Air Mata Cakrawala
Oleh: M. Fahmi

Sobat…
Aku tidak tahu dengan kalimat apa mesti kutulis setetes tinta ini untukmu. Malam begitu dinginnya, sementara angin tanpa permisi masuk menembus tulang-tulang persendianku. Suara deburan angin malam yang lirih terdengar bagai nyanyian orang kesepian. Lalu nyanyian itu berubah menjadi rintih kesedihan. Kesedihan dari orang-orang terluka, orang-orang kalah, orang-orang yang tersingkir, atau sengaja disingkirkan dari kehidupan. Boleh jadi, rintihan itu juga merupakan ratap keperihan dari harapan yang tak pernah sampai, atau cita-cita yang kandas di tengah jalan. Rintihan itu membuat mataku tak juga bisa terpejam.

Sobat…
Sedang apa kau malam ini? Mungkin selama ini aku yang bersalah padamu. Aku yang sering membuatmu marah. Maafkan atas segala tingkahku. Maaf, jika jejak–jejak masa itu menyisakan luka yang teramat mendalam. Bukan maksudku mengganggu ataupun mengotori kisah kehidupanmu yang putih. Ya, aku yang bersalah, meskipun munculnya keraguan itu sebetulnya datang darimu. Mengapa aku berkata demikian? Teramat sulit bagiku untuk menjelaskan kepadamu dengan kalimat-kalimat biasa di lembaran sesempit ini.

Sobat…
Setelah bertahun-tahun lamanya aku mengembara arungi semesta raya akhirnya terdamparlah aku disini. Di sinilah akhirnya aku menemukan hakikat kehidupan. Di sinilah akhirnya aku menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Di bumi Allah inilah aku berdiri dan mencoba untuk menyelami di kedalaman samudra ilmu. Walaupun jalanku menuju-Nya masih meraba-raba dalam gelap, tapi aku yakin, akan kutemukan ‘nur’ kearifan itu. Jika anugerah itu telah sampai kepada kita, mengapa kita tidak mencoba mengabadikan dan menyusunnya menjadi syair hidup yang kelak akan selalu kita kenang tentunya?

Pencarianku belum selesai sampai di sini, Sobat. Jalan yang harus aku tempuh masih panjang membentang di depan. Aku tak tahu, apa mungkin melewati jalan itu. Pada setiap persimpang jalan selalu kutemukan kepalsuan, kecurangan, kebohongan, dan keamburadulan. Kejujuran sangat sulit kutemukan di sepanjang sajak jalan ini.

Waktu terus mengalir dan tak mungkin berhenti mengalir. Aku ingin mengikuti aliran waktu, dan tak mau berhenti untuk menemukan apa yang aku cari. Pada setiap jalan yang kulewati, segala kejadian kurekam dalam ingatan, dan kucatat bagian-bagian penting di sebuah buku harian yang selalu menemaniku dalam perjalanan.
Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, dan hanya secuil kelebihan yang kumililki. Dari secuil kelebihan itulah aku mencoba memperkuat keimanan, menghindari semua godaan yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku.

Coba lihat, apa yang ada di luar sana? Gelap. Ya, gelap. Belakangan ini langit selalu tampak gelap. Sebagaimana dunia yang selalu dilanda kekacauan, kebohongan, kepalsuan, kecurangan, dan keamburadulan. Banyak orang yang “pura-pura” pintar, tapi tidak jujur dan tidak arif dalam menyikapi kehidupan. Jusrtu egonya yang berperan. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka, sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Aku prihatin, Sobat. Melihat dunia yang semakin hari semakin jauh dari garis yang hakiki. Kemaksiatan telah merajalela. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Seperti sudah tak ada lagi yang mengenal hukum Allah. Ah… sudah sampai zaman manakah ini, sehingga orang-orang tak lagi mengenal hakikat?

Sobat. Lihatlah, tak satupun bintang terlihat di sana. Mendung hitam sedang menjadi raja dan sudah beberapa hari ini bumi terus diguyur hujan. Bagaimana dengan daerahmu di sana? Apakah  malam ini juga sedang turun hujan? Ataukah hanya sekedar bermendung? Aku yakin, sebentar lagi hujan deras pasti akan segera turun.
“Segeralah turun, wahai hujan. Biar pohon-pohon yang telah mengakar pada bumi tumbuh subur. Biar mereka dapat meminum air kehidupan.” Mataku pun berkaca-kaca melihat langit. Sesuatu yang kudambakan itu akhirnya menjadi kenyataan. Hujan pun turun. “Terimakasih, ya Allah...! Terimakasih. Oh, ternyata Engkau masih mendengar suara batinku.” Aku pun kegirangan.
Sobat. Aku tahu, semua yang ada di dunia ini fana dan tidak ada yang abadi. Termasuk kebersamaan kita yang dipisahkan oleh garis ketakdiran, hingga berujung pada sebuah perpisahan. Termasuk sajak kenangan yang pernah kita tanam bersama itu, mungkin juga akan sirna.

Tapi aku yakin, di balik semua ini ada yang Abadi. Kau harus tau itu. Sesuatu yang Abadi adalah sesuatu yang Hakiki, yang akan Hidup untuk selama-lamanya, karena Ia adalah Sang pemilik Cinta itu sendiri. Dialah yang lebih dekat dari segala sesuatu. Dialah puncak Keagungan, Keindahan, dan Sang Kebenaran. Dialah yang memberikan sebuah pertemuan dan perpisahan.
Dulu. Saat aku mengenal cinta untuk pertama kalinya, dan saat aku bertempur secara habis-habisan dengannya, sesungguhnya aku telah ditipu dan diperbudak olehnya. Ah, cinta. Betapa cengeng tampaknya. Mestikah seumur hidup manusia hanya cukup mengurusi persoalan cinta? Padahal, betapa banyak persoalan lain yang mesti dituntaskan dalam kehidupan ini di luar cinta. Tapi setidaknya, beginilah aku berpendapat. Aku seperti tidak dapat hidup bila jiwaku membisu tanpa mengkidungkan nyanyian cinta. Padahal untuk selamanya, atau mungkin hingga akhir hayat kelak seseorang yang pernah kurindukan siang dan malam hingga bertahun-tahun lamanya itu, tak akan pernah kembali dan tak mungkin menjadi milikku.

“Aku memang tak akan pernah memilikinya. Tapi salahkah aku, bila hanya ingin sekedar menanam rasa itu di lubuk jiwaku yang terdalam agar cinta itu tetap mekar untuk selamanya sebagai penyegar Kehidupan? Siapa  tahu, nanti aku dapat memetiknya di kurun waktu yang lain.” Demikianlah aku beralasan.

Sobat. Engkau mungkin tidak tahu apa yang sedang merasuk dalam sukma terdalamku malam ini. Hatiku telah menjadi serpihan kepingan luka sejak pengembaraan ini kulakukan. Hidupku memang busuk. Tapi kau harus ingat, seburuk apapun realita yang menimpa diriku, aku masih menyimpan harapan. Ya, harapan untuk memperoleh cinta itu kembali meskipun harus kutebus dengan seribu penderitaan. Inilah milikku satu-satunya yang paling berharga!

Ketika Cakrawala telah buncahkan air yang hakiki, kubiarkan musim bersemayam dalam dekap harap. Air hujan yang menetes dari cakrawala itulah mungkin yang akan menjadi saksi atas lahirnya tetesan pena ini. Sampai akhirnya, tak bisa kusimpan rahasia dingin malam ini. Salahkah aku bila hanya ingin menyapamu malam ini? Mungkin, ini dapat mengobati jiwaku yang senantiasa dilanda badai kerinduan. Yaa Rabb.. kuasa-Mu di atas segalanya. Aku hanya bisa berharap, sedangkan skenario telah tercatat di Lauhul Mahfudz sana. Kini, aku hanya bisa bersandar pada perlintasan waktu yang masih menetes perlahan.

Jombang, 8 November 2011
M. Fahmi

Pengembara Sunyi
Oleh: M. Fahmi

Sudah lama lelaki itu mencari kekasihnya. Kekasih yang dulu pernah hadir di kehidupannya, namun kini entah ke mana. Dicarinya kekasih itu sepanjang siang dan malam, sepanjang waktu, dan sepanjang ruang, namun tidak kunjung juga ia menemukan kekasih yang dicarinya itu. Dicarinya kekasih itu dalam pengembaraan yang tak ada hingga, hingga berabad-abad lamanya, hingga pengembaraan itu serasa tidak ada titik akhirnya. Setiap orang yang dijumpainya di jalan selalu ia tanya, di mana kekasihnya itu berada. Orang-orang yang dijumpainya itu bukan menjawab semestinya, malah menganggapnya gila.

Pernah suatu ketika ia mampir ke sebuah toko, lalu bertanya kepada pelayan toko.

“Kekasih…?” Pelayan toko itu mengernyitkan keningnya. Ditatapnya wajah lelaki itu penuh keheranan.

“Betul, apakah dia ada di sini?”
Pelayan itu agak lama menatap wajah lelaki itu. Wajahnya penuh tanda tanya, lalu entah mengapa tiba-tiba pelayan toko itu tertawa.

“Mengapa engkau tertawa?” Ia terheran-heran.

“Dasar orang gila!” Umpat penjual toko itu.

Betapa malunya ia. Dengan perasaan kesal, ditinggalkannya toko itu. Ia heran. Mengapa orang-orang selalu tertawa setiap kali ia bertaya tentang kekasih? Mengapa mereka menganggapnya tak waras? Apakah pertanyaannya aneh? Ataukah kekasih itu sekarang telah menjadi barang langka sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Ataukah ia telah berubah menjadi makhluk lucu hingga seseorang mau tidak mau, harus tertawa begitu ia menyebutkan namanya? Entahlah.
Lelaki itu melanjutkan perjalanannya. Menyusuri sungai, pematang sawah, bukit, lembah, dan sampailah ia di suatu pedesaan. Ia bertemu dengan seorang kakek tua. Kakek tua itu menanyakan tujuannya. Lelaki itu menerangkan maksudnya. Lalu dengan lugu, kakek tua itu mempertemukannya dengan seorang perawan desa yang benar-benar ayu.

“Bagaimana? Engkau cocok?” Tanya kakek itu.

“Bukan. Bukan itu, Kek. Bukan perawan desa yang sedang aku cari. Aku sedang mencari kekasih. Kekasih bukan sembarang kekasih, melainkan kekasih sejati yang kini entah berada di mana. Kekasih sejati adalah cinta yang tak akan lekang ditelan masa. Dialah pemilik kebenaran dan cinta abadi yang sesungguhnya. Padahal, dulu Dia pernah hadir di hadapan kita penuh kasih dan sayang, tapi mengapa orang-orang sekarang sudah melupakanNya? Apakah Kakek juga tak mengingatnya lagi?"

Kakek tua itu menatapnya tajam. Kepolosan di wajahnya seketika itu menghilang, lalu ditinggalkan lelaki itu tanpa kata. Lelaki itu agak kebingungan. Ternyata kakek tua itu juga tidak mengerti dan mengenal kekasih yang dimaksudkannya.

Ia tak pernah patah semangat. Diteruskan langkahnya yang patah-patah itu. Di setiap perjalanan banyak peristiwa yang terekam dalam benaknya. Pada setiap persimpangan jalan, selalu ia temukan misteri yang tidak sejiwa dengan semangatnya, misteri yang tidak mampu diterima oleh nuraninya. Dan anehnya, ia belum kunjung mengerti juga. Ia atau mereka yang benar. Ia atau mereka yang salah. Ia atau mereka yang munafik. Pencurian, penghianatan, kekejaman, kebohongan, dan kemunafikan seakan telah menjadi nafas kehidupan, hingga banyak orang yang melupakan atau bahkan tidak mengenal kekasih.

Ah, sudah sampai peradaban manakah aku ini, hingga tak satupun dari mereka yang mengenal kekasih? Gumamnya di sela-sela langkahnya.
Di sepanjang perjalanan tidak sedikit orang yang mengejeknya.

