Tamu yang Datang di Hari Kemenangan
Oleh: M. Fahmi

Pagi bertakbir. Gemercik suara aliran sungai itu juga bertakbir. Udara pagi yang terasa sejuk ini pun ikut bertakbir. Kicauan burung-burung yang berkejaran itu pun tak pernah lepas dari menyebut asma-asma Allah. Bangunan, jalan, dan pohon-pohon itu pun ikut meramaikan zikir alam. Seluruh komponen yang terbentang di alam semesta raya ini mengagungkan kebesaran Allah. Hanya saja, sebagian manusia sering kali tidak mengerti bahasa takbir mereka. Dan ketika alam bertakbir, hanya sedikit manusia yang ikut dalam irama takbir mereka.

Setiap hari, aku selalu menyapa wajah kota Pasuruan. Di sini. Di tempatku berjuang melawan kebodohan, adalah bumi yang kupijak untuk mengukir berbagai cerita. Mulai dari cerita suka maupun cerita yang memaksa air mataku jatuh. Ah, tak dapat aku bayangkan, akan jadi orang seperti apa aku jika tak menimba ilmu di sini. Pesantren Al-Hikmah telah memberi kekuatan yang besar untuk tetap istiqomah dan bertahan, apapun bisikan angin yang datang. Aku akan tetap di sini, menjaga janji.

Pagi ini, setelah mandi dan salat subuh berjamaah di musala kompleks ribath, aku begitu terburu-buru untuk berangkat ke Masjid. Jarak dari ribath pondokku dengan Masjid tidak terlalu jauh, sekitar tiga ratus lima puluh meter. Hanya perlu jalan tanpa menggunakan kendaraan untuk sampai ke sana. Ku percepat langkah, sebab ada yang mesti sesegera mungkin untuk kutemui. Rindu ini seperti telah menyatu, bertakbir bersama alam. Rinai gerimis tadi malam dan suara ayam yang membangunkan pagi, membuat hati rindu sekaligus luka. Rahasia apa yang Kau simpan dalam gerimis? Bahasa apakah yang sesungguhnya didendangkan ayam itu? Oh, jagat ini. Fajar yang datang tiba-tiba, dinginnya udara yang menusuk, kadang membuat segalanya jadi lupa. Sungguh, aku rindu keheningan!
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar… Laailahaillallaahu Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillaahil-hamd…

Terdengar riuh suara sahut-sahutan itu, membelah pagi. Berdentam rasanya hatiku. Oh, sudah terlihat rupanya bangunan rumah-Mu itu. Gema asma suci-Mu berdengung di dalam, lagi-lagi gerimis turun pagi ini. Oh, baru pukul lima lebih dua puluh. Bersijingkat aku mengangkat lengan baju dan sarung, agak tergesa kubasuh muka; nawaitu wudhua lirof’il hadatsil ashghori fardon lillahi ta’ala … Sementara di luar sana terdengar semakin jelas orang-orang melantunkan takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar… Laailahaillallaahu Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillaahil-hamd… Gemetar sukma ini! Betapa ingin kusingkap misteri hati, agar hilang dahagaku, lebur dalam-Mu.

***
Usai salat hari raya, para jamaah masing-masing bersalaman, membentuk barisan. Keluar dari masjid, orang-orang bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga dan sanak kerabat. Mereka terlihat bahagia sekali menikmati hari yang fitri. Setelah berperang begitu hebatnya melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan, kini umat islam merayakan kemenangannya dalam melewati berbagai rintangan itu. Sebagian santri pulang ke daerah asalnya. Mereka adalah yang memiliki uang dan rumah asalnya tidak begitu jauh. Tapi tidak untuk Idul Fitri kali ini. Aku tak dapat menghitung jumlah teman santri yang minta pamit pulang kepadaku. Tak kulihat satu pun santri yang ikut jamaah di Masjid ini.

Ah, empat tahun sudah aku tidak pulang ke daerah asal. Empat tahun sudah aku tidak melihat senyum abi, umi, lek, bibik, dan saudara-saudaraku. Sudah empat tahun ini aku tidak mengucapkan maaf dan mengecup tangan secara langsung kepada mereka. Empat kali di hari yang fitri ini pula aku hanya bisa bertukar kabar serta meminta maaf dan doa lewat telepon. Suara mereka, meski tak mampu kusentuh, telah menenangkanku, menguatkan ketegaranku. Bukittinggi terlalu jauh di sana, tidak terlihat mata kepalaku. Ah, mungkin akan sangat menyenangkan sekali bersilaturahmi ke sana dan ke mari bersama keluarga. Hanya wajahku yang tak sama dengan wajah para jamaah itu. Aku hanya ikut bersalaman sambil terus menahan air mata. Sesudah bersilaturahmi ke masyarakat sekitar masjid, aku segera pulang ke ribath untuk bersilaturahmi dengan pak Kyai.

