Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan


Ada,

Ada, orang-orang yang ingin berkuasa, dengan menikam yang lain, tapi dirinya sendiri yang terbunuh

Ada, orang-orang yang ingin viral, dengan mengunggah adegan konyol dan juga hoaks, tapi sama sekali tidak lucu

Ada, orang-orang yang ingin banyak penggemar, dengan mengupload foto-foto centil, tapi ia menjadi sibuk dengan "aku"nya

Ada, orang-orang yang ingin disebut aktivis, dengan sikap kritis dan idealis, tapi ia sendiri yang menanggung malu

Ada, orang-orang yang ingin dianggap penyair, dengan berpuisi di jalan-jalan, tapi jiwanya sendiri masih sakit

Ada, orang-orang yang ingin disebut budayawan, dengan menggunakan pakaian dan aksesoris yang nyentrik, tapi ia masih gila pengakuan

Ada, orang-orang yang ingin mendapatkan uang, dengan mengorbankan martabat dan harga diri

Ada, orang-orang yang ingin dipanggil profesor, dengan sekolah setinggi mungkin, tapi menghitung jumlah sisa umurnya saja ia tak bisa

Ada, orang-orang yang ingin menasehati, dengan membuat status-status rohani, tapi pribadinya roh halus

Ada, orang-orang yang ingin meluruskan jalan, tapi ia sendiri yang berbelok-belok

Ada, orang-orang yang ingin membukakan mata, tapi ia sendiri yang kabur penglihatannya

Ada, orang-orang yang ingin mengikuti sunah, dengan menyalahkan yang lain dan menganggap diri paling suci, tapi bau busuknya sendiri yang tercium

Ada, orang-orang yang ingin dianggap saleh, dengan membalut tubuhnya dengan jubah ke mana saja ia pergi, tapi tidak seinchi pun kain yang dapat menutupi jiwanya yang rapuh

Ada, orang-orang yang ingin menutup aurat, dengan menggunakan berbagai jenis dan merk cadar

Ada, orang-orang yang ingin hijrah, tapi tak pernah lupa selfie dan diberitakan

Ada, orang-orang yang sangat luar biasa, tapi mungkin tidak bagi penduduk langit

Ada, orang-orang yang ingin sendiri, tapi ia tak pernah bisa menyelami makna kesunyian

Ada, orang-orang yang rindu, tapi hanya dalam hitungan waktu

Ada, orang-orang yang saling cinta, tapi hanya dalam status

Ada yang bilang, kalau status di media maya itu, sembilan puluh persen hanya citra

Ada, orang-orang yang benci, tapi sesungguhnya karena cinta

Ada, orang-orang yang berprasangka, tapi salah dalam kenyataannya

Ada.. ada.. ada.. manusia-manusia yang terlupa dengan niat dan tujuannya, dan akhirnya kehilangan arah

Semoga setiap niat kita tidak keliru, termasuk dalam menulis tulisan ini.. Hehe

Rengel, 07.10.18.


Perjalanan Musim
Oleh: M. Fahmi

Di dadaku ini seperti senja,
cukup lapang untuk menampung gelap dan cahaya
Juga duka dan suka

Sesudahnya, ialah malam
Mungkin sengaja, malam hadirkan Rembulan untuk menemaniku
Sedemikian, ia sungguh berani, menyapaku yang dingin
Meski, tak banyak perempuan yang lancang mendekatiku
Kami becermin pada langit malam

Malam yang sungguh entah
Kelamnya senantiasa menyimpan rahasia
Belum pernah kulihat, ada warna semuram malam ini
“Tenanglah. Semua hanyalah pernik kecil
dari rantai perjalanan musim,
Kita akan selalu membajui hidup
dengan sabar dan syukur,” begitu hiburnya

Tak ada sepotong kalimat pun yang keluar dari mulutku
Namun mataku lebih menghujam dibanding kata-kata
Sekalipun hanya sekali ia menatap mataku,
Selebihnya ia mungkin takut
Dan sayangnya, wajahku tak bisa berbohong
Ah, lelaki payah!
Sementara, aku tak bisa berbuat lebih
Masih sebatas pura-pura
Tapi aku mengharapkannya di sisiku
Pada hari-hari setelah hari ini

Hangat, mengalir dari cahaya Rembulan
Kami merumahkan harapan
dan menanggalkan doa-doa hingga ke pucuk langit
Betapa pergi dan datangnya Rembulan
Selalu bisa menyesakkan dada
Ia sungguh menenangkan. Menyenangkan
Wajarlah jika aku selalu jatuh cinta
Lebih dari cinta itu sendiri
Selalu.

Tiba-tiba kudengar sayup-sayup suara
“Menangislah!
Tuhan menciptakan air mata
bukan untuk perempuan saja.”

Malang, 10.11.2017

Puisi Anak Kecil
Oleh: M. Fahmi

aku ingin
hanyut dalam desir angin
menggericik dalam setiap tetes air
melesat bersama cahaya
tersenyum dalam setiap butiran bening embun di dedaunan
berdenyut dalam tiap detak waktu
berbaur dengan semua elemen, semua nada, semua warna
dan bernyanyi bersama kicau segala burung di alam semesta raya ini!

