Bacalah Air Mataku
Oleh: M. Fahmi

Kekasih
maaf sebelumnya,
telah lancang menulis surat ini padaMu
sebab aku tak tahu lagi harus bagaimana,
selain menceritakan ini semua padaMu
aku yakin,
Kau pun sebetulnya telah mengerti
tapi tak apalah
aku akan menceritakan kerinduanku dengan kata-kata biasa:
Kekasih
sambutlah aku
tataplah mataku
dengarlah suaraku
dengarlah dadaku
namun seperti biasa;
sekian banyak yang ingin kukatakan tak terkatakan
sekian banyak yang ingin kuadukan diambil alih oleh air mataku
Kekasih
jika itu yang terjadi
bacalah air mataku!

Tuban, 17.01.2014
M. Fahmi

Pintu RahasiaMU
Oleh: M. Fahmi

aku telah mencariMU
ternyata ENGKAU sangat dekat;
tak lebih dari urat leherku
KAU bukakan sedikit pintu rahasiaMU padaku,
adakah aku masih juga ragu?
sekarang katakan,
ke mana lagi aku akan berlari bila seluruh pintu ini sebetulnya milikMU?
rahasiaMU yang ada pada diriku adalah bukti cintaMU atas segala yang ENGKAU cipta
ketiadaanku nanti bukanlah suatu kehampaan yang sia-sia
di sana aku akan menemukan keabadian bersamaMU sehingga tak perlu lagi ada batas di antara KITA

Tuban, 15.01.2014
M. Fahmi

PERNYATAAN (1)
Oleh: M. Fahmi

Kekasih, kugenggam erat-erat firmanMu
kubawa berlari,
berlari
dan berlari..
betapa pun
di sini
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu
di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari kembara cintaku!....

Malang, 07.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (2)

.sementara Engkau selalu berfirman
di dalam hati
di sini, jiwaku semakin luas
akan firmanMu
yang benar nyatanya
Kekasih, hanya firmanMu
yang melahirkan langkahku,
ucapanku, pengawasanku,
pendengaranku, rasaku.

Malang, 08.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (3)

.hari demi hari: firmanMu
kini waktuku
mengambil peran
memunguti firmanMu
dalam semesta akbarMu
aku adalah segala kesadaranku
atas firmanMu;
memberanikan diriku
memutuskan segala apa.

Malang, 09.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (4)

.dan lagi,
biar bagaimana pun,
apa pun yang terjadi
Engkaulah Kekasih abadi,
Cinta hakiki; tak pernah
lekang diterpa batasan ruang
juga waktu,
tempat bersandarku
selamanya
sebab,
bahagiaku
adalah bersamaMu.

Malang, 20.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (5)

.Kekasihku,
segalanya tentangMu,
selalu,
sebab,
memang Engkaulah
segalanya
tak akan ada
yang lain;
mampu goyahkan rasaku.

Surabaya, 23.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (6)

.di sini,
nyata terbukti
di depan mata
perjuangan para kekasihMu
tak setengah-setengah;
saling mengukir cinta
untuk dapatkan
kasihMu
lalu masihkah aku ragu?....

Tuban, 23.05.2014
M. Fahmi

Aku dan Puisi-puisiku
Oleh: M. Fahmi

seberapa kuat kata yang hendak merobekku?
pada belantara yang lebih luas, retorika zaman yang semakin ganas
kebebasan logika pemikiran manusia berusaha mengacak-acak imanku
merobohkan islamku, menginjak-injak keyakinanku
berbagai ideologi terbungkus rapi, semakin saja membutakan penglihatanku,
mendungukan telingaku, membekukan rasaku
puisi-puisi yang tak ku kenal begitu lancang menghapus sedikit demi sedikit firman Tuhan
kata-kata yang entah lahir dari peradaban mana berusaha mengganti Ketuhanan yang Maha Kuasa sebagai keuangan yang maha kuasa
lalu filsafat demi filsafat semakin memandang agama sebagi candu

kata, begitu kuat  berkuasa di media
sanggup mengubah dingin menjadi panas, merekayasa kedzaliman menjadi kebaikan, menyulap kebohongan menjadi kebaikan, dan seperti yang lain

di saat lautan manusia berselimut kata
bumi menjadi saksi atas ketidakhadirnya ruh di setiap untai kata
kata terus mengalir biarpun tanpa sukma
puisi-puisi terus saja lahir biarpun tanpa gerak yang nyata

