Kupanggil Namamu

Kupanggil Namamu
ku panggil namamu, Sahabat
manakala senja tiba membawa risalah dan kesunyian
camar-camar terbang sempurna menciumi sisa-sisa matahari yang basah,
sebelum akhirnya malam menjadikannya tiada
ini bukanlah jingga yang pertama, Sahabat
bukankah perihmu masih terbelit akar pepohonan?
maka kubiarkan tanah ini menyerap lukanya

di langit, mungkin matahari selalu muncul dari rasa gelisah,
takut, bahkan kecemasan yang tak kunjung usai
Sahabat, biarkanlah jiwa ini berkelana
sambil terus meneriakkan mimpi
untuk meredakan gelombang
dari sebuah jeruji senja yang begitu panjang

Sahabat, lihat, hari sudah petang
aku akan kembali ke dalam diriku, tapi kau?
masih saja kulihat di sudut matamu yang berawan;
ada derai yang memuai;
ada yang terus mengalir dari masa lalu
hingga ke lautan benak

mesti kita kejar ufuk itu, Sahabat
dan membiarkan sayapnya merangkul dalam gelap
yang menyayat sejarah air mata
sementara kisah-kisah itu masih menyimpan gemuruh laut,
tempatmu berjanji menautkan keinginan pada lempengan waktu
yang mengombak dalam doaku

Sahabat,
sudahkah kau berani jujur pada dirimu sendiri?
ataukah masih saja kau dustai nurani?
sudahkah kau telanjang polos di hadapan-Nya?
ataukah diam-diam masih saja kau coba tipu Dia?
sudahkah kau ingat, bagaimana cara menginjak bumi yang benar?
ataukah masih saja kau pura-pura tak mengerti?
sudahkah kau sambut cinta-Nya dengan cinta yang setara?
ataukah justru sembunyi-sembunyi kau jadikan Dia yang kedua?
sampai kapan kau tipu dirimu,
kau perdaya dirimu, kau pertuhan dirimu,
kau biarkan biarkan dirimu tenggelam dalam lumpur yang nista?

Sahabat,
sampai kapan?
mau sampai kapan?

Jombang, Januari 2016.
Mukhammad Fahmi.