Peran Santri dalam Menyebar Dakwah, Membangun Negeri, dan Menggapai Ridlo Ilahi
Oleh: M. Fahmi

Saat bumi, tak lagi mampu menampung kekafiran dari rimba yang bergema
Siang dan malam, memang telah menjadi kelam bagi sebagian besar manusia
Kala lautan manusia berselimut dosa, mengobral sensasi di depan khalayak
Langit menjadi saksi bisu, atas kebohongan di setiap untai gerak manusia
Dosa terus melekat, biarpun tanpa taubat
Maksiat terus saja mengalir, biarpun tak selaras dzikir
Siapakah kini, yang berani memungut puing-puing hikmah yang terserak, kalau bukan seorang Santri?
Siapakah kini, yang berani menghidupkan kembali kebenaran-kebenaran di antara kefasikan yang berhamburan di muka bumi, kalau bukan seorang Santri?
Berharap di setiap gerak langkah mewujud bijak
Berharap kuncup iman, lahir mekar sempurna
Namun, di zaman ini, bijak masih juga berjarak,
Sempurna rasa masih sebatas impian
Kemunafikan masih saja tenggelam di dalam diri manusia
Kapankah rintik hujan berubah menjadi gelombang insyaf?
di sini, saat ini, kalam Allah menampar diri

Ilahi, ke manakah kami harus berlari, saat bumi-Mu telah sesak oleh kemungkaran?
Ataukah memang saat ini kami sedang menuju akhiruzzaman?
Ilahi, biarlah kami genggam erat-erat firman-Mu
Kami bawa berlari, berlari, dan berlari..
Betapa pun, di sini kami selalu berharap
Engkau masih setia menunggu, di ujung waktu
Sebab, hanya kepada-Mu lah kami bersandar

***
Saat waktu, tak lagi mampu bicara tentang harap para rakyat di tanah air,
Negeri yang telah kehilangan kejujuran, masihkah kita pura-pura tak mengerti?
Lalu, menaruhnya di atas keniscayaan?
Ah, iya, memang mungkin sudah masanya, memang mungkin sudah zamannya
Para pemimpin negeri melupakan kebenaran, tak lagi peduli peduli kepada kebenaran
Kebenaran seakan menjadi boneka lucu yang layak ditertawakan
Wahai Santri, lihatlah, di ufuk cakrawala sana, sayup-sayup suara memanggil, terdengar jelas kebenaran yang membisik,

Bila Santri zaman dahulu mampu membangun kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya, kenapa sekarang tidak?
Kala para penjajah negeri terlelap di atas kursi kesewenang-wenangan
Para Santri bangun di sepertiga malam terakhir, mereka dirikan shalat, mereka wiridkan dzikir, lalu mereka rancang strategi bersama atas nama keadilan dan kebenaran
Ketahuilah, bahwa negeri kita sekarang ini sebenarnya masih terjajah;
Terjajah oleh kepentingan-kepentingan, terjajah oleh ketidakadilan, oleh kemaksiatan, oleh dosa, oleh kesewenang-wenangan, oleh kerakusan, oleh kemunafikan, oleh kedustaan,
Terjajah oleh nafsu dan materi, terjajah oleh para penjajah yang ternyata lahir dari bangsa sendiri:
Bangsa yang terlalu lama tertidur, hingga melupakan kebenaran-kebenaran
Lihatlah, betapa kebenaran kini telah lama mati bersama matinya hati nurani
Maka hari ini, di hari Santri ini, telah sepatutnya para Santri bangun dan bergerak
Berani dengan lantang dan teguh, menegakkan kembali kebenaran
Dengan dakwah, dengan syi'ar, dengan amal, dengan prinsip dan keyakinan
Perangilah segala kemaksiatan dengan kebenaran
Percayalah, bahwa kebenaran kelak akan muncul sebagai pemenang, meski datangnya kadang belakangan

Santri, betapa besar jiwamu, betapa mulia pengabdianmu, betapa agung perjuanganmu
Kau bangun negeri beserta manusianya dengan semangat dan gelora
Janganlah engkau takut menghadapi kemungkaran di atas muka bumi
Ingatlah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan selalu bersama langkahmu
Bersama langkah perjuanganmu, menuju ridlo Allah."

Malang, 3 Oktober 2017

Ayunan itu berderik semakin keras. Bunyinya terdengar seiring dorongan badan Putri. Mata indah Putri tertutup rapat menikmati sore yang dinantinya. Badannya terdorong jauh melambung dan terus terayun semakin tinggi. Putri ingat burung kecil yang dilihatnya seminggu lalu di ranting pohon besar yang ada di taman kompleks perumahan itu. Sayapnya yang kecil diangkat berkali-kali. Namun burung kecil itu tetap saja ragu, padahal sang induk telah berulang kali meyakinkannya. Mendahuluinya terbang dengan sempurna. Mata bulat Putri terus mengingat pemandangan itu. Setiap kali badannya terangkat naik, ia membayangkan seolah-olah ia adalah burung kecil itu.

Terbanglah Putri! Biarkan dirimu menyentuh atap langit. Ketuklah hati Tuhanmu. Terbanglah!

Angin sore mempermainkan kerudungnya. Pikiran Putri terus bermimpi membayangkan dirinya sebagai burung.

“Aduh, anak itu sebentar lagi pasti jatuh!” Seru seorang ibu dari seberang taman. Sebentar saja, aksi Putri di ayunan menjadi tontonan warga kompleks perumahan itu. Wajah mereka memancarkan kengerian sekaligus kecemasan setiap kali ayunan itu berderik.

“Hai, Nak, turunlah! Kau akan mencelakakan dirimu dan orang lain dengan ayunan itu.”

“Ahhhh…!” Riuh kecemasan warga terdengar semakin keras.

“Kita harus bertindak sebelum anak itu jatuh!” Seru salah seorang bapak dari kumpulan orang-orang itu.

Putri sepertinya tidak takut jatuh, padahal ayunannya berayun amat tinggi. Ia ingin terbang tinggi di langit dan bernyanyi dengan kicau segala burung di alam semesta raya ini.

Putri terus mendorong. “Lihatlah Tuhan, aku akan belajar terbang!” Hatinya memekik girang. Tangannya satu per satu mulai dilepaskan dari pegangan.

Putri kaget bukan main ketika ayunannya tersentak keras dan tubuh kecilnya ditarik kasar. Matanya terbelalak ketakutan. Begitu banyak orang berkerumun dan semua memandangnya marah. Apalagi bapak tadi yang telah menghentikan aksinya terus berbicara dengan sorot mata yang tajam. Pahamlah Putri, bahwa tindakannya tidak disukai. Ia merasakan tangan bapak itu mendorong punggungnya amat keras, keluar dari taman. Ingin sekali Putri berbicara, tapi ia bingung bagaimana caranya. Warga pun bubar. Tinggallah Putri memandang kosong ayunan yang terus bergerak, makin lama makin pelan, dan akhirnya berhenti.

Sinar matahari sore menyapanya lembut, menghibur hati gadis kecil yang gundah. Kepala Putri mendongak, menatap langit yang terasa jauh. Matanya terasa pedih. Hatinya terluka. Dan ia pun menangis. Mimpinya untuk bisa terbang mengelilingi angkasa raya tidak menjadi kenyataan. Padahal, ia ingin seperti burung, bisa terbang dan tidak perlu berbicara. Mereka hanya bernyanyi dan orang-orang akan menyukainya.

Kakinya melangkah menjauhi taman, menyeberangi jalan dan terus menuju sebuah masjid yang telah ramai oleh celoteh anak-anak sebayanya. Langkahnya yang kecil berlari menyongsong dua anak berkerudung biru yang baru keluar dari masjid. Putri berusaha menjejeri langkah kakaknya yang terus berbicara dengan temannya, tak memperhatikan Putri sama sekali. Kian lama Putri kian jauh tertinggal. Putri memandang punggung kakaknya letih. Sore itu, Putri sangat sedih.

***

Udara terasa dingin. Hujan masih menyisakan kehebatannya. Jalan-jalan basah dan selokan tak mampu lagi menampung air. Air meluap memenuhi sebagian badan jalan. Begitu kuasa Tuhan menurunkan air. Kaki Putri lincah berjingkat-jingkat menghindari genangan air. Badannya yang kecil kerepotan membawa payung yang ukurannya jauh lebih besar dari badannya.

Putri berusia enam tahun. Ia tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya di belakang perumahan pinggiran perkebunan teh. Ayahnya sudah tiada karena kecelakaan empat tahun yang lalu. Ibunyalah yang selama ini bekerja untuk makan dan hidup mereka, dengan menjadi pemetik daun teh.

Putri menghabiskan sebagian besar hidupnya di rumah. Terkadang ia keluyuran melihat dan menikmati alam. Seperti kemarin, Putri mencoba ayunan di taman kompleks. Putri kecil tidak pernah bermain dengan teman sebayanya karena tak seorang pun memedulikan ia. Tidak juga kakaknya. Ia hanya bermain dengan ibu dan teman-teman khayalannya. Namun Putri sangat gembira jika ibu menyuruh menjemput kakaknya di masjid kompleks. Seperti sore itu, dengan berbekal payung ia menyusuri jalan. Badannya yang kecil tertutup payung kuning besar.

Angin berhembus mempermainkan payungnya ke kiri dan ke kanan. Berat rasanya berpegangan, tapi tangan kecil itu tak menyerah. Tinggal beberapa langkah lagi ke masjid besar itu. Jendela serta kubahnya yang lebar dan putih menerangi hatinya. Putri sangat suka memandanginya. Dengan cara itulah, Putri menyapa rumah Allah. Cukuplah Putri menyapa dengan caranya sendiri.

Tiba-tiba payung besarnya terlepas. Putri kaget, namun angin telah menerbangkan payungnya jauh. Ia pun menangis, bahunya berguncang hebat.

“Apakah ini payungmu, Adik manis?” Sebuah tangan mengusap air mata Putri sambil memberikan payung itu pada Putri kecil yang terperangah kaget. Putri menatap sosok lelaki tinggi yang tersenyum itu. Hatinya berbunga. Dipersembahkannya senyuman paling manis sebagai tanda terima kasih.

“Adik tidak mengaji?”

Putri tak acuh. Ia memalingkan muka kesalnya ketika sosok lelaki tadi terus berbicara dan dirinya tidak mengerti sama sekali. Barulah lelaki bersarung kotak-kotak itu menebak, dan tebakannya benar. Gadis kecil di hadapannya tak bisa mendengar. Putri terlahir bisu dan tuli.

Lelaki itu mulai menggerakkan tangannya sebagai isyarat secara perlahan. Putri menggeleng putus asa. Ia punya cara tersendiri untuk menyuarakan isi hatinya atau diam sama sekali. Kepalanya terus menggeleng untuk menegaskan bahwa ia tidak mengerti isyarat sedikit pun. Tangannya menunjuk ke arah masjid. Usaha Putri membuahkan hasil. Lelaki itu paham maksudnya dan membantunya menuju masjid.

Putri tak bisa melukiskan apa yang dirasakannya saat itu. Baru kali ini ada orang yang mengerti dirinya, selain ibunya. Hatinya mengatakan bahwa lelaki itu baik hati dan bisa dipercaya. Putri menggenggam tangan itu erat. Mereka berdua tersenyum. Sore itu Putri sangat gembira.

***

Putri menggerakkan jari jemarinya perlahan, menyusun bahasa hati yang ingin disampaikan pada ibunya. Sesekali perempuan di hadapannya itu memperbaiki dan memberi contoh.

“Saya bangga dengan ketekunannya, Bu!”

“Ibu juga tidak menyangka, Neng Sahira. Anak Ibu sebetulnya cerdas sekali. Ia mempunyai impian agar bisa berbicara walaupun pakai isyarat. Ibu tidak tahu harus bagaimana cara mengajarinya. Ibu cuma bisa memberi kasih sayang saja,” tutur Ibu Putri pada Neng Sahira.

“Alhamdulillah, kebetulan saya juga menjadi guru di Sekolah Luar Biasa. Saya mengerti bahasa isyarat dan insya Allah saya bisa mengajari Putri.”

“Syukur kalau Putri bisa mengerti. Makasih banyak ya, Neng!” ujar Ibu Putri sambil mengusap air mata dengan sudut kerudungnya.

Neng Sahira adalah istri dari lelaki yang dijumpai Putri kemarin sore. Ia mendapat kabar dari suaminya. Lelaki itu sangat prihatin kepada gadis kecil itu yang tampaknya tak pernah mendapatkan perhatian khusus. Oleh sebab itu, perempuan itu langsung mengunjungi rumah gadis kecil pagi itu dan bermaksud untuk mengajak Putri belajar di sekolahnya.

“Kalau Ibu punya waktu, Ibu juga bisa ikut belajar. Putri pasti senang bisa mengobrol banyak dengan Ibu.”

“Iya sih, Neng. Ibu sangat ingin, tapi waktunya belum ada.”

Putri memegang tangan ibunya yang kasar, menggenggam dan menyentuhkan pada dadanya. Wajahnya terlihat gembira.

“Apa katanya, Neng Sahira?”

“Putri sangat sayang pada Ibu.” Arti gerakan tangan itu sudah membuat hati Ibu Putri hancur dan ia pun menangis tersedu-sedu.

“Ibu juga sayang sama Putri. Ibu… Ibu akan belajar bahasa Putri supaya kita bisa mengobrol banyak.” Ibu Putri memeluknya erat.

