Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Menyentuh Langit Cinta-Mu

seberapa deras rindu yang hendak menahanku
di sini, waktu menjadi jurang
tempat menampung segala gundah berpintalan
sebelum akhirnya tumpah dalam degup
aku ingin pulang...
aku ingin pulang pada dingin sungai
yang mengalir ke laut-Mu

Kasih...
biarkanlah angin kan menjemputku,
dan membawaku kepada cahaya,
yang akan segera kembali menyala saat langit cinta-Mu
berhasil kusentuh dengan jemari air mata
mungkin juga guntur akan segera tumbuh,
pada lipatan doa yang membias dari ketinggian harapku
namun, siapa? siapa kini yang berani mengganti kerinduanku
pada belai kasih-Mu yang telah Kau kirim jauh...
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu?
kunyalakan lilin kasmaran pada sela-sela tulang rusukku
kubiarkan seluruh darah daging mendidih,
mematangkan rindu, cinta, dan air mata lewat doa
yang bergelantungan di ranting-ranting malam panjangku
sujudku barangkali hanya sebatas diam
menampung damai yang Kau dekap dalam selembar rindu
yang jazab oleh jumpa paling jeram

Malang, November 2015.
Mukhammad Fahmi.
Kupanggil Namamu
ku panggil namamu, Sahabat
manakala senja tiba membawa risalah dan kesunyian
camar-camar terbang sempurna menciumi sisa-sisa matahari yang basah,
sebelum akhirnya malam menjadikannya tiada
ini bukanlah jingga yang pertama, Sahabat
bukankah perihmu masih terbelit akar pepohonan?
maka kubiarkan tanah ini menyerap lukanya

di langit, mungkin matahari selalu muncul dari rasa gelisah,
takut, bahkan kecemasan yang tak kunjung usai
Sahabat, biarkanlah jiwa ini berkelana
sambil terus meneriakkan mimpi
untuk meredakan gelombang
dari sebuah jeruji senja yang begitu panjang

Sahabat, lihat, hari sudah petang
aku akan kembali ke dalam diriku, tapi kau?
masih saja kulihat di sudut matamu yang berawan;
ada derai yang memuai;
ada yang terus mengalir dari masa lalu
hingga ke lautan benak

mesti kita kejar ufuk itu, Sahabat
dan membiarkan sayapnya merangkul dalam gelap
yang menyayat sejarah air mata
sementara kisah-kisah itu masih menyimpan gemuruh laut,
tempatmu berjanji menautkan keinginan pada lempengan waktu
yang mengombak dalam doaku

Sahabat,
sudahkah kau berani jujur pada dirimu sendiri?
ataukah masih saja kau dustai nurani?
sudahkah kau telanjang polos di hadapan-Nya?
ataukah diam-diam masih saja kau coba tipu Dia?
sudahkah kau ingat, bagaimana cara menginjak bumi yang benar?
ataukah masih saja kau pura-pura tak mengerti?
sudahkah kau sambut cinta-Nya dengan cinta yang setara?
ataukah justru sembunyi-sembunyi kau jadikan Dia yang kedua?
sampai kapan kau tipu dirimu,
kau perdaya dirimu, kau pertuhan dirimu,
kau biarkan biarkan dirimu tenggelam dalam lumpur yang nista?

Sahabat,
sampai kapan?
mau sampai kapan?

Jombang, Januari 2016.
Mukhammad Fahmi.
Aku dan Rumbai Kata

seberapa tajam kata yang hendak mengoyakku?
pada belantara yang lebih luas,
retorika zaman yang semakin ganas
kebebasan logika pemikiran manusia
berusaha menyayat-nyayat ulu imanku
kata-kata yang entah lahir dari peradaban mana berusaha
merobohkan surauku, menghempaskan keyakinanku
berbagai ideologi terbungkus rapi,
semakin saja membutakan penglihatanku,
mendungukan telingaku, mematikan rasaku
puisi-puisi yang tak kukenal
begitu lancang menghina firman Tuhan
lalu filsafat demi filsafat semakin memandang agama
sebagai candu dan bahkan fiksi

kata, begitu tajam, melesat menyesaki peradaban
begitu mudah mengubah dingin menjadi panas,
merekayasa kezaliman menjadi kebaikan,
menyulap kebohongan menjadi kebenaran,
dan seperti yang lain

di saat lautan manusia berselimut kata
bumi menjadi saksi atas ketidakhadirnya ruh
di setiap untai kata
kata terus mengalir biarpun tanpa jiwa
puisi-puisi terus saja lahir biarpun tanpa langkah nyata