Ilahi, Engkaulah
penolong di setiap gerak langkah hidupku;
di saat aku buta dan tertatih kehilangan-Mu,
Engkaulah kekasih abadi:
matahari hatiku, rembulan jiwaku,
pelipur dukaku, penyejuk mataku;
di saat semua sesungguhnya sirna
—karena hanya Engkau yang ada dalam ada,
Engkaulah yang bisa membawa langkahku
untuk mengenal siapa diriku dan juga Engkau,
Engkaulah tempat sejatiku bersujud dan berharap
dalam setiap bait hembus nafas-Mu,
yang telah Kau kirim jauh…
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu,
Engkaulah hakikat dan inti pencarianku,
puncak tertinggi kerinduanku

Ilahi, ajarilah aku mencintai-Mu
dengan cinta yang setara dengan cinta-Mu
agar segera sampai aku kepada-Mu
cukuplah sosok sepi ini dengan ridho-Mu
yang menyeluruh tiada batas-tepi itu

Ilahi, telah kuterima surat agung-Mu
kan kugenggam erat-erat seluruh ayat-ayat cinta-Mu
kubawa berlari, berlari, dan berlari..
betapa pun, di sini
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu
di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari segala kembara cintaku!

Ilahi, aku ingin…
berlayar dalam semesta maha karya akbar-Mu
di ruang dan waktu manapun

Jombang, 22/01/2013

Usaha Meredakan Hujan
Oleh: M. Fahmi

Inilah risiko bermain di tengah hujan
Pertarungan ego di altar jiwa
Menunggu hujan memahamiku
ataukah berusaha memahami
setiap dari cuaca?
Seperti selalu tumpah dalam gemuruh
bersama petir, badai, mendung, dan juga gerimis.
Segalanya menjadi gelap.
Tak mampu lagi kuraba
mana timur, mana barat.
Dan aku serasa tak menjadi diriku.

Akhirnya kuputuskan untuk tidak tertawa lagi,
dan bersandiwara dalam lugu
Sekali lagi, risiko memang
Tapi biarlah
Aku ingin sesegera ini pulang,
menjadi diriku.
Kutanggalkan segala baju, sepatu, topeng,
bahkan songkok sekalipun
yang memberatkan diriku
untuk bisa terbang, merobek langit
Kiranya cahaya itu datang
membelah hujan, mengusir gelap
Kini, kulepas diriku
(semoga) tepat dalam dekapan insyaf.

Malang, 14/04/2017.

Menggenggam Matahari
Oleh: M. Fahmi

Sekerdil (ini)/itu kah,
idealisme (kita)/mu?
Apa kau kira aku akan
-begitu saja-
menyerahkan matahari
dan lalu terbakar
oleh gincu, bedak, celak, paras,
pakaian, sampai semerbak aroma tubuhmu?
Rupanya (kita)/kau masih belum
benar-benar mengenal matahari,
meski telah sedemikian lama
kita saling mengenal.
Mengapa begitu ceroboh
meludahi matahari?
"Dengar, kita sudah hampir sampai
di penghujung waktu pura-pura. Tak ada salahnya
jika memperbaiki diri," bisikmu suatu ketika
"Memperbaiki diri?" ulangku
seraya mengernyitkan dahi.
"Kurasa, kita perlu lebih banyak belajar lagi
pada segala yang ditawarkan matahari," rayuku kemudian.
Tapi engkau seperti tak percaya.
Dan engkau semakin menjadi dirimu.
Sementara aku, (semoga) tetap menjadi diriku.

Malang, 14/04/2017.

Peran Santri dalam Menyebar Dakwah, Membangun Negeri, dan Menggapai Ridlo Ilahi
Oleh: M. Fahmi

Saat bumi, tak lagi mampu menampung kekafiran dari rimba yang bergema
Siang dan malam, memang telah menjadi kelam bagi sebagian besar manusia
Kala lautan manusia berselimut dosa, mengobral sensasi di depan khalayak
Langit menjadi saksi bisu, atas kebohongan di setiap untai gerak manusia
Dosa terus melekat, biarpun tanpa taubat
Maksiat terus saja mengalir, biarpun tak selaras dzikir
Siapakah kini, yang berani memungut puing-puing hikmah yang terserak, kalau bukan seorang Santri?
Siapakah kini, yang berani menghidupkan kembali kebenaran-kebenaran di antara kefasikan yang berhamburan di muka bumi, kalau bukan seorang Santri?
Berharap di setiap gerak langkah mewujud bijak
Berharap kuncup iman, lahir mekar sempurna
Namun, di zaman ini, bijak masih juga berjarak,
Sempurna rasa masih sebatas impian
Kemunafikan masih saja tenggelam di dalam diri manusia
Kapankah rintik hujan berubah menjadi gelombang insyaf?
di sini, saat ini, kalam Allah menampar diri

Ilahi, ke manakah kami harus berlari, saat bumi-Mu telah sesak oleh kemungkaran?
Ataukah memang saat ini kami sedang menuju akhiruzzaman?
Ilahi, biarlah kami genggam erat-erat firman-Mu
Kami bawa berlari, berlari, dan berlari..
Betapa pun, di sini kami selalu berharap
Engkau masih setia menunggu, di ujung waktu
Sebab, hanya kepada-Mu lah kami bersandar