“Lihat, dia bertanya tentang kekasih, padahal dia punya mata, punya mulut, kaki, tangan, dan telinga. Apakah tidak digunakan bekal kemanusiaannya?” Demikian kata seseorang yang ia temui di pinggir jalan.

“Kasihan benar orang itu. Dicarinya kekasih itu sepanjang malam dan ia lupa jika hari telah kembali pagi.” Kata yang lainnya.

“Semoga ia cepat sembuh.”

“Semoga ia cepat mengingat kembali jati dirinya.”

“Atau jangan-jangan dia sudah gila!”

“Ya, menggilai kekasih yang sudah tak sabar lagi untuk dicumbunya!”

“Hahaha…!”
“Kasihan…”

Dan bebagai umpatan lain yang ia dapatkan. Namun ia tetap tegar. Buat apa sakit hati kalau ia memang tak mempunyai hak untuk merasa sakit karenanya? Bukankah orang yang sedang mencari kekasih tidak boleh menyimpan sedikitpun rasa sakit di dalam hati? Apalagi rasa benci, iri, dan dusta. Ya, dalam hatinya tidak boleh menyimpan sedikitpun dendam. Semua rasa mesti ia curahkan hanya untuk perasaan cinta. Mencinta dan merindui kekasih sejati yang hingga kini belum juga ia temukan.

Ia tetap melangkah. Melewati jalan setapak, menyeberangi sungai-sungai kecil, menerobos pematang sawah, kebun-kebun, menyusuri berbagai jalan, dan sampailah ia di suatu kota. Lelaki itu benar-benar merasa asing di kota itu. Ia seperti berada di sebuah peradaban Antah Berantah. Atau, kota itu sendirikah yang tampak asing di matanya? Entahlah. Tak satu orang pun yang ia kenal di sana. Celakanya, tak satu orang pula yang mau mengenalinya.

Lelaki itu mengitari kota. Debu-debu beterbangan di sana-sini. Berbagai suara terdengar di telinga. Radio dan televisi pun tidak henti-hentinya menyiarkan berita perang dan bencana. Dunia telah berubah menjadi gaduh.

Di sebuah halte, lelaki itu bertanya pada seorang pria berdasi yang sedang menunggu taksi.

“Maaf, Tuan. Apakah Tuan mengerti di mana kekasihku berada?”

Pria berdasi itu membeliakkan matanya. Ditatapnya lelaki itu lekat-lekat.

“Bung, ini kota! Di sini yang bicara uang. Bekerjalah dan cari uang sebanyak-banyaknya. Nanti kau akan dapat membeli seribu kekasih yang kau inginkan!!” Teriak pria berdasi itu.

“Tetapi, kekasihku tak bisa dibeli, Tuan. Tak mungkin ia mengobral cinta.” Ujarnya.

Pria berdasi itu semakin garang. Dipandangnya lelaki itu penuh kejengkelan.

“Aku tak punya waktu untuk romantis-romantisan, Bung! Apalagi bicara soal cinta. Bagiku waktu adalah uang! Kau mengerti?” Pria berdasi itu pun berlari ke mobil taksi. Langkahnya terburu-buru, membuat lelaki itu berdiri termangu.

Ah, soal cinta pun mereka tak lagi punya waktu. Gumamnya dalam hati.

Gedung-gedung pencakar langit, tembok-tembok beton, berbagai instalasi listrik, dan aspal-aspal yang menutup hampir seluruh permukaan kota itu seoalah menutup hati mereka, hingga mereka tak lagi mengenal kekasih. Ataukah kekasih itu sudah mati sehingga tak perlu lagi dikenal?

Orang-orang di kota itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Jangankan yang bekerja di gedung-gedung, di mal-mal, atau di pabrik-pabrik, yang di pinggir jalan pun mereka enggan bertegur sapa. Mereka selalu begegas, berpacu dengan waktu, seolah khawatir matahari esok tidak akan terbit lagi.

Kala itu, lelaki itu hampir saja putus asa dan memilih untuk mengakhiri langkahnya. Namun, di suatu malam yang teramat malam itu ada bocah kecil bermata buta yang menyapanya.

“Hai, Kak. Apakah Kakak sedang mencari kekasih?”

Lelaki itu kagum bukan main. Bagaimana mungkin, bocah yang buta dapat melihat dan mengerti apa yang ia cari.

“Betul, saya sedang mencari seorang kekasih. Apakah engkau mengenalnya?”

“Oh. Sebenarnya kekasih yang Kakak cari itu tidak ke mana-mana. Ia akan tetap Ada, menyertai Kakak di mana pun berada.  Saya bisa merasakan kehadiran kekasih itu setiap saat.”

“Oh, ya? Benarkah?” Lelaki itu nampak agak kebingungan.

“Benark, Kak. Oh, iya. Ada hal yang belum pernah saya katakan kepada siapapun. Orang-orang mengira saya ini bocah buta, namun berkat kehadiran kekasih itu saya dapat melihat dan merasa tanpa mata. Bahkan semuanya serasa lebih jelas dari penglihatan mata itu sendiri.”

“Bagaimana bisa?!”

“Lihat, ada seekor semut yang akan menggigit punggung Kakak!”

Lelaki itu mencari semut yang dikatakan bocah itu. Dan benar. Ada seekor semut yang merayap di punggungnya. Ia mencoba menangkapnya, namun sayang, semut itu berhasil menggigit penggung lelaki itu lebih dulu. Lelaki itu semakin linglung,  merasa bodoh, dan tak mengerti kata-kata bocah itu.

“Kakak tak perlu bingung, saya akan mengantarkan Kakak menuju apa yang selama ini Kakak cari.” Tegas bocah itu.

“Be-be-be-nar-kah?” Dengan suara terbata-bata dan perasaan gembira yang tiada tara lelaki itu berkata.

“Mari ikuti saya, Kak!”

Akhirnya lelaki itu mengikuti bocah itu. Bocah itu terus berjalan mengikuti aliran ruang dan waktu. Dan di sebuah tempat bocah itu berhenti.

“Kak, wudhulah dan sholatlah di surau yang sudah tua ini. Nanti Kakak akan menemukan kekasih yang selama ini Kakak cari.” Kata bocah itu mantap sambil menunjuk sebuah surau yang sudah sangat tua. Sepertinya orang-orang sekitar sudah tidak pernah lagi mengunjunginya atau mungkin sudah melupakannya, hingga nampak tidak terawat dan usang.

Lelaki itu sempat merasakan kedamaian yang tidak ada hingga ketika melihat surau yang termakan usia itu. Ia seperti menemukan kerinduan yang telah lama hilang dan kini ia seperti sedang mendekati kerinduan itu. Ia seperti teringat kata-kata kakeknya, “kalau engkau ingin menemuiNya, rajin-rajinlah mengunjungiNya dalam sujud, lalu dengan tengadah tanganmu ke langit, supaya Dia mau membukakan pintu langit dan mempertemukanmu denganNya.” Belum sempat lelaki itu mengucapkan terimakasih, bocah bermata buta itu sudah tidak ada di sampingnya. Lelaki itu terus mencari di sekelilingnya, namun tetap tidak ada.

Kini ia mengerti, bahwa bocah bermata buta itu bukan sembarang bocah. Lelaki itu melangkah perlahan mendekati surau itu. Seperti ada yang mengalir membasahi jiwanya yang telah lama kering.

Lelaki itu pun bersujud panjang di surau itu. Entah apa yang membuat tubuhnya terasa teramat ringan diterpa angin. Ia serasa melayang, terbang menembus awan menuju puncak tertinggi alam semesta dan menemui kekasihnya yang sejati. Ia kini telah menjadi pengembara sunyi, pengembara abadi yang benar-benar abadi.

Malang, 22 Maret 2014

Tandusnya “Bumi” Kami
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[Laiknya fiksi, humor pun sebetulnya juga lahir dari sesuatu yang serius. Bahwa kebenaran dan kemurnian tanpa humor sifatnya meragukan. Dengan humor, sesuatu yang serius dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu baru yang bersifat rileks dan renyah. Lalu di manakah letak humor dalam tulisan kami berikut ini?]

Bismillah. Nastaghfirullohaladziim. “Telah sedapat mungkin, kami selamat-selamatkan islam kami. Kami aman-amankan iman kami. Kini, hanya kepadaMu. Kami serahkan segalanya. Kami pasrahkan semuanya. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin,” begitu kata Gus Mus dalam salah satu puisinya.

Esensi cinta kini telah lama mati, bersama matinya hati nurani. “Cahaya” telah lama menghilang, bersama menghilangnya kesadaran. “Langit” telah lama roboh, bersama robohnya keimanan. “Bumi” pun telah lama kering, bersama keringnya jiwa kami. Hari ini. Dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita. Tetapi, setelah mati. Dunia hanyalah cerita, sementara akhirat menjadi nyata.

Kini, persetanlah dengan rasa cinta. Persetanlah dengan rasa rindu. Sebab, cinta hari ini telah jarang ditemukan. Entah itu di jalan-jalan, di ladang-ladang, di pasar, di kantor, di sekolah, di gedung-gedung, atau bahkan di tempat-tempat ibadah sekali pun. Kami sering tertipu oleh rasa cinta, yang sebetulnya itu bukan cinta. Kami sering terperangkap oleh rasa rindu, yang sebenarnya itu bukan rindu yang sesungguhnya. Kami mengira kalau itu adalah cinta, tapi nyatanya adalah nafsu.

Kami mengira kalau itu adalah rindu, tapi nyatanya hanyalah kemauan dan ego. Ah, rasa. Betapa naif sebetulnya. Kami sukar membedakan mana kebenaran mana kebatilan, mana kejujuran mana penipuan, mana cinta mana nafsu. Shalat saja, kami belum pernah bisa khusyu’ dari awal hingga akhir. Betapa, lupanya kami. Mungkin karena kebutaan mata kami, atau karena telah lama, jiwa kami dilanda kemarau. Sungguh, kami haus akan keheningan.

Tak terasa, kami sering terpenjara oleh rasa. Padahal sebetulnya, tidak ada bedanya antara rasa lapar dan kenyang, panas atau dingin, sedih atau bahagia, ketakutan atau keberanian, kecewa atau gembira, suka atau duka, cinta atau benci. Pada hakikatnya semua sama, yaitu hanya sebuah “rasa”. Padahal kami sendiri yang menciptakan “rasa” itu. Kami sendiri pula yang disibukkan oleh “rasa” itu, dan kemudian tanpa disadari kami telah berada di sebuah penjara yang bernama penjara “rasa”. Disadari atau tidak, kami telah diperbudak oleh yang namanya rasa. Bagaimana kami berlari mengejar dan dikejar oleh kepentingan atau ketidak-pentingan, hanya dikarenakan sebuah rasa. Pribadi kami sangat labil. Betapa lelah jiwa dan raga kami. Nahasnya, kami belum kunjung mengerti, bagaimana caranya keluar dari penjara itu. Ada yang bilang, “mati saja kau bila ingin tak terpengaruh oleh rasa!”. Tapi itu bukanlah sebuah jalan. Untuk keluar dari penjara bernama penjara “rasa” itu, kami harus mengabaikan segala rasa yang membelenggu hati.

Perlu kami ketahui. Bahwa di pusat panas yang paling panas, di situlah ada titik dingin paling dingin. Begitulah filsafat menjelaskan. Dengan filsafat, kami dapat mengubah panas menjadi dingin, mengubah api menjadi air, mengubah tegang menjadi santai. Filsafat tak ubahnya tongkat ajaib yang ampuh untuk menyulap apa saja yang bersifat keburukan, menjadi segala sesuatu yang baik dan rahmatan lil Aalamiin. Filsafatlah yang mengantarkan kami pada ruang hikmah, yang menjelaskan segala yang terselubung dalam rahasia.

