Cerita Tentang Manusia
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[Orang-orang yang tidak penah belajar sastra, entah itu para politikus, saintis, bisnissman, para pejabat, polisi, pegawai, tentara, atau orang-orang lain yang mengaku dirinya waras, mereka tak akan pernah memahami ucapan dan jalan pemikiran para pengarang. Para pengarang adalah guru kehidupan yang jalan pikirannya tidak dimengerti oleh kebanyakan orang di zaman yang sekarat seperti ini. Sayang, ajaran mereka tidak menjadi bahan bacaan wajib siswa di sekolah. Adalah termasuk pengarang yaitu para nabi, wali, ulama, dan  sastrawan islami. Karya mereka berupa kitab-kitab, kisah-kisah bijak, nasihat, puisi, dan cerpen islami, mampu menerangi jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia].—Em Ef.

Kawan. Engkaulah sahabat jiwaku. Teman di saat aku bimbang di persimpangan waktu. Tempat aku bersandar di saat aku telah lelah menanggapi segala persoalan dunia yang memilukan dan tidak penting itu. Untuk itu, izinkanlah aku bercerita kepadamu, Kawan. Hanya kamu yang bisa memahamiku kata-kataku selama ini. Hehehe, jangan pernah menganggap aku serius lagi ya! Anggap saja tulisanku ini hanya gombal semata.
Kau kan sudah tau, bahwa aku ini orangnya sangat ceria, periang, dan tidak suka serius. Aku selalu menganggap segala persoalan yang datang sebagai suatu humor yang ingin mengajakku bercanda. Ya, mereka semua selalu bercanda dengan segala teater dan aktingnya. Sementara aku hanya bisa tersenyum dan tertawa menonton adegan-adegan mereka yang lucu itu. Tak pernah ada ceritanya dan tak pernah ada kamusnya kalau saya ini adalah orang yang serius, segalanya hanyalah lawakan dan guyonan. Sepanjang perjalanan ini begitu melelahkan, sehingga barangkali setiap orang butuh metode untuk menertawakannya. Kisah tentang manusia sangat naif, dungu, dan serius, sehingga kita harus pandai-pandai menertawakannya. Cerita tentang persoalan dunia ini pun sangat menggelikan, sehingga siapa saja mesti terampil untuk membuatnya sebagai humor. Peradaban umat manusia sangat merupakan komedi, sehingga menjadi tolollah siapa saja yang terlalu “mengambil hati” dari setiap penggal episode kehidupan untuk terlampau memprihatinkannya.

Kawan, betapapun persoalan dunia ini memilukan dan tidak penting, aku tetap ingin bercerita, mungkin bisa dibuat bahan renungan kita bersama. Bahasa manusia memang kadang bisa berbohong itu. Ya, antara hati dan lidah manusia kadang bisa saja kesleo. Tapi kita akan berusaha menjelaskan segalanya dengan bahasa semesta, sebuah bahasa yang tidak akan pernah dipahami oleh manusia yang menghianati nurani. Dan kita akan tertawa setiap kali bercerita.

Kawan, aku hanya bisa menuliskan segenggam asa ini untukmu. Biar engkau tahu resah dan gelisahku. Kutulis semata-mata karena aku hanya ingin menulis. Setelah semuanya tertulis maka legalah perasaanku. Tapi bukan berarti semuanya akan tertuliskan di sini. Tak mungkin aku bisa menuliskan semuanya dengan kata-kata biasa di lembaran sesempit ini.

Baiklah, engkau mungkin sudah tahu semuanya. Tentang manusia. Ya, kali ini aku akan bercerita tentang manusia. Benar katamu, Kawan. Manusia memang begitu. Manusia dengan segala tingkah dan karakternya. Ah, kadang aku risih berbicara tentang manusia. Tapi kadang pula aku suka. Karena kenyataannya aku juga manusia. Biarkanlah tulisan ini mengalir apa adanya. Penapun bisa lebih kejam dari pedang bermata buta sekalipun.

Bumi adalah tempat di mana para manusia berulah. Ada manusia yang tersesat jauh dari tujuan hakiki. Ada manusia yang menempuh jalan kembali yang benar. Begitulah para manusia. Suatu saat aku melihat manusia yang hidupnya terdampar di pulau yang jauh, ia tak bisa kembali, kasihan sekali ia. Suatu ketika pula aku kagum atas mereka yang menyebarkan pesan demi pesan rahasia kehidupan, mereka tanggalkan segala kemegahan dunia, untuk mengabdi pada Pemilik kebenaran. Manusia dengan segala perilakunya adalah bekerja. Tinggal mereka bekerja untuk kehidupan di dunia saja, ataukah bekerja untuk keabadian. Lalu, sudahkah kita mengerti bagaimana cara menginjak bumi yang benar?

Hati yang membawa kaki manusia melangkah. Segalanya bergantung pada kebersihan hati. Jikalau hati itu bersih, maka ia akan dipenuhi oleh cahaya yang dapat menyerap segala risalah gelap. Namun jika hati itu kotor, maka ia penuh dengan kegelapan, sehingga butalah segala penglihatannya. Di antara kotornya hati adalah amarah, bangga diri, dusta, iri, dengki, pamer, dendam, maksiat, tak bisa memaafkan, selalu serius, tak bisa berhumor kepada sesama, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kawan. Suatu ketika aku melihat orang yang gila jabatan dan pangkat. Bagaimana aku bisa tahu? Mudah saja, sebab ia tidak suka atau lebih tepatnya tersinggung jika ada orang yang tidak hormat padanya. Orang yang marah dan malu ketika harga dirinya dijatuhkan, maka ia termasuk manusia pemburu jabatan. Baginya, penghormatan, kesempurnaan, dan kemuliaan adalah segalanya. Ia akan marah jika orang tidak menyebutkan pangkat atau gelar, misalnya. Maka jika ada manusia yang seperti ini, kita harus berhati-hati. Jangan hanya gara-gara harta atau jabatan kita menunuduk, karena hal itu akan meruntuhkan dua per tiga keimanan kita.

Pada hakikatnya semua orang itu sama saja, yang menjadi berbeda hanyalah tingkat ketakwaannya di hadapan Allah. Dan karena kita orang biasa, kita tak tahu, mana manusia yang memiliki tingkat ketakwaan paling baik di sisi Tuhannya. Sebab yang mengerti kekasihNya adalah juga hanya kekasihNya. Kita ini masih dalam tangga syari’at, orang biasa, maka jangan menempatkan diri, menganggap, atau berpura-pura sebagai kekasihNya. Karena di antara cobaannya bukan hanya tentang kesusahan, tapi juga tentang kemuliaan, atau yang lebih keren lagi disebut sebagai istidroj. Dari itu semua, kita orang biasa, maka kita memandang semua orang itu pada taraf yang sama. Jangan kalau kita memuliakan para Kyai, lantas sikap kita berbeda kepada tukang becak, misalnya. Kita sama ratakan saja, kita hormati semua manusia yang ada di muka bumi ini. Betapapun bejat tingkahnya, karena kita orang biasa, maka kita tak pernah tahu, lebih baik mana kita atau mereka. Maka berprasangka baik kepada manusia wajib hukumnya bagi orang biasa.

Namun kita jangan lantas latah meniru perbuatan yang salah, kita harus tetap berpegang pada kebenaran yang selama ini kita yakini. Itu merupakan prinsip yang harus selalu dijaga oleh orang biasa.

Kawan. Suatu ketika aku juga melihat manusia yang telah melupakan jalan yang dulu ia genggam dalam janji. Entahlah. Mungkin karena perputaran zaman yang telah sedemikian rakusnya, sehingga arti kebenaran, arti kemanusiaan, dan arti persaudaraan telah dicampakkan darinya. Ini kejadian yang nyata. Dan hampir dialami oleh kebanyakan manusia.