***

Sejak Putri belajar bersama Neng Sahira, hatinya bernyanyi lebih riang. Tangannya terus bergerak menyusun bahasa hati dan menyebarkan rasa sayangnya yang selama ini hanya dipahami sahabat-sahabat khayalannya saja. Ia menyapa langit, angin, hewan, dan bunga-bunga liar yang ditemuinya di perkebunan, tempat ia bermain dan menghabiskan waktunya saat sore.

“Oh lihat, saya sudah bisa bicara. Assalamu'alaikum, Pak Belalang. Bagaimana tarianmu hari ini? Indah, bukan? Apakah kau melihat burung kecil yang sedang belajar terbang? Sudah jauhkah ia? Oh, sayang sekali saya tak bisa menyapanya lagi,” celoteh Putri riang.

“Lihat Neng Sahira, semut itu bergotong-royong membawa remah makanan. Mereka berbaris rapi dan selalu saling menyapa setiap kali bertemu.”

“Subhanallah, Allah telah memberikan keistimewaan pada tiap-tiap makhluk yang diciptakan-Nya.” Kata Neng Sahira kala itu.

“Mmmmm… Kalau begitu, apa keistimewaan saya, Neng?”


Neng Sahira berpikir sejenak kemudian menjawab tenang sekali. “Oh, banyak. Salah satunya, gadis manis ini sangat baik hati dan pintar sekali mengungkapkan perasaannya. Jari-jemari yang diberikan Allah membuatnya istimewa. Ia berbicara dengan itu. Tidak semua orang bisa melakukannya.”

Cuping hidung Putri mekar. Hatinya bangga. Ia sangat menyayangi Neng Sahiranya. Putri belajar banyak hal. Kini, ia belajar cara lain untuk menyapa Allah dan rumah-Nya. Neng Sahira mengajarinya berdoa dan membaca alquran. Putri ikut mengaji pula di masjid dengan cara yang berbeda dari anak lainnya. Ia belum pernah mendengar bacaan ayat-ayat alquran, tapi ia senang mempelajarinya. Wajah mungilnya berhias kerudung merah muda, cantik dan manis sekali.

“Kata Neng Sahira, di akhirat nanti saya bisa bicara. Tidak hanya mulutku, tapi juga mataku, tangan, dan seluruh anggota badan yang Allah berikan, Bu. Aku bisa bicara banyak pada Allah. Hebat, bukan?” tangan Putri berhenti sesaat. Ibunya tersenyum mengiyakan walau pun dalam hatinya ada banyak hal yang tak ia mengerti.

Kebahagiaan Putri bertambah tatkala kakaknya mulai mengajaknya bermain di halaman bersama teman-teman lainnya. Senyum Putri terus mengembang dan bertambah lebar. Nyanyian hatinya kian bergema memenuhi rongga jiwa dan seluruh alam. Jemarinya lincah berkata-kata. Banyak ilmu yang ia dapatkan kini.

***

“Apa yang Putri pinta saat ulang tahun nanti?” Tanya Neng Sahira pada Putri.

“Saya ingin sekolah sampai tinggi seperti Neng Sahira dan Mbak Ri. Saya punya permintaan lain. Boleh tidak?”

“Boleh saja. Mintalah sebanyak yang Putri mau.”

“Kalau begitu, saya… ingin bisa mendengar walau pun cuma satu hari. Apakah Allah akan marah jika Putri minta itu?”

“Insya Allah tidak. Mengapa?”

“Bukankah Allah tidak menyukai orang-orang yang tidak bersyukur?”

“Tapi permintaan itu tidak ada salahnya.”

“Kalau begitu, Putri berharap Allah akan mengabulkan.”

“Jika Putri bisa mendengar, apa yang akan Putri lakukan?”

“Putri akan menyapa burung kecil, sahabat Putri.”

“Burung?”

“Iya, burung. Burung kecil itu selalu bertengger di pohon taman kompleks. Putri tahu suaranya indah dan merdu. Tapi sayang, Putri tidak bisa mengatakan betapa indah dan merdu suaranya karena tidak pernah mendengarnya. Burung itu pun tidak punya tangan. Kami tidak bisa saling menyapa.”

“Neng Sahira yakin burung itu mengerti betapa Putri menyukai nyanyiannya. Buktinya, ia tetap berkicau.”

“Neng, seperti apa sih enaknya mendengar?”

Neng Sahira tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa memeluk Putri. Semoga Allah mengabulkan doa anak ini, pintanya tulus.

***

Beberapa bulan kemudian Putri berulang tahun. Neng Sahira lama pergi ke luar negeri bersama suaminya untuk tugas penelitian. Di sana tak lupa ia membelikan alat bantu dengar sebagai hadiah yang sangat diinginkan Putri. Neng Sahira membayangkan seperti apa reaksi Putri. Mungkin dengan cara inilah doa Putri dikabulkan Allah. Begitu banyak yang mau membantu biaya sekolah Putri tatkala cerita tentangnya dimuat di media massa. Alhamdulillah, sesungguhnya jika Allah berkehendak, tak ada yang mampu menghalanginya.

Namun kejutan itu tidak bisa dinikmati Putri. Putri Senja yang ditemui Neng Sahira hanyalah seorang anak yang menunggu ajal. Sinar mata Putri redup.

“Maaf, Bu. Saya baru bisa datang hari ini. Bagaimana Putri bisa seperti ini?”

“Ibu yang salah, Neng. Putri memanjat pohon besar di taman kompleks. Katanya, ia ingin mendengar kicauan sahabat kecilnya. Dia bilang, jika lebih dekat mungkin ia bisa mendengar. Ibu sudah berusaha mencegah, tapi Putri begitu keras kepala. Akhirnya Ibu biarkan saja ia melakukannya. Dan… ah, musibah itu terjadi. Saat Putri makin dekat, burung itu kaget dan kemudian terbang. Putri berusaha menangkapnya tapi tidak berhasil dan ia terjatuh! Tangannya patah, sedang Ibu tidak punya uang untuk ke dokter. Putri tidak bisa lagi menggerakkan jarinya. Karena sangat kecewa, ia tidak punya semangat hidup lagi. Ia jadi sering sakit-sakitan, sementara uang Ibu sudah benar-benar tak bersisa. Ibu tidak tahu ke mana harus menghubungi Neng. Kami pasrah, jika ini yang terbaik bagi Putri,” Ibu Putri menjelaskan. Pipinya yang cekung basah oleh air mata. Ia tak mampu lagi menahan rasa sedih yang dideritanya.

“Tapi, Bu…”

“Ibu berterima kasih atas kasih sayang dan jerih payah Neng Sahira selama ini. Maaf, Putri jadi merepotkan semua.”

“Bu… Putri pernah mengajukan permohonan di hari ulang tahunnya. Ia sangat ingin tahu rasanya mendengar. Saya mohon, Bu. Izinkanlah ia mencoba alat bantu dengar ini. Putri pasti senang sekali…”

Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia membiarkan Neng Sahira untuk memakaikan alat itu pada telinga Putri.

Permintaan Putri pun menjadi kenyataan. Dan ia bisa mendengar! Putri tersenyum manis tatkala syahadat itu terdengar di telinganya. Itulah kata pertama dan terakhir yang ia dengar. Sepertinya Allah hanya rida kalimat tauhid itu saja yang memenuhi gendang telinga Putri.

“Di akhirat nanti saya bisa bicara, Bu. Tidak hanya mulut saya, tapi juga mata saya, tangan, dan seluruh anggota badan yang Allah berikan, Bu. Saya bisa bicara banyak pada Allah. Hebat, bukan?”

Kata-kata Putri kembali terngiang di telinga perempuan itu. Terbayang mata kanak-kanak Putri yang berbinar saat mengungkapkannya, menggambarkan sejuta bahagia yang ia rasakan.

Gadis yang terlahir bisu dan tuli itu tak pernah mati di hati orang-orang yang mencintainya. Elegi sunyi dan kasih sayang Putri membuatnya istimewa.


Mukhammad Fahmi.

Memoar Biru
Oleh: M. Fahmi

Biru memandang ke arah lautan. Biru laut terhampar di hadapannya. Lepas ia memandang, awan putih membentuk gumpalan-gumpalan dan sang mentari bersembunyi di baliknya. Angin bertiup semilir membelai rambutnya perlahan. Aroma laut mengingatkan akan masa lalunya. Ia berdiri di atas karang yang kokoh tegak ribuan tahun menahan terjangan ombak. Ia semakin larut dengan fikiran-fikirannya, lamunan-lamunannya, angan-angannya, dan semua yang ada di benaknya. Debur ombak di sela batu karang dan ikan-ikan berkejaran menikmati segarnya laut. Tiba–tiba ia dikejutkan dengan suara yang mengalahkan halilintar. Sampai pada akhirnya ia terbangun dari mimpi. Ia menatap seorang lelaki berdiri tegak di hadapannya, sambil membawa semprotan berisi air siap untuk menyiramnya. “Ampun Mas, ampun Mas! Dingin!”, air membasahi wajahnya dan ia segera berlari untuk wudlu.

Merupakan kesialan sekaligus keberuntungan baginya mempunyai ketua kamar sekaligus pengurus pondok PP. Bahrul ‘Ulum yang setiap pagi selalu membuyarkan mimpi-mimpi indahnya. Ia harus berhadapan dengan manusia yang luar biasa tangguh dan tak terkalahkan. Dengan segala perlengkapan semprotan berisi air di tangan kirinya, dan kayu menjalin yang hampir tak pernah lepas dari tangan kanannya. Begitulah cara Mas Syamsul menyapa para santri tiap pagi, jika ada santri yang masih tertidur pulas dan tidak sholat berjamaah di masjid. Gayanya mengalahkan pendekar dari negeri ‘Antah Berantah’. Itulah yang terjadi setiap kali Biru malas untuk bangun pagi.

***
Saat fajar mulai membentangkan sayap-sayapnya, sang subuhpun bersiap-siap menggantikannya. Hari itu Biru tidak lagi dibangunkan oleh Mas Syamsul. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan memegang prinsip tujuanya di sini. Ia berusaha membuang sifat malas, manja dan lain sebagainya. Pertama memang sangat berat baginya untuk bangun shubuh. Saat adzan shubuh terngiang di telinganya, ia pun beranjak bangun dan segera berwudlu. Ketika ia keluar dari kamarnya, hawa dingin tiba-tiba menyergapnya. Dengan segala tekad ia memberanikan diri untuk memeluk angin shubuh itu. Ia mengikuti sholat shubuh berjamaah lalu mengikuti rutinan pengajian kitab Riyadus-Shalihiin.

Ketika lubuk langit memantulkan semburat kemilaunya yang putih menerangi belahan bumi, sang mentari mulai menyingsing menelan sisa-sisa malam yang merambat pagi. Ia melangkahkan kakinya sambil memantapkan niatnya. Tak lama kemudian ia tiba di madrasah yang sangat ia banggakan, yakni MAN Tambakberas Jombang.
Biru berlari-lari kecil memasuki halaman madrasah. Dihirupnya udara dalam-dalam. Sudah dua bulan ini ia dekat dengan seorang santri putri. Kegiatan OSIS di madrasahnya-lah yang mempertemukan dengannya. Bisa dibilang dia sangat sempurna. Wajahnya cantik jelita, berposter tubuh ideal dan tingginya tepat sebahu Biru. Ia biasa dipanggil dengan “Pink”. Entah karena memang nama aslinya demikian atau memang kesukaannya pada warna merah muda itu. Sebenarnya, hati Biru sangat tertarik pada santri itu. Tapi ia tak ingin terlalu cepat mengambil sebuah keputusan. Perasaan itu disimpan begitu saja sampai kelas akhir.

“Besok akan diumumkan siapa yang mendapat beasiswa pendidikan S1 di luar negri itu,” kata Pink pada suatu ketika.

“Ah, iya. Saya juga dengar, katanya besok Sabtu,” balas Biru.

“Enak ya, kalau bisa dapat. Kita tidak perlu keluar uang sampai lulus nanti!”

“Ah, kalau aku bisa dapat beasiswa itu, Emak pasti tak perlu bekerja keras untuk membiayaiku kuliah. Aku bisa meringankan beban Emak,” angan Biru.

“Mungkin kamu yang akan mendapat beasiswa itu Biru. Kamu kan selalu menjadi juara umum di madrasah kita,” cetus Pink membuyarkan lamunan Arif.

“Kamu saja Pink!”

“Lho, kenapa? Kalau kamu yakin akan berhasil, maka kamu akan benar-benar berhasil,” ucap Pink menyemangati temannya.

Biru dan Pink sama-sama akan menjalani ujian kelulusan bulan depan. Setelah lulus mereka yang mendapat beasiswa itu akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi luar negri tanpa biaya. Tentu saja Biru berharap agar dia mendapat beasiswa itu. Dia ingin membahagiakan hati Emak. Ia ingin Emak tidak lagi susah-susah membanting tulang untuk membiayai kuliahnya.

***
Pagi itu, langit tampak indah, matahari di ufuk timur bersinar cerah. Seindah suasana di madrasah itu.

“Wah, kamu jadi orang penting sekarang. Selamat ya, kamu telah berhasil untuk mendapatkan beasiswa itu!” ucap Pink.

“Ah, kamu sudah mengatakannya untuk yang keseratus kali,” cibir Biru. Suasana pun hening sesaat.