Mungkin hanya dengan senantiasa melihatNya yang akan membersihkan segala kotoran dan penyakit di dalam hati. Agar kami tak menjadi budak dari rasa. Sebab, rasa semestinya hanya ada satu, yaitu untuk Allah, bukan untuk kepentingan yang lain. Bagaimana kami bisa mengatakan bahwa kami mencintai dan melakukan sesuatu karena Allah, sementara niat dan hati kami terlalu beku oleh kepentingan yang lain. Bagaimana kami mencintai makhluk karena Allah, sementara di dalam lubuk hati tersimpan penyakit bernama dunia dan nafsu. Sesungguhnya nafsu, rasa dendam, iri, dengki, sombong, prasangka buruk, merasa benar sendiri, wa akhowatuha, itu semua  hanyalah sebuah “rasa” yang sering membelenggu akal sehingga kami tak bisa berpikir sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya, kami terus mengatakan, bahwa berpacaran itu adalah pembodohan belaka dan hanya akan menyibukkan kami pada sesuatu yang sebetulnya tidak penting.

Apakah itu cinta atau nafsu, kami belum bisa membedakan dengan jelas. Kami pun sadar, bahwa nafsu telah memenjara nurani kami yang asali. Kemudian, entah dari ufuk yang mana, kami seperti lahir kembali dari rahim kemurnian. Hingga kami tinggalkan segala bentuk nafsu dalam keyakinan hati. Kami patahkan segala sayap-sayap kami, agar kami tak lagi terbang mencari-cari cinta yang lain. Sebab cinta sebetulnya selalu hadir di setiap mata memandang, di segala pembuluh darah, dan di hati orang-orang yang beriman.

Cinta tak pernah tumbuh di hati orang yang munafik, yakni orang yang membohongi nuraninya. Langkah dan bicaranya orang munafik sesungguhnya mengidap rasa sakit yang akut, sebab nuraninya telah menolak seutuhnya. Orang munafik tidak pernah jujur kepada dirinya sendiri. Apalagi tentang nafsu, orang munafik selalu menganggapnya sebagai cinta. Maka, tenggelamlah orang munafik itu ke dalam “rasa” berkepanjangan yang tak ada ujung dan tepinya.
Telah banyak kami sampaikan pesan demi pesan rahasia, kepada saudara-saudara kami. Telah banyak kami meneriakkan makna kebenaran.

Sungguh. Saksikanlah, telah kami sampaikan, ya Allah. Baik itu secara langsung, pribadi, maupun di layar maya, seperti sms, blog, dan lain sebagainya. Tapi apa imbalannya. Kami malah dikatakan begini, “kau sudah gila dan berpenyakit jiwa rupanya!”, lalu diseretnya kami ke “rumah sakit jiwa”. Ilahi, siapakah sesungguhnya yang sedang berpenyakit jiwa? Di saat orang-orang bersenda gurau, kami sibuk memenuhi rumahNya. Kami disebut-sebut sebagai orang-orang aneh. Ghuroba’, ghuroba’, ghuroba’. Lalu kami teringat akan bagaimana perjuangan Rasul. Tidak sedikit beliau dihina dan dijuluki sebagai orang aneh. Sebab Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula. Melihat tingkah polah terbaliknya zaman, kami merasa asing di zaman ini. Ataukah zaman yang merasa asing dengan keberadaan kami?

Namun percayalah. Kami tak membenci siapa pun. Betapapun jahat tingkah seseorang, ia tetaplah saudara kami. Al-mu’minu akhul mu’min. Kami hanya membenci perilaku yang tidak sesuai dengan syariat. Tidak ada musuh bagi kami, kecuali langkah-langkah setan. Misi kami adalah menyebarkan kebaikan, kedamaian, dan perdamaian di muka bumi. Tetap berprasangka baik kepada siapa saja, sebab setiap manusia pada hakikatnya baik dan berbudi. Kami akan berusaha menjadi rahmat bagi alam semesta.

Dulu, sebelum mengenal filsafat, kami tak mengerti, mana yang patut diperjuangkan dan mana yang harus dibumihanguskan. Tapi, berkat semua pengalaman jejak cerita itulah yang akhirnya membuat kami kokoh pendirian. Kami jadikan jejak cerita yang kelam itu menjadi sebuah pelajaran yang kami pakai di hari ini. Esai filsafat, menurut kami amatlah penting. Sebab, tak selamanya dengan fiksi segalanya dapat terpahami dengan utuh, meskipun fiksi jauh lebih penting dan sederhana karena fiksi juga berangkat dari sesuatu yang nyata. Kami tak perlu memberi contoh satu demi satu yang real di dalam kehidupan, sebab tulisan ini sepenuhnya abstrak. Pun telah nampak dengan begitu nyata dan jelas di sekitar kami. Dan kami pun mengalaminya sendiri. Ah, betapa amat abstrak dan luasnya filsafat. Satu pintu terbuka, di dalamnya terdapat seribu pintu lagi. Dan selalu begitu. Tapi tak apalah kami berdarah-darah dalam pertarungan dan pemikiran filsafat. Pena pun bisa lebih kejam dari pedang bermata buta sekalipun. Sepertinya, kami harus tetap berpikir sendiri dan berpikir panjang. Tak tahu sampai mana titik temu kebenaran ini. Ya Allah, selamatkanlah kami dari lautan kata-kata. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kata-kata kami sendiri.

Wallahu A’lam..
Tuban, 29 Desember 2015

Cerita Antara Orang Gila dan Orang Waras
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Dulu, Demo memang punya tingkah agak aneh di benak Sejo. Ke mana saja pergi, Demo selalu mencari burung yang terkurung dalam sangkar, lalu dibebaskannya burung-burung itu. Dan ia merasa seolah tidak mempunyai kesalahan sedikit pun terhadap perbuatannya itu. Tentu saja orang-orang marah kepadanya. Berkali-kali ia digebuki massa hingga babak belur. Akan tetapi, ia tidak pernah kapok. Ia tetap mencari burung yang terkurung dalam sangkar, lalu berusaha untuk membebaskannya.

Banyak cerita tentang Demo yang diingat Sejo. Pernah suatu ketika Demo masuk penjara gara-gara berkelahi dengan seorang tentara, bahkan nyaris membunuhnya. Ia benar-benar bonyok dihajar tentara itu, sampai hidung belangnya penyok dan giginya rompal. Sejo sendiri tidak tahu persis duduk perkaranya mengapa ia berani melawan tentara. Dia dimasukkan penjara pun tanpa proses peradilan yang jelas. Di dalam penjara, kondisi fisiknya tambah babak belur dihajar oleh para napi lainnya. Kemudian ia dibebaskan begitu saja tanpa keterangan yang jelas.

Begitulah cerita tentang Demo. Sejak tamat sekolah, Sejo jarang bertemu dengannya. Demo tidak balik-balik lagi ke kampung halaman. Jangankan batang hidungnya, kabar tentang dirinya tak seorang pun tahu. Ada yang bilang, ia sudah pergi ke tanah seberang dan tak mungkin kembali lagi ke desa karena ingin melupakan masa lalunya yang kelam. Ada pula yang mengatakan ia sudah mati dikubur dengan identitas tak dikenal, tetapi di mana jasadnya dikuburkan tak seorang pun tahu. Cerita yang lain mengabarkan ia telah menjadi gelandangan dan hidup luntang-lantung. Namun suatu hari, ada yang melihat dia sedang memimpin demonstrasi di tengah kota dan berteriak-teriak lantang menyeru agar para koruptor digantung. Dari sekian banyak cerita itu, Sejo tidak tahu mana yang benar.

Suatu ketika, dua orang sahabat itu ditakdirkan bertemu di sebuah perlintasan jalan. Hari telah ditelan gelap, sementara mega merah telah sepenuhnya menghilang. Jam tangan menunjukkan pukul delapan malam. Kebetulan motor Sejo melaju dengan lambat, sehingga ia mendengar teriakan orang yang menyapanya. Sejo segera mengerem motor vespanya dan menghampiri seseorang yang ada di seberang jalan itu. Di perlintasan jalan Merdeka itu, mereka saling menyapa dan nampak pangkling. Terlihat sangat jelas perbedaan fisik di waktu mereka masih remaja—saat paling asyiknya belajar dan bermain di sekolah menengah atas—dengan saat pertemuan di malam itu.

“Assalamu’alaikum..,” teriak Demo.

“Wa’alaikum salam, wr.wb..,” sahut Sejo.

“Eh, siapa kamu? Demo, bukan?” tanya Sejo sambil mengernyitkan dahi, ia seperti tidak percaya kalau yang ditemuinya itu adalah sahabat lamanya yang telah lama menghilang.

“Hahaha, iya.. Jo. Ternyata kamu masih ingat aku juga,” lelaki itu tersenyum singkat. Seperti ada yang mengalir dari mata Demo. Ia terharu entah karena apa. Dirangkulnya sahabat lamanya itu.
“Sudah lama kita tak jumpa, Kawan. Kamu ke mana saja selama ini? Ayo kita mengobrol dulu. Kamu sekarang tidak sibuk, bukan?” tanya Sejo sambil memegang pundak Demo.

“Haha, ayo kita mengobrol, Jo. Seperti yang kau lihat semenjak dahulu, aku tidak pernah menjadi orang sibuk sepertimu.” Demo tertawa terkekeh-kekeh, mengingatkan kembali masa lampau yang pernah mereka lewati bersama.

Kemudian Sejo segera mengajak temannya yang bernama Demokrasi itu ke sebuah warung terdekat untuk beristirah sejenak sembari bertukar cerita. Sesampainya di warung, Sejo menaruh tasnya, kemudian kembali memperhatikan tubuh sahabatnya yang tampak kurus itu.

“Sepertinya engkau ingin makan, Kawan. Kita makan dulu yuk?” matanya mengerlip, menandakan sebuah kode rayuan.

“Sebenarnya, aku sudah tidak lagi punya keinginan apa-apa, Kawan. Apalagi soal peduli makan atau tidak. Aku hanya makan di saat benar-benar lapar. Itu pun aku ambil dari makanan sisa orang waras, agar tidak menjadi sesuatu yang mubadzir. Sebab, aku tidak bisa rakus seperti orang waras. Sebab, di luar sana, masih banyak saudara kita yang belum makan, sementara orang waras selalu tenang-tenang saja. Tapi demi engkau, Sahabatku. Aku tak bisa menolak tawaranmu.”

Sejo hanya tersenyum mendengar jawaban Demo. Sejenak, Sejo menjadi terhenyak. Waktu dua puluh tahun lamanya telah mengubah sahabatnya itu menjadi orang gila. Ia pun mengelus dada, alangkah malang nasib sahabatnya itu. Lakon apa yang dikerjakannya hingga ia sekarang menjadi orang tak waras seperti ini. Dilihatnya kembali penampilan sahabatnya itu. Pakaian yang lusuh, rambut yang gondrong, kulit yang hampir tertutup oleh tanah. Ia hampir saja tidak mengenali sahabatnya itu. Untung saja ada semacam tahi lalat yang melekat di kening kirinya. Dan, ia masih ingat betul bahwa yang dijumpainya itu adalah sahabat lamanya, Demo. Kemudian Sejo segera memesan dua nasi lodeh, beberapa gorengan, dan dua cangkir kopi panas.

“Ayo, Demo. Makan dulu, tak perlu lah kamu sungkan-sungkan begitu. Aku yang nraktir semua ini,” ajak Sejo.

“Iya, iya, Kawan. Ayo kita makan. Tapi jangan lupakan pesan Pak Kyai dahulu, kita harus baca doa dulu sebelum makan. Allahumma barik lana fi ma rozaqtana wa qina adzaban naar, Aamiin.” Demo mengangkat kedua tangannya, kemudian mengusapkan ke wajahnya. Demi melihat apa yang baru saja terjadi dan mendengar serak suara doa Demo itu, ulu hati Sejo menjadi tersengat. Ia tak menyangka, ternyata ada rasa tulus yang mengalir dari dalam jiwa Demo.

Mereka berdua kemudian makan dengan lahap, sementara udara malam kota Bogor menjadi semakin dingin, menembus sela-sela jendela warung itu. Selesai makan, mereka mengambil tempat ke emperan di depan warung itu. Tak lupa, gorengan dan kopi mereka bawa ke luar juga. Mereka duduk beralaskan tikar sederhana. Warung itu memang buka mulai dari waktu sore, dan tutup sampai menjelang subuh. Dingin memang, tapi cerita, obrolan, dan kopi mampu menukar dingin dengan kehangatan. Begitulah pikir keduanya.