Dulu, waktu masih kecil, manusia masih belum mengenal banyak hal. Bagus itu, sebab ia hanya diajarkan segala tentang kebaikan oleh kedua orang tuanya. Sehingga ia bersama teman-temannya berlomba-lomba dalam kebaikan. Mulai dari belajar mengaji, shalat bersama, dan sebagainya. Beribadah pada waktu masih kecil tergolong masih khusyu’ dan rajin, karena memang anak kecil telah meyakini sepenuhnya pada hafalan-hafalan hasil belajar di TPQ, dan ia akan takut jika disiksa di akhirat kelak, seperti cerita-cerita yang telah dituturkan oleh guru-gurunya di kelas. Mereka cepat dalam menerima pelajaran, dan langsung diamalkannya. Tapi demi bertambahnya usia, ia menjadi manusia yang mengenal banyak hal, entah itu tentang kebenaran sampai pada yang tidak benar. Apalagi ditambah dengan masa kini serba canggih, mulai dari android, laptop, internet, dan produk teknologi lainnya yang sangat membantu proses pertukaran informasi dan komunikasi.

Apalagi ditambah manusia zaman sekarang (khususnya anak perempuan)—maaf—yang telah kehilangan rasa malunya. Ini membuat segalanya menjadi dunia yang sangat rawan oleh berbagi jebakan dan muslihat setan yang terlaknat itu.

Maka menjadilah manusia sebagaimana ia menjadi. Manusia yang teguh dalam memegang bara api keimanan, sekalipun itu panas rasanya, maka ia akan selamat dari berbagai fitnah yang ada. Adapun manusia yang tidak kuat akan panasnya bara api keimanan itu, maka ia akan melupakan segala apa yang telah diajarkan oleh gurunya.

Lihatlah, bagaimana perputaran zaman ini telah sedemikian cepat mengubah peradaban manusia, menjadi manusia yang kekinian dan modern. Aku kira dampak negatifnya akan lebih besar, maksudku dampak negatif dalam pandangan islam. Zina di layar kaca, pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya itu semakin marak terjadi.

Peperangan ideologi telah meluas, sehingga kocar-kacirlah umat Islam yang mudah rapuh manakala didebat. Mendekati zaman akhir, memang Allah sengaja mewafatkan para ‘Ulama, sehingga tak ada lagi nasihat yang didengar oleh para manusia. Kemudian ditambah semakin maraknya kebodohan agama, sehingga semakin rusaklah segalanya.

Di dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwa yang pertama memulai dalam berzina adalah perempuan, dan yang paling banyak mencuri adalah lelaki. Itu adalah salah satu sebab mengapa di neraka esok akan dijumpai banyak perempuan daripada laki-laki. Jenis-jenis zina tak hanya secara harfiah saja, namun juga ada zina mata, zina telinga, zina mulut, zina hati, dan lain sebagainya. Itu semua yang dapat membekukan hati, jika hati telah beku maka akan sulit untuk dilunakkan. Sehingga butalah segala penglihatannya dari kebenaran.

Sebenarnya masih banyak catatan tentang manusia yang belum kuceritakan, Kawan. Tapi suatu hari nanti akan kusambung lagi tulisan ini. Semoga dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dan jangan serius-serius ya kalau terlampau membaca tulisanku di atas.

Sebagai tambahan, sampai sekarang, aku masih belajar mengingat kejadian itu. Sebuah peristiwa perjanjian antara aku dan Tuhanku sebelum akhirnya aku lahir dari garba ibu. Sesuai dengan kalamNya, aku diceritakan berjanji dengan setulus keyakinan, bahwa kelak aku akan menjalani kehidupan dengan taat kepadaNya. Ia berkata padaku, kurang lebih seperti ini, "..sungguh, kelahiran bagimu adalah sebuah cobaan. Mereka yang telah lolos dari perjanjian ini, akan Aku hidupkan di dunia sebagai bayi muslim. Sementara mereka yang tak mampu berjanji tak akan hidup di dunia. Sungguh dunia adalah keberatan dan cobaan bagimu yang telah berjanji.

Hati-hati jika berada di dunia ya, Nak. Jangan sampai engkau jatuh terpeleset di jurang yang kau buat sendiri…".

Malang, 13 Mei 2016


Siapakah Aku?
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[“Kawan, siapakah sebenarnya kita ini? Musliminkah? Mukmininkah? Muhsinin? Muttaqin? Khalifah Allahkah kita? Umat Muhammadkah kita? Khaira ummatinkah kita? Atau kita sama saja dengan makhluk-makhluk lain, di negeri-negeri lain? Atau bahkan lebih rendah dari itu, hanya budak-budak perut dan kelamin?”]

Begitulah kira-kira Gus Mus (K.H. Musthofa Bisri)—dalam puisinya—menjelaskan alfa, beta kebingungan sejarah kita dari hari ke hari. Namun kita tak kunjung mengerti. Tak kunjung mengetahui siapa sebenarnya kita ini. Mendengar setiap bait puisi Gus Mus saja aku merinding, apalagi menghayatinya. Seperti ingin menangis!
Sobat, tahukah kau, siapa aku ini? Baiklah, dengan segala keterbatasanku, aku akan mencoba menuliskan tentangku. Aku ini adalah... Ah, betapa sulit mengenal diriku sendiri. Padahal aku telah  sekian lama bersama diriku, namun tak kunjung juga kutemukan tafsir “aku”. Hari-hari telah hilang tanpa ada pemahaman tentangku. Ku akui, aku masih bodoh, tak seperti kalian yang telah belajar tentang banyak hal. Aku hanyalah seseorang yang belum bisa belajar dari kehidupan, apalagi mengerti tentang sebuah kematian.

Aku mencoba untuk mendengar dan melihat semua pergerakan di muka bumi ini, namun belum bisa benar-benar menghayati. Aku mencari, namun belum ada dari gerakku yang bisa membuatku menemukan. Detik demi detik, waktu demi waktu, hari, bulan, tahun, kosong tanpa jiwa, tanpa ruh, tanpa nafas, tanpa pemahaman tentang siapa aku!

Sekian lama sobat, tak kutemukan diriku. Bantulah agar aku segera menemukannya. Semakin aku merasa tahu tentang siapa “aku”, di situlah sebenarnya aku tak mengerti apa-apa tentangku. Namun bagaimana bisa mengetahui tanpa merasa? Langkah demi langkah kujalani dengan kebingungan yang menggema di setiap sudut pikiranku. Berbagai pertanyaan yang tak terjawab semakin menyesaki jiwa. Di hadapan penggenggam segala jiwa, aku semakin merasa rapuh, miskin, kotor, hina, dan tak punya apapun.
Di mana aku bisa menemukan diriku, juga diri-Nya? Aku belum menemukan apa-apa, Sobat.

Bantu aku, tolong! Di mana aku memburu untuk mencari, di situ semakin tampak ke-Aku-anku. Sedang tak memburu, aku semakin kehilangan jejak. Lalu aku harus bagaimana, Sobat? Bantu aku menemukan diriku yang sesungguhnya. Semakin lama semakin aku kehilangan arah, kehilangan tujuan. Di mana sebenarnya tujuan yang hakiki itu, Sobat? Aku semakin kehilangan makna. Tak kusadari, semua berjalan begitu cepat. Waktu semakin cepat saja berlari. Dan aku? Masih saja diam di tempat, menunggu sebuah keajaiban yang tak pernah kunjung datang.

Setiap detak waktu berjalan, Dia selalu bersamaku dan juga meliputi segala yang ada, namun aku belum pernah bisa benar-benar bersama-Nya.

Semakin aku merasa bersama-Nya, di situlah aku kehilangan-Nya. Lalu, aku harus bagaimana, Sobat? Misteri ini amat sulit kupecahkan sendiri. Dulu, ketika kita berjalan beriringan bersama, kau selalu menemaniku pada setiap langkah perjalanan. Kini kita berada pada pijakan bumi yang berbeda. Aku butuh sobat—yang benar-benar sobat—yang bisa menuntunku, menunjukkan cahaya pada setiap perjalananku, menggenggam erat jemariku menuju-Nya, menolongku dari selain-Nya, agar aku segera sampai kepada-Nya.

Aku rindu dirimu, Sobat, yang telah sekian lama menghilang, entah di langit mana. Kini aku berjalan sendiri. Tak ada lagi sobat yang menemaniku dalam pencarian ini. Siapa saja engkau yang membaca tulisanku ini, sudilah kiranya engkau menjadi sobat jiwaku, mengobati luka yang tak terperi ini. Belum pernah kulihat warna semuram luka ini, Sobat. Perjalanan masih panjang, sementara aku semakin tertatih-tatih dalam melangkah.