akupun dengan sisa-sia imanku mencoba bertahan
tapi, puisi demi puisi masih saja ku tulis, walau sebenarnya masih ada sekian keraguan yang mendekap
aku pun terbangun dari lelapnya puisi dan kata
lalu seorang kawan yang telah lama ku rindu datang menyembuhkan lukaku
dengan lembut ia bertutur, Kawan, tidakkah kau ingat, bahwa Allah telah memperingatkan para penyair dalam firmanNya?
penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu
tidakkah kau lihat, mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata
dan mereka suka mengajarkan yang tak mereka kerjakan
kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut asma Allah, dan melakukan pembelaan ketika didzalimi
begitulah kawanku bertutur
kembali menarik kesadaranku yang telah lama hilang

di balik puisi-puisiku aku terdiam
sejenak, ku lihat puisi-puisiku berserakan di sana-sini
lalu dengan lirih hatiku membisik
“Ilahi, maafkan puisi-puisiku
selamatkanlah aku dari lautan kata-kata
jagalah kata-kataku
selamatkanlah pusi-puisiku”

Malang, 07.02.2014
M. Fahmi



Segenggam Asa
Oleh: M. Fahmi

yakin merayap ragu
hitam-putih menyatu dengan waktu
melalui sekat-sekat rimba
mewujud abu-abu
pagi bungkam seribu bahasa
parade wajah-wajah penuh harap
melayang
tutupi sinar mentari
di sini keangkuhan tunduk
pada ketawaduan
segenggam asa
temani sepi, di hadapannya
mulutpun tak bisa ungkapkan
sebersitpun
karena hati yang lebih jujur
yang akan menyibak tirai nurani
ketika kesempatan
telah berikan waktunya
aku pun sanggup bertemu dengan kesiapan

Jombang, 10 Januari 2012
M. Fahmi

Menyentuh Langit Cinta-Mu
Oleh: M. Fahmi

seberapa tajam cadas yang hendak merobekku
di sini, waktu menjadi jurang
tempat menampung segala asa berpintalan sebelum akhirnya pecah dalam darah
aku ingin pulang
aku ingin pulang pada asap yang mengalir dari rindu-Mu Allah
membiarkan angin menjemputku dan cahaya mendekapku yang akan segera kembali menyala saat langit cinta-Mu berhasil kusentuh dengan jemari air mata
mungkin juga guntur akan segera tumbuh pada lipatan doa yang membias dari ketinggian harapku
namun, saipa kini yang berani mengganti kerinduanku pada serak nafas-Mu yang Kau kirim jauh sebelum aku lahir dari garba ibu?
kunyalakan lilin pada sela-sela tulang rusukku
membiarkan seluruh darah daging mendidih mematangkan rindu, cinta, dan air mata lewat doa yang bergelantungan di ranting-ranting malam panjangku
sujudku barangkali hanya sebatas diam
menampung keluh kesah yang Kau kirim dalam selembar rindu yang jadzab oleh jumpa paling jeram

Jombang, 24 April 2012
Al-Faqir ilallah

Ku Tolak Cintamu, Bukan Karena Ku Tak Mencintaimu
Oleh: M. Fahmi

cintaku
tahukah engkau mengapa akhirnya harus ku katakan semua ini padamu?
ketahuilah, Tuhan yang dulu engkau agung-agungkan itu
yang dulu kau puja, kau sebut namaNya
hingga bibirmu kelu lewat dzikir sepimu
kini telah terkubur di lembah-lembah mesum
cahayaNya berkarat tenggelam dalam minum-minuman laknat
suaraNya terjepit di antara ingar bingar musik jalanan
sabdaNya pun tak laku lagi dijual di rumah-rumah ibadah
bahkan di pasar loak!
Tuhan telah kau sulap menjadi buah-buah khuldi baruyang siap engkau petik seenaknya, engkau isap, engkau makan, dan engkau campakkan sisanya ke air comberan
Tuhan sudah lama mati terbunuh
engkaulah yang membunuhNya lewat janin-janin tak berdosa, hasil hubungan gelap dengan pacarmu
Tuhan sudah lama mati kelaparan lewat derita orang-orang miskin yang tak kau hiraukan lagi tangisnya
Tuhan telah lama pergi karena kau telah membuatNya cemburu, lewat laku maksiat yang setiap saat kau lakukan
Tuhan telah lama tak ada karena kau tak pernah menganggapNya ada
Tuhan telah lama menghilang karena kau tak lagi membutuhkanNya
Tuhan telah engkau siksa, engkaulah yang memenggal leherNya, kau cincang tubuhNya lewat amuk massa yang mengobarkan nafsu amarah
Tuhan telah engkau injak-injak lewat kekuasaaan angkara murka
Tuhan telah kau tipu lewat omong kosongmu yang tak pernah kau kerjakan
Tuhan telah engkau potong lidahNya, kau bungkam suara kebenaranNya
kemudian Tuhan engkau jadikan barang mainan anak-anak yang terpajang di etalase-etalase toko di sepanjang jalan
dan kini, kau bebas menuhankan apa saja yang engkau sukatermasuk nafsu syahwat dan hawa kedaginganamu!
cintaku
tahukah engkau mengapa akhirnya harus ku katakan semua ini padamu?
sebab, kini aku bukan lagi pribadi yang harus bisa menerima, juga menolak
karena cinta yang seperti itu mungkin hari ini sudah tak ada
orang-orang telah lupa, dan mungkin tak lagi mengingatnya lagi
apakah kau tak juga mengingatnya?
apakah kau tak juga merindukannya?
cintaku
ketahuilah
cinta sudah lama mati bersama matinya hati nurani
cinta sudah lama menghilang bersama menghilangnya kesadaran
maka kutinggalkan nafsu dalam keyakinan hati
percayalah, justru aku sangat mencintaimuitulah sebabnya, kutolak cintamu bukan karena ku tak mencintaimu