“Ngomong-ngomong kamu sekarang bekerja di mana, Demo?” tanya Sejo mengawali pembicaraan.

“Haha. Kawan, aku tidak pernah bekerja seperti yang menjadi kesibukan orang-orang waras,” jawab Demo sederhana.

“Maksudmu apa, Demo, aku tidak paham sama sekali,” tangan Sejo mendadak menggaruk-garuk kepala.

“Seperti yang kamu ketahui semenjak dulu, orang-orang banyak yang memanggilku sebagai orang gila, bukan?” sahutnya kemudian.

“Betapapun demikian, apa pun cerita orang tentangmu, sampai sekarang aku masih menganggapmu sebagai sahabat yang baik dan tetap yang terbaik, meskipun orang-orang sudah melupakanmu, Kawan,” Sejo menenangkan sahabatnya itu.

“Tapi, jalan kita benar-benar berbeda, Kawan. Kau tumbuh sebagai orang yang bahagia, sabagaimana kebanyakan orang. Tapi diriku...” Demo tak mampu melanjutkan kata-katanya, seperti ada yang menghalang-halanginya untuk berbicara. Demo mengalihkan pandangannya ke sudut ruang yang lain. Sejo melihat dengan jelas, mata Demo hampir saja berair, tapi Demo cukup tangguh untuk menyembunyikan rasa.

Teringat kembali cerita tentang Demo di benak Sejo. Sesungguhnya Demo telah kehilangan kasih sayang sejak kecil, yaitu semenjak ayah dan ibunya cerai. Umurnya saat itu baru enam tahun. Lalu ayahnya kawin lagi, begitu pula ibunya. Ia memiliki dua ayah dan dua ibu, tapi ia tak pernah nyaman bersama mereka. Dihabiskannya hidupnya di jalanan. Ia bagai anak terbuang yang kehilangan induk.

“Mengapa kamu sekarang menjadi seperti ini, Demo?” tanya sahabatnya itu.

“Dan, mengapa kamu juga sekarang menjadi seperti ini, Sejo?” timpal Demo kemudian. Lalu ia tertawa. Tawa yang akhirnya membuat Sejo mau tidak mau ikut tertawa juga.

“Kawan, izinkanlah aku menjelaskan semuanya,” lanjut Demo. Ekspresi Demo mendadak serius. Anehnya, Sejo pun mengikuti jejak mimik Demo yang serius itu. “Entah kenapa, orang-orang memanggilku sebagai orang gila. Tapi itu bukan menjadi soal bagiku. Orang mau menyebut apa tentangku, aku pasti terima. Bagiku, itu semua tidaklah penting. Tenang saja, Kawan. Pun orang gila tidak akan pernah bisa marah. Mungkin, ia hanya bisa tersenyum, menangis, atau tertawa. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Biarlah aku menjadi orang gila. Tapi setidaknya, orang gila itu tak perlu bersedih, merasa sakit hati, berburuk sangka, apalagi memendam dendam. Mereka selalu bersenang hati. Tak apalah kau panggil aku dengan sebutan orang gila. Tapi lihatlah dahulu, setidaknya orang gila tidak pernah menyombongkan diri. Lagi pula, apa yang musti disombongkan? Harta tak punya, jabatan tak punya, rumah, mobil, atau bahkan dirinya sendiri pun tak punya. Ia tak berhak memilki otak, sebab ia telah lama kehilangan pikiran. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Orang gila tidak akan pernah menuruti keinginan dan nafsu, seperti yang orang waras kerjakan. Hati mereka merdeka dari segala hal yang membelenggu. Terkadang, mereka kasihan kepada orang waras yang terpenjara oleh gemerlapnya gambar yang nisbi. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Orang gila tidak pernah terlena oleh kesenangan yang bersifat khayalan. Orang gila memandang dunia ini tak ada nilainya. Mereka memandang manusia dan alam raya hanyalah sebagai bayangan semata. Sebuah bayangan bukanlah merupakan wujud yang asli. Ia nampak, namun hakikatnya tidak ada. Dengan demikian, wanita, harta, dan jabatan hanyalah bayangan di mata orang gila. Itulah sebabnya, orang gila tak pernah tertarik dengan itu semua. Bayangan tidak mungkin ada. Maka mereka tak hendak menuntut apa-apa dari dunia dan segala keinginannya. Sebab, bayangan tetaplah sebagai sebuah bayangan. Bayangan tidak mungkin menjadi tempat tujuan, ia hanya sarana untuk mengejewantahkan eksistensinya yang sesungguhnya. Sementara, yang menjadi tujuan hanyalah yang Maha Asli dan Ada, yang bukan bayangan, yang tak akan lekang oleh masa. Orang gila tidaklah pintar. Dan ia tak mengerti jalan pikiran orang waras. Kawan, tentu kau masih ingat tutur Pak Kyai dahulu kala, bahwa agama Islam ini lahir dengan aneh, dan akan kembali dalam keadaan aneh pula. Dulu, Nabi dianggap sebagai orang gila tapi tak pernah marah, malah ia membesuk dan mendoakan orang yang sering menghujani dengan batu dan air ludah. Kau masih ingat, bukan?” begitulah panjang lebar Demo menjelaskan perihal pemikiranya. Suara Demo hangat, menghangatkan angin yang berhembus di malam itu.

“Haha, benar juga kau, Sahabatku. Tapi apa kau tidak tahu, orang gila itu tidak menikah lho, tapi Nabi tetap menikah, bahkan mempunyai empat istri. Beliau juga bekerja, makan, dan mengurus umatnya. Lelaki yang belum menikah, hidupnya adalah sebuah komedi. Bila telat menikah, tingkat kekomediannya semakin lucu, membuat orang yang melihatnya tertawa antara rasa kasihan, curiga, sekaligus kutukan. Tapi lelaki yang menikah hanya menghadapi satu pilihan sandiwara kehidupan yang ujungnya adalah: "tragedi." Dan hanya sang pemberani yang siap menghadapi resiko tragedi itu,” sindir Sejo.

“Kalau menjadi orang waras sangatlah mudah, maka untuk apa memaksakan diri menjadi orang gila?” lanjut Sejo, matanya menatap tepat di retina Demo.

“Jujur, Kawan. Aku sama sekali tidak ingin memaksa diriku untuk menjadi orang gila, tapi alamlah yang mengajariku, agar tidak mengambil jalan orang-orang waras. Kegilaan bagiku sewaktu-waktu diperlukan dalam hidup seseorang, sebab kegilaan adalah langkah pertama menuju sikap untuk tidak mementingkan diri sendiri. Katakanlah aku ini orang gila, biar tersingkap segala misteri apa sebetulnya yang ada di balik selubung kesehatan jiwa. Tujuan hidup ini adalah untuk membawa kita lebih dekat lagi kepada segala "rahasia" itu. Ya segala rahasia itu, dan kegilaan menurutku adalah satu-satunya jalan. Sesungguhnya satu-satunya orang gila di tengah-tengah orang pada zaman gila ini maka dialah satu-satunya orang waras. Ketahuilah, Kawan, bahwa kebenaran telah lama menghilang, bersama menghilangnya kesadaaran, cinta telah lama mati bersama matinya hati nurani. Itulah sebabnya, aku ingin menghidupkan cinta yang telah lama terkubur di zaman yang kian menjarah nurani dan kesadaran ini. Kiamat kesadaran telah terjadi, Kawan. Kapan kiamat yang sesungguhnya itu terjadi?” sorot matanya tajam, menembus segala sekat-sekat gelap yang mencoba menghalangi jalan pikirannya.

“Aku sendiri tak tahu, Kawan. Hal itu sudah menjadi privasi Allah. Hanya Ia yang tahu.” Ucap Sejo.

“Terimakasih, Kawan. Engkau telah kembali mengingatkanku. Dulu pernah kucoba memberi arti, arti dari segala apa yang kurasakan di dalam hatiku, tapi aku takut mengartikan semua itu, karena aku tahu siapa diriku. Sekarang setelah aku jauh dari Allah, ada rasa rindu di sudut hatiku, rindu yang telah memberi arti, bahwa aku ternyata sangat mencintaiNya,” suara Demo parau. Kembali ia hampir meneteskan air matanya. Tapi ia selalu pandai mengusir air mata itu kembali ke dalam kelopak matanya.

“Bersabarlah dengan cinta, Kawan. Lebih baik kita yang kecewa dan terluka daripada mengecewakan atau melukai. Belajarlah dari kecewa untuk tidak mengecewakan Allah dan belajarlah dari rasa sakit untuk tidak menyakiti Allah. Mungkin, salah satu cara untuk sedikit mengurangi kekecewaan dan ketersakitan adalah dengan menyadari bahwa perasaan kecewa dan luka itu ternyata memang selalu ada.” begitu Sejo bertutur.

“Benar katamu, Kawan. Itulah sebabnya, aku ingin mencintai segala sesuatu dengan sederhana,” tegas Demo.

“Haa, memang benar itu, Kawan. Segala sesuatu harus kita cintai dengan sederhana dan ala kadarnya, baik cinta kepada lawan jenis, kepada saudara, tanah air, makhluk, dan lain sebagainya. Sebab cinta yang berlebihan terkadang justru menjadi bumerang. Tapi tidak cinta kepada Tuhan. Hanya dengan cinta yang melebihi segala sesuatu yang ada di dunia, maka persembahan cinta itu akan sampai. Tidakkah kau perhatikan bagaimana sejarah nabi Ibrahim, Musa dan Ayub dalam mencintai Tuhannya? Hanya dengan cinta luar biasa dan dengan cara yang luar biasa pula Ibrahim tak terbakar api, Musa dapat membelah laut, dan Ayub dapat mempertahankan keimanannya dari cobaan penderitaan yang mahaberat. Hanya cinta luar biasa yang telah teruji oleh hempasan zaman, dan itu tidaklah bisa dilakukan dengan kesederhanaan lagi, melainkan harus dengan cara di atas rata-rata, sebab Tuhan adalah kualitas tertinggi dari cinta,” kilah Sejo.

“Kawan, sekarang aku mengerti maksudmu. Semenjak kita berpisah, kita jarang mengobrol bersama. Maka persilakan daku bercerita. Jika kau tahu, aku telah lama mempelajari sastra. Kuarungi samudera yang mahaluas, kudaki gunung yang menjulang tinggi, kulewati jalan yang terjal penuh duri, demi mendapatkan esensi dari sastra itu. Tapi apa yang kudapat sekarang, aku malah dianggap orang gila, tak ada yang kudapatkan dari perjalanan sejauh ini, sia-sialah teaterku selama ini,” wajah Demo menunduk, sementara tangannya mengepal.

“Sastra memang membingungkan, Kawan. Satu kata saja dapat dipermainkan menjadi bermilyar makna dan tafsiran. Inilah yang sering terjadi di kancah kesusastraan manapun. Aku memahami betul, Kawan, karena aku dulu juga pernah bergelut di dalamnya. Ini pula yang membuat aku enggan bersastra, sebab kepastian tertinggi hanyalah omong kosong, kenisbian, dan kenihilan. Ini pulalah yang menjadikan aku—saat ini—orang sains dan orang waras. Dunia matematika memberi ruang kebenaran yang nyata dan real di dalam kehidupan, meskipun harus kutebus dengan penderitaan sakit kepala. Mungkin orang gila tak pernah merasakan betapa sakitnya berpikir, namun suatu saat ia akan menderita sakit yang berada di atas segala ketersakitan. Sakit itu adalah sakit hati. Dan, obatnya pun amatlah jarang ditemukan di jalan-jalan.” begitulah, kata-kata Sejo membujuk sahabatnya itu, agar ia kembali ke jalan orang-orang waras. Ia masih melanjutkan nasihatnya.