Waktu menghempaskanku, sedang engkau belum juga datang, Sobat. Aku memang tak pernah mengerti, ini tulisan macam apa, mungkin juga engkau dan mereka. Namun tanpa menulis, aku akan luput merekam keadaan, yang kelak akan menjadi sejarah di waktu yang lain. Maka dari itu Sobat, aku menulis semata-mata hanya karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis, maka legalah perasaanku.

Aku yang belum sepenuhnya mengerti tentang islam, iman, dan juga ihsan, ajarilah aku, Sobat. Hatiku bisa beku jika lama tak mendengar kalam-Nya, jika tak membaca segala ayat-Nya.
Sobat, jawaban demi jawaban itupun datang seiring dengan sekian banyak tafsir yang membingungkanku. Pernah aku beniat untuk berhenti mencari siapa aku, berharap tafsir “aku” yang kuimpikan bisa kuraih. Namun apa yang terjadi? Aku semakin tenggelam di ruang yang salah. Sebetulnya aku selalu ingin berbuat baik, berharap kutemukan diriku, namun harapan itu tak pernah terwujud, karena dalam hati masih berdebu, sehingga aku selalu tahu, kalau-kalau manusia melihat semua gerakku, menjadikan salah dalam niat. Bagaimana ini, Sobat? Berbuat baik saja bisa salah, apalagi tak berbuat apa-apa, atau bahkan berbuat tidak baik.

Tentang lahiriah, memang tak pernah bisa menjamin keadaan bathin. Aku semakin kehilangan diriku, manakala dalam novel kehidupanku, kutulis “aku sudah bisa”, “aku telah menemukan”, “aku sudah baik”, atau kata-kata lainnya yang senada. Semua yang kutulis ini tidak mutlak benar, Sobat. Jika terdapat banyak kesalahan, itu pasti dariku yang lemah, dan apabila benar, itu pasti datangnya dari-Nya.

Pemikiran manusia selalu nisbi dan kebenarannya tidak mutlak. Sementara kebenaran mutlak hanya bersumber dari-Nya.

Doakan ya, Sobat. Aku dan mereka yang agaknya “merasa” mulia, akan selalu dilimpahi istidroj oleh-Nya, yang tak kalah berat dari cobaan kepada orang-orang fakir. Aku dan mereka yang terlena dengan kata, atau segala ucapan yang dengannya orang bisa menerima tentang apa yang kusampaikan, selalu diintai cobaan-Nya. Aku, di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-ku. Juga ketika menganggap apa yang menjadi pendapatku adalah satu-satunya yang paling benar, sementara pendapat-pendapat lain yang berbeda adalah salah.

Astaghfirullah, “kata”, begitulah orang menyebutnya. Lembut bila didengar, atau mungkin bahkan menikam bila dirasakan. Kasihan sekali nasib sebuah kata. Terlahir untuk di tulis dan dibaca, namun banyak dariku yang belum selaras dengan kata, bahkan dengan kata-kataku sendiri. Detik ini, sebisa mungkin, aku tak ingin menciptakan kata yang sia-sia, Sobat..

Terkait dengan istidroj (cobaan), berikut adalah pendapat Gus Mus dalam cerpenya yang berjudul ‘Gus Ja’far’.

[“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak?”]

Dalam majalah Cahaya Sufi dijelaskan: “Terkadang, Tuhan menghiasi musuh-Nya dengan pakaian wali-Nya, dan menghiasi wali-Nya dengan pakaian musuh-Nya.”

Lalu tentang siapa aku, aku masih mencari. Semoga selau diterangi ‘irfan-Nya. Aku teringat juga dengan sajak Saprdi, “Pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela-sela huruf sajak ini, KAU (Allah) takkan letih-letihnya kucari...”

Wallahu A’lam
Tuban, 16 Juli 2013

Pertanyaan untuk Diri Kita
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

“Hamba Allah kah kita?” Coba hitung kembali usia kita yang berpuluh tahun sejak lahir dahulu kala, berapa persen kita menjadi hamba Allah, berapa persen kita menjadi hamba setan, berpa persen kita menjadi hamba nasfu, berapa persen kita menjadi hamba harta, dunia, dan kekuasaan?

Bagaimana kita mengku sebagai hamba Allah, sedangkan berhala iri, dengki, egoisme, nafsu birahi, kuasa, harta, berhala yang kita bangun sebagai patung pujaan dan kebanggan adalah kuburan yang mengerikan bagi kematian jiwa kita?

Bagaimana kita bisa mengaku sebagai hamba Allah, sedangkan kita tidak pernah mau mencatatkan diri kita di buku harian Ilahi sebagai benar-benar hamba Allah? Ataukah mungkin nama kita pernah dicatat di sana sebagai hamba Allah, sedangkan di lembar berikutnya nama kita sudah dicoret dengan tinta merah di Lauhul Mahfudz sana?

Bagaimana kita mesra menjadi hamba Allah sedangkan ibadah yang kita lakukan selama ini bukan untuk Allah, tetepi agar kita sukses meraih kehidupan dunia, agar kita lebih sejahtera di dunia, atau agar kita bahagia di akhirat?

Bagaimana kita bisa disebut sebagai hamba Allah sedangkan kita menghadap Allah dengan muka berpaling bahkan dengan muka mesum yang dilumuri bau busuk ambisi dan nafsu kita?

Bagaimana kita mengaku hamba Allah, hanya dangan surban, hanya dengan tangisan di media massa, hanya teriakan takbir yang sia-sia, sementara hati kita tak pernah bersurban, jiwa kita dipenuhi kesombongan dan riya’, roh kita dijubahi oleh rasa bangga sebagai tokoh agama?

Bagaimana mungkin kita dicatat sebagai hamba-Nya, ketika hari-hari ini kita lebih senang menjadi binatang  jalang,  menjadi budaknya setan, menjadi buruhnya hawa nafsu kita, menjadi penyembah patung-patung  yang  kita buat sendiri dari limbah-limbah kotoran kita sendiri?

Astaghfirullaahal adziim. Jangan pernah berhenti memohon ampunan-Nya. Karena sesungguhnya istighfar itu adalah pelukan cinta-Nya ketika kita telah lama hilang dari kinasih-Nya. Jangan berhenti, jangan pula melepaskan diri dari elusan mesra-Nya, dalam dekapan-Nya. Di sanalah sesungguhnya kita telah menjadi hamba-Nya.

Wallaahu a’lam.
Tambakberas, 5 Agustus 2011
Ketika Manusia Berkarya
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Seorang penulis dari Inggris, Muriel Rukeyser, mengatakan, “Konon, Alam semesta raya ini terbuat dari cerita-cerita, bukan dari atom-atom.” Kemudian sastrawan, Horace, menambahkan, “Cerita adalah tentang diri kita sebagai manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.” Hal ini pun—agaknya—sesuai dengan kitab Daqaaiqul Akhbar, bahwa Allah menciptakan makhluk yang pertama kali setelah Nur Muhammad adalah sebuah qalam atau pena. Dari pena tersebut disusunlah cerita demi cerita tentang manusia dan alam raya ini di sebuah tempat yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia: Lauh Al-Mahfudz. Dari sanalah segalanya bermula; cerita dan kisah di sepanjang perjalanan abad. Cerita tentang adanya kita—yang ada di dalam rangkaian cerita yang maha panjang itu.

Di rangkaian cerita itu, lahirlah makhluk bernama ruang dan waktu, hingga dimensi ke-n yang lain. Adanya berbagai dimensi tersebut sangatlah memungkinkan seluruh makhluk-Nya dapat tinggal di sana. Semua makhluk yang ada di muka Bumi dan Langit, serta yang ada di antara keduanya sejatinya senantiasa me-Mahasucikan Allah, hanya saja terkadang manusia terlupa akan siapa sebetulnya dirinya. Kehidupan ini begitu indah, bukan? Dialah Allah, Sang Kreator Mutlak. Lihatlah, seluruh aksara karya Agung-Nya yang maha ajaib ini, yang tak pernah ada makhluk yang sama persis baik dari segi karakter maupun fisik. Allah sungguh hebat dan kreatif, bukan? Dialah yang Maha Qadim—yang “dahulu”Nya tanpa adanya permulaan, berbeda dengan semua makhluk-Nya selalu berhulu dan bermuara. Akan ada banyak sekali keajaiban dalam Kehidupan yang Maha Akbar ini jika manusia mau membacanya.

