Sandal Habib Bahrul

Sandal Habib Bahrul

Planggggggg...!!!

Suara itu mengejutkan seluruh jemaah masjid Qolbun Salim. Orang-orang yang mendengarnya segera mendekati sumber suara itu. Sebagian yang lain hanya melongo, memerhatikan dari jauh. Para jemaah dan pengurus masjid benar-benar tersentak dan tidak menyangka, Habib Bahrul yang tadinya memimpin khotbah Jumat dengan tenang dan berwibawa kemudian mengimami salat Jumat dengan bacaan yang fasih dan berirama, kini mendadak marah-marah dan memukul gerbang besi masjid dengan sebuah kayu yang tergeletak di sampingnya, hanya karena kehilangan sandal, hingga terdengarlah suara keras, planggggggg...!!!

Kejadian itu sebetulnya bukan hanya terjadi sekali. Kejadian yang menimpa Habib Bahrul itu telah terjadi berkali-kali bahkan hampir setiap kali ia menjadi imam masjid atau bertugas sebagai khotib di setiap masjid. Kejadian yang sudah tidak lagi bisa dihitung. Sampai-sampai pembatu rumah Habib Bahrul terkadang merasa heran karena berulang kali ia disuruh untuk membeli sandal yang banyak di pasar.

“Bagaimana umat Islam bisa maju kalau moralnya saja seperti ini! Yang telah hilang dari umat Islam di masa sekarang adalah akhlak. Moralnya sudah rusak. Zaman sudah akhir. Tidak lama lagi semuanya akan hancur lebur dilumat hari kiamat!” cerca Habib Bahrul dengan nada tinggi dan tidak mau tahu, seperti sedang menyambung khotbah yang tadi telah disampaikannya, sembari mencari-cari sandalnya di sekeliling masjid.

Para jemaah dan pengurus masjid merasa tidak enak hati dan segera ikut membatu untuk mencarikan sandal Habib Bahrul. Tapi tidak kunjung ketemu.

Salah seorang pengurus masjid kemudian menghampiri Habib Bahrul, “Hmm, begini saja, Ustaz. Bagaimana kalau Ustaz memakai sandal saya dulu. Kami akan segera membelikan sandal baru sebagai gantinya. Nanti kami antar langsung ke ndalem Ustaz,” bujuk pengurus masjid itu, berusaha menenangkan amarah ustaz.

“Tidak usah. Kalau cuma sandal saja saya bisa beli sendiri. Ini bukan soal ganti-mengganti yang remeh begitu. Kau tahu, kejadian semacam ini entah sudah yang ke berapa kali. Betapa mengesalkan peristiwa ini!” ucap Habib Bahrul sebal sambil langsung berbalik ke mobilnya dengan kaki telanjang. Mobil itu kemudian berlalu, meninggalkan orang-orang yang masih melongo menatap kepergiannya.

***

Semenjak kejadian yang terus menimpanya, dan pada kejadian yang terakhir di masjid Qolbun Salim itu, Habib Bahrul kemudian memberikan syarat tegas kepada pengurus masjid, untuk menyediakan tempat khusus bagi penitipan sandal di lemari yang ada kuncinya, atau paling tidak ada petugas yang menjaganya di tempat penitipan demi menghindari kejadian yang selalu menimpanya. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, maka ia tidak akan bersedia memenuhi undangan menjadi imam atau khatib.
Namun, sama saja. Sandalnya tetap saja hilang.

“Tempat penitipan macam apa ini? Mengapa masih bisa hilang? Apa ada seseorang yang masuk kemudian mencurinya?” bentak Habib Bahrul menunjuk petugas penitipan sandal dengan rentetan kejengkelan.

“Saya juga tidak tahu, Ustaz,” jawab petugas pelan.

“Mengapa bisa tidak tahu? Apa kamu tidak menjaganya? Bukankah kamu yang bertanggung jawab dengan segala yang dititipkan di sini?” balas Habib Bahrul keras.

“Saya bertanggung jawab, Ustaz. Saya juga tidak lupa mengunci pintu ruang penitipan ini sebelum ikut salat jamaah tadi,” tambah sang petugas hati-hati.

“Berarti, boleh jadi kamu sendiri yang mencuri!” tuduh Habib Bahrul. Halaman sekitar penitipan sandal jadi ramai oleh jemaah yang menonton tingkah Habib Bahrul. Ia tidak menghiraukan sembari pergi dan terus mencerca. Ia mengancam akan melaporkan kejadian itu pada pihak yang berwajib.

Tentu saja ancaman itu hanya untuk menakut-nakuti. Habib Bahrul tahu, bahwa ia tak mungkin berbuat sejauh itu. Akan tetapi kejadian sandalnya yang hilang tetap saja terulang kembali di masjid mana saja, meski di tempat penitipan yang telah diberikan kunci khusus bagi tiap jemaah.