Acara halal bi halal atau yang kerap kali disebut dengan “riyayan” ini sudah menjadi tradisi umat muslim di bumi nusantara. Berkat dakwah para wali yang ramah, menjadikan islam di nusantara adalah islam yang rahmatan lil-alamiin. Di ndalem pak Kyai terlihat penuh oleh para tamu yang berdatangan dari berbagai golongan, mulai dari kelompok majelis ta’lim, takmir masjid, perangkat desa, ustadz-ustadz, dan masih banyak lagi. Aku hanya sempat mengecup tangan beliau, setelah itu kembali ke luar ndalem, untuk memberi ruang bagi tamu yang masuk. Aku berpapasan dengan putra pak Kyai dan segera mengecup tangannya. Ia menatap raut wajahku. Kesedihanku sempat dibaca oleh Gus Rahman, putra Pak Kyai Luqmanul Hakim. Ia mengerti betul tentangku. Aku pun segera berlari ke kamar. Ternyata ia ikut menyusulku ke dalam kamar.

“Tenanglah, Ri. Aku mengerti apa yang membuatmu sedih,” tuturnya halus.

“Hehe, mbo.. mboten wonten no.. nopo-nopo kok, Gus,”  ucapku terbata-bata.

“Halah, kau masih juga bersandiwara, padahal sudah jelas sedih. Aku sudah mengenal kejujuranmu selama empat tahun. Matamu itu, tak pernah bisa berbohong,” Ia tersenyum, mencoba mengajakku untuk tersenyum pula.

“Ya sudah, daripada nganggur di kamar tak ada teman bicara, nanti sore ikut kami pergi ke ndalem Mbah ya?” gus meletakkan tangannya di atas pundakku.

“Mboten, Gus. Kulo mboten pantes nderek-nderek keluarga pak Kyai,” wajahku tertunduk malu.

“Kalau ini adalah perintah Abah, bagaimana perasaanmu? Hehehe..,” ia tertawa terbahak-bahak, hampir terdengar di ndalem pak Kyai.

“Hmm.. Geh, sendiko dhawuh, Gus,” akhirnya aku menuruti juga ajakan Gus Rahman.

***
Acara silaturahmi di ndalem Mbahnya Gus selesai sampai ba’da Isya jam sembilan malam. Kami pun kembali  pulang ke Pesantren Al-Hikmah. Gus dan keluarganya segera beristirahat karena kecapekan dari tadi pagi sibuk bersilaturahim. Waktu berjalan lambat, sementara mataku masih belum terpejam. Pikiranku melayang ke sembilan tahun yang lalu. Ah, ia datang lagi ketika aku hampir bisa melupakannya. Ia, yang entah siapa, telah memenjaraku dalam catatan yang indah. Hingga kusyukuri hidup ini sebagai karya Tuhan yang luar biasa. Ruangan di kamarku ini terlalu sesak untuk dihuni oleh seorang diri. Aku sudah terbiasa sendiri. Tapi demi melihat wajah rembulan yang kebetulan purnama itu, aku tertarik untuk tidak tidur dulu. Aku segera naik ke lantai paling atas, tepatnya di tempat jemuran pakaian. Tak lupa aku membawa secangkir kopi. Dan di sanalah akhirnya, aku merenung. Membuka kembali halaman demi halaman yang sempat terekam di Bukittinggi, tanah kelahiranku.

Ada hal yang musti kuceritakan, tentang cerita yang hingga detik ini belum usai diukir oleh masa. Wajah rembulan dan kupu-kupu di matanya itu yang kerap kali membuatku menyendiri, memaknai hidup. Pada pecahan cahaya purnama ini aku tersenyum. Pada kerinduan ini, aku membuat pengakuan. Angin malam menyambut asaku. Mendekatkan kami.

***
Di sini. Di bumi yang membesarkanku, tanahnya sangat subur. Segala jenis tanaman bisa tumbuh di sini, mulai dari tanaman toga, buah-buahan, sayur, kelapa sawit, palawija, karet, dan yang paling mengesankan adalah luasnya kebun teh. Dari ujung timur sampai ujung barat membujur pegunungan yang indah. Udaranya sejuk sekali, bebas dari debu dan bisingnya kendaraan kota.
Aku kini duduk di kelas tiga MTs. Sementara sepupuku, Risma, ia baru kelas tiga SD. Paman menitipkan putrinya kepadaku, untuk menemaninya pergi ke sekolah. Jalan yang kami lewati menuju sekolah sama. Jarak rumah dengan sekolah tidak begitu jauh. Hanya perlu melewati jalan setapak, sungai, kebun teh, pematang, dan sampailah ke sekolah. Kami sering bermain di kebun teh, sewaktu pulang dari sekolah.