Sebagaimana uraian di atas, bahwa kisah hidup kita dan sejarah dunia ini telah ditulis oleh Tangan yang sama. Masa depan telah ditulis dan apa-apa yang ditulis-Nya selalu untuk kebaikan manusia. Setiap orang memiliki legenda pribadi. Semakin dekat seseorang ke perwujudan legenda pribadinya, semakin besar legenda itu menjadi alasan utamanya untuk selalu belajar dan berkarya di dalam Kehidupan. Saya jadi teringat mutiara kalam Imam asy-Syafi’i, “..Bila kau tak tahan lelahnya belajar dan berkarya, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan..”. Kata-kata yang sederhana tapi terkesan utuh itulah yang berhasil memotivasi saya untuk selalu belajar dan berkarya.

Legenda pribadi adalah apa yang selalu ingin ditunaikan oleh manusia dalam Kehidupan. Masing-masing manusia memiliki cita-cita dalam hidupnya. Semua dari mereka menjalani legenda pribadinya sampai selesai, sebab hidup tidak akan pernah tuntas sebelum seorang anak manusia menyelesaikan misinya yang agung. Mereka berkelana, berbicara dengan orang-orang bijak, menunjukkan keajaiban-keajaiban kepada yang ragu. Dan ketika seorang anak manusia itu menginginkan sesuatu, maka segenap Alam raya bersatu untuk membantu meraihnya.
Jika Tuhan yang dengan segala karya agung-Nya dapat sedemikian kreatif menjadikan segala sesuatu, mengapa manusia tidak? Bukan berarti mau menyaingi ciptaan demi ciptaan-Nya, tapi dengan berkarya maka setidaknya seorang anak manusia akan senantiasa belajar meng-iqro’i segala karya agung-Nya di alam raya ini. Pun dengan berkarya, ia akan menemukan dirinya yang sesungguhnya. Melukis, menulis, memahat, membaca, bermusik, dan segala aktivitas berkarya lainnya ternyata bukan hanya sekadar aktivitas seni, tapi juga merupakan pengembaraan, pencarian, perjalanan, sekaligus pencapaian seorang kreator dalam menggapai Cahaya Maha Cahaya; yang adanya adalah sebagai puncak Keindahan tertinggi. Semua ilmu berhulu dari pemikiran (filsafat) dan akan bermuara menjadi seni.

Menulis—terkhusus mengarang—adalah proses merevisi naskah sepanjang hari, seperti seorang pelukis yang terus memoleskan kuasnya di kanvas dari waktu ke waktu untuk mencapai taraf keindahan tertinggi. Jadi, tidak akan bisa rampung saat itu juga. Harus sabar dan tetap ulet dalam menyelesaikannya, sampai suatu nanti ketika kita sendiri merasa puas membacanya. Kalau kita sendiri puas, insya Allah pembaca pun puas. Sebab, menulis pada hakikatnya adalah untuk kepuasan batin penulis sendiri. Pembaca hanyalah audiens yang kebetulan terkena efek dari keindahan batin seorang penulis.

Menulis itu pun sebetulnya tidak ada bedanya dengan kebutuhan sholat, makan, dan minum. Hanya saja, dengan tulisan, kemungkinan untuk menggapai makna hidup yang lebih tinggi bisa lebih terwakili. Pertarungan paling panjang adalah pertarungan abadi antara pertentangan hati nurani manusia yang ingin berdiri sendiri dengan suara-suara lain—entah itu datang dari setan atau nafsu—yang berusaha menggoyahkan keyakinannya. Itu pulalah sebabnya mengapa manusia berkarya. Hanya karyalah yang akan ditinggalkan manusia sebagai jejak kehidupan dalam pengembaraan yang tidak ada ujung pangkalnya ini.

Apakah manusia dalam perjalanan berkaryanya selalu benar? Tidak. Mereka akan menjumpai berbagai rintangan yang kemudian—bisa jadi—ia tidak selamanya berjalan di ruang yang benar. Namun, justru dari perjalanan itulah seseorang—sebetulnya—dapat belajar untuk sampai pada titik yang benar. Saya pribadi, cukuplah menjadi orang “sederhana” dengan pikiran “sederhana” dan hidup “sederhana”. Saya ingin hadir apa adanya di muka bumi ini sebagaimana keberadaan air, angin, api, dan tanah yang ikhlas untuk apa mereka hadir.

Sebagai bahan belajar bersama, saya punya beberapa tips: Tulislah apa yang paling kita ketahui. Biasanya pengalaman pribadi adalah hal yang paling mudah untuk ditulis. Tidak jarang, pengalaman pribadi menjadi sumber ilham terbesar bagi seorang pengarang setelah diramu dengan imajinasi dan bahan-bahan lain yang ada. Tulisan bisa membekas di hati pembaca karena tulisan itu memiliki “ruh”—yang dengannya kata demi kata yang disampaikan akan menjadi terasa “hidup” dan akan sampai pada maksud makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengantarkan pembaca sampai pada titik hikmah. Ada keindahan kata-kata yang tidak bisa digantikan dengan gambar, lukisan, suara, atau bahasa yang lain. Itulah sastra. Di sana, pengarang akan benar-benar terlibat dalam pembuatannya dengan mencurahkan segala rasa yang ia punya.

Apa yang perlu dihindari saat menulis? Kalau saya pribadi percaya, bahwa saat menulis itu ada kekuatan tak kasat indera yang tanpa kita sadari sedang membimbing kita dalam menulis, dan itu pun tergantung pada niat dan apa yang kita tulis. Sebab, ketika kita menulis maka sebenarnya kita memiliki tanggungjawab moral kepada pembaca, terlebih kepada Tuhan. Untuk itu, hindari segala perbuatan yang tidak diridhoi Allah—yang dibenci sekaligus dimurkai oleh Allah. Maka setidaknya, dalam kehidupan keseharian kita harus taat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Insya Allah apa yang kita inginkan tercapai. Nampaknya hal ini sepele dan terkesan simpel, namun inilah esensi Kehidupan. Agama bukanlah ritual yang hanya sekadar menjemukan atau dogma yang memaksa, melainkan keyakinan dan keteguhan.

Semoga kita bisa saling berbagi dan menyemangati. Seorang penulis tidak akan berarti apa-apa kalau karyanya tidak ada yang membaca. Penulis hidup dalam kesunyian dan sahabatnya yang sejati adalah pembaca. Salam sukses selalu, Sahabatku. Teruslah berkaya untuk sahabat, untuk bangsa, untuk Cinta!

Wallahu a’lam.
Malang, 22 Pebruari 2015


Bentangan Alam Rindu
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Mengalah, biarlah aku mengalah. Biarlah aku meninggalkan dalam percaturan cinta ini. Biarkan rindu yang kutanggung kan kubawa ke negeri sebrang. Karena di situlah awal rindu dalam tangis sendu tak terperikan. Aku ikhlas dan rela menerima keputusan ini. Sekali lagi kembalikanlah kapal ke pangkalannya. Mungkin di pangkalan itu engkau sudah tahu di mana tempat berlabuh dan barsauh. Mungkinkah engkau masih bisa berlabuh lagi di hatiku? Ah, aku sempat putus asa. Ingin kulupakan lembaran-lembaran sejarah di antara kita. Sebaiknya kita mengaku sebagai “saudara” dalam ikatan tauhid!

Aku akan menyongsong hari-hari baru, di mana mentari bertebaran memompa semangat perjuangan hidupku. Desiran angin pagi ini membawa asa melayang lebih jauh lagi. Hidup ini tidak bisa ditimbang dengan perasaan, sebab dengan pertimbangan perasaan aku hanya akan dibawa hanyut dan larut dalam kesedihan, yang akhirnya menghancurkan diri sendiri dalam penderitaan. Di sini tidak ada kata “berhenti”, karena berhenti berarti mati, berarti tidak melangkah untuk berproses. Bukankah segala sesuatu itu membutuhkan proses? Kisah kekecewaan boleh berubah dan luka hatipun harus segera dikubur bersama peristiwa-peristiwa yang meliputinya. Aku harus membuka lembaran dan cerita baru lagi bagi sejarah kehidupanku selanjutnya.