***
Saat waktu, tak lagi mampu bicara tentang harap para rakyat di tanah air,
Negeri yang telah kehilangan kejujuran, masihkah kita pura-pura tak mengerti?
Lalu, menaruhnya di atas keniscayaan?
Ah, iya, memang mungkin sudah masanya, memang mungkin sudah zamannya
Para pemimpin negeri melupakan kebenaran, tak lagi peduli peduli kepada kebenaran
Kebenaran seakan menjadi boneka lucu yang layak ditertawakan
Wahai Santri, lihatlah, di ufuk cakrawala sana, sayup-sayup suara memanggil, terdengar jelas kebenaran yang membisik,

Bila Santri zaman dahulu mampu membangun kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya, kenapa sekarang tidak?
Kala para penjajah negeri terlelap di atas kursi kesewenang-wenangan
Para Santri bangun di sepertiga malam terakhir, mereka dirikan shalat, mereka wiridkan dzikir, lalu mereka rancang strategi bersama atas nama keadilan dan kebenaran
Ketahuilah, bahwa negeri kita sekarang ini sebenarnya masih terjajah;
Terjajah oleh kepentingan-kepentingan, terjajah oleh ketidakadilan, oleh kemaksiatan, oleh dosa, oleh kesewenang-wenangan, oleh kerakusan, oleh kemunafikan, oleh kedustaan,
Terjajah oleh nafsu dan materi, terjajah oleh para penjajah yang ternyata lahir dari bangsa sendiri:
Bangsa yang terlalu lama tertidur, hingga melupakan kebenaran-kebenaran
Lihatlah, betapa kebenaran kini telah lama mati bersama matinya hati nurani
Maka hari ini, di hari Santri ini, telah sepatutnya para Santri bangun dan bergerak
Berani dengan lantang dan teguh, menegakkan kembali kebenaran
Dengan dakwah, dengan syi'ar, dengan amal, dengan prinsip dan keyakinan
Perangilah segala kemaksiatan dengan kebenaran
Percayalah, bahwa kebenaran kelak akan muncul sebagai pemenang, meski datangnya kadang belakangan

Santri, betapa besar jiwamu, betapa mulia pengabdianmu, betapa agung perjuanganmu
Kau bangun negeri beserta manusianya dengan semangat dan gelora
Janganlah engkau takut menghadapi kemungkaran di atas muka bumi
Ingatlah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan selalu bersama langkahmu
Bersama langkah perjuanganmu, menuju ridlo Allah."

Malang, 3 Oktober 2017

Cerita di Sore Hari
Oleh: M. Fahmi

engkau selalu datang di waktu sore hari
menemuiku, mengucapkan salam, lalu buru-buru pulang bersama perginya mentari
engkau selalu bercerita tentang berbagai fenomena dan rahasia hidup dan kehidupan
anehnya, tak satu pun dari ceritamu yang masuk akal
tapi aku tetap yakin dan percaya akan kebenaran cerita-ceritamu
aku mengangguk asal mengangguk tatkala engkau menanyakan perihal kepahamanku
engkau juga selalu sabar mendengar setiap untai keluh kesahku
di dadaku ini, sudah seperti senja:
tabah menampung risalah cahaya dan gelap
antara tawa dan air mata
antara duka dan bahagia
yang senantiasa datang, entah dari ufuk yang mana
engkau selalu datang membawa senja yang purnama
sinarmu mengingatkanku, untuk selalu pulang pada langitNya
itulah yang  membuatku selalu takjub kepada Yang Menjadikanmu
aku tak pernah tahu dari mana engkau datang dan ke mana engkau pergi
pernah suatu ketika kucoba diam-diam bersembunyi, membuntuti langkahmu ketika pergi
namun, aku tak pernah berhasil mengikuti jejakmu
engkau selalu hilang entah ke langit bagian mana, dikala matahari tenggelam sepenuhnya
pun juga tak pernah ku ketahui darimana datangmu
engkau selalu datang menemuiku secara tiba-tiba
waktu itu, tanpa ku duga-duga engkau telah duduk-duduk santai di ambang cakrawala, menikmati sore hari
bagiku engkau misteri
tapi aku tak begitu mempedulikan hal-hal semacam itu
kehadiranmu itu sudah merupakan bagian dari rasa bahagiaku
sebab, sudah lama aku tak melihat senja di sore yang sama
sudah lama aku menempuh sore seorang diri
ku lalui berbagai liku sore seorang diri, tanpa satu pun sahabat yang menemani
dan kini engkau datang, Senja
menemani perjalananku pada setiap momen di sore hari
kini aku selalu terhibur, karena kedatanganmu selalu mengundang tawa
entah dari mana asal tawa itu
dan sepertinya aku menyukaimu
dari sudut ufukmu saja aku sudah bisa melihat kejujuran, ketulusan, juga kasih sayang
Senja, maafkanlah bila dalam menyampaikan bahasa aku terlalu alay
ini kulakukan agar semua dapat terpahami secara menyeluruh
dan, justru dengan kealay-an ini aku bisa mengungkapkan rasa dengan kejujuran yang murni
Senja, tapi mungkin ini adalah senja terakhir kita bertemu
sebab, kini aku telah menjelma pecahan fajar di pagi hari
Senja, izinkan aku pamit dengan sebait puisi ini, di sore ini
maafkan aku
aku harus berjalan lagi seorang diri
menyusuri jalan yang tak dipilih oleh kebanyakan orang
menempuh berbagai liku waktu di sepanjang ruang
melewati dimensi lain yang tak pernah ada di waktu sore hari
karena aku tahu, engkau tak akan pernah bisa menemaniku di waktu fajar
tapi, tetaplah menjadi senja yang menghangatkan
dan aku akan memulai semesta baru, di ruang fajar
percayalah, justru aku sangat merindukan saat-saat bersamamu, di waktu sore hari