“Demo, bangunlah dari mimpi dunia hayalanmu, bergegaslah, sebab ini saat ini kita ada di dunia nyata. Imajinasi memang sangatlah penting, tapi lebih penting lagi adalah berpikir dengan logika. Orang akan percaya kepada hal-hal yang terbukti. Lihatlah, penyair hanya memohon agar kepalanya bisa menyentuh atap langit. Namun pemikir berusaha agar segala isi langit dapat masuk ke dalam kepalanya. Dan sakitlah kepalanya. Kau harus mengerti itu, Kawan. Hahaha...” sekarang ganti Sejo yang tertawa terbahak-bahak.

“Di atas orang waras selalu ada orang yang lebih waras, Kawan. Maka jangan pernah menganggap dirimu paling waras. Sesungguhnya orang yang lebih waras itu adalah orang gila. Hahaha.. ” Demo tak mau kalah berdebat. Ia meneruskan kata-katanya. “Tak apalah engkau mengejek dan mengatakan bahwa orang gila adalah orang yang paling tidak mengerti. Bahkan, orang gila tak hendak menuntut apa-apa dari penghinaan dan kekejaman orang waras. Kegilaan sebetulnya hanyalah sebuah humor. Kebenaran tanpa humor sifatnya meragukan. Humor sebenarnya juga merupakan cerminan dari sesuatu yang serius. Jika kau mengerti, Kawan. Orang gila tak pernah berhenti mencari Kekasih. Meski ada banyak yang ingin membunuh kegilaannya lewat nasihat atau pengalaman ruhani orang lain, ia akan tetap bersikukuh untuk memilih gila selamanya. Adapun orang yang telah sembuh dari kegilaannya karena petunjuk orang lain, berarti ia tidak menepati janji dan ikrar orang gila, sebagaimana adat yang orang gila jalani. Orang gila tak akan pernah sembuh dari kegilaan, sebab ia telah melihat, betapa Kekasih tetap akan lebih Indah dari apapun dan siapapun dan ia selalu terbuai dengan pesona-Nya,” Demo tesenyum, ia merasa telah memenangkan perdebatan.

“Kawan, seseorang tidak akan pernah mengerti kepada sesuatu yang seharusnya dimengerti apabila ia sendiri belum sampai kepada pemahaman tentang makna pengertian itu sendiri, sebagaimana orang tahu, bahwa pendidikan itu penting, maka seseorang harus sekolah biar tahu bahwa sekolah itu sebetulnya tidak penting. Tapi untuk tahu bahwa sekolah itu tidak penting maka seseorang harus tetap sekolah. Hehe, tentu perkataan orang waras ini sulit dimengerti orang gila. Tapi tak apalah, kau dengarkan dulu aku bicara. Kawan, ternyata dunia memang sudah terbalik. Saat ini, orang waras banyak yang menjadi orang gila dan orang gila merasa dirinya waras. Yang berbahaya adalah orang waras yang mengaku dirinya waras padahal ia sebetulnya benar-benar telah gila! Atau orang gila yang berpura-pura gila padahal sebetulnya ia benar-benar telah gila. Sungguh antara waras dan gila saat ini sulit dibedakan, bahkan membingungkan! Siapakah sebenarnya yang benar-benar gila atau yang benar-benar waras, kau atau aku?” wajah Sejo menjadi tampak kebingungan. Tapi entah kebingungan benar atau bukan, Demo tak tahu.
“Kawan, mengapa sekarang orang yang benar malah dianggap sebagai orang tak waras? Atau jangan-jangan mereka yang menganggap itulah yang sedang stress, gila, dan berpenyakit jiwa!” nafas Demo mendadak menjadi tidak beraturan. Namun ia tetap melanjutkan pembicaraannya itu.
“Kawan, bila engkau ragu dengan kewarasanmu dan merasa tidak nyaman menjadi orang waras, maka bergabunglah bersama orang-orang gila seprtiku. Orang gila itu hidup merdeka, bebas dari tuntutan hukum dan mereka tidak wajib menjalankan adat kewarasan,” demikian lanjut Demo.

“Hehe, sepertinya jika kita lanjutkan pembicaraan ini, maka sudah barang tentu tidak akan pernah ada ujungnya. Ya, kini terserah kita masing-masing, Kawan. Aku memilih jalan orang waras, sementara engkau memilih jalan orang gila. Tak apalah, yang penting kita punya pemikiran dan dasar masing-masing.  Lihatlah, hari telah berganti, sementara subuh sebentar lagi tiba. Kita akhiri saja ya pembicaraan ini,” Sejo berpendapat.
“Haha, ternyata orang waras sudah lelah dan mengantuk rupanya. Ya sudahlah, orang gila mengakhiri celoteh dulu, libur menggila, sebab takut kata-katnya tidak dipahami atau disalahmengerti oleh orang waras. Orang gila juga mau berhenti gejekan karena imajinasi liar kadang bisa keluar dari kontek wahyu, padahal wahyu itu sendiri sebetulnya ada dalam maha wahyu. Maklumlah namanya juga orang gila. Kawan, maafkanlah atas ketidakwarasanku, sebab aku manusia lemah, bodoh dan dhoif yang kadang masih tergoda untuk melucu tapi ternyata tidak lucu,” Demo tersenyum pada Sahabatnya itu.
“Kawan, dalam hidup ini harus ada perdebatan, harus ada tukar pikiran, supaya jalan menuju kebenaran tambah lempang, agar pisau terasah dan tambah tajam. Jangan takut dengan perbedaan, apalagi kalau cuma dijelek-jelekkan. Kejelekan akan semakin menunjukkan di sana ada kebaikan,” tangan Sejo merangkul pundak Demo. “Terimakasih ya, kau mau menemani kekosonganku di malam ini, apa kau mau menginap dulu di rumahku?” Sejo kembali merayu sahabatnya itu.

“Aku yang seharusnya berterimakasih kepadamu, Kawan. Kau telah membelikan aku makanan gratis dan halal. Tidak, Kawan. Tidak enak nanti bila ada orang gila yang masuk ke rumahmu, nanti malah menakut-nakuti anak dan istrimu. Biarlah aku melanjutkan perjalananku ini. Ah, pencarian ini seperti tak akan pernah ada titik habisnya, Kawan,” tutur Demo.

“Hehe, ya sudahlah, Demo. Sebentar ya,” Sejo merapikan cangkir dan piring, kemudian memasukkannya ke dalam warung. Ia yang membayar biaya makan dan minum pada malam hari itu.

“Hmm, pesanku sebelum kita berpisah, Demo. Kamu harus tetap menjaga diri, sebab di sekitar sini banyak polisi yang berkeliling, bisa-bisa nanti kamu ditangkap lagi, hehehe,” di akhir perjumpaan Sejo menyempatkan bergurau kembali.

“Ah, tak perlu kau khawatir soal itu, Kawan. Aku sudah terbiasa beratapkan langit dan beralaskan bumi Allah yang maha Akbar ini. Biarlah Allah yang menjadi pelindungku, Kawan.” Demo memegang tangan Sejo, lama sekali. Sebenarnya ada yang ingin ia sampaikan, tapi ia tak sanggup. Dan untuk yang terakhir kali ini, Sejo melihat mata Demo berair.

“Tenangkan dirimu, Kawan. Yakinlah, doaku akan senantaisa menyertaimu. Kita selamanya berteman, bukan? Janji ya, sehidup semati! Kutunggu engkau, Kawan, di hari esok yang lebih panjang dan kekal adanya,” air mata Sejo pun ikut meleleh.

“Sekali lagi terima kasih, Kawan. Hanya engkau teman yang paling baik di mataku. Hanya engkau yang mengerti bahasa dan rasaku. Aku akan menepati janji itu, Kawan. Seperti yang menjadi namaku, Demonstrasi, aku tak akan pernah berhenti meneriakkan dengan lantang makna cinta dan kebenaran itu. Aku janji, Kawan. Kita pasti akan bertemu lagi, esok, di hari yang lebih cerah..,” Demo pun tersenyum.
Sebuah pertemuan singkat yang bermakna. Kedua sahabat itu bersalaman, mengucap salam, dan kemudian berpisah. Sejo segera berlalu dengan motor vespanya. Sementara itu, Demo berjalan dengan kaki telanjang, menembus pekat malam yang membeku. Keduanya berusaha mencari dan mengumpulkan cahaya di sepanjang perjalanan, agar tidak buta peta dan tujuan yang menjadi pijakannya masing-masing. Ada tak hingga cara untuk menuju suatu titik. Meski jalan mereka berbeda, tapi keduanya punya tujuan yang sama, yakni titik kebenaran. Kebenaran yang dirindukan oleh keduanya ibarat kekasih adanya. Kebenaran yang hari ini telah dilupakan oleh kebanyakan orang.

Malang, 29 Nopember 2015
Teka-teki Kehidupan
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Ada banyak teka-teki kehidupan yang mesti kita pikirkan melalui perenungan yang—boleh jadi—beda dengan pemikiran kebanyakan manusia. Kita dapat dengan jelas melihat, bahwa langit tak perlu menjelaskan dirinya tinggi. Ia akan tetap tinggi, bahkan ketika tidak ada yang mengakuinya.

Kemudian, banyak orang memahami bahwa air itu mengalir ke bawah, namun sesungguhnya ia sedang menuju puncak yang tertinggi. Lalu, di pusat panas yang sangat panas justru di situ ada titik dingin paling dingin. Ini juga sebuah permainan yang kadang sulit kita pahami, tapi benar adanya karena ia telah mengada dalam keberadaannya. Kau tahu mengapa hal ini—agaknya—begitu rumit? Sebab, sebenarnya tidak ada bedanya antara lapar dan haus, panas atau dingin, duka atau bahagia. Semua hanyalah rasa. Kitalah yang sesunggunya menciptakan rasa. Ada yang berkata kalau sehat dan sakit berawal dari rasa. Mungkin benar, sebab kebanyakan unsur dari anggota tubuh manusia adalah air. Sementara kita tahu, bahwa air adalah senyawa yang sifatnya mudah berubah.

Dalam memahami keabadian, banyak orang yang berbeda pendapat. Sepanjang yang saya pahami,bahwa tidak semua manusia kelak akan mencapai keabadian. Untuk menjadi abadi dan kekal memerlukan proses pematangan yang sangat panjang, sebagaimana proses evolusi logam. Dan tidak semua logam akan menjadi emas, itulah sebabnya Surga dan Neraka bertingkat-tingkat. Hanya logam mulia yang akan mencapai kemuliaan tertinggi dan kekekalan.

Mungkin itu pulalah sebabnya emas menjadi logam yang tunggal. Jika suatu logam dipanaskan selama beberapa tahun, ia akan membebaskan diri dari semua sifat individualnya, dan yang tertinggal adalah jiwa buana. Jiwa buana itu memungkinkan mereka memahami segala sesuatu di muka bumi, sebab dengan bahasa inilah segala sesuatu berkomunikasi. Segala yang ada di dunia ini berubah tanpa henti kerena bumi ini hidup dan mempunyai jiwa. Kita adalah bagian dari jiwa itu, maka kita jarang menyadari bahwa ia bekerja untuk kita. Semua yang ada di alam semesta ini tumbuh, dan bagi orang-orang bijak emas adalah logam yang paling lama tumbuhnya. Manusia tak pernah memahami kata-kata orang bijak, maka emas bukan dilihat sebagai simbol evolusi malah menjadi dasar pertentangan.

Semakin kita banyak belajar, kita bukannya pintar malah akan bertambah bodoh. Buktinya banyak profesor berkepala botak dan berkacamata tebal malah tampak seperti orang linglung, dia kadang tidak bisa membedakan lagi mana manusia, mana bantal guling. Mana kacamata, mana sendok teh. Keduanya sama-sama dipakai untuk mengaduk kopi, hahaha! Makanya aku sekarang ingin menjadi orang yang sederhana saja. Tidak terlalu pintar tapi juga jangan bodoh amat, hehe. Tapi kalau bodoh amat dan ternyata malah selamat ya tidak apa-apa.