***
Bentangan pematang sawah yang tak seperti dahulu, yang penuh kenangan ini tiba-tiba menghadirkan kelebat jejak dan riwayat. Ketika pikiranku melayang ketujuh tahun lalu, rasanya tak kuat lagi aku untuk menyimpan rapi di benak ini. Harapan kini hanya tinggal bait-bait kerinduan yang mengalun merdu bersama kegirangan padi yang menikmati sentuhan angin. Mungkinkah engkau dan aku nantinya akan bertemu lagi dalam naungan kasih? Semoga saja Allah meng-iyakan atas rentetan pertanyaan yang tak mampu lagi untuk kubendung.

Ah, rasanya sekarang aku seperti berada di tujuh tahun lalu. Di mana kita pernah bersama di pematangan sawah ini. Setelah lama aku meninggalkan desa ini, kini aku kembali dari negeri sebrang untuk menyapa lagi desa kelahiranku ini. Desa yang pernah menggoreskan harapan yang tiada batas. Kita dulu pernah bermain layang-layang bersama di sini, bukan? Tapi sekarang engkau di mana? Setelah kepergianku, tak ada kabar sama sekali tentang dirimu. Orang-orang desa sini juga tak mengerti keberadaaanmu. Mungkinkah engkau masih ingat aku?

Pikiranku kini melayang lagi. Engkaupun tersenyum. Ah, senyum yang menghadirkan berjuta kenangan. Senyum yang pernah hadir di masa kelamku. Senyum yang pada ujung-ujungnya menyimpan rindu dan sedih, yang mengibarkan rasa perih. Aku hanya sekedar mengenang sesuatu yang telah retak di sela-sela bentangan sejarah. Desaku kini telah berubah total. Gubuk-gubuk yang dahulu terbuat dari rotan dan bambu kini telah berubah menjadi tembok besi. Jalan setapak dahulu sering kulewati bersamamu ketika berangkat sekolah kini telah beraspal semuanya. Ladang-ladang dan sawah-sawah yang dahulu sedemikian hijaunya, kini telah banyak yang dibuat pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan. Sebelumnya aku tak yakin bisa seperti ini. Tapi karena realita telah berbicara kepadaku, setidaknya itu telah memberi jawaban atas segalanya. Aku tidak habis fikir. Waktu telah mengubah desaku begitu cepat, secepat kilat yang melesat menembus sekat-sekat rimba. Menyambung jarak yang waktu demi waktu terus membuat engkau dan aku meninggalkan jejak riwayat.

Di sini, waktu berubah menjadi jurang, tempat menampung segala gundah. Seharusnya aku menempatkan engkau sebagai “sahabat hati saudara sejiwa”, tidak lebih dari itu. Dan aku tahu, sesuatu yang berlebihan cepat atau lambat pasti akan sirna.

Ternyata Allah belum mengizinkan kita untuk bertemu dan dipersatukan oleh-Nya. Aku menyadari bahwa aku hanya bisa berharap. Akupun menyadari, bahwa aku bukanlah apa-apa di matamu dan juga bukan siapa-siapa di hatimu. Aku hanya seorang yang lemah, bodoh dan hina di matamu.

Ya Allah, tiada lagi tempatku mengadu untung dan nasib atas pahit getirnya kehidupan yang aku alami, kecuali hanya kepada-Mu yang mampu memberikan jalan terbaik bagiku. Biarlah semua terjadi di atas lembar kehendak-Mu. Engkau adalah Tuhan yang sulit kubaca. Engkau adalah seminam tak terduga. Jadi, biarlah engkau yang mengatur semua ini. Dan memang Engkau mengetahui hasrat setiap makhluk-Mu.

Mungkin ini adalah bentangan alam rindu yang berada di ufuk jiwaku, yang selama ini terpendam jauh di lubuk hati terdalam ini. Namun, setiap kali aku berusaha melewati rindu, malah rindu itu yang kian membawaku pada lembah kebingungan. Akhirnya ia keluar sebagai pemenang dan aku menjadi pecundang. Ah, kekuatan rindu telah mengalahkan benteng pertahanan diriku.

Jombang, 5 Februari 2012

Surat Itu Datang Juga
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Beberapa hari yang lalu, saya menerima surat. Surat yang tanpa identitas, beramplop merah jambu itu diantar oleh Pak Pos ke asramaku. Ku amati tulisan tangan itu. Dan aku, seprti mengenal tulisan itu. Masih sama persis semenjak tujuh tahun yang lalu, ketika aku membaca tulisannya. Sebelumnya saya meminta maaf, karena belum kunjung juga kubalas surat itu. Entahlah. Berikut isinya.

Sobat, ini adalah surat penuh luka dariku yang malang. Yang ditulis dengan penuh rasa malu setelah lama menimbang dan lama menunggu. Aku menahan goresan pena ini berkali-kali, air mata menghadang dan menghentikannya berkali-kali. Maka mengalunlah rintihan hati.

Sobat, setelah melewati usia yang semakin panjang ini aku telah melihat engkau menjadi orang dewasa yang memiliki akal sempurna dan jiwa yang matang. Maka sudah menjadi hakku atasmu agar membaca lembaran surat ini. Jika engkau tak berkenan silakan merobeknya setelah engkau membacanya sebagaimana engkau telah merobek-robek hatiku.

Sobat, tujuh tahun yang lalu adalah hari yang penuh bahagia dalam hidupku. Ketika kita masih bersama saat itu.

Sobat, semua orang pasti mengetahui apa makna kalimat ini. Yaitu kumpulan dari kegembiraan dan kebahagiaan serta awal dari perjuangan. Tak kusangka penampilanmu kini setampan itu. Setelah menerima berita gembira itu, aku menerimanya dengan penuh suka cita.

Sobat, perjuanganku tidak bisa dilukiskan dengan apapun. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi cintaku padamu dan kegembiraanku menyambut kehadiranmu. Bahkan rasa sayang itu terus bersemi seiring dengan bergantinya hari dan kerinduanku terhadapmu semakin mendalam.

Aku sudah lama memendam perasaan ini dengan kesusahan di atas kesusahan, rasa sakit di atas rasa sakit. Aku gembira dan bahagia bisa ditakdirkan untuk bertemu denganmu, walau hanya sekejap.

Sebuah perjuangan panjang yang mendatangkan fajar kebahagiaan sesudah berlalunya malam panjang. Aku tidak bisa tidur dan memejamkan mata. Aku merasakan rasa sakit yang sangat, rasa takut dan cemas yang tidak bisa aku guratkan dengan pena dan tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Saat itu bercampur aduklah antara air mata tangismu dengan air mata kegembiraanku. Hilanglah seluruh rasa sakit dan perih yang aku rasakan.

Sobat, tahun demi tahun telah berlalu dari umurmu sedangkan aku senantiasa membawamu dalam hatiku. Harapanku setiap hari adalah melihat senyumanmu dan kebahagiaanmu setiap waktu—engkau memintaku sesuatu agar aku lakukan untukmu. Itulah puncak dari kebahagiaanku.

Siang berganti malam sementara aku tetap setia dalam kondisi itu. Senantiasa berkhidmat tanpa adanya lelah, senantiasa bekerja tanpa putus hingga engkau tumbuh dewasa..

Telah lewat masa-masa yang berat. Tapi ternyata engkau bukanlah “sobat” yang selama ini aku kenal. Engkau mengacuhkan diriku dan melupakan aku. Sudah berhari-hari lamanya aku tidak mendengar suaramu. Engkau telah melupakan seeorang yang selama ini merindukanmu siang-malam.

Sobat, aku tidak banyak meminta banyak kepadamu. Aku hanya meminta agar engkau menempatkan diriku seperti halnya engkau menempatkan teman-temanmu yang paling akrab dan yang paling jauh langkahnya bagimu.
Sobat, jadikanlah aku salah satu terminal hidupmu sehari-hari sehingga aku dapat melihatmu walaupun hanya sekejap.

Sobat, telah melemah punggungku dan telah gemetar anggota tubuhku, penyakitpun mulai menggerogoti dan mengunjungiku. Akan tetapi hatiku senantiasa untukmu. Manakah kini balasan dan manakah kesetiaan?

Apakah kerasnya hatimu hingga separah itu, apakah sehari-hari penuh kesibukanmu telah menyita waktumu?

Sobat, sepanjang pengetahuanku selama engkau berbahagia dalam hidupmu, maka akan bertambah kebahagiaan dan kegembiraanku.