Di penghujung tahun, Tuban, 28 Desember 2012
M. Fahmi

Di Balik Usaha dan Takdir
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Dulu, saya pernah belajar ilmu Tasawuf di PP. Bumi Damai Al-Muhibbin Tambakberas pada setiap malam Selasa. Kitab yang dikaji adalah “Al-Hikam” karya Ibnu Athaillah As-Sakandary. Di sana—pada setiap malam Selasa—selalu ramai oleh masyarakat dari berbagai wilayah, dari berbagai golongan, dari berbagai etnis. Saya sangat menikmati pengajian tersebut, sebab Abah Jamal selalu memberikan pembelajaran yang benar-benar baru di mata saya.

Saya melihat, bahwa pada setiap kajian kitab-kitab tasawuf itu selalu cenderung  pada paham Jabariyah, yakni segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Para Salik (penempuh jalan menuju Allah) dan Sufi, mereka tak pernah tertarik sedikit pun oleh gemilangnya dunia dan seisinya ini, sebab kebahagiaan mereka hanyalah bisa bersanding dengan kekasih sejati, yang memberinya kehidupan di waktu siang maupun malam. Usaha macam apa pun yang dilakukannya semata-mata lahir atas kehendak-Nya. Dan hanya Allah-lah yang mengatur segala kehidupannya dan memenuhi segala kebutuhannya. Manusia banyak yang terbudak oleh ganasnya dunia. Barang siapa yang meninggalkan dunia maka dunia akan dengan sendirinya patuh padanya. Banyak cerita Sufi juga yang senada dengan paham Jabariyah. Hal-hal semacam ini mengajarkan kepasrahan total kepada Allah atas apa yang terjadi pada dirinya.

Namun seiring dengan berjalannya usia, saya memperoleh pemahaman baru lagi atas apa yang saya pahami selama ini, dan ini justru sangat bertentangan dengan apa yang pernah saya kaji di Pesantren. Bahwa hidup itu harus ada keseimbangan antara olah dzikir dan olah fikir. Bahwa Allah memang telah menentukan takdir setiap manusia di Lauh al-Mahdfudz. Tapi tidak berarti Allah menghendaki manusia ini jadi orang jahat, manusia ini jadi orang baik, tidak. Tidak sama sekali, Kawan. Jika saja seperti itu maka berarti Allah tidak adil, padahal sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Adil. Dalam Lauh al-Mahfudz itu Allah hanya menentukan mana jalan yang baik dan mana jalan yang tidak baik.

Manusia lantas diberi kebebasan memilih jalan. Dengan demikian berarti Allah adalah Dzat yang benar-benar Adil pada setiap makhluknya.
Setiap manusia yang lahir di muka bumi ini hakikatnya hanif, suci, dan fitrah. Namun, dalam perjalanannya mengarungi samudera kehidupan ini ada banyak macam “warna” yang mempengaruhinya. Manusia memilih jalannya sendiri-sendiri sesuai apa yang diyakininya. Sehingga menjadilah ia sebagaimana ia menjadi.
Pemikiran Jabariyah berbanding terbalik dengan pemikiran-pemikiran orang Barat yang cenderung Qadariyah, yakni segala sesuatu terjadi atas jerih payah dan usaha yang dilakukannya. Bahwa setiap manusia diberi kekuatan untuk berusaha. Inilah yang menjadikan orang Barat berkembang menjadi negara maju dan mengalahkan orang-orang Islam.