Tolong kata-kata dari saya jangan ditelan mentah-mentah. Ambil yang benar, buang yang salah dan buang semuanya kalau memang salah atau tidak ada gunanya sama sekali karena tidak sesuai dengan pemikiran kebanyakan manusia. Anggap saja ini tulisan main-main atau bagian dari keliaran imaji saya sendiri yang sedang mencari titik temu kebenaran. Mungkin saja titik temu kebenaran itu tidak ketemu: karenanya saya harus balik ulang atau justru masuk jurang. Tapi saya mau tidak mau harus bangkit dan tetap berjalan menuju kebenaran yang hakiki itu walau harus dengan langkah berdarah-darah akibat dari kemungkinan salah langkah. Yang jelas semuanya saya dapatkan hasil dari pengalaman dan permenungan setelah mengarungi hidup, mengamati kehidupan atau peristiwa alam, membaca buku, dll. Dan setiap orang pasti memiliki “maqom”nya masing-masing yang tidak sama dengan orang lain.

Malang, 26 Maret 2015

Hidup Penuh Sandiwara
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Hidup hanyalah sandiwara belaka. Dunia tak ubahnya panggung teater. Jika kau berkenan untuk melihatnya, maka akan kau dapatkan di sana orang-orangnya yang sedang bersandiwara dengan segala tingkah humornya. Maka akan menjadi sangat keblinger, orang yang terlalu mengambil hati dan menganggap serius dari setiap penggal sajak peristiwa kehidupan.

Sadarilah, bahwa yang menciptakan kegelapan hanyalah prasangka demi prasangka buruk. Kehidupan dengan segala perputarannya di zaman sekarang ini, tak seburuk yang kau sangka. Sebab kau bukan Allah, dan semua bukanlah urusanmu yang akhirnya membuatmu risau. Malah sebaiknya, kau harus waspada kepada dirimu sendiri, kepada prasangka-prasangkamu sendiri. Atau jangan-jangan, kau tak pernah gelisah pada dirimu sendiri.

Sebagai catatan, kalau boleh meminjam kata-kata Cak Dian DJ, "jangan terlalu ideal, Nak. Bisa jadi, kenyataan yang akan menghianatimu." Jadilah engkau, sebagai orang yang tidak peka. Sebagai orang yang tidak pernah serius. Atau minimal, berpura-puralah menjadi orang yang tidak peka dan tidak pernah serius. Beruntunglah mereka yang tidak peka ataupun tidak serius. Sebab mereka tak perlu lagi merasa sakit hati jika dicela ataupun dikhianati, karena memandang orang-orang di Bumi yang selalu bercanda. Mereka akan selalu bahagia, ceria, dan riang. Buang saja puisi-puisimu yang bernada mengutuk keadaan. Hidup ini terlalu berat kalau dipenuhi dengan kesedihan dan sakit hati. Bersandiwara dan berhumorlah agar hidupmu menjadi ringan.

Siapapun engkau, jadi apapun engkau, jadilah sebagai orang yang merasa menjadi orang biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, juga berperilaku biasa. Jadilah engkau manusia yang merasa sangat-sangat biasa di hadapan semua saja---yang tak suka menerima pujian. Jadilah engkau sebagai orang yang berpura-pura menjadi orang polos, sebagai orang yang merasa tidak mengetahui apa-apa, agar engkau terbebas dari segala bentuk peng-Aku-an. Sebab segala bukanlah milikmu.

Kata sebuah lagu, kira-kira begini liriknya, "mari menyusun bunga Seroja, hiasan sanggul putri remaja. Rupa nan elok janganlah dimanja. Pujalah ia sekedar saja. Mengapa kau bermenung, berhati bingung. Janganlah engkau percaya pada asmara. Sekarang bukan lagi zaman bermenung."

Janganlah engkau tertipu oleh rasa. Sebab cinta yang hakiki telah lama mati bersama matinya hati nurani. Orang-orang telah melupakan cinta yang hakiki. Yang tersisa hanyalah cinta yang palsu. Asmara. Betapa cengeng nampaknya. Mestikah seseorang sibuk dengan soal urusan cinta setiap hari, padahal ada banyak hal lain yang mesti diselesaikan dalam hidup ini. Perbarui langkahmu. Jangan lagi percaya pada asmara.

Hidup hanyalah permainan. Jika kau tak bisa memainkannya dengan benar, maka kau akan dipermainkan. Dan pada akhirnya, engkau akan disebut sebagai orang-orang kalah. Bumi hanyalah rumah mimpi. Sampai pagi bernama ajal yang akan membangunkamnu. Bumi adalah sekolah gratis untuk semua. Sebuah universitas yang segaja disediakan kepada semua makhluk Allah. Segala tempat dan peristiwa di Bumi selalu dapat memberikan pelajaran. Maka belajarlah engkau yang rajin di sana.

Bahkan tak hanya Bumi, alam semesta raya dan seluruh isinya, baik yang kasat mata maupun yang gaib ini adalah ayat-ayat kauniyah atau tanda-tanda keagungan Allah. Maha Pencipta Segala. Manusia dengan segala perilakunya di muka Bumi ini adalah bekerja, bukan menunda kekalahan, apalagi menimbun hayalan dan asmara. Bukan. Tinggal mereka bekerja untuk di dunia saja, ataukah bekerja untuk keabadian. Sudahkah kita mengerti bagaimana cara menginjak bumi yg benar?

Tuban, di pagi hari yang merambat siang.
Em Ef,  16.06.’16

Apa Kabar Islam Kita?
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

“Sudah berapa kali Anda belajar, tetapi tidak pernah mengamalkan? Lipatlah pustaka ilmu, lalu sibuklah dengan pustaka amal disertai hati yang ikhlas. Jika tidak, pencarianmu pada ilmu tidak akan menguntungkan sama sekali.” Begitulah kira-kira Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, mengingatkan alfa, beta, kelupaan kita dari hari ke hari namun belum kunjung juga kita mengerti.

Kemudian dalam kitab Al-Hikam, karya Ibnu Athaillah As-Sakandary, dijelaskan bahwa, “man ‘amila bi ma ‘alima, warotsahullohu ‘ilma ma lam ya’lam.” Artinya kira-kira begini, “barang siapa yang mengamalkan ilmu—walaupun itu sedikit—yang ia tahu, maka Allah akan menganugerahkan ilmu yang belum pernah diketahuinya.”

“Percayalah dan beramallah dahulu, maka engkau akan mengetahui rahasia-rahasia. Bila kau tak percaya, maka selamanya kau tak akan pernah mengetahui. Bukankah tujuan sejati dari perjalanan Kehidupan adalah agar kita semakin dekat dengan segala rahasia itu?” Kata Imam Al-Syahrastani dalam salah satu kitabnya.

Setiap manusia yang beriman—dalam perjalanannya—selalu mencari pengetahuan dan kebenaran yang mengantarkannya menuju pemahaman baru di setiap harinya. Berbagai kata mutiara indah di atas memberi sedikit gambaran tentang bagaimana adab atau tata krama seseorang yang memiliki ilmu. Bila seseorang hanya sibuk untuk mencari ilmu saja tanpa mengamalkannya—hingga mungkin akhirnya lupa, berarti ia telah berdosa pada Allah SWT melalui perbuatannya (yang tidak disertai dengan ilmu). Ilmu akan lenyap dengan begitu saja jika tak pernah diamalkan. Untuk dapat menjaga ilmu di dalam hati dan perilaku, maka hanya ada satu jalan, yaitu mengamalkan.

Malulah kepada Allah Azza waJalla dalam seluruh perilaku, dan mulailah beramal dari detik ini juga. Janganlah membuat kegelapan dan kekotoran pada ilmu—yang konon katanya adalah sebagai cahaya penerang di sepanjang jalan—dengan suatu amal yang menipu, jangan pula mengikuti kemuliaan dengan kehinaan. Sibukkanlah diri dengan beramal kepada Allah Azza waJalla.

Tinggalkan memburu pada selainnya, sebab apa yang sebetulnya dibutuhkan seseorang hanyalah Allah Azza waJalla. Pun hanya dengan beramallah, derajat seseorang akan dapat meningkat di hadapan Allah Azza waJalla.

Di kehidupan ini, harus ada keseimbangan antara olah zikir, olah fikir, dan olah fisik. Begitu pula, harus ada keseimbangan antara amal lahiriyah dengan amal bathiniyah. Perjalanan seorang Muslim adalah dimulai dari tangga syari’at, lalu thoriqah, kemudian hakikat, dan yang paling tinggi adalah alam ma’rifat. Seperti halnya ketika seseorang akan menuju suatu tempat yang tinggi, maka yang harus dilkaukan adalah melewati tangga demi tangga maqam / derajat. Orang yang telah menempuh segala perjalanan dan telah sampai pada Rabbnya, mulai dari syari’at sampai ma’rifat disebut Insan Kamil.

Di dalam kitab al-Hikam dijelaskan, “syari’at tanpa hakikat adalah kosong (hampa), sementara hakikat tanpa syari’at adalah dusta.” Maka belumlah patas seseorang disebut insan Kamil jika salah satu dari kedua hal tersebut tidak ada. Atau kira-kira dapat diumpamakan perjalanan seorang pencari mutiara yang ada di dasar lautan. Maka yang disebut syari’at adalah perahu yang dapat mengantarkannya ke tengah lautan. Kemudian air laut sebagai thoriqah atau jalannya, lalu hakikat adalah mutiara yang terpendam di dasar lautan.
Setiap manusia di muka bumi ini memiliki maqam—dalam hal ini: derajat di hadapan Allah—yang berbeda-beda. Mulai dari manusia yang paling dibenci sampai manusia yang paling disayang oleh Allah. Orang yang munafik mengikuti perintah Allah Azza waJalla dan RasulNya hanya sebatas formalitas di depan khalayak manusia belaka, tidak sampai menyentuh pada makna dan inti yang sesungguhnya, berarti lahir batinnya telah dusta. Sebagaimana ahli maksiat hina dalam dirinya, pendusta juga hina dalam dirinya.

Namun demikian, seseorang sebenarnya tidak boleh terlalu berhasrat untuk mendapatkan “tempat” yang paling tinggi di hadapanNya.

Karena hal yang demikian masih terselubungi oleh sebuah penyakit bernama nafsu. Ia sebetulnya tersiksa, sebab hawa nafsu masih melilit segala gerak dan perilakunya dan menjadi bagian dari diri; melangkah karena hawa nafsu, dan semuanya karena hawa nafsu. Akhirnya seluruh perbuatannya terselubung oleh hawa nafsu.

Tentu saja, kebanyakan manusia akan lebih tertarik mengamati hal-hal yang nyata daripada hal-hal yang abstrak. Padahal jika saja seseorang mengetahui bahwa yang berhak “wujud” hanyalah Allah Yang Maha Ada, sementara semua makhluknya hakikatnya tidak ada, karena tidak berhak memiliki sifat “wujud” dan semuanya akan fana (sirna). Terbuktilah bahwa sesungguhnya yang diamati oleh kebanyakan orang sehari-hari (dunia dan seisinya) adalah suatu gambar yang abstrak adanya.

Apabila seseorang terlalu banyak melakukan dosa, maka ia akan terjebak oleh gambar-gambar yang sesungguhnya tidak nyata dan tertutuplah mata hatinya dari hal-hal yang hakiki; yang sebenarnya ada. Sebaliknya para kekasih Allah yang lembut dan bersih hatinya, mereka selalu melihat hal yang hakiki dan nyata adanya. Menikmati diri selalu bersama Allah menjadi momen yang paling berharga bagi para kekasihNya. Dan mereka berkata, “Masihkah orang-orang tak juga percaya akan adanya hal-hal yang hakiki?”

Bila seseorang hanya mementingkan amal lahiriyah belaka, sungguh ia telah meremehkan sebuah amal bathiniyah untuk mengenal lebih dekat dengan Allah Azza waJalla. Salah satu amal bathiniyah yang tidak melahirkan penyakit hati—berupa riya’—hanyalah zikir di dalam hati.