Tidak usah heran karena engkau adalah buah cinta dan hatiku. Apa dosaku sehingga engkau memusuhiku dan tidak mau lagi melihatku serta merasa berat untuk mengunjungiku? Apakah aku pernah salah bersikap kepadamu sehingga kau campakkan diriku?

Kini semua hanyalah kisah kenangan yang terbuang dari kehidupan. Dan aku kini tak lagi dapat menyimpannya.

Jika kau ingat kembali, aku tak pernah mengatakannya. Barang sejenak, tidak sama sekali. Tapi kaulah yang memintanya. Atau. Mungkin. Aku yang salah. Tidak seharusnya dulu aku sering bersamamu di kebanyakan waktu.

Jombang, Maret 2012

Berdialog dengan Diri
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Aku tidak tahu dengan kalimat apa mesti kutulis setetes tinta ini untukmu. Malam begitu dinginnya, sementara angin tanpa permisi masuk menembus tulang-tulang persendianku. Suara deburan angin malam yang lirih terdengar bagai nyanyian orang kesepian. Lalu nyanyian itu berubah menjadi rintih kesedihan. Kesedihan dari orang-orang terluka, orang-orang kalah, orang-orang yang tersingkir, atau sengaja disingkirkan dari kehidupan. Boleh jadi, rintihan itu juga merupakan ratap keperihan dari harapan yang tak pernah sampai, atau cita-cita yang kandas di tengah jalan. Rintihan itu membuat mataku tak juga bisa terpejam.

Sedang apa kau malam ini? Mungkin selama ini aku yang bersalah padamu. Aku yang sering membuatmu marah. Maafkan atas segala tingkahku. Maaf, jika jejak–jejak masa itu menyisakan luka yang teramat mendalam. Bukan maksudku mengganggu ataupun mengotori kisah kehidupanmu yang putih. Ya, aku yang bersalah, meskipun munculnya keraguan itu sebetulnya datang darimu. Mengapa aku berkata demikian? Teramat sulit bagiku untuk menjelaskan kepadamu dengan kalimat-kalimat biasa di lembaran sesempit ini.

Setelah bertahun-tahun lamanya aku mengembara arungi semesta raya akhirnya terdamparlah aku disini. Di sinilah akhirnya aku menemukan hakikat kehidupan. Di sinilah akhirnya aku menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Di bumi Allah inilah aku berdiri dan mencoba untuk menyelami di kedalaman samudra ilmu. Walaupun jalanku menuju-Nya masih meraba-raba dalam gelap, tapi aku yakin, akan kutemukan “nur” kearifan itu. Jika anugerah itu telah sampai kepada kita, mengapa kita tidak mencoba mengabadikan dan menyusunnya menjadi syair hidup yang kelak akan selalu kita kenang tentunya?

Pencarianku belum selesai sampai di sini. Jalan yang harus aku tempuh masih panjang membentang di depan. Aku tak tahu, apa mungkin melewati jalan itu. Pada setiap persimpang jalan selalu kutemukan kepalsuan, kecurangan, kebohongan, dan keamburadulan. Kejujuran sangat sulit kutemukan di sepanjang sajak jalan ini.

Waktu terus mengalir dan tak mungkin berhenti mengalir. Aku ingin mengikuti aliran waktu, dan tak mau berhenti untuk menemukan apa yang aku cari. Pada setiap jalan yang kulewati, segala kejadian kurekam dalam ingatan, dan kucatat bagian-bagian penting di sebuah buku harian yang selalu menemaniku dalam perjalanan.

Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, dan hanya secuil kelebihan yang kumililki. Dari secuil kelebihan itulah aku mencoba memperkuat keimanan, menghindari semua godaan yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku.

Coba lihat, apa yang ada di luar sana? Gelap. Ya, gelap. Belakangan ini langit selalu tampak gelap. Sebagaimana dunia yang selalu dilanda kekacauan, kebohongan, kepalsuan, kecurangan, dan keamburadulan. Banyak orang yang “pura-pura” pintar, tapi tidak jujur dan tidak arif dalam menyikapi kehidupan. Jusrtu egonya yang berperan. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka, sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Aku prihatin. Melihat dunia yang semakin hari semakin jauh dari garis yang hakiki. Kemaksiatan telah merajalela. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Seperti sudah tak ada lagi yang mengenal hukum Allah. Ah, sudah sampai peradaban manakah ini, sehingga orang-orang tak lagi mengenal hakikat?

Lihatlah, tak satupun bintang terlihat di sana. Mendung hitam sedang menjadi raja dan sudah beberapa hari ini bumi terus diguyur hujan. Bagaimana dengan daerahmu di sana? Apakah  malam ini juga sedang turun hujan? Ataukah hanya sekedar bermendung? Aku yakin, sebentar lagi hujan deras pasti akan segera turun.
“Segeralah turun, wahai hujan. Biar pohon-pohon yang telah mengakar pada bumi tumbuh subur. Biar mereka dapat meminum air kehidupan.” Mataku pun berkaca-kaca melihat langit. Sesuatu yang kudambakan itu akhirnya menjadi kenyataan. Hujan pun turun. “Terimakasih, ya Allah...! Terimakasih. Oh, ternyata Engkau masih mendengar suara batinku.” Aku pun kegirangan.
Aku tahu, semua yang ada di dunia ini fana dan tidak ada yang abadi. Termasuk sajak kenangan yang pernah kita tanam bersama itu, mungkin juga akan sirna. Tapi aku yakin, di balik semua ini ada yang Abadi. Kau harus tau itu. Sesuatu yang Abadi adalah sesuatu yang Hakiki, yang akan Hidup untuk selama-lamanya, karena Ia adalah Sang pemilik Cinta itu sendiri. Dialah yang lebih dekat dari segala sesuatu. Dialah puncak Keagungan, Keindahan, dan Sang Kebenaran. Dialah yang memberikan sebuah pertemuan dan perpisahan.

Dulu. Saat aku mengenal cinta untuk pertama kalinya, dan saat aku bertempur secara habis-habisan dengannya, sesungguhnya aku telah ditipu dan diperbudak olehnya. Ah, cinta. Betapa cengeng tampaknya. Mestikah seumur hidup manusia hanya cukup mengurusi persoalan cinta?

Padahal, betapa banyak persoalan lain yang mesti dituntaskan dalam kehidupan ini di luar cinta. Tapi setidaknya, begitulah dulu aku berpendapat. Dulu, aku seperti tidak dapat hidup bila jiwaku membisu tanpa mengkidungkan nyanyian cinta. Padahal untuk selamanya, atau mungkin hingga akhir hayat kelak seseorang yang pernah dirindukan siang dan malam hingga bertahun-tahun lamanya itu, tak akan pernah kembali dan tak mungkin menjadi milikku.

“Aku memang tak akan pernah memilikinya. Tapi salahkah aku, bila hanya ingin sekedar menanam rasa itu di lubuk jiwaku yang terdalam agar cinta itu tetap mekar untuk selamanya sebagai penyegar Kehidupan? Siapa  tahu, nanti aku dapat memetiknya di kurun waktu yang lain.” Demikianlah dulu aku beralasan.

Dulu, aku juga pernah berkata, “Engkau mungkin tidak tahu apa yang sedang merasuk dalam sukma terdalamku malam ini. Hatiku telah menjadi serpihan kepingan luka sejak pengembaraan ini kulakukan. Hidupku memang busuk. Tapi kau harus ingat, seburuk apapun realita yang menimpa diriku, aku masih menyimpan harapan. Ya, harapan untuk memperoleh cinta itu kembali meskipun harus kutebus dengan seribu penderitaan. Inilah milikku satu-satunya yang paling berharga!”

Tapi sekarang, aku telah insyaf. Telah kubuang jauh-jauh sesuatu yang bernama perasaan itu. Bagiku asmara sudah menjadi sesuatu yang tidak penting lagi. Sebab, kesibukan melakukan sesuatu yang tidak menjadi tujuan beararti berpaling dari sesuatu yang menjadi tujuan. Aku sudah tidak lagi bersikap lemah dan alay. Tidak juga galau dan risau. Kuhadapi segala proses kehidupan ini dengan kekuatan. Dan, aku lebih tidak peduli lagi soal rasa. Karena memang hanya soal rasa. Kadang bisa berubah kapan saja. Sebab, cinta telah lama mati bersama matinya hati nurani. Hanya rasa kepada Allahlah yang akan abadi untuk selamanya.