Malang, 14.11.14
Em Ef
Aku Merindukanmu, Muhammadku
Oleh: M. Fahmi

Bismillahirrohmanirrohim..
Ya Rasululloh,
Semenjak mengenalmu, aku selalu merindukanmu..
Kisah demi kisah, masih terekam jelas di benakku,
Sebab, engkaulah panutan umat sepanjang masa
Yang memberikan cahaya, agar kami tak salah langkah di ruang yang gelap
Namamu indah, seindah maknanya; “orang yang terpuji”
Manakala disebut namamu, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muhalib bin
Hasyim
Bergetar sukma terdalamku, sesegera aku menjawabnya, Allahumma shalli wa
sallim wa baarik alaih..
Di Subuh yang masih buta nan petang,
Terdengar kabar bahagia di rumah Abu Talib, Makkah Al-Mukarramah
Abdullah, Aminah binti Wahab, dan sekeluarga pun mengucap syukur
Adalah pertama kali engkau melihat kemegahan muka bumi ini, sebagai karya
akbarNya
Tepat di hari Isnin, 12 Rabiulawal, atau 20 April 571 tanggal Masehinya
Sementara, tahun gajah itu kembali mengingatkanku,
Tentang peristiwa tantara bergajah Abrahah
Yang begitu lancang menciumi pipi kota Ka'bah
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Barakah Al-Habsyiyyah telah menjadi pengasuhmu,
Kemudian Thuwaibah telah berjasa menyusuimu, untuk yang pertama kali
Kemudian berganti, Halimah binti Abu Zuaib As-Sa'diah menyusuimu, hingga
dua  tahun lamanya
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Di usiamu yang ke lima tahun,
Kembali teringat, tentang peristiwa pembelahan dadamu oleh dua malaikat
Untuk mengeluarkan serpihan penyakit hati yang mewujud di dalam hatimu
Di usiamu yang ke enam tahun,
Ibumu, Aminah binti Wahab tertimpa sakit
dan akhirnya meninggal dunia di Al-Abwa,
sebuah kampung di antara Makkah dan Madinah
Di usiamu yang ke delapan tahun,
datukmu, Abdul Muttalib meninggal dunia
Selain diasuh Ummu Aiman, engkau dipelihara pula oleh Abu Talib.
Di usiamu yang ke sembilan tahun,
—entah—sebab, setengah riwayat mengatakan di usiamu yang ke dua belas tahun
Bersama Abu Talib engkau bermusafir ke negeri Syam, berniaga
Di kota Busra,
Sementara, seorang pendeta Nasrani; Bahira (Buhaira)
Menemui ketua demi ketua rombongan,
Menceritakan tentang pengutusan seorang Nabi
Di kalangan bangsa Arab
Yang akan lahir pada masa itu
Di usiamu yang ke dua puluh tahun,
Engkau terlibat dalam peperangan Fijar
Engkau andil dalam peperangan itu selama beberapa hari,
Mengumpulkan anak-anak panah sahaja
Kemudian menyaksikan perjanjian Al-Fudhul; perjanjian damai,
Memberi pertolongan
Kepada orang yang dizalimi di Makkah
Di usiamu yang ke dua puluh lima tahun,
Engkau bermusafir kali kedua ke negeri Syam,
Bersama-sama Abu Talib dan beberapa orang
Pergi berjumpa dengan Amru bin Asad,
Untuk meminang Khadijah, yang berusia empat puluh tahun tahun ketika itu
Lalu engkau berikan mas kawin kepada Khadijah
Sebesar lima ratus dirham
Di usiamu yang ke tiga puluh lima tahun,
Banjir besar melanda Makkah, meruntuhkan dinding Ka'bah
Pembinaan semula Ka'bah oleh pembesar-pembesar, juga penduduk Makkah
Kemudian Engkau diberi kemuliaan
Untuk meletakkan Hajarul-Aswad ke tempat asal,
Pun meredakan pergolakan, dalam peletakan batu itu
Di usiamu yang ke empat puluh tahun,
Engkau terima wahyu di gua Hira
Sebagai pelantikan menjadi Nabi dan Rasul akhir zaman
Di usiamu yang ke lima puluh tiga tahun
Engkau berhijrah ke Madinah Al-Munawwarah
Bersama Sayyidina Ab u Bakar Al-Siddiq
Di usiamu yang ke enam puluh tiga tahun,
Engkau wafat di Madinah Al-Munawwarah
Tepat di hari Isnin, 12 Rabiulawal tahun 11 Hijrah, atau 8 Juni 632 Masehi
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Di antara istri-istrimu, mereka adalah wanita yang tabah nan sabar:
Kha dijah Binti Khuwailid, Saudah Binti Zamah, Aisyah Binti Abu Bakar, Hafsah
binti Umar, Ummi Habibah Binti Abu Sufyan, Hindun Binti Umaiyah (Ummi
Salamah),  Zainab Binti Jahsy, Maimunah Binti Harith, Safiyah Binti Huyai bin
Akhtab,  Zainab Binti Khuzaimah; Semuanya berakhlak mulia, menjaga kehormatanmu
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Kemudian, di antara putra-putrimu, engkau telah suskes mendidik mereka:
Qasim, Abdullah, Ibrahim, Zainab, Ruqaiyah, Ummi Kalthum, Fatimah Al-Zahra;
Semuanya shalih dan shalihah
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Aku menjadi penasaran dengan sosokmu yang agung nan mulia,
Aku hanya dapat mendengar, di antara pujian para Sahabat untukmu,
“Aku belum pernah melihat lelaki
setampan Rasulullah,”
“Apabila Rasulullah berasa gembira,
wajahnya bercahaya seperti rembulan purnama,” “Kali pertama memandangnya, sudah pasti kau akan terpesona,”
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Aku pernah mendengar, engkau bersabda, “Barang siapa yang menghidupkan
sunnahku, maka sesungguhnya dia telah mencintai aku,
Dan, barang siapa yang mencintai aku, maka niscaya dia bersama ku di dalam Surga kelak,”
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Itu, mungkin penggal demi penggal kisah perjalanan dan sirahmu
Yang terbaca di benakku
Ada bermilyar kisah lainnya sebenarnya,
Yang tak mampu kusebut satu demi satu
Sebab, pengorbanan dan perjuanganmu ikhlasmu telah sedemikian banyak..
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!