Pernah juga ia membawa sandal yang diberi rantai agar bisa digembok di gerbang masjid. Alhasil sama saja, sandalnya tetap saja hilang! Hanya sandalnya yang hilang, gembok dan rantainya masih melekat di gerbang dengan kondisi gembok yang sudah terbuka. Ia sempat berpikir, apa jangan-jangan pelakunya adalah seorang tukang ahli kunci? Tapi mengapa harus sandal yang dicuri? Mengapa bukan sekalian mobilnya yang lebih mahal?

Habib Bahrul seperti merasa sedang dikerjai oleh seseorang yang entah itu siapa untuk mengambil sandal-sandalnya selama ini. Ia benar-benar merasa sangat sebal dan heran, kenapa yang hilang selama ini hanya sandalnya, sementara sandal para jemaah yang lain tidak ada satu pun yang hilang. Ia merasa kejadian ini bukanlah hal yang biasa dan membuatnya semakin kesal.

Maka niatnya untuk menghadiri undangan dari pengurus masjid kini telah berubah menjadi keinginannya untuk menyelidiki, siapa dalang di balik semua ini, siapa orang yang selalu usil mengambil sandal-sandalnya selama ini. Ia hanya berkenan menghadiri masjid yang ada kamera CCTV-nya.

Hingga pada suatu ketika pun tiba. Ia diundang untuk menjadi imam masjid salat Idul Adha di masjid agung Bandung. Rencananya kali ini tidak boleh gagal. Tidak boleh. Pokoknya ia harus menemukan orang itu. Harus. Betapa ia ingin sekali memakan orang itu bulat-bulat. Sandalnya kini sudah siap di letakkan di tempat yang terlihat jelas oleh kamera CCTV. Ia pun melangkah masuk ke dalam masjid dengan tenang.

Dan apa yang terjadi setelah Habib Bahrul akan pulang? Sandalnya tetap saja hilang! Namun ia tetap tenang. Ia meminta petugas untuk melihat CCTV. Rekaman CCTV kemudian diputar ulang. Habib Bahrul memerhatikan layar monitor dengan cermat. Mulai dari awal ia menaruh sandal, benda itu terlihat dengan sangat jelas. Tapi beberapa saat kemudian, beberapa detik saja layar monitor hanya menampilkan warna yang gelap dan kemudian terang kembali. Dan sandalnya sudah tidak ada!

“Bagaimana bisa gelap begitu? Bukankah itu bagian dari pencurian sandal saya? Ini seperti disengaja!!!” tuding Habib Bahrul kepada petugas CCTV.

“Saya benar-benar tidak tahu, Ustaz,” jawab petugas CCTV hati-hati.

“Kamu telah mengutak-atiknya!” tuduh Habib Bahrul tajam. “Saya benar-benar akan melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib!”  bentaknya lagi sembari pergi.

Petugas CCTV dan pengurus masjid kemudian benar-benar berurusan dengan kepolisian. Dan sebagaimana sebelumnya, kejadian sandalnya yang hilang di masjid yang memiliki CCTV, di mana saja, kapan saja, terus saja terulang dalam bentuk yang sama: peristiwa pencurian sandal termasuk siapa pelakunya yang tidak terekam. Berulang-ulang pula pengurus masjid dan petugas CCTV berurusan dengan kepolisian.

***

Habib Bahrul kemudian berpikir, ia sudah tidak mau lagi menjadi ustaz. Ia berniat berhenti saja. Mungkin itulah satu-satunya jalan agar ia tidak lagi berurusan dengan kejadian sandal hilang. Ia tidak ingin berurusan dengan masalah yang itu-itu terus. Ia sudah tidak tahan lagi. Memang lebih baik berhenti, batinnya. Menurutnya, ia sama sekali tidak rugi kalau tidak jadi ustaz. Apalagi memang ia tidak pernah mengeluarkan biaya apapun untuk menjadi ustaz. Pikirannya menerawang, mengenang masa-masa ia dipanggil ustaz dahulu.

Menjadi ustaz memang bukanlah keinginan dirinya. Orangtuanyalah yang sangat menginginkan. Karena itu, sejak dilahirkan ia diberi nama Habib Bahrul, lengkapnya Habib Bahrul bin Smith. Nama Habib sendiri bukan berarti ia keturunan nabi. Ia hanya kebetulan saja diberi nama Habib, agar kelak menjadi ustaz atau paling tidak menjadi orang baik. Maka panggilan itu bukanlah berlebihan, karena memang begitu adanya.