Jombang, 8 November 2011

Aku dan Bulatan Bunga Sabun
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Kutulis segenggam asa ini. Kutulis semata-mata karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis dan segala resah gelisahku tertuang dalam catatan ini, maka akan legalah perasaanku.
Sore ini, semula aku tak ingin berbuat apa-apa. Pikiranku kusut memikirkan sesuatu. Tapi, hatiku bisa beku bila tak melakukan sesuatu. Ruangan kamar pondok ini terlalu sempit bagi jiwaku yang ingin terus mengembara tanpa batas. Itulah sebabnya, aku sengaja memilih keluar sore ini. Aku sering memilih jalan sunyi yang mendaki lagi sukar penuh onak dan duri, serta batu-batu krikil yang tajam menantang merintang. Inilah pengembaraan yang lebih panjang untuk membuktikan kemurnian itu. Kemurnian bukanlah sekadar ucapan yang tak bermakna dan terkadang pun bisa berbohong. Hatilah yang sebenarnya paling jujur. Aku menerawang jauh, bahwa perjalanan yang kelak akan kutempuh tak akan pernah ada habisnya untuk menghidupkan kembali kemurnian yang sirna, demi menggapai puncak yang paling tinggi.

Sejenak, kualihkan arah pandangan pada jam kehidupanku. Ternyata, aku akan segera sampai di penghujung. Tapi aku baru sadar. Bahkan begitu sadar, bahwa aku belum berbuat apa-apa. Mungkin begitu cepatnya waktu menguap ataukah aku sendiri yang kurang menyadari betapa, waktu telah menggilas segalanya. Sekali waktu melesat maka tak akan ada yang dapat mengembalikannya. Hidupku terkadang suka, terkadang duka, dan tak jarang datar tanpa ekspresi.

Di sinilah aku mengukir harapan untuk mengarungi kehidupan esok. Ya, esok. Ketika aku telah meninggalkan kehidupanku di sini. Aku melihat tergambar di luar sana, entah akan ada suasana riuhnya dunia kampus, atau entah sesaknya dunia kerja, atau bahkan entah ribetnya persoalan masyarakat. Di sini, hidupku terlindungi dan terjaga dari segala kemusta’malan. Aku menikmatinya. Sebab di sinilah aku belajar mengatur diri. Sayangnya, gerakku di sini begitu terbatas. Semuanya dibatasi oleh ketentuan hukum yayasan pesantren. Ibaratnya seperti dibatasi oleh lapisan yang begitu tipis; dan sekuat apa pun aku tak akan pernah bisa menolak adanya lapisan itu. Seperti terbuat dari tiupan sabun cuci, membentuk bulatan yang bila tesapu cahaya tampak warna-warni mejikuhibiniu. Dan di dalam bulatan itulah aku hidup.

Bunga sabun ini suatu saat akan pecah. Tinggal kapan dan siapkah aku menghadapi realita yang akan terjadi. Apakah aku akan terlempar jauh ke bawah ataukah mi’raj di ketinggian tertinggi? Entahlah. Siapkah aku untuk menjaga kemurnian yang selama ini kujalani setelah keluar dari pelindung bulat ini? Di luar memang terlihat lebih indah, megah, dan menantang. Tapi di sana akan lebih bahaya dan tak aman, karena sekali salah melangkah maka akan tenggelam ke dalam jurang yang teramat curam. Bukannya aku takut dengan kehidupan di luar sana. Tapi dari detik ini, setidaknya aku telah siap dan meyakinkan segenap iman yang telah lama membaja dalam jiwaku. Sebab musuh sejatiku esok nanti bukanlah musuh yang berwujud, melainkan sesuatu yang tak kasat mata. Di zaman sekarang ini, tidaklah sama seperti pada zaman Nabi yang ketika perang melawan musuh dengan menggunakan kekuatan fisik. Di di era sekarang, yang entah apa orang menyebutnya, yang terjadi adalah perang dalam diri. Seseorang akan disebut kalah dari peperangan jika ia menjual keyakinannya. Ya, itulah iman. Kini berpegang teguh pada iman ibarat memegang batu bara yang membara. Jika tak kuat menahan panasnya api kebenaran, maka tewaslah ia dalam menghadapi pertempuran melawan dirinya sendiri.

Aku harus sesegera mungkin berbenah diri dan berusaha melakukan sesuatu yang terbaik dari yang terbaik. Mulai dari sekarang, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari diri sendiri. Detik-detik akhir ini aku seperti menemukan kesadaran baru. Kesadaran bahwa, untuk apa sebenarnya aku diciptakan dan dihadirkan oleh Allah di dunia ini? Di samping itu, yang selalu melekat dalam alam pikiranku adalah aku akan berpisah dengan orang-orang hebat seperti mereka. Aku akan meninggalkan kisah paling indah di dalam bunga sabun ini. Hingga suatu saat “pluk”, tanpa suara yang heboh, tanpa efek yang luar biasa, bulatan bunga sabun itu pecah. Aku keluar dari bulatan bunga sabun itu menuju tempat yang telah digariskan olehNya. Dengan air mata aku menerima semua kenyataan. Dengan air mata aku tak bersama mereka lagi: penasehatku, pelipur dukaku, penyemangat hidupku, para masyayikh, orang-orang yang telah memberiku pelajaran dan kekuatan dalam kehidupan, guru-guru, dan semua orang yang telah mendidikku untuk menjadi orang yang dewasa dalam berpikir dan bersikap. Semua itu harus aku terima dengan air mata kenyataan yang belum aku tahu, karena ternyata bulatan bunga sabun yang kelak menjadi kenangan itu belum pecah. Hanya tinggal menunggu dan merelakan sang takdir bila harus bicara terhadap diriku.

—di penghujung tahun
Jombang, 31 Desember 2011

Keluar dari “Penjara” Rasa
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Laiknya fiksi, humor pun sebetulnya juga lahir dari sesuatu yang serius. Sesuatu yang kita sendiri mengalaminya hari demi hari, namun tak kunjung juga kita mengerti. Hidup ini dibuat biasa sajalah. Tak perlu tegang dan serius. Mungkin di antara kalian, sering melihat dan mendengar saya berhumor yang tidak jelas. Ya, harap dimaklumi. Mungkin dikarenakan sifat saya yang masih kekanak-kanakan.

Tapi, kau tahu. Ada latar belakang yang membuat saya sering berhumor dan tertawa. Dan yakinlah. Bahwa kebenaran dan kemurnian tanpa humor sifatnya meragukan. Dengan humor, sesuatu yang bersifat serius dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu baru yang bersifat rileks dan renyah. Karena itu, manajemen rasa itu dirasa penting. Kita perlu kondisi yang tenteram, bahagia, dan penuh kedamaian di sekeliling kita, agar hidup tak selalu tegang. Kenapa saya berpikir demikian. Sebab, sesuai dengan perjalanan pengalaman saya, di kelas, beberapa dosen yang killer membuat mahasiswanya tegang dan berpikir sedemikian seriusnya. Tak hanya di kelas, di luar pun, mahasiswa sering diburu ketakutan atas tugas-tugas dari dosen. Hari-hari saya selama kuliah membuat saya jarang berhumor. Hidup saya pun penuh dengan ketegangan dari hari ke hari. Jadilah saya orang sains yang sering serius dan jarang tersenyum, apalagi tertawa. Wajah saya pun agak berubah, laiknya dosen yang killer. Itulah sebabnya, saya suka berhumor di sana dan di sini. Sebab, betapa waktu di kelas, telah banyak menyita waktu humor saya dengan berbagai keseriusan.

Seperti halnya rasa marah, iri, benci, dendam, ketakutan, ego, suka, cemburu, cinta, nafsu. Tegang dan serius juga merupakan bagian dari semua itu, yang pada hakikatnya adalah sama, yaitu hanya sebuah “rasa”. Padahal kita sendiri yang menciptakan “rasa” itu. Kita sendiri pula yang disibukkan oleh “rasa” itu, dan kemudian tanpa disadari kita telah berada di sebuah penjara yang bernama penjara “rasa”. Untuk keluar dari penjara bernama penjara “rasa” itu, seseorang harus mengabaikan segala rasa yang sedang membelenggunya. Perlu kita ketahui. Bahwa di pusat panas yang paling panas, di situlah ada titik dingin paling dingin. Dengan filsafat, seseorang dapat mengubah panas menjadi dingin, mengubah api menjadi air, mengubah tegang menjadi santai. Filsafat tak ubahnya tongkat ajaib yang ampuh untuk menyulap apa saja yang bersifat keburukan, menjadi segala sesuatu yang baik dan rahmatan lil Aalamiin.