Malang, 7 Desember 2015
Aku yang Tertawa
Oleh: M. Fahmi

Hihihi..
Tertawa aku tertawa
Melihat setiap buih, pernik, selaksa kisah
Kehidupan manusia
Yang bak gurau, Begitu aku melihatnya
Seperti serangkaian komedi
Di layar lebar saja
Entah. Mungkin lain lagi,
Bagaimana orang memandang
Tak apalah, ia sebut aku tak pernah serius
Menjalani setiap lembar sajak kehidupan
Atau seperti anak kecil saja
Yang masih setia membeli mainan
Di toko-toko terdekat;
Yang masih suka bermain dan belajar
Ke sana kemari;
Yang selalu gembira dan bersenang hati
Di tiap hari;
Yang masih belum mengerti perasaan.

"Cinta tak sebercanda itu, Kawan
Pun dendam, benci, juga amarah
Tak sebercanda itu, Kawan
Sebagaimana kebenaran dan kebathilan
Tidaklah sebercanda itu, Kawan," katanya suatu saat
Membuyarkan gurauanku
Dan aku, semakin terpingkal-pingkal saja
Mendengar setiap ungkapan seriusnya
Jujur saja
Saya telah melewati fase-fase semacam itu, Kawan
Saya hanya ingin serius
Dengan cara bergurau
Atau juga, saya hanya ingin bergurau
Dengan cara yang serius

Ahaha, kehidupan ini begitu indah, bukan, Kawan
Lihatlah, layaknya fiksi
Humorpun lahir dari sesuatu yang serius
Dan yang serius, sebetulnyalah juga muncul
Dari humor ringan, sederhana
Kehidupan tak perlu lah
Dibuat tegang dengan acara begini dan begitu
Kalaupun ingin tegang
Dengan cara bergurau saja
Hehe,
Tak perlu kita berburuk sangka
Apalagi menghina kemanusiaan
Toh, sejauh mana pengetahuan kita
Tentang kebenaran, dan kebathilan
Tidaklah penting mengurusi sesuatu yang tak penting
Cukupilah saja hidup ini
Kita isi dengan mengerjakan segala apa
Yang telah diperintahkanNya
Dan menjauhi segala
Yang menjadi laranganNya
Niscaya, kita kelak akan selamat
Oiya. Dan juga, jangan lupa
Untuk berhumor ria

Malang, 11 Maret 2016

Aku Tak Suka Kembang Api
Oleh: M. Fahmi

Kau tahu. Aku tak suka kembang api!
Nyalakan kembang api, laiknya membakar uang saja
Betapa pun, ia hanyalah sesosok benda
Dilahirkan cuma untuk kesuksesan dan kegembiraan temporal
Lihatlah! Ia mudah melejit, berusaha menyaingi langit paling tinggi
Namun, ia lupa siapa sesungguhnya dirinya
Sesaat kemudian, jatuhlah ia dihempas angin, tersungkur ke bumi paling rendah
Keindahan, kemegahan, serta kegemilangannya pun sirna. Lenyap!
Ia kehilangan cahaya, yang tersisa hanyalah selongsong kosong: abu hitam tak bermakna
Redup selama-lamanya! Mungkin, itu buah keangkuhan dan kesombongan
Padahal, langit tak pernah berkata kalau dirinya tinggi
Langit akan tetap tinggi, meski tak ada pengakuan dari yang lain
Betapa pun, setinggi apa saja puncak yang kita daki, tundukan kepala
Kembalilah pada dan bersama manusia-manusia
Apakah yang patut kita banggakan, kalau cuma keindahan sementara. Fatamorgana!
Dunia dan segala kemewahannya pun begitu, Kawan
Ia kadang mudah datang, tapi mudah pula pergi
Itulah sebabnya, aku tak suka kembang api
Aku hanya ingin mencari Cahaya Abadi
Yang tak pernah lekang oleh hempasan ruang dan waktu