aku pun dengan sisa-sisa imanku
mencoba membaca firman demi firman-Nya
“...penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu
tidakkah kau lihat,
mereka menenggelamkan diri
dalam sembarang lembah khayalan dan kata
dan mereka suka mengajarkan yang tak mereka kerjakan
kecuali mereka yang beriman, beramal baik,
banyak mengingat dan menyebut asma Allah,
dan melakukan pembelaan ketika dizalimi...”
begitulah, betapa sejuk kalam-Nya
mengalir, menyirami jiwa-jiwa yang kering
membangunkanku dari lelapnya puisi dan kata
menyembuhkan alpaku,
memanggil diriku yang telah lama hilang

di balik puisi dan kata aku terdiam
dengan lirih hatiku membisik
“Ilahi, maafkan puisi-puisiku
selamatkanlah aku dari lautan kata-kata
jagalah kata-kataku,
selamatkanlah puisi-puisiku.”

Malang, 2018.
Mukhammad Fahmi.
Rindu Jalan Pulang

Ketika kau terbangun
Masih gelap, tanya sepasang mata itu
Langit tak lagi seperti dahulu
Tanah bumi pun, gersang dan hampa
Sungguh, tiadakah Tuhan di sini?

Sejenak kau terdiam
Menatap jalan
Menafsirkan seluruh usia

Hanya engkau yang menjelma rindu
Hamba siapa
Dan hati yang lembut
Lekat pada jiwa-jiwa yang sejati

Ia mungkin bara menyala-nyala itu
Yang menjilat semua tubuh
Yang kini mesti digenggam
Sebelum lepas dihempas alpa
Engkau jadi pulang ke mana?

Malang, April 2018.
Mukhammad Fahmi.
Puisi Anak Kecil

aku ingin                                                     
hanyut dalam desir angin
menggericik dalam setiap tetes air
melesat bersama cahaya
tersenyum dalam setiap butiran bening embun di dedaunan
berdenyut dalam tiap detak waktu
berbaur dengan semua elemen, semua nada, semua warna
dan bernyanyi bersama kicau segala burung
di alam semesta raya ini!

Ilahi, Engkaulah
penolong di setiap gerak langkah hidupku;
di saat aku buta dan tertatih kehilangan-Mu,
Engkaulah kekasih abadi:
matahari hatiku, rembulan jiwaku,
pelipur dukaku, penyejuk mataku;
di saat semua sesungguhnya sirna
—karena hanya Engkau yang ada dalam ada,
Engkaulah yang bisa membawa langkahku
untuk mengenal siapa diriku dan juga Engkau,
Engkaulah tempat sejatiku bersujud dan berharap
dalam setiap bait hembus nafas-Mu,
yang telah Kau kirim jauh…
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu,
Engkaulah hakikat dan inti pencarianku,
puncak tertinggi kerinduanku

Ilahi, ajarilah aku mencintai-Mu
dengan cinta yang setara dengan cinta-Mu
agar segera sampai aku kepada-Mu
cukuplah sosok sepi ini dengan ridho-Mu
yang menyeluruh tiada batas-tepi itu

Ilahi, telah kuterima surat agung-Mu
kan kugenggam erat-erat seluruh ayat-ayat cinta-Mu
kubawa berlari, berlari, dan berlari..
betapa pun, di sini
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu
di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari segala kembara cintaku!

Ilahi, aku ingin…
berlayar dalam semesta maha karya akbar-Mu
di ruang dan waktu manapun

Jombang, Januari 2013.
Mukhammad Fahmi.

Zaman Now

Korupsi membudaya

Keadilan diperjualbelikan

Harta dan kekuasaan sudah didudukkan

dalam singgasana Tuhan

Kebenaran terlampau mudah dibungkam

Retorika zaman semakin ganas

Berbagai ideologi terbungkus rapi, berebut benar

Parade wajah-wajah penuh topeng, bertebaran

Hitam putih sulit diraba

Media maya sesak artis, berlomba muka, dijual murah

Pacaran sudah hal biasa

Zina di layar kaca

Bayi-bayi tak berdosa jadi tumbal

Dosa dipandang sebelah mata

Tuhan tak pernah dianggap ada

Kitab-kitab kehidupan tak lagi dibaca

Kegelapan ada di sekujur harinya

Kejahiliahan telah sampai pada puncaknya

Ketulusan tampak purba

Manusia-manusia semakin serakah

Bumi sudah terluka parah

Langit jadi saksi semua kejadian

Lalu, adakah kita hanya akan diam saja

Bersembunyi dalam kata-kata

Lalu, adakah kita masih punya wajah

untuk menghadap-Nya?



Malang, Februari 2018.
Mukhammad Fahmi.