum tidur kau lantunkan itu,” balasnya.
“Kalau yang kamu siapa?” tanyaku pada makhluk yang berwajah jelek.
“Aku adalah rasa sombong yang pernah melekat di hatimu,” jawabnya.
Seketika semuanya menjadi pembenar. Aku benar-benar terhenyak, seperti menjadi manusia yang bodoh. Betapa mengumpulkan hal-hal yang kelak abadi di kehidupan dunia itu lebih menjanjikan. Dan kini, hal-hal yang abadi itu telah membersamai manusia. Sayangnya, manusia dahulu lebih sering tertipu oleh hal-hal yang tidak abadi. Oleh hal-hal yang sebentar saja rapuh.
Setelah orang-orang itu melewati timbangan amal, kini mereka akan menerima buku maha ajaib yang akan menentukan tujuan selanjutnya dari perjalanannya. Aku kembali teringat, sahabatku dulu pernah berkata, “Sesungguhnya setiap manusia adalah penulis.” Dulu aku tak mengerti apa maksudnya ia berkata demikian. Tapi kini, aku telah memahami apa maksudnya itu. Sesungguhnya setiap manusia adalah penulis. Di kehidupan dunia yang telah berlalu itu, manusia pada setiap nafasnya senantiasa menulis untuk dirinya sendiri. Kelak di kehidupan selanjutnya, sekarang ini, mereka akan menerima tulisan-tulisannya sendiri, berupa buku besar yang maha ajaib. Tak ada satu pun kalimat di buku itu yang terlewat untuk dicatat, semunya lengkap. Adalah berupa tulisannya sendiri dari semenjak balig sampai meninggal.
Kulihat, ada yang menerima buku itu dengan tangan kanan. Ada yang menerima dengan tangan kiri. Bahkan, ada pula yang menerima dengan punggungnya. Pada waktu itu pula, sebagian dari mereka menangis dan sebagian dari mereka berbahagia, seperti yang kuingat ketika acara pembagian rapor sekolah. Hanya saja bedanya, rapor sekolah ditulis oleh guru, sementara buku maha ajaib ini ditulis oleh tulisan mereka sendiri. Mereka yang menulis dengan tinta merah semerah api akan diseret menuju ruang yang berapi-api. Sedangkan mereka yang menulis dengan tinta hijau sehijau taman, akan dipersilakan menuju taman-taman hijau yang sejuk dan damai, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai yang lebih putih dari air susu sekalipun.
Setelah mendapatkan buku masing-masing, orang-orang itu melewati sebuah jembatan yang di bawahnya ruang berapi-api. Jembatan yang bukan sebarang jembatan. Jembatan itu memiliki ukuran serupa rambut dibagi tujuh dengan tajamnya tujuh kali pedang. Di penghujung jembatan itulah tempat taman yang hijau berada. Tapi banyak orang yang terpeleset di jembatan itu, terutama bagi orang memiliki catatan merah penuh. Mereka kekal di dalamnya. Orang dengan buku catatan merah dan hijau akan dihilangkan catatan merahnya di ruang berapi dulu, baru setelah bersih dari merah akan diangkat dan dipersilakan ke dalam taman yang hijau. Sementara orang dengan catatan hijau penuh, ia akan dengan mudah melewati jembatan itu dan langsung dipersilakan ke dalam taman hijau yang damai.
Namun, di tengah-tengah jembatan itu aku seperti melihat seseorang yang kukenal. Bagaimana mungkin, orang sebaik itu, yang dulu senantiasa meneriakkan makna kebenaran sekarang bisa berada di ruang berapi-api. Bagaimana mungkin sahabat sejatinya mengajak ke dalam ruang berapi-api itu, gumamku. Lagi-lagi datang suara dari arah yang entah.
“Demikianlah. Di kehidupan dunia, terkadang Tuhan menghiasi musuh-Nya dengan pakaian kekasih-Nya, dan terkadang Tuhan menghiasi kekasih-Nya dengan pakaian musuh-Nya. Betapa Tuhan Maha Mengetahui segala yang tersembunyi.” ~

Malang, Februari 2018.
Mukhammad Fahmi.