Umat Islam sekarang banyak yang terbelakang dan menjadi bangsa terjajah serta menjadi obyek dari keproduktifan dan kekreatifan umat lain karena pola pikirnya banyak yang terjebak ke dalam paham jabariyah dan fatalistik. Kita memerlukan wali dan dan para sufi yang terjun langsung ke medan juang, bukan wali dan sufi yang menghindar dari peperangan  dan menjadi pertapa di gunung. Kemiskinan, penyakit, dan kebodohan adalah musuh terbesar kita saat ini yang mesti diperangi.

Kita beramal dan beribadah bukanlah karena mengharapkan Surga atau karena takut masuk Neraka, namun semata-mata karena ikhlas, tunduk, patuh, dan cinta kepadaNya. Namun, cinta itu sendiri harus dimanifestasikan lewat perjuangan, kerja keras, dan harus ditebus dengan tetesan keringat, darah, dan air mata. Memang tidak ada kekuatan melainkan datangnya dari Allah, tapi untuk mengenal kekuatanNya yang sesungguhnya kita harus mengosongkan diri, hening-heneng-henong, bahkan keluar dari diri sendiri sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam alam makrifat dan tenang bersamaNya. Perjalanan itu harus dilalui lewat tangga syari’at, thoriqoh, hakikat, hingga akhirnya sampai pada tangga terakhir, yakni makrifat.

Nahdhotul ‘Ulama telah memberi pemahaman bahwa segala sesuatu harus disikapi dengan metode “mutawashith”, yakni tidak hemisfer kanan, juga tidak hemisfer kiri. Maka NU berada di tengah-tengah paham Jabariyah dan Qodaariyah. Ini bukan berarti NU tidak punya pandangan, tapi “di tengah-tengah” itu berarti bahwa ada saat dimana kita Jabariyah, dan ada saat di mana kita Qadariyah. Bahwa beribadahlah engkau seakan-akan maut selalu mengintai dan bekerjalah engkau seakan-akan hidup selama-lamanya!

Tuban, 18 Ramadhan 1435 H

Pengembara Abadi
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Hari-hari terakhir ini tugas kuliahku menumpuk. Pikiranku kacau. Badanku sering sakit-sakitan. Malam ini sengaja aku memilih istirahat. Aku tidak sempat berfikir apa yang terjadi esok ketika tugasku belum selesai. Yang terpenting untuk saat ini aku tidak ingin dibuat pusing oleh banyaknya tugas itu. 

Malam ini, semilir angin dari jendela kamar seakan menemani kesendirianku. Hingga dingin kota Malang yang tanpa permisi menusuk tulang-tulang persendianku. Tiada kuhiraukan. Ku lihat buku dayri-ku yang tergeletak di meja belajar. 

Entah mengapa, di saat pikiranku kacau seperti ini aku lebih memilih menulis dayri. Dayri seakan telah menjadi ‘sobat’ dan teman bicaraku yang tak pernah protes walau aku menulis banyak pertanyaan di tubuhnya, dan memang tak mungkin ia bisa menjawabnya dan selamanya tak akan pernah bisa bicara. Dalam galau perlahan kubuka dayri-ku, yang senantiasa menemani hari-hariku, yang tak pernah bosan mendengarkan curahan hatiku.

Setelah sekian lama terdiam dalam kebekuan, perlahan mulai kubuka penutup pena, lalu kurangkai kata demi kata.

***
06 November 2013
Dear dayri.
Sorry, di keheningan malam ini, kembali aku harus membangunkanmu, karena aku merasa sudah tidak kuasa menanggung beban ini sendirian. Aku berharap dengan menceritakan semuanya padamu, beban yang saat ini kurasakan bisa sedikit terkurangi.

Dayri. Kurasa kau suda tahu, karena memang semuanya sudah tertulis dalam lembar-lembar dirimu yang lalu. Dosenku akhir-akhir ini tak pernah memberiku kesempatan untuk istirahat. Namun aku tetap bersyukur. Sebab dengan kesibukan ini dapat menolongku sedikit untuk melupakannya, meskipun tidak seluruhnya. Sebenarnya bukan tugas yang membuat pikiranku menjadi kacau, melainkan dia. Ya, semua tentangnya. Juga dengan semua misteri yang sempat menghuni kepalaku ini.

Belum sempat selesai aku menulis dayri, penaku mulai bergerak ke sana dan kemari. Aku menguap berkali-kali. Buku dayri-ku yang semula rapi kini kulihat banyak corat-coret di sana sini. Aku terhenyak. Aku selalu sebal melihat kebodohanku ini. Namun malam semakin larut saja dan rasa kantukpun mulai menyerang hingga kemudian akupun telah terbuai dalam alam mimpi. Tubuhku terasa ringan. Akupun terbang menembus awan, menuju puncak tertinggi alam semesta.