Malang, 08 Januari 2016
Memoar Kambang Putih
Oleh: M. Fahmi

Kambang Putih
kota bak puspa itu, nan elok merekah
nan anggun sumringah
semilir wanginya, diterpa seribu angin laut utara
hingga melekat di segala layar-layar niaga
maka terdengarlah suaranya yang penuh gemuruh,
membahana, menggelegar, menggetarkan bumi Ronggolawe
tak ayal, rakyat Kambang Putih turun bersorak-sorai
di tanah-tanah lapang, di sepanjang jalan
menjemput gempita budaya

Guratan jejak sejarah, terpancar di wajah bumi wali
begitu setia menyangga petuah wali
deburnya menaungi, gelombangnya menghidupi,
kecipaknya mendamaikan
lihatlah, memoar yang hanya berdenyut di jantungnya:
tentang makam para wali, tentang bukit-bukit kapur,
tentang seribu goa, sumber air panas, kerajinan batik gedog, air terjun Nglirip,
terminal terapung, klenteng Kwan Sing Bio, siwalan, juga legen
atau tentang warisan kebudayaan: budaya Sandur, seni reog, haul Sunan Bonang,
adat shalawat Tombo Ati, budaya tayuban, peringatan ulang tahun klentang KSB,
kepercayaan sedekah bumi, atau tentang manganan
semua adalah milik Kambang Putih
jangan sampai usang, wasiat sejarah yang agung itu

Tapi katanya, kini Kambang Putih
mulai tergerus oleh arus badai
yang terpaannya menghantam kesadaran hari,
melenakan rakyat
hingga hilang rasa cinta hasil rasa, karsa, cipta kakek-neneknya
Kambang Putih, kini tanahnya bersalin rupa
menjadi gedung-gedung pencakar langit
pabrik-pabrik, mal-mal, sektor industri, pusat hiburan
hutan pun jadi hutan beton, sungai pun mulai kering kerontang
mungkin, hanya batu Tiban dan kuda sembrani yang masih tersisa di museum
zaman dan budaya modern, katanya
gaun warisan pun lupa tak dikenakan lagi, hingga tak tahunya
telah dicuri bangsa lain,
senyum jelata yang dirampas
tersedu, menangisi romantika sejarah
kota itu, teramat tua untuk diukur angka-angka
tak ada yang lebih tua dari kota itu, selain mitos yang menghuninya
tapi kini, mitos itu hanyalah mitos yang bahkan tak menyisakan petilasan budaya
kotaku tak seperti dulu

Tiga atau empat puluh tahun nanti
kota itu mungkin makin tua
dan aku, entah masih atau tiada
kuharap, ia akan terus belajar
pada kerasnya samudera zaman kehidupan, meski
dengan balutan luka yang menorehkan luka-luka sejarah:
semua sudah sepatutnya

Apakabarmu, Kambang Putih?
masihkah kau sejuk seperti dahulu kala
saat di mana para pejuang memerdekakan budayanya?
ataukah kini telah berubah, akibat hempasan pergolakan musim?
entahlah, semoga saja
berita yang berisi “katanya dan katanya” itu tidak benar
ah, hampir enam tahun sudah
kuhabiskan waktu di tanah seberang
hingga hampir aku melupakanmu, Kambang Putihku
sungguh, aku merindukanmu..!

Malang, 18 Mei 2016

Judulnya Lupa
Oleh: M. Fahmi

Lihatlah,
masa kini begitu indah, bukan?
Tapi ingatkah,
bahwa kita sedang terlupa?

Mungkin, kita terlalu lama tenggelam
di masa yang kini
hingga lupa
bagaimana harus merangkak naik
menuju keutuhan yang sempurna: tempat paling tinggi

Mungkin, kita terlalu asyik bermain-main
di masa yang kini
hingga lupa
pada kenangan-kenangan purba
yang menuntun kita, di sepanjang perjalanan

Mungkin, kita terlalu terlena
pada zaman yang kini
hingga lupa
bagamana dahulu
dengan tabah Sang Guru mengajarkan
pesan demi pesan rahasia Kehidupan

Mungkin, kita terlalu terbuai
di zaman yang tak punya hati
hingga lupa
pada segala yang diajarkan Kehidupan

Mungkin, kita terlalu jauh pergi
di peradaban yang entah mana
hingga lupa
bagaimana cara pulang
ke rumah, yang dahulu telah kita rajut

Mungkin, kita terlalu serakah melangkah
hingga lupa
bagamana cara menginjak bumi yang benar

Mungkin, kita terlalu munafik melihat
hingga lupa
bagaimana cara menatap langit yang jujur

Mungkin, kita terlalu sibuk
Mengatur seluruh isi bumi: rumah mimpi
hingga lupa
pada pagi—yang bernama ajal—
yang pasti datang.
Lalu Ia mengirim firman,
“...ketika engkau Kubangunkan esok pagi,
sapalah Aku
dengan sebaris puisi...”

Itulah sebabnya,
kutulis “sebaris” puisi ini.
Barangkali
—atau mungkin,—
ini hanyalah puisi tentang lupa
yang mengingatkan

Mari kita mengingat kembali.