“Kamu ingin melanjutkan ke mana Pink?” Tanya Biru.

“Ah, aku ingin melanjutkan di sini saja!” sahut Pink datar.

Perasaan Biru berada di ambang ketidak-pastian. Di antara bahagia dan sedih. Bahagia karena bisa meringankan beban Emak. Dan sedih karena ia tak akan lagi dapat bertemu dengan Pink. Sahabat jiwanya.

Pagi itu adalah pagi perpisahan. Dan rasa itu dibiarkan mengalir begitu saja oleh Biru. Ia tak ingin Pink tahu akan perasaan yang dimilikinya.

***
Lima tahun kemudian...
Ah, rasanya sekarang aku seperti berada di ruang lima tahun lalu. Di mana kita pernah bersama di pesantren ini ini. Setelah lama meninggalkan pesantren ini, kini aku kembali dari negri sebrang untuk menyapa lagi pondok yang telah banyak mengajarkanku arti hidup. Pesantren yang pernah menggoreskan harapan tiada batas. Kita dulu pernah bersama di sini. Tapi sekarang engkau di mana? Setelah kepergianku, tak ada kabar sama sekali tentang dirimu. Mungkinkah engkau masih mengingatku Pink? Semoga saja.

Pikiranku kini melayang lagi. Engkaupun tersenyum. Ah, senyum yang menghadirkan berjuta kenangan. Senyum yang pernah hadir di masa kelamku. Senyum yang pada ujung-ujungnya menyimpan rindu, yang mengibarkan rasa perih. Aku hanya sekedar mengenang sesuatu yang telah retak di sela-sela bentangan sejarah.

Mungkin ini adalah bentangan alam rindu yang berada di ufuk jiwaku, yang selama ini terpendam jauh di lubuk hati terdalam ini. Namun, setiap kali aku berusaha melewati rindu, malah rindu itu yang kian membawaku pada lembah kebingungan. Akhirnya ia keluar sebagai pemenang dan aku menjadi pecundang. Begitulah angan panjang Biru saat akan menghadiri acara reuni di PP. Bahrul ‘Ulum.

Acara reuni santri-santri alumni PP. Bahrul ‘Ulum kali ini benar-benar ramai. Di sana Biru bertemu lagi dengan teman-temannya dulu, termasuk Mas Syamsul yang setiap paginya selalu membuyarkan mimpi-mimpi indahnya. Canda tawa merekahadirkan zona masa lalu yang sarat akan kenangan.

Dari kejauhan, di mata Biru tampak seorang santri putri alumni PP. Bahrul ‘Ulum.  Sejenak, Biru memperhatikannya. Dalam benaknya sempat bertanya-tanya. Siapakah dia? Mata yang dulu pernah hadir dalam hidupnya. Raut wajah itu tiba-tiba menghadirkan kelebat jejak dan riwayat. Ketika pikiran Biru melayang ke lima tahun lalu, rasanya tak kuat lagi ia untuk menyimpan rapi perasaan di benaknya. Harapan kini hanya tinggal bait-bait kerinduan yang mengalun merdu bersama kegirangan pucuk daun yang menikmati sentuhan angin. “Mungkinkah engkau masih mengingatku Pink?” gumam Biru. “Semoga saja Allah meng-iyakan atas rentetan pertanyaan yang tak mampu lagi untuk kubendung.” sambungnya. Tampak lelaki tegap itu telah berdiri di hadapan Pink. Gadis itu tampak sangat terkejut.

“Biru, kamu kah itu?” Pekik gadis itu sekuat tenaganya.

“Ah, ternyata kamu tak lupa padaku.”

“Akhirnya kau kembali juga.”

“Ya, karena ini amanat bagiku. Hmmm, ternyata kau masih saja seperti dulu Pink. Ya, seperti yang ku kenal dulu.”

“Hehehe…” tawa renyah pink.

“Dan masih kutemukan kunang-kunang di matamu. Masih hidup seperti dulu.”

“Ah, bisa saja kamu Biru. Dan kamupun masih seperti dulu. Ucapanmu tak pernah keseleo.”

Keduanya tertawa hampir bersamaan.

“Tidak… aku serius Pink. Aku seakan bisa melihat cahaya di kedua bola mata indahmu. Cahaya bening yang memancarkan semangat, kejujuran, dan ketulusan.”

“Aku rasa, setiap manusia juga memilikinya. Setiap orang juga mempunyai benih kebaikan di dalam hatinya. Tinggal apakah orang itu mau menyemainya atau tidak.” Kata Pink bijak.
Biru kini telah bertekad untuk mengungkapkan segalanya kepada Pink. Setelah sekian lama lama menimbang dan menunggu, kini kekuatan itu muncul lagi dengan membawa sinar terangnya. Terlalu cepat memang. Namun itulah Biru, jika sudah memutuskan sesuatu ia akan memegang teguh keputusannya. Dan di sanalah Biru berlutut menunggu jawaban Pink.

“Maukah engkau berubah menjadi ungu?” Pinta Biru penuh harap.

Pink merasa heran dengan pertanyaan Biru. Namun, sejenak kemudian Pink bisa memahami bahasa Biru. Ia memandang Biru sekilas. Sikap Biru yang malu-malu lebih tampak seperti seekor kucing yang memohon pada tuannya untuk sepotong kepala ikan. Ia berputar-putar gelisah di samping Pink menanti jawabannya.

“Maukah engkau berubah menjadi ungu, Pink?” Pinta Biru lagi.

“Maaf Biru, aku tak bisa……”

Jawaban itu sungguh di luar dugaan Biru. Uluran tangan Biru melemah, namun ia tetap tegar, menerima semua kemungkinan yang akan terjadi. Karena baginya, menyatakan perasaan adalah suatu keberanian yang dapat membuat hatinya lega.

“Aku tak bisa menolak permintaanmu….” Lanjut Pink di luar dugaan, sambil menerima cincin dari tangan Biru dan menyematkan di jari manisnya.
Ke empat mata itu saling menatap cukup lama. Keduanya membahasakan cinta dalam diam. Ada aura yang berbeda antara tatapan sekarang dengan sebelumnya. Entahlah, yang pasti tatapan itu tidak bisa dipahami oleh logika.

Biru tersenyum bahagia. Kini ia tak lagi merasa risau, karena semua rentetan pertanyaan yang ada dalam benaknya telah terjawab. Seseorang telah mau mengisi hatinya. Mereka tersenyum bahagia. Di luar sana, langit biru boleh berbangga. Karena rangkaian awan putih masih setia menghiasinya.

Jombang, 28 Maret 2013
Em Ef

Air Mata Cakrawala
Oleh: M. Fahmi

Sobat…
Aku tidak tahu dengan kalimat apa mesti kutulis setetes tinta ini untukmu. Malam begitu dinginnya, sementara angin tanpa permisi masuk menembus tulang-tulang persendianku. Suara deburan angin malam yang lirih terdengar bagai nyanyian orang kesepian. Lalu nyanyian itu berubah menjadi rintih kesedihan. Kesedihan dari orang-orang terluka, orang-orang kalah, orang-orang yang tersingkir, atau sengaja disingkirkan dari kehidupan. Boleh jadi, rintihan itu juga merupakan ratap keperihan dari harapan yang tak pernah sampai, atau cita-cita yang kandas di tengah jalan. Rintihan itu membuat mataku tak juga bisa terpejam.

Sobat…
Sedang apa kau malam ini? Mungkin selama ini aku yang bersalah padamu. Aku yang sering membuatmu marah. Maafkan atas segala tingkahku. Maaf, jika jejak–jejak masa itu menyisakan luka yang teramat mendalam. Bukan maksudku mengganggu ataupun mengotori kisah kehidupanmu yang putih. Ya, aku yang bersalah, meskipun munculnya keraguan itu sebetulnya datang darimu. Mengapa aku berkata demikian? Teramat sulit bagiku untuk menjelaskan kepadamu dengan kalimat-kalimat biasa di lembaran sesempit ini.

Sobat…
Setelah bertahun-tahun lamanya aku mengembara arungi semesta raya akhirnya terdamparlah aku disini. Di sinilah akhirnya aku menemukan hakikat kehidupan. Di sinilah akhirnya aku menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Di bumi Allah inilah aku berdiri dan mencoba untuk menyelami di kedalaman samudra ilmu. Walaupun jalanku menuju-Nya masih meraba-raba dalam gelap, tapi aku yakin, akan kutemukan ‘nur’ kearifan itu. Jika anugerah itu telah sampai kepada kita, mengapa kita tidak mencoba mengabadikan dan menyusunnya menjadi syair hidup yang kelak akan selalu kita kenang tentunya?

Pencarianku belum selesai sampai di sini, Sobat. Jalan yang harus aku tempuh masih panjang membentang di depan. Aku tak tahu, apa mungkin melewati jalan itu. Pada setiap persimpang jalan selalu kutemukan kepalsuan, kecurangan, kebohongan, dan keamburadulan. Kejujuran sangat sulit kutemukan di sepanjang sajak jalan ini.

Waktu terus mengalir dan tak mungkin berhenti mengalir. Aku ingin mengikuti aliran waktu, dan tak mau berhenti untuk menemukan apa yang aku cari. Pada setiap jalan yang kulewati, segala kejadian kurekam dalam ingatan, dan kucatat bagian-bagian penting di sebuah buku harian yang selalu menemaniku dalam perjalanan.
Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, dan hanya secuil kelebihan yang kumililki. Dari secuil kelebihan itulah aku mencoba memperkuat keimanan, menghindari semua godaan yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku.

Coba lihat, apa yang ada di luar sana? Gelap. Ya, gelap. Belakangan ini langit selalu tampak gelap. Sebagaimana dunia yang selalu dilanda kekacauan, kebohongan, kepalsuan, kecurangan, dan keamburadulan. Banyak orang yang “pura-pura” pintar, tapi tidak jujur dan tidak arif dalam menyikapi kehidupan. Jusrtu egonya yang berperan. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka, sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Aku prihatin, Sobat. Melihat dunia yang semakin hari semakin jauh dari garis yang hakiki. Kemaksiatan telah merajalela. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Seperti sudah tak ada lagi yang mengenal hukum Allah. Ah… sudah sampai zaman manakah ini, sehingga orang-orang tak lagi mengenal hakikat?

Sobat. Lihatlah, tak satupun bintang terlihat di sana. Mendung hitam sedang menjadi raja dan sudah beberapa hari ini bumi terus diguyur hujan. Bagaimana dengan daerahmu di sana? Apakah  malam ini juga sedang turun hujan? Ataukah hanya sekedar bermendung? Aku yakin, sebentar lagi hujan deras pasti akan segera turun.
“Segeralah turun, wahai hujan. Biar pohon-pohon yang telah mengakar pada bumi tumbuh subur. Biar mereka dapat meminum air kehidupan.” Mataku pun berkaca-kaca melihat langit. Sesuatu yang kudambakan itu akhirnya menjadi kenyataan. Hujan pun turun. “Terimakasih, ya Allah...! Terimakasih. Oh, ternyata Engkau masih mendengar suara batinku.” Aku pun kegirangan.
Sobat. Aku tahu, semua yang ada di dunia ini fana dan tidak ada yang abadi. Termasuk kebersamaan kita yang dipisahkan oleh garis ketakdiran, hingga berujung pada sebuah perpisahan. Termasuk sajak kenangan yang pernah kita tanam bersama itu, mungkin juga akan sirna.

Tapi aku yakin, di balik semua ini ada yang Abadi. Kau harus tau itu. Sesuatu yang Abadi adalah sesuatu yang Hakiki, yang akan Hidup untuk selama-lamanya, karena Ia adalah Sang pemilik Cinta itu sendiri. Dialah yang lebih dekat dari segala sesuatu. Dialah puncak Keagungan, Keindahan, dan Sang Kebenaran. Dialah yang memberikan sebuah pertemuan dan perpisahan.
Dulu. Saat aku mengenal cinta untuk pertama kalinya, dan saat aku bertempur secara habis-habisan dengannya, sesungguhnya aku telah ditipu dan diperbudak olehnya. Ah, cinta. Betapa cengeng tampaknya. Mestikah seumur hidup manusia hanya cukup mengurusi persoalan cinta? Padahal, betapa banyak persoalan lain yang mesti dituntaskan dalam kehidupan ini di luar cinta. Tapi setidaknya, beginilah aku berpendapat. Aku seperti tidak dapat hidup bila jiwaku membisu tanpa mengkidungkan nyanyian cinta. Padahal untuk selamanya, atau mungkin hingga akhir hayat kelak seseorang yang pernah kurindukan siang dan malam hingga bertahun-tahun lamanya itu, tak akan pernah kembali dan tak mungkin menjadi milikku.

“Aku memang tak akan pernah memilikinya. Tapi salahkah aku, bila hanya ingin sekedar menanam rasa itu di lubuk jiwaku yang terdalam agar cinta itu tetap mekar untuk selamanya sebagai penyegar Kehidupan? Siapa  tahu, nanti aku dapat memetiknya di kurun waktu yang lain.” Demikianlah aku beralasan.

Sobat. Engkau mungkin tidak tahu apa yang sedang merasuk dalam sukma terdalamku malam ini. Hatiku telah menjadi serpihan kepingan luka sejak pengembaraan ini kulakukan. Hidupku memang busuk. Tapi kau harus ingat, seburuk apapun realita yang menimpa diriku, aku masih menyimpan harapan. Ya, harapan untuk memperoleh cinta itu kembali meskipun harus kutebus dengan seribu penderitaan. Inilah milikku satu-satunya yang paling berharga!