Ini cerita saya. Dulu, memang pribadi saya sangat labil. Cinta pun saya tuhankan. Saya menjadi buta dan tuli, hanya gara-gara cinta. Saya dibuat sibuk dan pusing oleh cinta. Saya pun diperbudak oleh cinta. Saat itu, saya belum pernah mengenal filsafat. Sehingga tak mengerti, mana yang patut diperjuangkan dan mana yang harus dibumihanguskan. Tapi, semua jejak cerita itulah yang akhirnya membuat saya kokoh pendirian. Kujadikan jejak cerita yang kelam itu menjadi sebuah pelajaran yang saya pakai di hari ini.
Cerita saya berawal dari sini. Pernah saya mengagumi seseorang. Kupuji ia dalam siang dan malam. Dalam salat, saya tak tahu harus menghadap Allah ataukah seseorang yang selalu kuingat namanya itu. Wajah saya penuh dosa karena mengkhianati nurani saya. Seharusnya saya hanya menghadap Allah, bukan yang selainNya. Saya tak berani mengutarakan pada perempuan. Diam-diam suka, diam-diam cemburu, dan diam-diam cinta.

Dulu, saya juga pernah pacaran. Satu kali dalam hidup saya, hingga saat ini. Tapi nahasnya hanya berlangsung dua hari. Hari pertama saya menyatakan cinta. Dan hari kedua saya memberinya hadiah. Setelah itu, saya tak berani lagi mendekati, apalagi berbicara padanya. Semua telepon dan sms darinya saya abaikan. Kata dia, saya jahat. Memang di matanya begitu. Tapi entah lagi kalau di hadapan Allah. Ah, tahu apa saya soal cinta. Saya kemudian sadar, dan saya tinggalkan nafsu itu dalam keyakinan.

Semenjak itu, saya hanya bisa merindu dan mengkidungkan nyanyian cinta. Ternyata perjalanan cinta belum berakhir. Saya harus menanggung beban rindu dari hari ke hari. Hati saya masih labil oleh godaan cinta. Apakah itu cinta atau nafsu, saya belum bisa membedakan. Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan filsafat. Ialah yang mengantarkan saya pada ruang hikmah. Ialah yang menjelaskan segala yang terselubung dalam rahasia. Saya pun sadar, bahwa nafsu telah memenjara nurani saya yang asali. Saya seperti lahir kembali dari rahim kemurnian. Hingga saya tinggalkan segala bentuk cinta dalam keyakinan hati. Kupatahkan segala sayap-sayapku, agar aku tak lagi terbang mencari-cari cinta, sebab cinta sebetulnya selalu hadir di depan mata, di setiap pembuluh darah, dan di hati orang-orang yang beriman. Cinta tak pernah tumbuh di hati orang yang munafik, yakni orang yang membohongi nuraninya. Langkah dan bicaranya orang munafik sesungguhnya mengidap rasa sakit yang akut, sebab nuraninya menolak sepenuhnya. Orang munafik tak pernah jujur kepada dirinya sendiri. Apalagi tentang nafsu, orang munafik selalu menganggapnya sebagai cinta. Maka, tenggelamlah orang munafik itu ke dalam “rasa” berkepanjangan yang tak ada ujungnya.

Malang, Mei 2015

Sahabat Jiwa
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Sahabat jiwaku. Janganlah heran, kalau sikap saya yang tidak pernah bisa romantis denganmu. Saya, mungkin terlalu kurang pergaulan, sehingga tidak tahu, bagaimana cara bersikap romantis. Harap dimaklumi, saya memang anak desa. Kurang begitu mengerti trend zaman masa kini yang begitu memukau. Entah itu tentang life style, makanan, mode pakaian, teknologi, atau tentang gaya-gaya hidup orang zaman sekarang. Kalau ada yang bertanya kepada saya, ada apa di luar sana. Maka saya hanya bisa menjawab, engkau mungkin lebih tahu daripada saya. Saya adalah manusia yang rabun akan berita dan asmara, apalagi isu-isu yang bertebaran di angkasa raya dan maya. Zaman sudah berubah ternyata. Sudah sampai manakah kita berjalan?

Sahabat Jiwaku. Suatu waktu aku mengetahui, kalau sebenarnya engkau sangat mengharapkan keseriusanku. Mana pernah aku tahu, Ding, bahwa engkau memendam rasa suka padaku. Ah, aku jadi takut pada asmara. Apalagi jika harus terbang bersamamu melewati langit biru itu. Aku menjadi takut jatuh dan sakit. Sementara engkau selalu bertanya padaku, “Begitu sibukkah dirimu, sampai-sampai engkau tak sempat untuk menanyakan padaku: cintakah aku padamu.” Aku hanya bisa diam.

Lalu engkau pun memberanikan untuk datang kepadaku, dan membawa pertanyaan yang lain, “apakah engkau mencintaiku? Masihkah ada cinta di antara kita?” Kali ini aku harus angkat bicara. Aku harus berani membetulkan kata-katanya itu. Kata orang, ini adalah resiko dari pergulatan asmara. Tapi aku tak begitu memahaminya karena aku memang tidak begitu peduli soal rasa. Dan pada akhirnya, aku mencoba mengumpulkan seluruh keberanian itu.

Sahabat jiwaku. Janganlah bertanya lagi, apakah aku mencintaimu. Sebab, itu sudah pasti. Apalagi, kita belum pernah mengukir janji untuk mencintai, maka jangan terburu-buru bertanya, masih adakah cinta di antara kita. Belum ada. Dan mungkin, akan ada untuk selamanya. Itu hanya usahaku untuk mencintaimu. Sementara, selebihnya itu jangan pernah menyalahkan takdir. Marilah saja, kita berdo’a bersama-sama, agar kita dipertemukan di ujung waktu, pada ufuk cakrawala yang indah, dalam suatu ikatan yang diridhoi-Nya. Aamiin.

“Oh, begitu ya. Tapi kamu harus memegang janji dan keyakinan itu ya!” desaknya kemudian.
“Iya, mungkin,” jawabku datar.
“Mungkin?” diulanginya jawabanku itu dengan nada bertanya. Ia seperti tak percaya padaku.
“Kenapa? Ada apa lagi, Ding? Tunggu aku di ujung waktu. Aku pasti akan datang menjemputmu!” tegasku.

Ia tersenyum. Ah, senyum itu. Maafkan aku, Ding. Kali ini, aku tak sengaja melihat matamu yang begitu teduh itu. Senyummu terlalu kekal untuk kuhapus dari ingatan. Gerai suaramu yang sempat ku dengar tadi, entahlah, mungkin sudah meresap ke relung jiwa terdalamku. Gemetar hatiku, Ding. Dan aku tak berani melakukannya lagi. Aku tak berani merindukanmu lagi. Persetan dengan kerinduan.

Sahabat jiwaku. Saya bukanlah orang yang romantis. Maka jangan pernah marah dan kecewa, kalau-kalau sikap saya yang selalu acuh kepadamu, atau kata-kata saya yang sama sekali tidak puitis. Saya memang begini, orangnya, biasa, tidak bisa romantis. Tidak suka alay. Tidak suka cinta yang berlebihan. Malahan, saya ingin mencintai apapun dengan biasa dan sederhana. Termasuk kamu, saya hanya bisa mencintaimu ala kadarnya, dengan cinta yang sederhana. Kecuali Allah, kekasih sejatiku, cintaku sepenuhnya untuk-Nya.

Entah lagi nanti kalau saya bisa romantis kepadamu gara-gara telah punya tanggung jawab yang serius, aku tak tahu lagi. Sampai sekarang, janur kuning itu sama sekali belum melengkung, bukan? Oiya. Dari tadi saya membahas seputar kamu, Ding. Saya jadi penasaran. Kamu yang kelak menemaniku sampai akhir hayat. Siapa namamu sebenarnya? Seperti apakah kamu sesungguhnya. Bahkan, aku tak tahu, kepada siapa, rindu sekaligus doa ini kelak kan kutambatkan.

Malang, 10 April 2015