Mungkin, kita terlalu keterlaluan
hingga terlalu
kurang waspada
pada segala waktu

Mungkin, kita terlalu buta
hingga ayat-ayatNya
tak mampu kita baca

Mungkin, kita terlalu tuli
hingga firmanNya
tak lagi kita dengar

Mungkin, karena hilang ingatan
kita melupakan segalanya
tentang bagaimana cara
menyapaNya
dengan cinta yang setara dengan cintaNya

Apakah kita memandang
bahwa kita telah gila?
yang hanya sekadar mempersoalkan
tentang lupa atau ingat,
bahwa kita terlalu berat menafsir
setiap detik masa
di Kehidupan?
Tidak, kita salah terka.
kita tidak sedang gila,
juga tidak sedang menggurui
dengan kata.
kita hanya sekadar memberi
kepada kita
yang membutuhkan.
dan hanya ini
yang bisa kita berikan
kepada kita yang—mungkin—sedang lupa

Mungkin, kita terlalu lupa
di masa yang lupa
hingga tak lagi dapat mengingat
bagaimana dahulu
kita senantiasa ingat, pada Yang tak pernah lupa

Mungkin, kita terlalu lalai
di sepanjang waktu
hingga lupa, lupa, dan lupa
menjamuri seluruh waktu

Sudah ingatkah kita? Ataukah masih terlalu lupa?
Atau jangan-jangan pura-pura lupa?
Cobalah ingat-ingat kembali
ingatan-ingatan itu
ke mana perginya?

Ah, barangkali
kita juga lupa judulnya
ataukah memang judulnya lupa?
Tentang lupa-lupa itu semua,
lupakan!
dan semoga
lupa hanya ada
di negeri mimpi


Malang, 05.02.2015
Em Ef

Pernyataan (7)
Oleh: M. Fahmi

hitam putih mengabu dalam nurani
merabunkan penglihatan hati
di sepanjang perjalanan hari..

aku, manusia pencari firmanMu
izinkan aku
menemukanMu
dalam pengembaraan panjang,
menuju keabadian..

selarik cahaya akhirnya tiba
menyapa rinduku;
menyibak sekat-sekat rimba cakrawala jiwa,
..ragu merayap yakin

kini kusadari, hanya Engkau
tempat sejati bersandar
selamanya..
sebab, bahagiaku hanyalah bersamaMu

.sementara Engkau selalu berfirman
di dalam hati
hingga, kalbuku semakin lapang
akan bentangan ketakberhingganya firmanMu
yang haq nyatanya

kan kugenggam erat-erat janji firmanMu
kubawa berlari, berlari
dan berlari..

betapa pun
di sini,
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari kembara cintaku!

Malang, 11 September 2014

Kembara Cintaku
Oleh: M. Fahmi

semua--yang saat ini hanya bisa diam--kelak akan bicara pada waktunya
kelak semua akan bicara dan dibicarakan pada waktunya
semua yang terlihat akan melihat
semua yang terdengar akan mendengar
semua yang mati akan hidup
tak ada yang hilang
bahkan mimpi-mimpi sekalipun
semua tercatat dalam sebuah "buku"
semua muncul menjelma dalam wujud nyata
kita adalah semua, semua adalah kita, semua untuk semua
kita adalah satu, satu adalah kita
satu untuk semua, semua untuk satu
sementara Engkau -yang satu- terus bekerja,
merangkai kata dan cerita hingga menjadi untaian sejarah,
di sini jiwaku semakin asing
kugenggam erat-erat janjiMu yang termaktub dalam Al-kitab,
kubawa berlari dalam bayangan kapal nabi Nuh,
di atas lautan manusia
betapapun,
di sini aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu di ujung waktu
sebab hanya Engkaulah akhir dari kembara dan cintaku!

Tuban, 21.01.2014
M. Fahmi

Do'a
Oleh: M. Fahmi

Ilahi,
jadikan aku manusia yang tegar
laksana batu gunung
yang tak lekang diterpa panas dan hujan
jadikan aku manusia kuat seperti batu karang di pantai
yang tak goyah oleh terpaan ombak dan badai lautan
jangan jadikan aku manusia cengeng
yang gara-gara putus cinta menjadi cempreng,
seperti kaleng rombeng
aku percaya,
Engkau lebih suka kepada hambaMu yang kuat
dan membenci kelemahan
Ilahi,
jadikan cintaku yang terbesar hanya kepadaMu!
jadikan pula aku orang yang selalu bisa berdzikir,
bisa bersabar,
bisa mensyukuri segala nikmatMu,
dan tetap bisa beribadah kepada Engkau
jadikan pula aku orang besar;
besar di mata manusia,
tapi tetap kecil di mata Engkau dan kecil di mataku sendiri

Tuban, 20.01.2014
M. Fahmi



Aku Ingin
Oleh: M. Fahmi

aku ingin
hadir apa adanya di dunia ini
sebagaimana keberadaan air, angin, api, dan tanah
yang ikhlas untuk apa mereka hadir
aku ingin
jalani hidup ini seperti air, untuk apa ia mengalir;
seperti angin, untuk apa ia bertiup;
seperti api, untuk apa ia membakar;
atau seperti diamnya tanah yang setia memberi kesuburan pada bumi
aku ingin
hadir, sebagaimana aku yang aku impikan!