Ketika Cakrawala telah buncahkan air yang hakiki, kubiarkan musim bersemayam dalam dekap harap. Air hujan yang menetes dari cakrawala itulah mungkin yang akan menjadi saksi atas lahirnya tetesan pena ini. Sampai akhirnya, tak bisa kusimpan rahasia dingin malam ini. Salahkah aku bila hanya ingin menyapamu malam ini? Mungkin, ini dapat mengobati jiwaku yang senantiasa dilanda badai kerinduan. Yaa Rabb.. kuasa-Mu di atas segalanya. Aku hanya bisa berharap, sedangkan skenario telah tercatat di Lauhul Mahfudz sana. Kini, aku hanya bisa bersandar pada perlintasan waktu yang masih menetes perlahan.

Jombang, 8 November 2011
M. Fahmi

Pengembara Sunyi
Oleh: M. Fahmi

Sudah lama lelaki itu mencari kekasihnya. Kekasih yang dulu pernah hadir di kehidupannya, namun kini entah ke mana. Dicarinya kekasih itu sepanjang siang dan malam, sepanjang waktu, dan sepanjang ruang, namun tidak kunjung juga ia menemukan kekasih yang dicarinya itu. Dicarinya kekasih itu dalam pengembaraan yang tak ada hingga, hingga berabad-abad lamanya, hingga pengembaraan itu serasa tidak ada titik akhirnya. Setiap orang yang dijumpainya di jalan selalu ia tanya, di mana kekasihnya itu berada. Orang-orang yang dijumpainya itu bukan menjawab semestinya, malah menganggapnya gila.

Pernah suatu ketika ia mampir ke sebuah toko, lalu bertanya kepada pelayan toko.

“Kekasih…?” Pelayan toko itu mengernyitkan keningnya. Ditatapnya wajah lelaki itu penuh keheranan.

“Betul, apakah dia ada di sini?”
Pelayan itu agak lama menatap wajah lelaki itu. Wajahnya penuh tanda tanya, lalu entah mengapa tiba-tiba pelayan toko itu tertawa.

“Mengapa engkau tertawa?” Ia terheran-heran.

“Dasar orang gila!” Umpat penjual toko itu.

Betapa malunya ia. Dengan perasaan kesal, ditinggalkannya toko itu. Ia heran. Mengapa orang-orang selalu tertawa setiap kali ia bertaya tentang kekasih? Mengapa mereka menganggapnya tak waras? Apakah pertanyaannya aneh? Ataukah kekasih itu sekarang telah menjadi barang langka sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Ataukah ia telah berubah menjadi makhluk lucu hingga seseorang mau tidak mau, harus tertawa begitu ia menyebutkan namanya? Entahlah.
Lelaki itu melanjutkan perjalanannya. Menyusuri sungai, pematang sawah, bukit, lembah, dan sampailah ia di suatu pedesaan. Ia bertemu dengan seorang kakek tua. Kakek tua itu menanyakan tujuannya. Lelaki itu menerangkan maksudnya. Lalu dengan lugu, kakek tua itu mempertemukannya dengan seorang perawan desa yang benar-benar ayu.

“Bagaimana? Engkau cocok?” Tanya kakek itu.

“Bukan. Bukan itu, Kek. Bukan perawan desa yang sedang aku cari. Aku sedang mencari kekasih. Kekasih bukan sembarang kekasih, melainkan kekasih sejati yang kini entah berada di mana. Kekasih sejati adalah cinta yang tak akan lekang ditelan masa. Dialah pemilik kebenaran dan cinta abadi yang sesungguhnya. Padahal, dulu Dia pernah hadir di hadapan kita penuh kasih dan sayang, tapi mengapa orang-orang sekarang sudah melupakanNya? Apakah Kakek juga tak mengingatnya lagi?"

Kakek tua itu menatapnya tajam. Kepolosan di wajahnya seketika itu menghilang, lalu ditinggalkan lelaki itu tanpa kata. Lelaki itu agak kebingungan. Ternyata kakek tua itu juga tidak mengerti dan mengenal kekasih yang dimaksudkannya.

Ia tak pernah patah semangat. Diteruskan langkahnya yang patah-patah itu. Di setiap perjalanan banyak peristiwa yang terekam dalam benaknya. Pada setiap persimpangan jalan, selalu ia temukan misteri yang tidak sejiwa dengan semangatnya, misteri yang tidak mampu diterima oleh nuraninya. Dan anehnya, ia belum kunjung mengerti juga. Ia atau mereka yang benar. Ia atau mereka yang salah. Ia atau mereka yang munafik. Pencurian, penghianatan, kekejaman, kebohongan, dan kemunafikan seakan telah menjadi nafas kehidupan, hingga banyak orang yang melupakan atau bahkan tidak mengenal kekasih.

Ah, sudah sampai peradaban manakah aku ini, hingga tak satupun dari mereka yang mengenal kekasih? Gumamnya di sela-sela langkahnya.
Di sepanjang perjalanan tidak sedikit orang yang mengejeknya.

“Lihat, dia bertanya tentang kekasih, padahal dia punya mata, punya mulut, kaki, tangan, dan telinga. Apakah tidak digunakan bekal kemanusiaannya?” Demikian kata seseorang yang ia temui di pinggir jalan.

“Kasihan benar orang itu. Dicarinya kekasih itu sepanjang malam dan ia lupa jika hari telah kembali pagi.” Kata yang lainnya.

“Semoga ia cepat sembuh.”

“Semoga ia cepat mengingat kembali jati dirinya.”

“Atau jangan-jangan dia sudah gila!”

“Ya, menggilai kekasih yang sudah tak sabar lagi untuk dicumbunya!”

“Hahaha…!”
“Kasihan…”

Dan bebagai umpatan lain yang ia dapatkan. Namun ia tetap tegar. Buat apa sakit hati kalau ia memang tak mempunyai hak untuk merasa sakit karenanya? Bukankah orang yang sedang mencari kekasih tidak boleh menyimpan sedikitpun rasa sakit di dalam hati? Apalagi rasa benci, iri, dan dusta. Ya, dalam hatinya tidak boleh menyimpan sedikitpun dendam. Semua rasa mesti ia curahkan hanya untuk perasaan cinta. Mencinta dan merindui kekasih sejati yang hingga kini belum juga ia temukan.

Ia tetap melangkah. Melewati jalan setapak, menyeberangi sungai-sungai kecil, menerobos pematang sawah, kebun-kebun, menyusuri berbagai jalan, dan sampailah ia di suatu kota. Lelaki itu benar-benar merasa asing di kota itu. Ia seperti berada di sebuah peradaban Antah Berantah. Atau, kota itu sendirikah yang tampak asing di matanya? Entahlah. Tak satu orang pun yang ia kenal di sana. Celakanya, tak satu orang pula yang mau mengenalinya.

Lelaki itu mengitari kota. Debu-debu beterbangan di sana-sini. Berbagai suara terdengar di telinga. Radio dan televisi pun tidak henti-hentinya menyiarkan berita perang dan bencana. Dunia telah berubah menjadi gaduh.

Di sebuah halte, lelaki itu bertanya pada seorang pria berdasi yang sedang menunggu taksi.

“Maaf, Tuan. Apakah Tuan mengerti di mana kekasihku berada?”

Pria berdasi itu membeliakkan matanya. Ditatapnya lelaki itu lekat-lekat.

“Bung, ini kota! Di sini yang bicara uang. Bekerjalah dan cari uang sebanyak-banyaknya. Nanti kau akan dapat membeli seribu kekasih yang kau inginkan!!” Teriak pria berdasi itu.

“Tetapi, kekasihku tak bisa dibeli, Tuan. Tak mungkin ia mengobral cinta.” Ujarnya.

Pria berdasi itu semakin garang. Dipandangnya lelaki itu penuh kejengkelan.

“Aku tak punya waktu untuk romantis-romantisan, Bung! Apalagi bicara soal cinta. Bagiku waktu adalah uang! Kau mengerti?” Pria berdasi itu pun berlari ke mobil taksi. Langkahnya terburu-buru, membuat lelaki itu berdiri termangu.

Ah, soal cinta pun mereka tak lagi punya waktu. Gumamnya dalam hati.

Gedung-gedung pencakar langit, tembok-tembok beton, berbagai instalasi listrik, dan aspal-aspal yang menutup hampir seluruh permukaan kota itu seoalah menutup hati mereka, hingga mereka tak lagi mengenal kekasih. Ataukah kekasih itu sudah mati sehingga tak perlu lagi dikenal?

Orang-orang di kota itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Jangankan yang bekerja di gedung-gedung, di mal-mal, atau di pabrik-pabrik, yang di pinggir jalan pun mereka enggan bertegur sapa. Mereka selalu begegas, berpacu dengan waktu, seolah khawatir matahari esok tidak akan terbit lagi.

Kala itu, lelaki itu hampir saja putus asa dan memilih untuk mengakhiri langkahnya. Namun, di suatu malam yang teramat malam itu ada bocah kecil bermata buta yang menyapanya.

“Hai, Kak. Apakah Kakak sedang mencari kekasih?”

Lelaki itu kagum bukan main. Bagaimana mungkin, bocah yang buta dapat melihat dan mengerti apa yang ia cari.

“Betul, saya sedang mencari seorang kekasih. Apakah engkau mengenalnya?”

“Oh. Sebenarnya kekasih yang Kakak cari itu tidak ke mana-mana. Ia akan tetap Ada, menyertai Kakak di mana pun berada.  Saya bisa merasakan kehadiran kekasih itu setiap saat.”

“Oh, ya? Benarkah?” Lelaki itu nampak agak kebingungan.

“Benark, Kak. Oh, iya. Ada hal yang belum pernah saya katakan kepada siapapun. Orang-orang mengira saya ini bocah buta, namun berkat kehadiran kekasih itu saya dapat melihat dan merasa tanpa mata. Bahkan semuanya serasa lebih jelas dari penglihatan mata itu sendiri.”

“Bagaimana bisa?!”

“Lihat, ada seekor semut yang akan menggigit punggung Kakak!”

Lelaki itu mencari semut yang dikatakan bocah itu. Dan benar. Ada seekor semut yang merayap di punggungnya. Ia mencoba menangkapnya, namun sayang, semut itu berhasil menggigit penggung lelaki itu lebih dulu. Lelaki itu semakin linglung,  merasa bodoh, dan tak mengerti kata-kata bocah itu.

“Kakak tak perlu bingung, saya akan mengantarkan Kakak menuju apa yang selama ini Kakak cari.” Tegas bocah itu.

“Be-be-be-nar-kah?” Dengan suara terbata-bata dan perasaan gembira yang tiada tara lelaki itu berkata.

“Mari ikuti saya, Kak!”

Akhirnya lelaki itu mengikuti bocah itu. Bocah itu terus berjalan mengikuti aliran ruang dan waktu. Dan di sebuah tempat bocah itu berhenti.

“Kak, wudhulah dan sholatlah di surau yang sudah tua ini. Nanti Kakak akan menemukan kekasih yang selama ini Kakak cari.” Kata bocah itu mantap sambil menunjuk sebuah surau yang sudah sangat tua. Sepertinya orang-orang sekitar sudah tidak pernah lagi mengunjunginya atau mungkin sudah melupakannya, hingga nampak tidak terawat dan usang.

Lelaki itu sempat merasakan kedamaian yang tidak ada hingga ketika melihat surau yang termakan usia itu. Ia seperti menemukan kerinduan yang telah lama hilang dan kini ia seperti sedang mendekati kerinduan itu. Ia seperti teringat kata-kata kakeknya, “kalau engkau ingin menemuiNya, rajin-rajinlah mengunjungiNya dalam sujud, lalu dengan tengadah tanganmu ke langit, supaya Dia mau membukakan pintu langit dan mempertemukanmu denganNya.” Belum sempat lelaki itu mengucapkan terimakasih, bocah bermata buta itu sudah tidak ada di sampingnya. Lelaki itu terus mencari di sekelilingnya, namun tetap tidak ada.

Kini ia mengerti, bahwa bocah bermata buta itu bukan sembarang bocah. Lelaki itu melangkah perlahan mendekati surau itu. Seperti ada yang mengalir membasahi jiwanya yang telah lama kering.

Lelaki itu pun bersujud panjang di surau itu. Entah apa yang membuat tubuhnya terasa teramat ringan diterpa angin. Ia serasa melayang, terbang menembus awan menuju puncak tertinggi alam semesta dan menemui kekasihnya yang sejati. Ia kini telah menjadi pengembara sunyi, pengembara abadi yang benar-benar abadi.

Malang, 22 Maret 2014

Tandusnya “Bumi” Kami
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[Laiknya fiksi, humor pun sebetulnya juga lahir dari sesuatu yang serius. Bahwa kebenaran dan kemurnian tanpa humor sifatnya meragukan. Dengan humor, sesuatu yang serius dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu baru yang bersifat rileks dan renyah. Lalu di manakah letak humor dalam tulisan kami berikut ini?]

Bismillah. Nastaghfirullohaladziim. “Telah sedapat mungkin, kami selamat-selamatkan islam kami. Kami aman-amankan iman kami. Kini, hanya kepadaMu. Kami serahkan segalanya. Kami pasrahkan semuanya. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin,” begitu kata Gus Mus dalam salah satu puisinya.