* * *
Aku tak mengerti, mengapa aku bisa berada di tempat seaneh ini. Belum pernah ku temukan tempat seasing ini. Tak ada tanaman. Tak ada bangunan. Tak ada apapun sama sekali. Di mataku semuanya putih. Lalu aku berteriak sekeras-kerasnya, namun tak ada yang menjawab. Di manakah aku saat ini?

Tak seberapa lama kulihat sesuatu yang tak asing di mataku. Aku mencoba mempertajam penglihatanku. Dan benar. Tulisan-tulisan dayri-ku yang sempat kutulis beberapa hari yang lalu berterbangan di hadapanku. Aku mencoba untuk mengejar tulisan-tulisanku itu. Dan aku berhasil menangkapnya.  Dengan gemetar aku membacanya.

04 November 2013
Dear dayri.
Memang benar, Dayri. Zaman telah berubah. Di sini, aku benar-benar serasa asing. Pada setiap persimpangan jalan, selalu saja kutemukan misteri yang tak mampu diterima oleh nuraniku. Dan anehnya, aku belum kunjung mengerti juga. Aku atau mereka yang benar. Aku atau mereka yang salah. Aku atau mereka yang munafik. 

Dayri, tahukah kau. Mungkin prasangka mereka benar, tapi yang pasti tak sepenuhnya benar, karena selama ini aku sama sekali tidak punya maksud untuk tidak peduli. Hanya aku yang selalu saja beranggapan bahwa memang aku sudah pernah melewati fase-fase seperti itu. Namun apa yang selalu terjadi? Ternyata yang kudapati hanyalah gelap dalam cahaya.

Dayri, sudahkah kita temukan jawabnya, siapakah sebenarnya kita ini? Mengertikah kita, ke cakrawala mana kaki kita sedang melangkah? Dayri, doakanlah aku ini. Akupun akan mendo’akanmu, agar kita diantarkan-Nya menuju ruang kebenaran yang benar menurut-Nya.”

Dan alangkah terkejutnya aku waktu itu. Setelah selesai membaca tulisan-tulisan itu aku merasakan ada yang memanggilku. Hanya suara. Tak ada rupa. Entah berasal dari mana, suara itu terus memanggil-manggil namaku. Lalu kudengar jawaban dari tulisan-tulisanku itu. Nada suara itu amat menggetarkan seluruh nadiku. Suara itu menjawab tulisan-tulisanku dengan kesungguhan jiwa. Akupun terpesona. Sungguh!

“Kawan, kata-katamu begitu indah. Lahir dari pengembaraan yang penuh dengan keringat air mata dan darah. Pengembaraanmu yang panjang itu mengingatkan akan deritaku, mengingatkan akan pengembaraan BIMA dalam mencari sarang angin demi mengenal dirinya yang sejati guna membuktikan kebenaran yang hakiki. Percayalah, Kawan. Do’aku selalu menyertaimu. Sebab engkau adalah aku. Aku adalah engkau, yang sempat terusir dari taman firdaus entah berapa milyar tahun yang lalu.

Kini kusadari hidup merupakan titipan Tuhan yang paling berharga. Telah kulihat ‘wajah’Nya dengan pandangan nyata. Tuhan ternyata ada dalam kehidupan. Kini akupun mencintai hidup. Tujuan hidup adalah untuk mengerti siapa yang menjadikan hidup itu. Hidup adalah untuk menghidupkan. Zaman sebetulnya tidak berubah, Kawan. Yang berubah hanya peradaban yang membuat kita kadang gagap menghadapinya karena belum siap berdamai dengannya. Sahabat, perjalanan manusia paling panjang tidakklah ke mana-mana, melainkan hanya menuju kepada dirinya sendiri. Kenalilah dirimu, maka kau akan mengenal Tuhanmu.”

Agak ketakutan aku waktu itu. Keringatku bercucuran membasahi bajuku. Lalu dengan keberanian yang ada, aku mencoba berkomunikasi dengan suara itu.

“Terima kasih. Kata-katamupun indah sekali. Mampu menjawab segala pertanyaan yang kutulis waktu itu. Kalau boleh tahu, kamu siapa dan mengapa hadir begitu saja serta membantuku mengatasi segala bebenyang saat ini tengah ku rasa?”