Dengan berdzikir, maka seseorang yang lain tidak tahu tentang apa yang sebetunya dilakukan olehnya. Dalam hadits Qudsy disebutkan: “Siapa yang sibuk dengan dzikir padaKu dibanding meminta padaKu, Aku memberinya lebih utama ketimbang yang Kuberikan kepada para peminta.”
“Ya Allah ingatkanlah selalu kami dari kealpaan orang-orang yang lalai. Amiin.” Begitulah do’a para sufi yang senantiasa mereka panjatkan. Karena bagi mereka, jika saja lalai mengingatNya dalam satu detik sekalipun, berarti ia telah berdosa. Dzikir lisan saja tanpa hati, tidak ada kemuliaan sama sekali. Dzikir yang sesungguhnya itu harus disertai dengan dzikir hati dan rahasia hati, baru muncul dzikir lisan. Maka benarlah dzikirnya Allah Azza waJalla, “Ingatlah selalu kepadaKu maka Aku akan senantiasa mengingatmu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kufur padaKu.” (Al-Baqarah: 152).

Ingatlah, bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini kelak akan sirna, dan ketika waktu itu telah sampai pada batasnya, maka Malaikat Maut akan datang menjemputnya, mencopot hidupnya dari tempat singgah dunia yang sementara, memisahkan dirinya dari keluarga dan orang-orang yang dicintai. Berusahalah, dan berbekallah dengan ‘amal yang banyak dan disertai dengan ‘ilmu, agar tidak mati dalam keadaan dibenci oleh Allah Azza waJalla. Siapkan langkah ke akhirat, tunggulah kematian, karena seseorang nanti akan melihat di sisi Allah Azza waJalla sesuatu yang lebih baik dibanding semua yang dilihat di dunia ini.

“Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Dan lindungilah kami dari pedihnya siksa neraka.”

Malang, 30 April 2015

Cerita Tentang Manusia
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[Orang-orang yang tidak penah belajar sastra, entah itu para politikus, saintis, bisnissman, para pejabat, polisi, pegawai, tentara, atau orang-orang lain yang mengaku dirinya waras, mereka tak akan pernah memahami ucapan dan jalan pemikiran para pengarang. Para pengarang adalah guru kehidupan yang jalan pikirannya tidak dimengerti oleh kebanyakan orang di zaman yang sekarat seperti ini. Sayang, ajaran mereka tidak menjadi bahan bacaan wajib siswa di sekolah. Adalah termasuk pengarang yaitu para nabi, wali, ulama, dan  sastrawan islami. Karya mereka berupa kitab-kitab, kisah-kisah bijak, nasihat, puisi, dan cerpen islami, mampu menerangi jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia].—Em Ef.

Kawan. Engkaulah sahabat jiwaku. Teman di saat aku bimbang di persimpangan waktu. Tempat aku bersandar di saat aku telah lelah menanggapi segala persoalan dunia yang memilukan dan tidak penting itu. Untuk itu, izinkanlah aku bercerita kepadamu, Kawan. Hanya kamu yang bisa memahamiku kata-kataku selama ini. Hehehe, jangan pernah menganggap aku serius lagi ya! Anggap saja tulisanku ini hanya gombal semata.
Kau kan sudah tau, bahwa aku ini orangnya sangat ceria, periang, dan tidak suka serius. Aku selalu menganggap segala persoalan yang datang sebagai suatu humor yang ingin mengajakku bercanda. Ya, mereka semua selalu bercanda dengan segala teater dan aktingnya. Sementara aku hanya bisa tersenyum dan tertawa menonton adegan-adegan mereka yang lucu itu. Tak pernah ada ceritanya dan tak pernah ada kamusnya kalau saya ini adalah orang yang serius, segalanya hanyalah lawakan dan guyonan. Sepanjang perjalanan ini begitu melelahkan, sehingga barangkali setiap orang butuh metode untuk menertawakannya. Kisah tentang manusia sangat naif, dungu, dan serius, sehingga kita harus pandai-pandai menertawakannya. Cerita tentang persoalan dunia ini pun sangat menggelikan, sehingga siapa saja mesti terampil untuk membuatnya sebagai humor. Peradaban umat manusia sangat merupakan komedi, sehingga menjadi tolollah siapa saja yang terlalu “mengambil hati” dari setiap penggal episode kehidupan untuk terlampau memprihatinkannya.

Kawan, betapapun persoalan dunia ini memilukan dan tidak penting, aku tetap ingin bercerita, mungkin bisa dibuat bahan renungan kita bersama. Bahasa manusia memang kadang bisa berbohong itu. Ya, antara hati dan lidah manusia kadang bisa saja kesleo. Tapi kita akan berusaha menjelaskan segalanya dengan bahasa semesta, sebuah bahasa yang tidak akan pernah dipahami oleh manusia yang menghianati nurani. Dan kita akan tertawa setiap kali bercerita.

Kawan, aku hanya bisa menuliskan segenggam asa ini untukmu. Biar engkau tahu resah dan gelisahku. Kutulis semata-mata karena aku hanya ingin menulis. Setelah semuanya tertulis maka legalah perasaanku. Tapi bukan berarti semuanya akan tertuliskan di sini. Tak mungkin aku bisa menuliskan semuanya dengan kata-kata biasa di lembaran sesempit ini.

Baiklah, engkau mungkin sudah tahu semuanya. Tentang manusia. Ya, kali ini aku akan bercerita tentang manusia. Benar katamu, Kawan. Manusia memang begitu. Manusia dengan segala tingkah dan karakternya. Ah, kadang aku risih berbicara tentang manusia. Tapi kadang pula aku suka. Karena kenyataannya aku juga manusia. Biarkanlah tulisan ini mengalir apa adanya. Penapun bisa lebih kejam dari pedang bermata buta sekalipun.

Bumi adalah tempat di mana para manusia berulah. Ada manusia yang tersesat jauh dari tujuan hakiki. Ada manusia yang menempuh jalan kembali yang benar. Begitulah para manusia. Suatu saat aku melihat manusia yang hidupnya terdampar di pulau yang jauh, ia tak bisa kembali, kasihan sekali ia. Suatu ketika pula aku kagum atas mereka yang menyebarkan pesan demi pesan rahasia kehidupan, mereka tanggalkan segala kemegahan dunia, untuk mengabdi pada Pemilik kebenaran. Manusia dengan segala perilakunya adalah bekerja. Tinggal mereka bekerja untuk kehidupan di dunia saja, ataukah bekerja untuk keabadian. Lalu, sudahkah kita mengerti bagaimana cara menginjak bumi yang benar?

Hati yang membawa kaki manusia melangkah. Segalanya bergantung pada kebersihan hati. Jikalau hati itu bersih, maka ia akan dipenuhi oleh cahaya yang dapat menyerap segala risalah gelap. Namun jika hati itu kotor, maka ia penuh dengan kegelapan, sehingga butalah segala penglihatannya. Di antara kotornya hati adalah amarah, bangga diri, dusta, iri, dengki, pamer, dendam, maksiat, tak bisa memaafkan, selalu serius, tak bisa berhumor kepada sesama, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kawan. Suatu ketika aku melihat orang yang gila jabatan dan pangkat. Bagaimana aku bisa tahu? Mudah saja, sebab ia tidak suka atau lebih tepatnya tersinggung jika ada orang yang tidak hormat padanya. Orang yang marah dan malu ketika harga dirinya dijatuhkan, maka ia termasuk manusia pemburu jabatan. Baginya, penghormatan, kesempurnaan, dan kemuliaan adalah segalanya. Ia akan marah jika orang tidak menyebutkan pangkat atau gelar, misalnya. Maka jika ada manusia yang seperti ini, kita harus berhati-hati. Jangan hanya gara-gara harta atau jabatan kita menunuduk, karena hal itu akan meruntuhkan dua per tiga keimanan kita.

Pada hakikatnya semua orang itu sama saja, yang menjadi berbeda hanyalah tingkat ketakwaannya di hadapan Allah. Dan karena kita orang biasa, kita tak tahu, mana manusia yang memiliki tingkat ketakwaan paling baik di sisi Tuhannya. Sebab yang mengerti kekasihNya adalah juga hanya kekasihNya. Kita ini masih dalam tangga syari’at, orang biasa, maka jangan menempatkan diri, menganggap, atau berpura-pura sebagai kekasihNya. Karena di antara cobaannya bukan hanya tentang kesusahan, tapi juga tentang kemuliaan, atau yang lebih keren lagi disebut sebagai istidroj. Dari itu semua, kita orang biasa, maka kita memandang semua orang itu pada taraf yang sama. Jangan kalau kita memuliakan para Kyai, lantas sikap kita berbeda kepada tukang becak, misalnya. Kita sama ratakan saja, kita hormati semua manusia yang ada di muka bumi ini. Betapapun bejat tingkahnya, karena kita orang biasa, maka kita tak pernah tahu, lebih baik mana kita atau mereka. Maka berprasangka baik kepada manusia wajib hukumnya bagi orang biasa.

Namun kita jangan lantas latah meniru perbuatan yang salah, kita harus tetap berpegang pada kebenaran yang selama ini kita yakini. Itu merupakan prinsip yang harus selalu dijaga oleh orang biasa.

Kawan. Suatu ketika aku juga melihat manusia yang telah melupakan jalan yang dulu ia genggam dalam janji. Entahlah. Mungkin karena perputaran zaman yang telah sedemikian rakusnya, sehingga arti kebenaran, arti kemanusiaan, dan arti persaudaraan telah dicampakkan darinya. Ini kejadian yang nyata. Dan hampir dialami oleh kebanyakan manusia.

Dulu, waktu masih kecil, manusia masih belum mengenal banyak hal. Bagus itu, sebab ia hanya diajarkan segala tentang kebaikan oleh kedua orang tuanya. Sehingga ia bersama teman-temannya berlomba-lomba dalam kebaikan. Mulai dari belajar mengaji, shalat bersama, dan sebagainya. Beribadah pada waktu masih kecil tergolong masih khusyu’ dan rajin, karena memang anak kecil telah meyakini sepenuhnya pada hafalan-hafalan hasil belajar di TPQ, dan ia akan takut jika disiksa di akhirat kelak, seperti cerita-cerita yang telah dituturkan oleh guru-gurunya di kelas. Mereka cepat dalam menerima pelajaran, dan langsung diamalkannya. Tapi demi bertambahnya usia, ia menjadi manusia yang mengenal banyak hal, entah itu tentang kebenaran sampai pada yang tidak benar. Apalagi ditambah dengan masa kini serba canggih, mulai dari android, laptop, internet, dan produk teknologi lainnya yang sangat membantu proses pertukaran informasi dan komunikasi.

Apalagi ditambah manusia zaman sekarang (khususnya anak perempuan)—maaf—yang telah kehilangan rasa malunya. Ini membuat segalanya menjadi dunia yang sangat rawan oleh berbagi jebakan dan muslihat setan yang terlaknat itu.

Maka menjadilah manusia sebagaimana ia menjadi. Manusia yang teguh dalam memegang bara api keimanan, sekalipun itu panas rasanya, maka ia akan selamat dari berbagai fitnah yang ada. Adapun manusia yang tidak kuat akan panasnya bara api keimanan itu, maka ia akan melupakan segala apa yang telah diajarkan oleh gurunya.

Lihatlah, bagaimana perputaran zaman ini telah sedemikian cepat mengubah peradaban manusia, menjadi manusia yang kekinian dan modern. Aku kira dampak negatifnya akan lebih besar, maksudku dampak negatif dalam pandangan islam. Zina di layar kaca, pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya itu semakin marak terjadi.

Peperangan ideologi telah meluas, sehingga kocar-kacirlah umat Islam yang mudah rapuh manakala didebat. Mendekati zaman akhir, memang Allah sengaja mewafatkan para ‘Ulama, sehingga tak ada lagi nasihat yang didengar oleh para manusia. Kemudian ditambah semakin maraknya kebodohan agama, sehingga semakin rusaklah segalanya.

Di dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwa yang pertama memulai dalam berzina adalah perempuan, dan yang paling banyak mencuri adalah lelaki. Itu adalah salah satu sebab mengapa di neraka esok akan dijumpai banyak perempuan daripada laki-laki. Jenis-jenis zina tak hanya secara harfiah saja, namun juga ada zina mata, zina telinga, zina mulut, zina hati, dan lain sebagainya. Itu semua yang dapat membekukan hati, jika hati telah beku maka akan sulit untuk dilunakkan. Sehingga butalah segala penglihatannya dari kebenaran.