Esensi cinta kini telah lama mati, bersama matinya hati nurani. “Cahaya” telah lama menghilang, bersama menghilangnya kesadaran. “Langit” telah lama roboh, bersama robohnya keimanan. “Bumi” pun telah lama kering, bersama keringnya jiwa kami. Hari ini. Dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita. Tetapi, setelah mati. Dunia hanyalah cerita, sementara akhirat menjadi nyata.

Kini, persetanlah dengan rasa cinta. Persetanlah dengan rasa rindu. Sebab, cinta hari ini telah jarang ditemukan. Entah itu di jalan-jalan, di ladang-ladang, di pasar, di kantor, di sekolah, di gedung-gedung, atau bahkan di tempat-tempat ibadah sekali pun. Kami sering tertipu oleh rasa cinta, yang sebetulnya itu bukan cinta. Kami sering terperangkap oleh rasa rindu, yang sebenarnya itu bukan rindu yang sesungguhnya. Kami mengira kalau itu adalah cinta, tapi nyatanya adalah nafsu.

Kami mengira kalau itu adalah rindu, tapi nyatanya hanyalah kemauan dan ego. Ah, rasa. Betapa naif sebetulnya. Kami sukar membedakan mana kebenaran mana kebatilan, mana kejujuran mana penipuan, mana cinta mana nafsu. Shalat saja, kami belum pernah bisa khusyu’ dari awal hingga akhir. Betapa, lupanya kami. Mungkin karena kebutaan mata kami, atau karena telah lama, jiwa kami dilanda kemarau. Sungguh, kami haus akan keheningan.

Tak terasa, kami sering terpenjara oleh rasa. Padahal sebetulnya, tidak ada bedanya antara rasa lapar dan kenyang, panas atau dingin, sedih atau bahagia, ketakutan atau keberanian, kecewa atau gembira, suka atau duka, cinta atau benci. Pada hakikatnya semua sama, yaitu hanya sebuah “rasa”. Padahal kami sendiri yang menciptakan “rasa” itu. Kami sendiri pula yang disibukkan oleh “rasa” itu, dan kemudian tanpa disadari kami telah berada di sebuah penjara yang bernama penjara “rasa”. Disadari atau tidak, kami telah diperbudak oleh yang namanya rasa. Bagaimana kami berlari mengejar dan dikejar oleh kepentingan atau ketidak-pentingan, hanya dikarenakan sebuah rasa. Pribadi kami sangat labil. Betapa lelah jiwa dan raga kami. Nahasnya, kami belum kunjung mengerti, bagaimana caranya keluar dari penjara itu. Ada yang bilang, “mati saja kau bila ingin tak terpengaruh oleh rasa!”. Tapi itu bukanlah sebuah jalan. Untuk keluar dari penjara bernama penjara “rasa” itu, kami harus mengabaikan segala rasa yang membelenggu hati.

Perlu kami ketahui. Bahwa di pusat panas yang paling panas, di situlah ada titik dingin paling dingin. Begitulah filsafat menjelaskan. Dengan filsafat, kami dapat mengubah panas menjadi dingin, mengubah api menjadi air, mengubah tegang menjadi santai. Filsafat tak ubahnya tongkat ajaib yang ampuh untuk menyulap apa saja yang bersifat keburukan, menjadi segala sesuatu yang baik dan rahmatan lil Aalamiin. Filsafatlah yang mengantarkan kami pada ruang hikmah, yang menjelaskan segala yang terselubung dalam rahasia.

Mungkin hanya dengan senantiasa melihatNya yang akan membersihkan segala kotoran dan penyakit di dalam hati. Agar kami tak menjadi budak dari rasa. Sebab, rasa semestinya hanya ada satu, yaitu untuk Allah, bukan untuk kepentingan yang lain. Bagaimana kami bisa mengatakan bahwa kami mencintai dan melakukan sesuatu karena Allah, sementara niat dan hati kami terlalu beku oleh kepentingan yang lain. Bagaimana kami mencintai makhluk karena Allah, sementara di dalam lubuk hati tersimpan penyakit bernama dunia dan nafsu. Sesungguhnya nafsu, rasa dendam, iri, dengki, sombong, prasangka buruk, merasa benar sendiri, wa akhowatuha, itu semua  hanyalah sebuah “rasa” yang sering membelenggu akal sehingga kami tak bisa berpikir sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya, kami terus mengatakan, bahwa berpacaran itu adalah pembodohan belaka dan hanya akan menyibukkan kami pada sesuatu yang sebetulnya tidak penting.

Apakah itu cinta atau nafsu, kami belum bisa membedakan dengan jelas. Kami pun sadar, bahwa nafsu telah memenjara nurani kami yang asali. Kemudian, entah dari ufuk yang mana, kami seperti lahir kembali dari rahim kemurnian. Hingga kami tinggalkan segala bentuk nafsu dalam keyakinan hati. Kami patahkan segala sayap-sayap kami, agar kami tak lagi terbang mencari-cari cinta yang lain. Sebab cinta sebetulnya selalu hadir di setiap mata memandang, di segala pembuluh darah, dan di hati orang-orang yang beriman.

Cinta tak pernah tumbuh di hati orang yang munafik, yakni orang yang membohongi nuraninya. Langkah dan bicaranya orang munafik sesungguhnya mengidap rasa sakit yang akut, sebab nuraninya telah menolak seutuhnya. Orang munafik tidak pernah jujur kepada dirinya sendiri. Apalagi tentang nafsu, orang munafik selalu menganggapnya sebagai cinta. Maka, tenggelamlah orang munafik itu ke dalam “rasa” berkepanjangan yang tak ada ujung dan tepinya.
Telah banyak kami sampaikan pesan demi pesan rahasia, kepada saudara-saudara kami. Telah banyak kami meneriakkan makna kebenaran.

Sungguh. Saksikanlah, telah kami sampaikan, ya Allah. Baik itu secara langsung, pribadi, maupun di layar maya, seperti sms, blog, dan lain sebagainya. Tapi apa imbalannya. Kami malah dikatakan begini, “kau sudah gila dan berpenyakit jiwa rupanya!”, lalu diseretnya kami ke “rumah sakit jiwa”. Ilahi, siapakah sesungguhnya yang sedang berpenyakit jiwa? Di saat orang-orang bersenda gurau, kami sibuk memenuhi rumahNya. Kami disebut-sebut sebagai orang-orang aneh. Ghuroba’, ghuroba’, ghuroba’. Lalu kami teringat akan bagaimana perjuangan Rasul. Tidak sedikit beliau dihina dan dijuluki sebagai orang aneh. Sebab Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula. Melihat tingkah polah terbaliknya zaman, kami merasa asing di zaman ini. Ataukah zaman yang merasa asing dengan keberadaan kami?

Namun percayalah. Kami tak membenci siapa pun. Betapapun jahat tingkah seseorang, ia tetaplah saudara kami. Al-mu’minu akhul mu’min. Kami hanya membenci perilaku yang tidak sesuai dengan syariat. Tidak ada musuh bagi kami, kecuali langkah-langkah setan. Misi kami adalah menyebarkan kebaikan, kedamaian, dan perdamaian di muka bumi. Tetap berprasangka baik kepada siapa saja, sebab setiap manusia pada hakikatnya baik dan berbudi. Kami akan berusaha menjadi rahmat bagi alam semesta.

Dulu, sebelum mengenal filsafat, kami tak mengerti, mana yang patut diperjuangkan dan mana yang harus dibumihanguskan. Tapi, berkat semua pengalaman jejak cerita itulah yang akhirnya membuat kami kokoh pendirian. Kami jadikan jejak cerita yang kelam itu menjadi sebuah pelajaran yang kami pakai di hari ini. Esai filsafat, menurut kami amatlah penting. Sebab, tak selamanya dengan fiksi segalanya dapat terpahami dengan utuh, meskipun fiksi jauh lebih penting dan sederhana karena fiksi juga berangkat dari sesuatu yang nyata. Kami tak perlu memberi contoh satu demi satu yang real di dalam kehidupan, sebab tulisan ini sepenuhnya abstrak. Pun telah nampak dengan begitu nyata dan jelas di sekitar kami. Dan kami pun mengalaminya sendiri. Ah, betapa amat abstrak dan luasnya filsafat. Satu pintu terbuka, di dalamnya terdapat seribu pintu lagi. Dan selalu begitu. Tapi tak apalah kami berdarah-darah dalam pertarungan dan pemikiran filsafat. Pena pun bisa lebih kejam dari pedang bermata buta sekalipun. Sepertinya, kami harus tetap berpikir sendiri dan berpikir panjang. Tak tahu sampai mana titik temu kebenaran ini. Ya Allah, selamatkanlah kami dari lautan kata-kata. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kata-kata kami sendiri.

Wallahu A’lam..
Tuban, 29 Desember 2015

Cerita Antara Orang Gila dan Orang Waras
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Dulu, Demo memang punya tingkah agak aneh di benak Sejo. Ke mana saja pergi, Demo selalu mencari burung yang terkurung dalam sangkar, lalu dibebaskannya burung-burung itu. Dan ia merasa seolah tidak mempunyai kesalahan sedikit pun terhadap perbuatannya itu. Tentu saja orang-orang marah kepadanya. Berkali-kali ia digebuki massa hingga babak belur. Akan tetapi, ia tidak pernah kapok. Ia tetap mencari burung yang terkurung dalam sangkar, lalu berusaha untuk membebaskannya.

Banyak cerita tentang Demo yang diingat Sejo. Pernah suatu ketika Demo masuk penjara gara-gara berkelahi dengan seorang tentara, bahkan nyaris membunuhnya. Ia benar-benar bonyok dihajar tentara itu, sampai hidung belangnya penyok dan giginya rompal. Sejo sendiri tidak tahu persis duduk perkaranya mengapa ia berani melawan tentara. Dia dimasukkan penjara pun tanpa proses peradilan yang jelas. Di dalam penjara, kondisi fisiknya tambah babak belur dihajar oleh para napi lainnya. Kemudian ia dibebaskan begitu saja tanpa keterangan yang jelas.

Begitulah cerita tentang Demo. Sejak tamat sekolah, Sejo jarang bertemu dengannya. Demo tidak balik-balik lagi ke kampung halaman. Jangankan batang hidungnya, kabar tentang dirinya tak seorang pun tahu. Ada yang bilang, ia sudah pergi ke tanah seberang dan tak mungkin kembali lagi ke desa karena ingin melupakan masa lalunya yang kelam. Ada pula yang mengatakan ia sudah mati dikubur dengan identitas tak dikenal, tetapi di mana jasadnya dikuburkan tak seorang pun tahu. Cerita yang lain mengabarkan ia telah menjadi gelandangan dan hidup luntang-lantung. Namun suatu hari, ada yang melihat dia sedang memimpin demonstrasi di tengah kota dan berteriak-teriak lantang menyeru agar para koruptor digantung. Dari sekian banyak cerita itu, Sejo tidak tahu mana yang benar.

Suatu ketika, dua orang sahabat itu ditakdirkan bertemu di sebuah perlintasan jalan. Hari telah ditelan gelap, sementara mega merah telah sepenuhnya menghilang. Jam tangan menunjukkan pukul delapan malam. Kebetulan motor Sejo melaju dengan lambat, sehingga ia mendengar teriakan orang yang menyapanya. Sejo segera mengerem motor vespanya dan menghampiri seseorang yang ada di seberang jalan itu. Di perlintasan jalan Merdeka itu, mereka saling menyapa dan nampak pangkling. Terlihat sangat jelas perbedaan fisik di waktu mereka masih remaja—saat paling asyiknya belajar dan bermain di sekolah menengah atas—dengan saat pertemuan di malam itu.

“Assalamu’alaikum..,” teriak Demo.

“Wa’alaikum salam, wr.wb..,” sahut Sejo.

“Eh, siapa kamu? Demo, bukan?” tanya Sejo sambil mengernyitkan dahi, ia seperti tidak percaya kalau yang ditemuinya itu adalah sahabat lamanya yang telah lama menghilang.

“Hahaha, iya.. Jo. Ternyata kamu masih ingat aku juga,” lelaki itu tersenyum singkat. Seperti ada yang mengalir dari mata Demo. Ia terharu entah karena apa. Dirangkulnya sahabat lamanya itu.
“Sudah lama kita tak jumpa, Kawan. Kamu ke mana saja selama ini? Ayo kita mengobrol dulu. Kamu sekarang tidak sibuk, bukan?” tanya Sejo sambil memegang pundak Demo.

“Haha, ayo kita mengobrol, Jo. Seperti yang kau lihat semenjak dahulu, aku tidak pernah menjadi orang sibuk sepertimu.” Demo tertawa terkekeh-kekeh, mengingatkan kembali masa lampau yang pernah mereka lewati bersama.

Kemudian Sejo segera mengajak temannya yang bernama Demokrasi itu ke sebuah warung terdekat untuk beristirah sejenak sembari bertukar cerita. Sesampainya di warung, Sejo menaruh tasnya, kemudian kembali memperhatikan tubuh sahabatnya yang tampak kurus itu.

“Sepertinya engkau ingin makan, Kawan. Kita makan dulu yuk?” matanya mengerlip, menandakan sebuah kode rayuan.