Namun ia tetap tidak memiliki niat menjadi ustaz meskipun ia mempunyai pengetahuan agama karena waktu kecil ia sempat dibesarkan di lingkungan pesantren, meski tidak lama. Ia menjadi ustaz malah kebetulan saja. Karena namanya Habib dan sempat mondok di pesantren, lingkungannya kemudian seperti benar-benar menganggapnya seorang Habib atau ustaz yang mempunyai pengetahuan agama yang lebih dibanding kebanyakan orang. Suatu saat orang memintanya untuk menjadi imam salat di musala, dan ia melakukannya. Saat berikutnya orang memintanya untuk mengisi ceramah, menggantikan ustaz yang tidak datang, ia melakukannya. Sejak itulah ia menjadi ustaz yang diundang ke beberapa tempat untuk mengisi ceramah, khotbah, atau menjadi imam.

Ia sebenarnya merasa tidak ada apa-apanya. Waktu kecil ia hanya mondok selama dua tahun lalu keluar begitu saja, dan tentu saja ia tidak lulus madrasah diniyah. Barangkali tambahannya ia dapatkan dari membaca buku-buku, mengikuti kajian-kajian di kampus, atau menonton ustaz masa kini di youtube. Ia mengambil kuliah pun bukan jurusan agama. Tapi begitulah, ia senantiasa diminta ke sana dan ke mari, masih demi masjid, untuk berceramah, berkhotbah, dan juga menjadi imam.

Oleh karena itu ia merasa tidak begitu rugi kalau berhenti, pikirnya kembali sambil menghapus kenangan. Sebab ia menjadi ustaz juga secara kebetulan. Namun permintaan dari masjid demi masjid terus saja mengalir. Ponselnya seperti tidak pernah putus berdering. Ia semakin kewalahan. Ia seperti tidak bisa memilih dan memutuskan. Maka ia berniat untuk berbicara baik-baik dengan pihak masjid ketika kebetulan ada pertemuan dan perkumpulan pengurus masjid se kota Bandung di aula masjid agung, dan kebetulan juga ia diundang ke sana untuk memimpin berdoa.

“Apa ustaz yakin dengan apa yang tadi ustaz sampaikan? Kami akan benar-benar merasa kehilangan,” tanya seorang pengurus masjid sedih ketika Habib Bahrul hendak pulang.

“Saya yakin. Di kota Bandung ini tidak kurang ustaz-ustaz yang punya pengetahuan melebihi pengetahuan saya. Saya hanya ingin berhenti, dan kalian jangan pernah mengundang saya lagi. Titik!”

Dan ketika hendak pulang sandalnya tidak ada lagi. Ia semakin geram dan berdoa dengan keras dan lantang, “Ya Tuhan, berikanlah azab kepada orang yang telah mengambil sandal-sandal saya...!!!” Seketika itu juga, entah mengapa atap bagian ujung masjid agung tiba-tiba runtuh dan menimpa kepala Habib Bahrul. Dalam waktu yang tidak lama kepala Habib Bahrul pun berdarah dan penglihatannya menjadi gelap.

***

Beberapa jam kemudian, Habib Bahrul mengetahui dirinya sudah berada di atas pembaringan di rumah sakit. Orang-orang begitu banyak yang berkunjung ke rumah sakit saat mengetahui Habib Bahrul dirawat di sana, termasuk sanak keluarga, para jemaah pengajian, dan para pengurus masjid.

Ia meraba-raba kepalanya yang masih dililit perban. Tiba-tiba ia merasakan perihnya. Tapi tiba-tiba pula ia mengucapkan, “Astaghfirullah...” Mungkin karena sesuatu yang menimpa kepalanya ini, pikirnya. Ya, karena benturan inilah ia jadi bisa mengingat kelakuannya yang tidak baik di masa kecil, ketika di pondok pesantren ia sering sekali mengambil sandal temannya tanpa izin!

Tidak sengaja ia tersenyum.

“Ada apa, Ustaz?” tanya salah seorang pengurus masjid yang menjenguknya heran, namun tidak sengaja ia ikut tersenyum juga. Penjenguk yang lain pun ikut senang.

“Tidak apa-apa,” jawabnya, sambil masih tersenyum.

“Ustaz seperti mendapatkan ilham,” timpal yang lain.

“Saya sudah tidak ada masalah lagi keluar-masuk masjid. Kini saya benar-benar sudah tidak memerlukan sandal lagi,” ujarnya sambil masih tersenyum. Suaranya terdengar sangat tenang dan menenangkan. Jauh berbeda sekali dengan saat ia sedang marah-marah.

Tiba-tiba sesuatu yang hangat meleleh di pipi Habib Bahrul.

“Saya hanya ingin memohon maaf karena selama ini sering kali marah-marah yang tidak jelas kepada para pengurus masjid. Tolong maafkanlah saya,” ucap Habib Bahrul sambil memegang tangan salah seorang pengurus masjid.

Semua yang ada di ruangan itu pun terenyuh. Sebuah momen haru yang begitu mendamaikan. ~

Kopen, Agustus 2019.
Mukhammad Fahmi.