Suara itu kemudian hadir lagi.
“Aku sebenarnya bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah seorang pengagum dari tulisan-tulisanmu yang setiap waktu membekas di jiwaku. Setiap aku membaca tulisan-tulisanmu, selalu saja membuat aliran air mata di sepanjang jalan yang panjang ini. Dan melalui itu, aku dapat belajar mengeja setiap detak nadi dan setiap gerak yang telah Tuhan anugerahkan kepadaku jaauuuh, sebelum aku lahir dari garba Ibu. Aku hanyalah seorang murid dalam pelayaran yang terus belajar pada kehidupan. Mari kita saling berbagi dan mengisi. Kita pada hakikatnya adalah pengembara yang tidak pernah berhenti pada satu titik perhentian. Dan di akhir pengembaraan mungkin saja kita menjadi seorang pertapa, seperti buku dayri-mu yang selalu bungkam, tapi pikiran dan imajinasi tidak akan pernah berhenti, sebab Tuhan sendiri tidak pernah berhenti mencipta.”

Aku hampir kehabisan kata. Ah, tak seberapa lama terlintas di benakku untuk berkenalan dengannya.
“Aku ingin mengenalmu. Siapa sebenarnya kau? Jika saja kita saling kenal, maka kita dapat saling bertukar cerita dan juga berbagi tentang nada perjalanan yang teramat panjang dan melelahkan ini.”

Suara itu tak menyebutkan siapa dia. Malah yang kudapat adalah sebuah pencerahan baru yang tak pernah kutemukan di tempat manapun.

“Hidup memang melelahkan, Kawan. Tapi itu hanya proses alam. Kelelahan akan segera hilang setelah kita bersyukur penuh keikhlasan. ‘Di balik kesulitan pasti ada kemudahan’, firmanNya dalam Al-Qur’an. Bila Allah ingin mengangkat derajat seseorang dan ingin menjadikannya kuat maka diujinya hambanya itu dengan beberapa kesulitan. Dalam kesulitan pula ada tantangan hidup yang membuat kita bergairah untuk menaklukkannya. Tidak pria tidak pula wanita, semua diuji olehNya. ‘Apakah kamu mengatakan beriman sementara Allah belum mengujimu?’ firmanNya pula. Sesungguhnya Allah menyukai hamba-hambaNya yang tegar lagi beriman.”

Masih penasaran siapa suara yang hadir tanpa wjud itu. Lalu ku pertegas lagi, bahwa aku ingin mengetahui tentang siapa dia.

“Alhamdulillah. Aku mengucapkan banyak terima kasih padamu karena telah banyak berbagi ilmu kepadaku. Ini sangat berharga bagiku. Sebab kata-kata itu tak semudah untuk kudapatkan. Tapi sungguh, aku ingin mengerti tentang siapa kau?”

Mungkin ia agak terkejut karena aku terlalu memaksanya. Iapun membalasnya. Namun semakin lama suara itu makin mengecil dan akhirnya menghilang  tak terdengar lagi.

”Hemmm. Baiklah, Kawan. Akupun sebenarnya harus banyak belajar darimu pula. Selamat menulis, Kawan. Pintuku selalu terbuka untukmu. Setiap waktu kau membutuhkanku, kau tinggal menulisnya di tubuhku. Masa depan bangsa ini ada di pundak para pemuda pemudi penulis sepertimu. Akulah sebenarnya buku dayri-mu itu.  Selamat berjumpa lagi di tulisan yang akan datang. Aku Pengembara abadi di setiap kata yang kau tulis.”

***
Suara itu hilang entah ke mana. Dan tiba-tiba saja kudengar adzan subuh memanggilku saat kudapati kepalaku masih tergeletak di atas buku dayri  dan tangankupun masih memegang pena.
Ah, pengembara abadi. Sebenarnya siapakah engkau? 

Malang, 06 November 2013


Melihat Kebaikan dalam Segala Hal*)
Oleh: M. Fahmi

*) Diterbitkan juga di buletin Al-Anwar PP. Anwarul Huda Malang: https://ppanwarulhuda.com/buletin-al-anwar/melihat-kebaikan-dalam-segala-hal/

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[Pagi ini. Semesta masih bertasbih dengan bias birunya. Fajar yang purnama, betapa gagah menjemput segala pagi. Semburat fajar menjadi saksi perjalanan setiap manusia. Pagi-pagi begini, ada manusia yang berjalan kepada kebahagiaan. Ada pula yang berjalan kepada kebencian. Ah. Sepertinya, soal rasa, telah menjadi penyakit lama manusia. Belum juga tibakah saatnya manusia mengetahui, bahwa senyum dan do’a di pagi hari akan menentukan cuaca hari ini?

Ketahuilah. Angin, selamanya tak akan pernah tidur. Ia akan terus berhembus ke mana ia suka. Ialah yang pagi-pagi membelai setiap helai rambut di ubun-ubun manusia. Jelas saja, setiap manusia mempunyai hak sendiri-sendiri, untuk memilih isi ubun-ubunnya. Sehingga, menjadilah manusia itu sebagaimana ia menjadi. Angin pula yang tahu, apakah ubun-ubun manusia itu berisi embun ataukah api.]