“Sebenarnya, aku sudah tidak lagi punya keinginan apa-apa, Kawan. Apalagi soal peduli makan atau tidak. Aku hanya makan di saat benar-benar lapar. Itu pun aku ambil dari makanan sisa orang waras, agar tidak menjadi sesuatu yang mubadzir. Sebab, aku tidak bisa rakus seperti orang waras. Sebab, di luar sana, masih banyak saudara kita yang belum makan, sementara orang waras selalu tenang-tenang saja. Tapi demi engkau, Sahabatku. Aku tak bisa menolak tawaranmu.”

Sejo hanya tersenyum mendengar jawaban Demo. Sejenak, Sejo menjadi terhenyak. Waktu dua puluh tahun lamanya telah mengubah sahabatnya itu menjadi orang gila. Ia pun mengelus dada, alangkah malang nasib sahabatnya itu. Lakon apa yang dikerjakannya hingga ia sekarang menjadi orang tak waras seperti ini. Dilihatnya kembali penampilan sahabatnya itu. Pakaian yang lusuh, rambut yang gondrong, kulit yang hampir tertutup oleh tanah. Ia hampir saja tidak mengenali sahabatnya itu. Untung saja ada semacam tahi lalat yang melekat di kening kirinya. Dan, ia masih ingat betul bahwa yang dijumpainya itu adalah sahabat lamanya, Demo. Kemudian Sejo segera memesan dua nasi lodeh, beberapa gorengan, dan dua cangkir kopi panas.

“Ayo, Demo. Makan dulu, tak perlu lah kamu sungkan-sungkan begitu. Aku yang nraktir semua ini,” ajak Sejo.

“Iya, iya, Kawan. Ayo kita makan. Tapi jangan lupakan pesan Pak Kyai dahulu, kita harus baca doa dulu sebelum makan. Allahumma barik lana fi ma rozaqtana wa qina adzaban naar, Aamiin.” Demo mengangkat kedua tangannya, kemudian mengusapkan ke wajahnya. Demi melihat apa yang baru saja terjadi dan mendengar serak suara doa Demo itu, ulu hati Sejo menjadi tersengat. Ia tak menyangka, ternyata ada rasa tulus yang mengalir dari dalam jiwa Demo.

Mereka berdua kemudian makan dengan lahap, sementara udara malam kota Bogor menjadi semakin dingin, menembus sela-sela jendela warung itu. Selesai makan, mereka mengambil tempat ke emperan di depan warung itu. Tak lupa, gorengan dan kopi mereka bawa ke luar juga. Mereka duduk beralaskan tikar sederhana. Warung itu memang buka mulai dari waktu sore, dan tutup sampai menjelang subuh. Dingin memang, tapi cerita, obrolan, dan kopi mampu menukar dingin dengan kehangatan. Begitulah pikir keduanya.

“Ngomong-ngomong kamu sekarang bekerja di mana, Demo?” tanya Sejo mengawali pembicaraan.

“Haha. Kawan, aku tidak pernah bekerja seperti yang menjadi kesibukan orang-orang waras,” jawab Demo sederhana.

“Maksudmu apa, Demo, aku tidak paham sama sekali,” tangan Sejo mendadak menggaruk-garuk kepala.

“Seperti yang kamu ketahui semenjak dulu, orang-orang banyak yang memanggilku sebagai orang gila, bukan?” sahutnya kemudian.

“Betapapun demikian, apa pun cerita orang tentangmu, sampai sekarang aku masih menganggapmu sebagai sahabat yang baik dan tetap yang terbaik, meskipun orang-orang sudah melupakanmu, Kawan,” Sejo menenangkan sahabatnya itu.

“Tapi, jalan kita benar-benar berbeda, Kawan. Kau tumbuh sebagai orang yang bahagia, sabagaimana kebanyakan orang. Tapi diriku...” Demo tak mampu melanjutkan kata-katanya, seperti ada yang menghalang-halanginya untuk berbicara. Demo mengalihkan pandangannya ke sudut ruang yang lain. Sejo melihat dengan jelas, mata Demo hampir saja berair, tapi Demo cukup tangguh untuk menyembunyikan rasa.

Teringat kembali cerita tentang Demo di benak Sejo. Sesungguhnya Demo telah kehilangan kasih sayang sejak kecil, yaitu semenjak ayah dan ibunya cerai. Umurnya saat itu baru enam tahun. Lalu ayahnya kawin lagi, begitu pula ibunya. Ia memiliki dua ayah dan dua ibu, tapi ia tak pernah nyaman bersama mereka. Dihabiskannya hidupnya di jalanan. Ia bagai anak terbuang yang kehilangan induk.

“Mengapa kamu sekarang menjadi seperti ini, Demo?” tanya sahabatnya itu.

“Dan, mengapa kamu juga sekarang menjadi seperti ini, Sejo?” timpal Demo kemudian. Lalu ia tertawa. Tawa yang akhirnya membuat Sejo mau tidak mau ikut tertawa juga.

“Kawan, izinkanlah aku menjelaskan semuanya,” lanjut Demo. Ekspresi Demo mendadak serius. Anehnya, Sejo pun mengikuti jejak mimik Demo yang serius itu. “Entah kenapa, orang-orang memanggilku sebagai orang gila. Tapi itu bukan menjadi soal bagiku. Orang mau menyebut apa tentangku, aku pasti terima. Bagiku, itu semua tidaklah penting. Tenang saja, Kawan. Pun orang gila tidak akan pernah bisa marah. Mungkin, ia hanya bisa tersenyum, menangis, atau tertawa. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Biarlah aku menjadi orang gila. Tapi setidaknya, orang gila itu tak perlu bersedih, merasa sakit hati, berburuk sangka, apalagi memendam dendam. Mereka selalu bersenang hati. Tak apalah kau panggil aku dengan sebutan orang gila. Tapi lihatlah dahulu, setidaknya orang gila tidak pernah menyombongkan diri. Lagi pula, apa yang musti disombongkan? Harta tak punya, jabatan tak punya, rumah, mobil, atau bahkan dirinya sendiri pun tak punya. Ia tak berhak memilki otak, sebab ia telah lama kehilangan pikiran. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Orang gila tidak akan pernah menuruti keinginan dan nafsu, seperti yang orang waras kerjakan. Hati mereka merdeka dari segala hal yang membelenggu. Terkadang, mereka kasihan kepada orang waras yang terpenjara oleh gemerlapnya gambar yang nisbi. Tak apalah orang menyebut aku sebagai orang gila. Orang gila tidak pernah terlena oleh kesenangan yang bersifat khayalan. Orang gila memandang dunia ini tak ada nilainya. Mereka memandang manusia dan alam raya hanyalah sebagai bayangan semata. Sebuah bayangan bukanlah merupakan wujud yang asli. Ia nampak, namun hakikatnya tidak ada. Dengan demikian, wanita, harta, dan jabatan hanyalah bayangan di mata orang gila. Itulah sebabnya, orang gila tak pernah tertarik dengan itu semua. Bayangan tidak mungkin ada. Maka mereka tak hendak menuntut apa-apa dari dunia dan segala keinginannya. Sebab, bayangan tetaplah sebagai sebuah bayangan. Bayangan tidak mungkin menjadi tempat tujuan, ia hanya sarana untuk mengejewantahkan eksistensinya yang sesungguhnya. Sementara, yang menjadi tujuan hanyalah yang Maha Asli dan Ada, yang bukan bayangan, yang tak akan lekang oleh masa. Orang gila tidaklah pintar. Dan ia tak mengerti jalan pikiran orang waras. Kawan, tentu kau masih ingat tutur Pak Kyai dahulu kala, bahwa agama Islam ini lahir dengan aneh, dan akan kembali dalam keadaan aneh pula. Dulu, Nabi dianggap sebagai orang gila tapi tak pernah marah, malah ia membesuk dan mendoakan orang yang sering menghujani dengan batu dan air ludah. Kau masih ingat, bukan?” begitulah panjang lebar Demo menjelaskan perihal pemikiranya. Suara Demo hangat, menghangatkan angin yang berhembus di malam itu.

“Haha, benar juga kau, Sahabatku. Tapi apa kau tidak tahu, orang gila itu tidak menikah lho, tapi Nabi tetap menikah, bahkan mempunyai empat istri. Beliau juga bekerja, makan, dan mengurus umatnya. Lelaki yang belum menikah, hidupnya adalah sebuah komedi. Bila telat menikah, tingkat kekomediannya semakin lucu, membuat orang yang melihatnya tertawa antara rasa kasihan, curiga, sekaligus kutukan. Tapi lelaki yang menikah hanya menghadapi satu pilihan sandiwara kehidupan yang ujungnya adalah: "tragedi." Dan hanya sang pemberani yang siap menghadapi resiko tragedi itu,” sindir Sejo.

“Kalau menjadi orang waras sangatlah mudah, maka untuk apa memaksakan diri menjadi orang gila?” lanjut Sejo, matanya menatap tepat di retina Demo.

“Jujur, Kawan. Aku sama sekali tidak ingin memaksa diriku untuk menjadi orang gila, tapi alamlah yang mengajariku, agar tidak mengambil jalan orang-orang waras. Kegilaan bagiku sewaktu-waktu diperlukan dalam hidup seseorang, sebab kegilaan adalah langkah pertama menuju sikap untuk tidak mementingkan diri sendiri. Katakanlah aku ini orang gila, biar tersingkap segala misteri apa sebetulnya yang ada di balik selubung kesehatan jiwa. Tujuan hidup ini adalah untuk membawa kita lebih dekat lagi kepada segala "rahasia" itu. Ya segala rahasia itu, dan kegilaan menurutku adalah satu-satunya jalan. Sesungguhnya satu-satunya orang gila di tengah-tengah orang pada zaman gila ini maka dialah satu-satunya orang waras. Ketahuilah, Kawan, bahwa kebenaran telah lama menghilang, bersama menghilangnya kesadaaran, cinta telah lama mati bersama matinya hati nurani. Itulah sebabnya, aku ingin menghidupkan cinta yang telah lama terkubur di zaman yang kian menjarah nurani dan kesadaran ini. Kiamat kesadaran telah terjadi, Kawan. Kapan kiamat yang sesungguhnya itu terjadi?” sorot matanya tajam, menembus segala sekat-sekat gelap yang mencoba menghalangi jalan pikirannya.

“Aku sendiri tak tahu, Kawan. Hal itu sudah menjadi privasi Allah. Hanya Ia yang tahu.” Ucap Sejo.

“Terimakasih, Kawan. Engkau telah kembali mengingatkanku. Dulu pernah kucoba memberi arti, arti dari segala apa yang kurasakan di dalam hatiku, tapi aku takut mengartikan semua itu, karena aku tahu siapa diriku. Sekarang setelah aku jauh dari Allah, ada rasa rindu di sudut hatiku, rindu yang telah memberi arti, bahwa aku ternyata sangat mencintaiNya,” suara Demo parau. Kembali ia hampir meneteskan air matanya. Tapi ia selalu pandai mengusir air mata itu kembali ke dalam kelopak matanya.

“Bersabarlah dengan cinta, Kawan. Lebih baik kita yang kecewa dan terluka daripada mengecewakan atau melukai. Belajarlah dari kecewa untuk tidak mengecewakan Allah dan belajarlah dari rasa sakit untuk tidak menyakiti Allah. Mungkin, salah satu cara untuk sedikit mengurangi kekecewaan dan ketersakitan adalah dengan menyadari bahwa perasaan kecewa dan luka itu ternyata memang selalu ada.” begitu Sejo bertutur.

“Benar katamu, Kawan. Itulah sebabnya, aku ingin mencintai segala sesuatu dengan sederhana,” tegas Demo.

“Haa, memang benar itu, Kawan. Segala sesuatu harus kita cintai dengan sederhana dan ala kadarnya, baik cinta kepada lawan jenis, kepada saudara, tanah air, makhluk, dan lain sebagainya. Sebab cinta yang berlebihan terkadang justru menjadi bumerang. Tapi tidak cinta kepada Tuhan. Hanya dengan cinta yang melebihi segala sesuatu yang ada di dunia, maka persembahan cinta itu akan sampai. Tidakkah kau perhatikan bagaimana sejarah nabi Ibrahim, Musa dan Ayub dalam mencintai Tuhannya? Hanya dengan cinta luar biasa dan dengan cara yang luar biasa pula Ibrahim tak terbakar api, Musa dapat membelah laut, dan Ayub dapat mempertahankan keimanannya dari cobaan penderitaan yang mahaberat. Hanya cinta luar biasa yang telah teruji oleh hempasan zaman, dan itu tidaklah bisa dilakukan dengan kesederhanaan lagi, melainkan harus dengan cara di atas rata-rata, sebab Tuhan adalah kualitas tertinggi dari cinta,” kilah Sejo.

“Kawan, sekarang aku mengerti maksudmu. Semenjak kita berpisah, kita jarang mengobrol bersama. Maka persilakan daku bercerita. Jika kau tahu, aku telah lama mempelajari sastra. Kuarungi samudera yang mahaluas, kudaki gunung yang menjulang tinggi, kulewati jalan yang terjal penuh duri, demi mendapatkan esensi dari sastra itu. Tapi apa yang kudapat sekarang, aku malah dianggap orang gila, tak ada yang kudapatkan dari perjalanan sejauh ini, sia-sialah teaterku selama ini,” wajah Demo menunduk, sementara tangannya mengepal.