Tuban, 20.01.2014
M. Fahmi

Bacalah Air Mataku
Oleh: M. Fahmi

Kekasih
maaf sebelumnya,
telah lancang menulis surat ini padaMu
sebab aku tak tahu lagi harus bagaimana,
selain menceritakan ini semua padaMu
aku yakin,
Kau pun sebetulnya telah mengerti
tapi tak apalah
aku akan menceritakan kerinduanku dengan kata-kata biasa:
Kekasih
sambutlah aku
tataplah mataku
dengarlah suaraku
dengarlah dadaku
namun seperti biasa;
sekian banyak yang ingin kukatakan tak terkatakan
sekian banyak yang ingin kuadukan diambil alih oleh air mataku
Kekasih
jika itu yang terjadi
bacalah air mataku!

Tuban, 17.01.2014
M. Fahmi

Pintu RahasiaMU
Oleh: M. Fahmi

aku telah mencariMU
ternyata ENGKAU sangat dekat;
tak lebih dari urat leherku
KAU bukakan sedikit pintu rahasiaMU padaku,
adakah aku masih juga ragu?
sekarang katakan,
ke mana lagi aku akan berlari bila seluruh pintu ini sebetulnya milikMU?
rahasiaMU yang ada pada diriku adalah bukti cintaMU atas segala yang ENGKAU cipta
ketiadaanku nanti bukanlah suatu kehampaan yang sia-sia
di sana aku akan menemukan keabadian bersamaMU sehingga tak perlu lagi ada batas di antara KITA

Tuban, 15.01.2014
M. Fahmi

PERNYATAAN (1)
Oleh: M. Fahmi

Kekasih, kugenggam erat-erat firmanMu
kubawa berlari,
berlari
dan berlari..
betapa pun
di sini
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu
di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari kembara cintaku!....

Malang, 07.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (2)

.sementara Engkau selalu berfirman
di dalam hati
di sini, jiwaku semakin luas
akan firmanMu
yang benar nyatanya
Kekasih, hanya firmanMu
yang melahirkan langkahku,
ucapanku, pengawasanku,
pendengaranku, rasaku.

Malang, 08.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (3)

.hari demi hari: firmanMu
kini waktuku
mengambil peran
memunguti firmanMu
dalam semesta akbarMu
aku adalah segala kesadaranku
atas firmanMu;
memberanikan diriku
memutuskan segala apa.

Malang, 09.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (4)

.dan lagi,
biar bagaimana pun,
apa pun yang terjadi
Engkaulah Kekasih abadi,
Cinta hakiki; tak pernah
lekang diterpa batasan ruang
juga waktu,
tempat bersandarku
selamanya
sebab,
bahagiaku
adalah bersamaMu.

Malang, 20.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (5)

.Kekasihku,
segalanya tentangMu,
selalu,
sebab,
memang Engkaulah
segalanya
tak akan ada
yang lain;
mampu goyahkan rasaku.

Surabaya, 23.05.2014
M. Fahmi


PERNYATAAN (6)

.di sini,
nyata terbukti
di depan mata
perjuangan para kekasihMu
tak setengah-setengah;
saling mengukir cinta
untuk dapatkan
kasihMu
lalu masihkah aku ragu?....

Tuban, 23.05.2014
M. Fahmi

Aku dan Puisi-puisiku
Oleh: M. Fahmi

seberapa kuat kata yang hendak merobekku?
pada belantara yang lebih luas, retorika zaman yang semakin ganas
kebebasan logika pemikiran manusia berusaha mengacak-acak imanku
merobohkan islamku, menginjak-injak keyakinanku
berbagai ideologi terbungkus rapi, semakin saja membutakan penglihatanku,
mendungukan telingaku, membekukan rasaku
puisi-puisi yang tak ku kenal begitu lancang menghapus sedikit demi sedikit firman Tuhan
kata-kata yang entah lahir dari peradaban mana berusaha mengganti Ketuhanan yang Maha Kuasa sebagai keuangan yang maha kuasa
lalu filsafat demi filsafat semakin memandang agama sebagi candu

kata, begitu kuat  berkuasa di media
sanggup mengubah dingin menjadi panas, merekayasa kedzaliman menjadi kebaikan, menyulap kebohongan menjadi kebaikan, dan seperti yang lain

di saat lautan manusia berselimut kata
bumi menjadi saksi atas ketidakhadirnya ruh di setiap untai kata
kata terus mengalir biarpun tanpa sukma
puisi-puisi terus saja lahir biarpun tanpa gerak yang nyata

akupun dengan sisa-sia imanku mencoba bertahan
tapi, puisi demi puisi masih saja ku tulis, walau sebenarnya masih ada sekian keraguan yang mendekap
aku pun terbangun dari lelapnya puisi dan kata
lalu seorang kawan yang telah lama ku rindu datang menyembuhkan lukaku
dengan lembut ia bertutur, Kawan, tidakkah kau ingat, bahwa Allah telah memperingatkan para penyair dalam firmanNya?
penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu
tidakkah kau lihat, mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata
dan mereka suka mengajarkan yang tak mereka kerjakan
kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut asma Allah, dan melakukan pembelaan ketika didzalimi
begitulah kawanku bertutur
kembali menarik kesadaranku yang telah lama hilang

di balik puisi-puisiku aku terdiam
sejenak, ku lihat puisi-puisiku berserakan di sana-sini
lalu dengan lirih hatiku membisik
“Ilahi, maafkan puisi-puisiku
selamatkanlah aku dari lautan kata-kata
jagalah kata-kataku
selamatkanlah pusi-puisiku”

Malang, 07.02.2014
M. Fahmi