Sadarilah, bahwa yang menciptakan kegelapan hanyalah prasangka demi prasangka buruk. Yang membuat segalanya menjadi gelap adalah diri kami sendiri. Pun, yang melahirkan cahaya sesungguhnya datang dari kami sendiri. Kehidupan zaman sekarang ini, tak seburuk yang kami sangka. Sebab kami bukanlah Tuhan, dan semua bukanlah urusan kami yang pada akhirnya membuat kami pusing. 

Kepada mereka yang hidupnya terseok-seok dan ragu tepat di persimpangan jalan. Kepada mereka yang selalu menolak taburan cahaya. Kepada mereka yang senantiasa menjauh dari rel kebenaran. Kepada mereka yang membuat mata kami perih. Mereka yang membuat telinga kami panas. Kepada mereka yang tak mengenal agama. Yang melakukan kerusakan. Yang melakukan kemungkaran. Yang menindas kami. Yang melecehkan agama kami. Yang semena-mena mencela kami. Kami tak perlu merisaukan mereka. Kami harus selalu berbaik sangka. Jangan sampai berburuk sangka menjadi kebiasaan yang menjamuri pikiran kami. Bahaya...! Bisa-bisa kalau sudah akut, nanti menjadi tumor ganas yang mengganggu sistem kerja otak kami. Kami harusnya selalu bergembira dan menerima dengan bahagia atas segala rencana-Nya. Menikmati segala yang datang kepada diri kami. Ketahuilah, bahwa emosi dan menyimpan dendam pun tidak baik buat kesehatan jiwa kami. Bukan berarti kami tidak peka terhadap kebenaran ataupun kemungkaran, bahkan dengan cara begini, kami akan bisa belajar untuk lebih waspada dan peka kembali, kepada apa yang telah, sedang, dan akan terjadi di dalam diri kami sendiri. Buang saja puisi-puisi kami yang bernada mengutuk keadaan. Yang berlagu menyombongkan diri. Yang berirama membesarkan diri. Yang bersyair merendahkan sesama. Malah sebaiknya, kami harus waspada kepada diri kami sendiri, kepada prasangka-prasangka kami sendiri. Atau jangan-jangan, kami tak pernah gelisah dan risau kepada diri kami sendiri.

Sebagai catatan awal, kalau semisal ada yang mengatakan kami adalah orang keren, hebat, pandai, kaya, alim, ataupun berasal dari keluarga raja, maka percayalah, bahwa itu semua hanyalah berita bohong belaka. Orang yang mengatakan seperti itu, kami pikir sangatlah berlebihan. Dan sesuatu yang berlebihan tidaklah baik. Mereka mungkin salah terka. Bahwa kami sesungguhnyalah cuma orang biasa, berasal dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, juga berperilaku biasa, bahwa kami hanyalah manusia yang sangat-sangat biasa—tak suka sama sekali dengan yang namanya pujian.

Melihat kebaikan dalam segala hal ini erat kaitannya dengan akhlak. Akhlak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia; merupakan hal yang paling penting dan menjadi tanda bahwa seseorang itu layak disebut sebagai manusia. Akhlak merupakan satu-satunya jalan yang dapat menghubungkan para penempuh jalan agar sampai kepada tempat yang menjadi tujuan sejati. Sepandai atau sebanyak apapun ilmu seseorang bila tidak memiliki akhlak, ia tidak akan pernah menemui apa sebetulnya yang ia cari di muka bumi ini. Hanya hampa yang ia jumpai, hari demi hari. Hatinya telah membeku, sebab ia menolak kehadiran nurani.

Betapapun kami, setidaknya tidak merasa lebih baik dari siapa pun yang pernah kami jumpai. Andaikan saja, kami bertemu dengan seseorang yang umurnya lebih muda daripada kami. Maka sikap atau lebih tepatnya pemikiran yang harus kami bangun dalam pikiran adalah bahwa, seburuk apapun ia pada kenyataannya tetap lebih buruk kami dari orang itu, sebab dosa yang ia perbuat masih lebih sedikit daripada tumpukan dosa yang sengaja kami simpan waktu demi waktu di sebuah lemari besar yang tak tersebutkan namanya. Atau, kalau saja kami bertemu dengan orang yang lebih tua umurnya dari kami, maka pada rasionalisasinya ia tetap lebih baik daripada kami, sebab ia telah lebih dahulu beramal, dan amalnya sudah dapat dipastikan lebih banyak daripada kami. Kalau kami bertemu dengan orang kafir, maka pemikiran yang dibangun adalah bahwa suatu saat ia bisa beriman, sehingga ia bertaubat kemudian diampunilah segala dosa-dosanya, persis seperti ketika bayi yang baru lahir. Pun tak bisa dipastikan bahwa selamanya kami akan beriman hingga akhir hayat. Begitulah, secara terus-menerus konsep itu kami tanamkan dalam pikiran, maka setidaknya kami telah berusaha untuk mengubur dalam-dalam kesombongan yang ada dalam diri. Merasa tidak lebih baik dari orang lain ini sebenarnya tidak hanya mencakup aspek amaliah saja, namun juga bersifat lebih komprehensif lagi.