“Sastra memang membingungkan, Kawan. Satu kata saja dapat dipermainkan menjadi bermilyar makna dan tafsiran. Inilah yang sering terjadi di kancah kesusastraan manapun. Aku memahami betul, Kawan, karena aku dulu juga pernah bergelut di dalamnya. Ini pula yang membuat aku enggan bersastra, sebab kepastian tertinggi hanyalah omong kosong, kenisbian, dan kenihilan. Ini pulalah yang menjadikan aku—saat ini—orang sains dan orang waras. Dunia matematika memberi ruang kebenaran yang nyata dan real di dalam kehidupan, meskipun harus kutebus dengan penderitaan sakit kepala. Mungkin orang gila tak pernah merasakan betapa sakitnya berpikir, namun suatu saat ia akan menderita sakit yang berada di atas segala ketersakitan. Sakit itu adalah sakit hati. Dan, obatnya pun amatlah jarang ditemukan di jalan-jalan.” begitulah, kata-kata Sejo membujuk sahabatnya itu, agar ia kembali ke jalan orang-orang waras. Ia masih melanjutkan nasihatnya.

“Demo, bangunlah dari mimpi dunia hayalanmu, bergegaslah, sebab ini saat ini kita ada di dunia nyata. Imajinasi memang sangatlah penting, tapi lebih penting lagi adalah berpikir dengan logika. Orang akan percaya kepada hal-hal yang terbukti. Lihatlah, penyair hanya memohon agar kepalanya bisa menyentuh atap langit. Namun pemikir berusaha agar segala isi langit dapat masuk ke dalam kepalanya. Dan sakitlah kepalanya. Kau harus mengerti itu, Kawan. Hahaha...” sekarang ganti Sejo yang tertawa terbahak-bahak.

“Di atas orang waras selalu ada orang yang lebih waras, Kawan. Maka jangan pernah menganggap dirimu paling waras. Sesungguhnya orang yang lebih waras itu adalah orang gila. Hahaha.. ” Demo tak mau kalah berdebat. Ia meneruskan kata-katanya. “Tak apalah engkau mengejek dan mengatakan bahwa orang gila adalah orang yang paling tidak mengerti. Bahkan, orang gila tak hendak menuntut apa-apa dari penghinaan dan kekejaman orang waras. Kegilaan sebetulnya hanyalah sebuah humor. Kebenaran tanpa humor sifatnya meragukan. Humor sebenarnya juga merupakan cerminan dari sesuatu yang serius. Jika kau mengerti, Kawan. Orang gila tak pernah berhenti mencari Kekasih. Meski ada banyak yang ingin membunuh kegilaannya lewat nasihat atau pengalaman ruhani orang lain, ia akan tetap bersikukuh untuk memilih gila selamanya. Adapun orang yang telah sembuh dari kegilaannya karena petunjuk orang lain, berarti ia tidak menepati janji dan ikrar orang gila, sebagaimana adat yang orang gila jalani. Orang gila tak akan pernah sembuh dari kegilaan, sebab ia telah melihat, betapa Kekasih tetap akan lebih Indah dari apapun dan siapapun dan ia selalu terbuai dengan pesona-Nya,” Demo tesenyum, ia merasa telah memenangkan perdebatan.

“Kawan, seseorang tidak akan pernah mengerti kepada sesuatu yang seharusnya dimengerti apabila ia sendiri belum sampai kepada pemahaman tentang makna pengertian itu sendiri, sebagaimana orang tahu, bahwa pendidikan itu penting, maka seseorang harus sekolah biar tahu bahwa sekolah itu sebetulnya tidak penting. Tapi untuk tahu bahwa sekolah itu tidak penting maka seseorang harus tetap sekolah. Hehe, tentu perkataan orang waras ini sulit dimengerti orang gila. Tapi tak apalah, kau dengarkan dulu aku bicara. Kawan, ternyata dunia memang sudah terbalik. Saat ini, orang waras banyak yang menjadi orang gila dan orang gila merasa dirinya waras. Yang berbahaya adalah orang waras yang mengaku dirinya waras padahal ia sebetulnya benar-benar telah gila! Atau orang gila yang berpura-pura gila padahal sebetulnya ia benar-benar telah gila. Sungguh antara waras dan gila saat ini sulit dibedakan, bahkan membingungkan! Siapakah sebenarnya yang benar-benar gila atau yang benar-benar waras, kau atau aku?” wajah Sejo menjadi tampak kebingungan. Tapi entah kebingungan benar atau bukan, Demo tak tahu.
“Kawan, mengapa sekarang orang yang benar malah dianggap sebagai orang tak waras? Atau jangan-jangan mereka yang menganggap itulah yang sedang stress, gila, dan berpenyakit jiwa!” nafas Demo mendadak menjadi tidak beraturan. Namun ia tetap melanjutkan pembicaraannya itu.
“Kawan, bila engkau ragu dengan kewarasanmu dan merasa tidak nyaman menjadi orang waras, maka bergabunglah bersama orang-orang gila seprtiku. Orang gila itu hidup merdeka, bebas dari tuntutan hukum dan mereka tidak wajib menjalankan adat kewarasan,” demikian lanjut Demo.

“Hehe, sepertinya jika kita lanjutkan pembicaraan ini, maka sudah barang tentu tidak akan pernah ada ujungnya. Ya, kini terserah kita masing-masing, Kawan. Aku memilih jalan orang waras, sementara engkau memilih jalan orang gila. Tak apalah, yang penting kita punya pemikiran dan dasar masing-masing.  Lihatlah, hari telah berganti, sementara subuh sebentar lagi tiba. Kita akhiri saja ya pembicaraan ini,” Sejo berpendapat.
“Haha, ternyata orang waras sudah lelah dan mengantuk rupanya. Ya sudahlah, orang gila mengakhiri celoteh dulu, libur menggila, sebab takut kata-katnya tidak dipahami atau disalahmengerti oleh orang waras. Orang gila juga mau berhenti gejekan karena imajinasi liar kadang bisa keluar dari kontek wahyu, padahal wahyu itu sendiri sebetulnya ada dalam maha wahyu. Maklumlah namanya juga orang gila. Kawan, maafkanlah atas ketidakwarasanku, sebab aku manusia lemah, bodoh dan dhoif yang kadang masih tergoda untuk melucu tapi ternyata tidak lucu,” Demo tersenyum pada Sahabatnya itu.
“Kawan, dalam hidup ini harus ada perdebatan, harus ada tukar pikiran, supaya jalan menuju kebenaran tambah lempang, agar pisau terasah dan tambah tajam. Jangan takut dengan perbedaan, apalagi kalau cuma dijelek-jelekkan. Kejelekan akan semakin menunjukkan di sana ada kebaikan,” tangan Sejo merangkul pundak Demo. “Terimakasih ya, kau mau menemani kekosonganku di malam ini, apa kau mau menginap dulu di rumahku?” Sejo kembali merayu sahabatnya itu.

“Aku yang seharusnya berterimakasih kepadamu, Kawan. Kau telah membelikan aku makanan gratis dan halal. Tidak, Kawan. Tidak enak nanti bila ada orang gila yang masuk ke rumahmu, nanti malah menakut-nakuti anak dan istrimu. Biarlah aku melanjutkan perjalananku ini. Ah, pencarian ini seperti tak akan pernah ada titik habisnya, Kawan,” tutur Demo.

“Hehe, ya sudahlah, Demo. Sebentar ya,” Sejo merapikan cangkir dan piring, kemudian memasukkannya ke dalam warung. Ia yang membayar biaya makan dan minum pada malam hari itu.

“Hmm, pesanku sebelum kita berpisah, Demo. Kamu harus tetap menjaga diri, sebab di sekitar sini banyak polisi yang berkeliling, bisa-bisa nanti kamu ditangkap lagi, hehehe,” di akhir perjumpaan Sejo menyempatkan bergurau kembali.

“Ah, tak perlu kau khawatir soal itu, Kawan. Aku sudah terbiasa beratapkan langit dan beralaskan bumi Allah yang maha Akbar ini. Biarlah Allah yang menjadi pelindungku, Kawan.” Demo memegang tangan Sejo, lama sekali. Sebenarnya ada yang ingin ia sampaikan, tapi ia tak sanggup. Dan untuk yang terakhir kali ini, Sejo melihat mata Demo berair.

“Tenangkan dirimu, Kawan. Yakinlah, doaku akan senantaisa menyertaimu. Kita selamanya berteman, bukan? Janji ya, sehidup semati! Kutunggu engkau, Kawan, di hari esok yang lebih panjang dan kekal adanya,” air mata Sejo pun ikut meleleh.

“Sekali lagi terima kasih, Kawan. Hanya engkau teman yang paling baik di mataku. Hanya engkau yang mengerti bahasa dan rasaku. Aku akan menepati janji itu, Kawan. Seperti yang menjadi namaku, Demonstrasi, aku tak akan pernah berhenti meneriakkan dengan lantang makna cinta dan kebenaran itu. Aku janji, Kawan. Kita pasti akan bertemu lagi, esok, di hari yang lebih cerah..,” Demo pun tersenyum.
Sebuah pertemuan singkat yang bermakna. Kedua sahabat itu bersalaman, mengucap salam, dan kemudian berpisah. Sejo segera berlalu dengan motor vespanya. Sementara itu, Demo berjalan dengan kaki telanjang, menembus pekat malam yang membeku. Keduanya berusaha mencari dan mengumpulkan cahaya di sepanjang perjalanan, agar tidak buta peta dan tujuan yang menjadi pijakannya masing-masing. Ada tak hingga cara untuk menuju suatu titik. Meski jalan mereka berbeda, tapi keduanya punya tujuan yang sama, yakni titik kebenaran. Kebenaran yang dirindukan oleh keduanya ibarat kekasih adanya. Kebenaran yang hari ini telah dilupakan oleh kebanyakan orang.

Malang, 29 Nopember 2015
Teka-teki Kehidupan
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Ada banyak teka-teki kehidupan yang mesti kita pikirkan melalui perenungan yang—boleh jadi—beda dengan pemikiran kebanyakan manusia. Kita dapat dengan jelas melihat, bahwa langit tak perlu menjelaskan dirinya tinggi. Ia akan tetap tinggi, bahkan ketika tidak ada yang mengakuinya.

Kemudian, banyak orang memahami bahwa air itu mengalir ke bawah, namun sesungguhnya ia sedang menuju puncak yang tertinggi. Lalu, di pusat panas yang sangat panas justru di situ ada titik dingin paling dingin. Ini juga sebuah permainan yang kadang sulit kita pahami, tapi benar adanya karena ia telah mengada dalam keberadaannya. Kau tahu mengapa hal ini—agaknya—begitu rumit? Sebab, sebenarnya tidak ada bedanya antara lapar dan haus, panas atau dingin, duka atau bahagia. Semua hanyalah rasa. Kitalah yang sesunggunya menciptakan rasa. Ada yang berkata kalau sehat dan sakit berawal dari rasa. Mungkin benar, sebab kebanyakan unsur dari anggota tubuh manusia adalah air. Sementara kita tahu, bahwa air adalah senyawa yang sifatnya mudah berubah.

Dalam memahami keabadian, banyak orang yang berbeda pendapat. Sepanjang yang saya pahami,bahwa tidak semua manusia kelak akan mencapai keabadian. Untuk menjadi abadi dan kekal memerlukan proses pematangan yang sangat panjang, sebagaimana proses evolusi logam. Dan tidak semua logam akan menjadi emas, itulah sebabnya Surga dan Neraka bertingkat-tingkat. Hanya logam mulia yang akan mencapai kemuliaan tertinggi dan kekekalan.

Mungkin itu pulalah sebabnya emas menjadi logam yang tunggal. Jika suatu logam dipanaskan selama beberapa tahun, ia akan membebaskan diri dari semua sifat individualnya, dan yang tertinggal adalah jiwa buana. Jiwa buana itu memungkinkan mereka memahami segala sesuatu di muka bumi, sebab dengan bahasa inilah segala sesuatu berkomunikasi. Segala yang ada di dunia ini berubah tanpa henti kerena bumi ini hidup dan mempunyai jiwa. Kita adalah bagian dari jiwa itu, maka kita jarang menyadari bahwa ia bekerja untuk kita. Semua yang ada di alam semesta ini tumbuh, dan bagi orang-orang bijak emas adalah logam yang paling lama tumbuhnya. Manusia tak pernah memahami kata-kata orang bijak, maka emas bukan dilihat sebagai simbol evolusi malah menjadi dasar pertentangan.

Semakin kita banyak belajar, kita bukannya pintar malah akan bertambah bodoh. Buktinya banyak profesor berkepala botak dan berkacamata tebal malah tampak seperti orang linglung, dia kadang tidak bisa membedakan lagi mana manusia, mana bantal guling. Mana kacamata, mana sendok teh. Keduanya sama-sama dipakai untuk mengaduk kopi, hahaha! Makanya aku sekarang ingin menjadi orang yang sederhana saja. Tidak terlalu pintar tapi juga jangan bodoh amat, hehe. Tapi kalau bodoh amat dan ternyata malah selamat ya tidak apa-apa.