Sebenarnya masih banyak catatan tentang manusia yang belum kuceritakan, Kawan. Tapi suatu hari nanti akan kusambung lagi tulisan ini. Semoga dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dan jangan serius-serius ya kalau terlampau membaca tulisanku di atas.

Sebagai tambahan, sampai sekarang, aku masih belajar mengingat kejadian itu. Sebuah peristiwa perjanjian antara aku dan Tuhanku sebelum akhirnya aku lahir dari garba ibu. Sesuai dengan kalamNya, aku diceritakan berjanji dengan setulus keyakinan, bahwa kelak aku akan menjalani kehidupan dengan taat kepadaNya. Ia berkata padaku, kurang lebih seperti ini, "..sungguh, kelahiran bagimu adalah sebuah cobaan. Mereka yang telah lolos dari perjanjian ini, akan Aku hidupkan di dunia sebagai bayi muslim. Sementara mereka yang tak mampu berjanji tak akan hidup di dunia. Sungguh dunia adalah keberatan dan cobaan bagimu yang telah berjanji.

Hati-hati jika berada di dunia ya, Nak. Jangan sampai engkau jatuh terpeleset di jurang yang kau buat sendiri…".

Malang, 13 Mei 2016


Siapakah Aku?
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[“Kawan, siapakah sebenarnya kita ini? Musliminkah? Mukmininkah? Muhsinin? Muttaqin? Khalifah Allahkah kita? Umat Muhammadkah kita? Khaira ummatinkah kita? Atau kita sama saja dengan makhluk-makhluk lain, di negeri-negeri lain? Atau bahkan lebih rendah dari itu, hanya budak-budak perut dan kelamin?”]

Begitulah kira-kira Gus Mus (K.H. Musthofa Bisri)—dalam puisinya—menjelaskan alfa, beta kebingungan sejarah kita dari hari ke hari. Namun kita tak kunjung mengerti. Tak kunjung mengetahui siapa sebenarnya kita ini. Mendengar setiap bait puisi Gus Mus saja aku merinding, apalagi menghayatinya. Seperti ingin menangis!
Sobat, tahukah kau, siapa aku ini? Baiklah, dengan segala keterbatasanku, aku akan mencoba menuliskan tentangku. Aku ini adalah... Ah, betapa sulit mengenal diriku sendiri. Padahal aku telah  sekian lama bersama diriku, namun tak kunjung juga kutemukan tafsir “aku”. Hari-hari telah hilang tanpa ada pemahaman tentangku. Ku akui, aku masih bodoh, tak seperti kalian yang telah belajar tentang banyak hal. Aku hanyalah seseorang yang belum bisa belajar dari kehidupan, apalagi mengerti tentang sebuah kematian.

Aku mencoba untuk mendengar dan melihat semua pergerakan di muka bumi ini, namun belum bisa benar-benar menghayati. Aku mencari, namun belum ada dari gerakku yang bisa membuatku menemukan. Detik demi detik, waktu demi waktu, hari, bulan, tahun, kosong tanpa jiwa, tanpa ruh, tanpa nafas, tanpa pemahaman tentang siapa aku!

Sekian lama sobat, tak kutemukan diriku. Bantulah agar aku segera menemukannya. Semakin aku merasa tahu tentang siapa “aku”, di situlah sebenarnya aku tak mengerti apa-apa tentangku. Namun bagaimana bisa mengetahui tanpa merasa? Langkah demi langkah kujalani dengan kebingungan yang menggema di setiap sudut pikiranku. Berbagai pertanyaan yang tak terjawab semakin menyesaki jiwa. Di hadapan penggenggam segala jiwa, aku semakin merasa rapuh, miskin, kotor, hina, dan tak punya apapun.
Di mana aku bisa menemukan diriku, juga diri-Nya? Aku belum menemukan apa-apa, Sobat.

Bantu aku, tolong! Di mana aku memburu untuk mencari, di situ semakin tampak ke-Aku-anku. Sedang tak memburu, aku semakin kehilangan jejak. Lalu aku harus bagaimana, Sobat? Bantu aku menemukan diriku yang sesungguhnya. Semakin lama semakin aku kehilangan arah, kehilangan tujuan. Di mana sebenarnya tujuan yang hakiki itu, Sobat? Aku semakin kehilangan makna. Tak kusadari, semua berjalan begitu cepat. Waktu semakin cepat saja berlari. Dan aku? Masih saja diam di tempat, menunggu sebuah keajaiban yang tak pernah kunjung datang.

Setiap detak waktu berjalan, Dia selalu bersamaku dan juga meliputi segala yang ada, namun aku belum pernah bisa benar-benar bersama-Nya.

Semakin aku merasa bersama-Nya, di situlah aku kehilangan-Nya. Lalu, aku harus bagaimana, Sobat? Misteri ini amat sulit kupecahkan sendiri. Dulu, ketika kita berjalan beriringan bersama, kau selalu menemaniku pada setiap langkah perjalanan. Kini kita berada pada pijakan bumi yang berbeda. Aku butuh sobat—yang benar-benar sobat—yang bisa menuntunku, menunjukkan cahaya pada setiap perjalananku, menggenggam erat jemariku menuju-Nya, menolongku dari selain-Nya, agar aku segera sampai kepada-Nya.

Aku rindu dirimu, Sobat, yang telah sekian lama menghilang, entah di langit mana. Kini aku berjalan sendiri. Tak ada lagi sobat yang menemaniku dalam pencarian ini. Siapa saja engkau yang membaca tulisanku ini, sudilah kiranya engkau menjadi sobat jiwaku, mengobati luka yang tak terperi ini. Belum pernah kulihat warna semuram luka ini, Sobat. Perjalanan masih panjang, sementara aku semakin tertatih-tatih dalam melangkah.

Waktu menghempaskanku, sedang engkau belum juga datang, Sobat. Aku memang tak pernah mengerti, ini tulisan macam apa, mungkin juga engkau dan mereka. Namun tanpa menulis, aku akan luput merekam keadaan, yang kelak akan menjadi sejarah di waktu yang lain. Maka dari itu Sobat, aku menulis semata-mata hanya karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis, maka legalah perasaanku.

Aku yang belum sepenuhnya mengerti tentang islam, iman, dan juga ihsan, ajarilah aku, Sobat. Hatiku bisa beku jika lama tak mendengar kalam-Nya, jika tak membaca segala ayat-Nya.
Sobat, jawaban demi jawaban itupun datang seiring dengan sekian banyak tafsir yang membingungkanku. Pernah aku beniat untuk berhenti mencari siapa aku, berharap tafsir “aku” yang kuimpikan bisa kuraih. Namun apa yang terjadi? Aku semakin tenggelam di ruang yang salah. Sebetulnya aku selalu ingin berbuat baik, berharap kutemukan diriku, namun harapan itu tak pernah terwujud, karena dalam hati masih berdebu, sehingga aku selalu tahu, kalau-kalau manusia melihat semua gerakku, menjadikan salah dalam niat. Bagaimana ini, Sobat? Berbuat baik saja bisa salah, apalagi tak berbuat apa-apa, atau bahkan berbuat tidak baik.

Tentang lahiriah, memang tak pernah bisa menjamin keadaan bathin. Aku semakin kehilangan diriku, manakala dalam novel kehidupanku, kutulis “aku sudah bisa”, “aku telah menemukan”, “aku sudah baik”, atau kata-kata lainnya yang senada. Semua yang kutulis ini tidak mutlak benar, Sobat. Jika terdapat banyak kesalahan, itu pasti dariku yang lemah, dan apabila benar, itu pasti datangnya dari-Nya.

Pemikiran manusia selalu nisbi dan kebenarannya tidak mutlak. Sementara kebenaran mutlak hanya bersumber dari-Nya.

Doakan ya, Sobat. Aku dan mereka yang agaknya “merasa” mulia, akan selalu dilimpahi istidroj oleh-Nya, yang tak kalah berat dari cobaan kepada orang-orang fakir. Aku dan mereka yang terlena dengan kata, atau segala ucapan yang dengannya orang bisa menerima tentang apa yang kusampaikan, selalu diintai cobaan-Nya. Aku, di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-ku. Juga ketika menganggap apa yang menjadi pendapatku adalah satu-satunya yang paling benar, sementara pendapat-pendapat lain yang berbeda adalah salah.

Astaghfirullah, “kata”, begitulah orang menyebutnya. Lembut bila didengar, atau mungkin bahkan menikam bila dirasakan. Kasihan sekali nasib sebuah kata. Terlahir untuk di tulis dan dibaca, namun banyak dariku yang belum selaras dengan kata, bahkan dengan kata-kataku sendiri. Detik ini, sebisa mungkin, aku tak ingin menciptakan kata yang sia-sia, Sobat..

Terkait dengan istidroj (cobaan), berikut adalah pendapat Gus Mus dalam cerpenya yang berjudul ‘Gus Ja’far’.

[“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak?”]

Dalam majalah Cahaya Sufi dijelaskan: “Terkadang, Tuhan menghiasi musuh-Nya dengan pakaian wali-Nya, dan menghiasi wali-Nya dengan pakaian musuh-Nya.”

Lalu tentang siapa aku, aku masih mencari. Semoga selau diterangi ‘irfan-Nya. Aku teringat juga dengan sajak Saprdi, “Pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela-sela huruf sajak ini, KAU (Allah) takkan letih-letihnya kucari...”

Wallahu A’lam
Tuban, 16 Juli 2013

Pertanyaan untuk Diri Kita
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

“Hamba Allah kah kita?” Coba hitung kembali usia kita yang berpuluh tahun sejak lahir dahulu kala, berapa persen kita menjadi hamba Allah, berapa persen kita menjadi hamba setan, berpa persen kita menjadi hamba nasfu, berapa persen kita menjadi hamba harta, dunia, dan kekuasaan?

Bagaimana kita mengku sebagai hamba Allah, sedangkan berhala iri, dengki, egoisme, nafsu birahi, kuasa, harta, berhala yang kita bangun sebagai patung pujaan dan kebanggan adalah kuburan yang mengerikan bagi kematian jiwa kita?

Bagaimana kita bisa mengaku sebagai hamba Allah, sedangkan kita tidak pernah mau mencatatkan diri kita di buku harian Ilahi sebagai benar-benar hamba Allah? Ataukah mungkin nama kita pernah dicatat di sana sebagai hamba Allah, sedangkan di lembar berikutnya nama kita sudah dicoret dengan tinta merah di Lauhul Mahfudz sana?

Bagaimana kita mesra menjadi hamba Allah sedangkan ibadah yang kita lakukan selama ini bukan untuk Allah, tetepi agar kita sukses meraih kehidupan dunia, agar kita lebih sejahtera di dunia, atau agar kita bahagia di akhirat?

Bagaimana kita bisa disebut sebagai hamba Allah sedangkan kita menghadap Allah dengan muka berpaling bahkan dengan muka mesum yang dilumuri bau busuk ambisi dan nafsu kita?

Bagaimana kita mengaku hamba Allah, hanya dangan surban, hanya dengan tangisan di media massa, hanya teriakan takbir yang sia-sia, sementara hati kita tak pernah bersurban, jiwa kita dipenuhi kesombongan dan riya’, roh kita dijubahi oleh rasa bangga sebagai tokoh agama?

Bagaimana mungkin kita dicatat sebagai hamba-Nya, ketika hari-hari ini kita lebih senang menjadi binatang  jalang,  menjadi budaknya setan, menjadi buruhnya hawa nafsu kita, menjadi penyembah patung-patung  yang  kita buat sendiri dari limbah-limbah kotoran kita sendiri?

Astaghfirullaahal adziim. Jangan pernah berhenti memohon ampunan-Nya. Karena sesungguhnya istighfar itu adalah pelukan cinta-Nya ketika kita telah lama hilang dari kinasih-Nya. Jangan berhenti, jangan pula melepaskan diri dari elusan mesra-Nya, dalam dekapan-Nya. Di sanalah sesungguhnya kita telah menjadi hamba-Nya.

Wallaahu a’lam.
Tambakberas, 5 Agustus 2011