Berburuk sangka akan berdampak pada munculnya rasa sombong, karena telah melihat keburukan orang lain sehingga menjadi lebih benar dari yang lain. Dalam suatu hadis disebutkan, tidaklah masuk Surga manusia yang di dalam hatinya terdapat sebiji (dzarroh) rasa sombong. Kami sering kali sebagai manusia yang statusnya adalah sebagai penguasa di tanah bumi, merasa sombong atau sengaja memunculkan ke-Aku-an dan ke-Ego-an yang sebetulnya hanyalah hak mutlak Tuhan. Betapa pun, “aku” dan “ego” adalah bagian dari diri manusia, tapi setidaknya kami berusaha untuk tidak membiarkannya menjadi liar. Malahan, sebuah penelitian kesehatan membuktikan, bahwa rasa amatlah berpengaruh kepada setiap datangnya penyakit. Bahwa penyakit itu datang bersamaan dengan kondisi jiwa yang rapuh, sedih, tidak senang, dan yang lebih banyak lagi, penyakit datang sebab sombong dan berburuk sangka. Hidup kok cuma dibuat untuk menganalisis keburukan setiap orang lain. Sehingga satu demi satu dari setiap orang tak pernah lepas dari pengamatan.

Mari, kita eja dengan hati yang merdeka, satu demi satu pernyataan yang kami kutip. Firman-Nya dalam QS. Al-Hujurat: 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Di dalam QS. Al-Baqarah: 216 pun dijelaskan, “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Atau tentang pesan Rasulullah, bahwa “Apabila seseorang mengkafirkan saudara sesamanya, maka pengkafiran itu pasti menimpa kepada salah satunya. Jika yang dikafirkan itu memang kafir, maka ia kafir. Jika yang dikafirkan tidak kafir, maka kekafiran itu menimpa kepada orang yang mengkafirkan.” HR. Imam Muslim. Juga, ungkapan Aa Gym dalam salah satu syairnya, “Jagalah hati, jangan kau kotori... Jagalah hati, cahaya Ilahi.”

Pun kami jadi teringat kata mutiara Gus Mus di dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Gus Ja’far”. Begini kira-kira, “Sebagai Kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke Surga kelak? Atau, apakah kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang sarat kemungkaran, yang kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu? Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.”

Kenyataan mengenai perbedaan kebenaran dan kesalahan bisa dibilang begitu tipis. Keduanya berdekatan, sebab manusia sepenuhnya tak punya wewenang sedikit pun untuk menjustifikasi kebenaran atau kesalahan. Siapa yang tahu kondisi hati, kecuali hanya Yang Menjadikan hati itu sendiri. Maka siapapun kami yang masih dalam tahapan syari’at, pastilah tak pernah mengetahui dengan persis dalam suatu peristiwa, mana yang sebetulnya benar dan mana yang salah. Namun, betapapun demikian. Allah telah memberi secercah petunjuk cahaya lewat Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau lewat kalam para ulama’, sehingga langkah kami di sepanjang perjalanan kami tidak begitu gelap. Dengan lentera Al-Qur’an dan As-Sunnah kami dapat berjalan di tengah kegelapan sekalipun. Betapa, kegelapan telah menutup hampir seluruh permukaan jalan bumi di zaman akhir ini. Tak ayal, hati manusia pun ikut tertutup oleh karena keadaan yang bermacam-macam sebab dan datangnya. Kami, sebagai sesama manusia tidak elok jika saling berburuk sangka. Siapakah yang paling benar di antara kami. Kami tidak tahu. Atau. Siapakah yang paling salah di antara kami. Kami tidak tahu. Kami mengerti, kami semua adalah saudara. Al-muslimu akhul muslim. Maka kami tak hendak berprasangka satu sama lain. Betapapun bejat tingkah kelakuan saudara kami, kami tetap menyayanginya. Kami hanya membenci perilakunya, bukan orangnya. Mari, meraba hati lagi. Sudahkah hati kami baik untuk sesama. Sudahkah kami melihat, bahwa mesti akan selalu ada kebaikan dalam segala hal.

Malang, 04 Maret 2016