Tolong kata-kata dari saya jangan ditelan mentah-mentah. Ambil yang benar, buang yang salah dan buang semuanya kalau memang salah atau tidak ada gunanya sama sekali karena tidak sesuai dengan pemikiran kebanyakan manusia. Anggap saja ini tulisan main-main atau bagian dari keliaran imaji saya sendiri yang sedang mencari titik temu kebenaran. Mungkin saja titik temu kebenaran itu tidak ketemu: karenanya saya harus balik ulang atau justru masuk jurang. Tapi saya mau tidak mau harus bangkit dan tetap berjalan menuju kebenaran yang hakiki itu walau harus dengan langkah berdarah-darah akibat dari kemungkinan salah langkah. Yang jelas semuanya saya dapatkan hasil dari pengalaman dan permenungan setelah mengarungi hidup, mengamati kehidupan atau peristiwa alam, membaca buku, dll. Dan setiap orang pasti memiliki “maqom”nya masing-masing yang tidak sama dengan orang lain.

Malang, 26 Maret 2015

Hidup Penuh Sandiwara
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Hidup hanyalah sandiwara belaka. Dunia tak ubahnya panggung teater. Jika kau berkenan untuk melihatnya, maka akan kau dapatkan di sana orang-orangnya yang sedang bersandiwara dengan segala tingkah humornya. Maka akan menjadi sangat keblinger, orang yang terlalu mengambil hati dan menganggap serius dari setiap penggal sajak peristiwa kehidupan.

Sadarilah, bahwa yang menciptakan kegelapan hanyalah prasangka demi prasangka buruk. Kehidupan dengan segala perputarannya di zaman sekarang ini, tak seburuk yang kau sangka. Sebab kau bukan Allah, dan semua bukanlah urusanmu yang akhirnya membuatmu risau. Malah sebaiknya, kau harus waspada kepada dirimu sendiri, kepada prasangka-prasangkamu sendiri. Atau jangan-jangan, kau tak pernah gelisah pada dirimu sendiri.

Sebagai catatan, kalau boleh meminjam kata-kata Cak Dian DJ, "jangan terlalu ideal, Nak. Bisa jadi, kenyataan yang akan menghianatimu." Jadilah engkau, sebagai orang yang tidak peka. Sebagai orang yang tidak pernah serius. Atau minimal, berpura-puralah menjadi orang yang tidak peka dan tidak pernah serius. Beruntunglah mereka yang tidak peka ataupun tidak serius. Sebab mereka tak perlu lagi merasa sakit hati jika dicela ataupun dikhianati, karena memandang orang-orang di Bumi yang selalu bercanda. Mereka akan selalu bahagia, ceria, dan riang. Buang saja puisi-puisimu yang bernada mengutuk keadaan. Hidup ini terlalu berat kalau dipenuhi dengan kesedihan dan sakit hati. Bersandiwara dan berhumorlah agar hidupmu menjadi ringan.

Siapapun engkau, jadi apapun engkau, jadilah sebagai orang yang merasa menjadi orang biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, juga berperilaku biasa. Jadilah engkau manusia yang merasa sangat-sangat biasa di hadapan semua saja---yang tak suka menerima pujian. Jadilah engkau sebagai orang yang berpura-pura menjadi orang polos, sebagai orang yang merasa tidak mengetahui apa-apa, agar engkau terbebas dari segala bentuk peng-Aku-an. Sebab segala bukanlah milikmu.

Kata sebuah lagu, kira-kira begini liriknya, "mari menyusun bunga Seroja, hiasan sanggul putri remaja. Rupa nan elok janganlah dimanja. Pujalah ia sekedar saja. Mengapa kau bermenung, berhati bingung. Janganlah engkau percaya pada asmara. Sekarang bukan lagi zaman bermenung."

Janganlah engkau tertipu oleh rasa. Sebab cinta yang hakiki telah lama mati bersama matinya hati nurani. Orang-orang telah melupakan cinta yang hakiki. Yang tersisa hanyalah cinta yang palsu. Asmara. Betapa cengeng nampaknya. Mestikah seseorang sibuk dengan soal urusan cinta setiap hari, padahal ada banyak hal lain yang mesti diselesaikan dalam hidup ini. Perbarui langkahmu. Jangan lagi percaya pada asmara.

Hidup hanyalah permainan. Jika kau tak bisa memainkannya dengan benar, maka kau akan dipermainkan. Dan pada akhirnya, engkau akan disebut sebagai orang-orang kalah. Bumi hanyalah rumah mimpi. Sampai pagi bernama ajal yang akan membangunkamnu. Bumi adalah sekolah gratis untuk semua. Sebuah universitas yang segaja disediakan kepada semua makhluk Allah. Segala tempat dan peristiwa di Bumi selalu dapat memberikan pelajaran. Maka belajarlah engkau yang rajin di sana.

Bahkan tak hanya Bumi, alam semesta raya dan seluruh isinya, baik yang kasat mata maupun yang gaib ini adalah ayat-ayat kauniyah atau tanda-tanda keagungan Allah. Maha Pencipta Segala. Manusia dengan segala perilakunya di muka Bumi ini adalah bekerja, bukan menunda kekalahan, apalagi menimbun hayalan dan asmara. Bukan. Tinggal mereka bekerja untuk di dunia saja, ataukah bekerja untuk keabadian. Sudahkah kita mengerti bagaimana cara menginjak bumi yg benar?

Tuban, di pagi hari yang merambat siang.
Em Ef,  16.06.’16

Apa Kabar Islam Kita?
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

“Sudah berapa kali Anda belajar, tetapi tidak pernah mengamalkan? Lipatlah pustaka ilmu, lalu sibuklah dengan pustaka amal disertai hati yang ikhlas. Jika tidak, pencarianmu pada ilmu tidak akan menguntungkan sama sekali.” Begitulah kira-kira Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, mengingatkan alfa, beta, kelupaan kita dari hari ke hari namun belum kunjung juga kita mengerti.

Kemudian dalam kitab Al-Hikam, karya Ibnu Athaillah As-Sakandary, dijelaskan bahwa, “man ‘amila bi ma ‘alima, warotsahullohu ‘ilma ma lam ya’lam.” Artinya kira-kira begini, “barang siapa yang mengamalkan ilmu—walaupun itu sedikit—yang ia tahu, maka Allah akan menganugerahkan ilmu yang belum pernah diketahuinya.”

“Percayalah dan beramallah dahulu, maka engkau akan mengetahui rahasia-rahasia. Bila kau tak percaya, maka selamanya kau tak akan pernah mengetahui. Bukankah tujuan sejati dari perjalanan Kehidupan adalah agar kita semakin dekat dengan segala rahasia itu?” Kata Imam Al-Syahrastani dalam salah satu kitabnya.

Setiap manusia yang beriman—dalam perjalanannya—selalu mencari pengetahuan dan kebenaran yang mengantarkannya menuju pemahaman baru di setiap harinya. Berbagai kata mutiara indah di atas memberi sedikit gambaran tentang bagaimana adab atau tata krama seseorang yang memiliki ilmu. Bila seseorang hanya sibuk untuk mencari ilmu saja tanpa mengamalkannya—hingga mungkin akhirnya lupa, berarti ia telah berdosa pada Allah SWT melalui perbuatannya (yang tidak disertai dengan ilmu). Ilmu akan lenyap dengan begitu saja jika tak pernah diamalkan. Untuk dapat menjaga ilmu di dalam hati dan perilaku, maka hanya ada satu jalan, yaitu mengamalkan.

Malulah kepada Allah Azza waJalla dalam seluruh perilaku, dan mulailah beramal dari detik ini juga. Janganlah membuat kegelapan dan kekotoran pada ilmu—yang konon katanya adalah sebagai cahaya penerang di sepanjang jalan—dengan suatu amal yang menipu, jangan pula mengikuti kemuliaan dengan kehinaan. Sibukkanlah diri dengan beramal kepada Allah Azza waJalla.

Tinggalkan memburu pada selainnya, sebab apa yang sebetulnya dibutuhkan seseorang hanyalah Allah Azza waJalla. Pun hanya dengan beramallah, derajat seseorang akan dapat meningkat di hadapan Allah Azza waJalla.

Di kehidupan ini, harus ada keseimbangan antara olah zikir, olah fikir, dan olah fisik. Begitu pula, harus ada keseimbangan antara amal lahiriyah dengan amal bathiniyah. Perjalanan seorang Muslim adalah dimulai dari tangga syari’at, lalu thoriqah, kemudian hakikat, dan yang paling tinggi adalah alam ma’rifat. Seperti halnya ketika seseorang akan menuju suatu tempat yang tinggi, maka yang harus dilkaukan adalah melewati tangga demi tangga maqam / derajat. Orang yang telah menempuh segala perjalanan dan telah sampai pada Rabbnya, mulai dari syari’at sampai ma’rifat disebut Insan Kamil.

Di dalam kitab al-Hikam dijelaskan, “syari’at tanpa hakikat adalah kosong (hampa), sementara hakikat tanpa syari’at adalah dusta.” Maka belumlah patas seseorang disebut insan Kamil jika salah satu dari kedua hal tersebut tidak ada. Atau kira-kira dapat diumpamakan perjalanan seorang pencari mutiara yang ada di dasar lautan. Maka yang disebut syari’at adalah perahu yang dapat mengantarkannya ke tengah lautan. Kemudian air laut sebagai thoriqah atau jalannya, lalu hakikat adalah mutiara yang terpendam di dasar lautan.
Setiap manusia di muka bumi ini memiliki maqam—dalam hal ini: derajat di hadapan Allah—yang berbeda-beda. Mulai dari manusia yang paling dibenci sampai manusia yang paling disayang oleh Allah. Orang yang munafik mengikuti perintah Allah Azza waJalla dan RasulNya hanya sebatas formalitas di depan khalayak manusia belaka, tidak sampai menyentuh pada makna dan inti yang sesungguhnya, berarti lahir batinnya telah dusta. Sebagaimana ahli maksiat hina dalam dirinya, pendusta juga hina dalam dirinya.

Namun demikian, seseorang sebenarnya tidak boleh terlalu berhasrat untuk mendapatkan “tempat” yang paling tinggi di hadapanNya.

Karena hal yang demikian masih terselubungi oleh sebuah penyakit bernama nafsu. Ia sebetulnya tersiksa, sebab hawa nafsu masih melilit segala gerak dan perilakunya dan menjadi bagian dari diri; melangkah karena hawa nafsu, dan semuanya karena hawa nafsu. Akhirnya seluruh perbuatannya terselubung oleh hawa nafsu.

Tentu saja, kebanyakan manusia akan lebih tertarik mengamati hal-hal yang nyata daripada hal-hal yang abstrak. Padahal jika saja seseorang mengetahui bahwa yang berhak “wujud” hanyalah Allah Yang Maha Ada, sementara semua makhluknya hakikatnya tidak ada, karena tidak berhak memiliki sifat “wujud” dan semuanya akan fana (sirna). Terbuktilah bahwa sesungguhnya yang diamati oleh kebanyakan orang sehari-hari (dunia dan seisinya) adalah suatu gambar yang abstrak adanya.

Apabila seseorang terlalu banyak melakukan dosa, maka ia akan terjebak oleh gambar-gambar yang sesungguhnya tidak nyata dan tertutuplah mata hatinya dari hal-hal yang hakiki; yang sebenarnya ada. Sebaliknya para kekasih Allah yang lembut dan bersih hatinya, mereka selalu melihat hal yang hakiki dan nyata adanya. Menikmati diri selalu bersama Allah menjadi momen yang paling berharga bagi para kekasihNya. Dan mereka berkata, “Masihkah orang-orang tak juga percaya akan adanya hal-hal yang hakiki?”

Bila seseorang hanya mementingkan amal lahiriyah belaka, sungguh ia telah meremehkan sebuah amal bathiniyah untuk mengenal lebih dekat dengan Allah Azza waJalla. Salah satu amal bathiniyah yang tidak melahirkan penyakit hati—berupa riya’—hanyalah zikir di dalam hati.

Dengan berdzikir, maka seseorang yang lain tidak tahu tentang apa yang sebetunya dilakukan olehnya. Dalam hadits Qudsy disebutkan: “Siapa yang sibuk dengan dzikir padaKu dibanding meminta padaKu, Aku memberinya lebih utama ketimbang yang Kuberikan kepada para peminta.”
“Ya Allah ingatkanlah selalu kami dari kealpaan orang-orang yang lalai. Amiin.” Begitulah do’a para sufi yang senantiasa mereka panjatkan. Karena bagi mereka, jika saja lalai mengingatNya dalam satu detik sekalipun, berarti ia telah berdosa. Dzikir lisan saja tanpa hati, tidak ada kemuliaan sama sekali. Dzikir yang sesungguhnya itu harus disertai dengan dzikir hati dan rahasia hati, baru muncul dzikir lisan. Maka benarlah dzikirnya Allah Azza waJalla, “Ingatlah selalu kepadaKu maka Aku akan senantiasa mengingatmu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kufur padaKu.” (Al-Baqarah: 152).

Ingatlah, bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini kelak akan sirna, dan ketika waktu itu telah sampai pada batasnya, maka Malaikat Maut akan datang menjemputnya, mencopot hidupnya dari tempat singgah dunia yang sementara, memisahkan dirinya dari keluarga dan orang-orang yang dicintai. Berusahalah, dan berbekallah dengan ‘amal yang banyak dan disertai dengan ‘ilmu, agar tidak mati dalam keadaan dibenci oleh Allah Azza waJalla. Siapkan langkah ke akhirat, tunggulah kematian, karena seseorang nanti akan melihat di sisi Allah Azza waJalla sesuatu yang lebih baik dibanding semua yang dilihat di dunia ini.

“Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Dan lindungilah kami dari pedihnya siksa neraka.”

Malang, 30 April 2015