“Engkau ada di mana, Ris?” tanyaku saat hampir menyerah mencari batang hidungnya.

Tiba-tiba dari arah belakang ia berlari secepat kilat, dan langsung menyambar bambu penyangga yang telah kami sepakati untuk dibuat rumah petak umpet. Ia tertawa hampir terbahak-bahak, dan matanya yang kutangkap itu seperti mengolok-olok ku, lalu lidahnya yang setengah keluar itu menertawakan kebodohanku.

“Ah, payah ini Kak Ari. Masak tidak bisa menemukanku?” ucapnya sambil terengah-engah.

“Iya deh. Kakak memang selalu payah. Sekarang kamu sudah senang, bukan? Ayo pulang, hari sudah sore,” bujukku.

“Satu kali permainan lagi ya?” tangannya menarik lengan bajuku.

“Kakak sudah capek ini. Ayolah pulang,” kembali aku merayu.

“Ndak mau, pokoknya ayo main lagi!”

“Ayolah, kalo pulangnya telat nanti bisa dimarahi sama Paman lho,”

“Hm, yaudah deh kalo begitu. Tapi tebak dulu, tadi Risma sembunyi di mana?”

“Waduh, ya kurang tahu lah kalo itu soal itu.

Memang kan, dari sejak kemarin sampai sekarang kakak belum bisa menemukan Risma gitu,”

“Iya, tapi tebak dulu, dong, Kak!”

“Hm, pasti Risma sembunyi di balik daun-daun teh yang besar itu ya?” aku menunjuk ke petak ladang teh yang daunnya lebih rimbun daripada yang lainnya.

“Hahaha. Kakak salah besar!” ia tertawa terkekeh-kekeh.

“Lalu di mana Risma sembunyi?” tanyaku penasaran.

“Risma bersembunyi di ruang yang tak akan pernah terjamah oleh siapa pun, kecuali kakak,” ujarnya riang. Kulihat matanya bertambah bening.

 “Maksudmu? Aku tak paham, Ris” kataku sambil menggaruk-garuk kepala, tanda bingung. Aku berpikir, mungkin kamu hanya belum bisa berbahasa yang baik dan benar. Atau akukah yang belum bisa mengeja kata-katamu yang bersayap itu?

Risma melihat mataku agak lama. Seperti mencari sesuatu yang entah apa itu. Jujur. Aku agak grogi sebenarnya ketika ia memandangku begitu. Lalu seperti tidak mempedulikan pertanyaanku, ia berlalu sekenanya dan meninggalkanku yang terdiam penuh tanda tanya di antara ladang teh. Ah, sore ini, aku benar-benar merasa sial sekali.

***
“Abi, Umi, Mbak Irma, Mas Ainun, Paman, Bibik, Risma. Ari pamit dulu ya. Doakan semoga Ari selamat sampai di tujuan,” aku menyalami satu per satu tangan mereka.

“Iya, Nak. Doa kami selalu menyertaimu. Semoga mendapat berkah dan manfaat. Ingat janji yang pernah abi sampaikan kepadamu ya, Nak,”

“Iya, Bi. Ari pasti akan selalu mengingat hal itu,”

“Kak Ari mau pergi ke mana?” Tanya Risma sambil mendekatiku.

“Kak Ari mau mencari ilmu di tanah jawa, Risma mau ikut ta?” Gurauku.

“Yah, kan Risma belum lulus SD, Kak! Jauh apa tidak, Kak? Cepat pulang ya!”

“Hehe, ya jauh lah, Ris. Sampai menyeberangi lautan yang luas, hehe. Soal waktu, tenang saja. Yakinlah, kakak pasti akan kembali,” kataku meyakinkannya.

“Awas kalau kakak tidak kembali. Risma tidak akan pernah memaafkan kakak, huhu..!!” ia menangis tersedu-sedu.

“Kakak janji deh, kakak pasti kembali kok! Sisakan air matamu untuk kepedihan yang lain, oke?” aku mencoba untuk menegarkannya.

Ia berlari ke dalam rumah. Aku tak tahu harus berbuat apa.

“Sudah, kau pergi saja sana, Ri. Tak perlu kau risaukan si Risma itu,” bibik menasehatiku.

“Geh, Bik. Kalau begitu tolong sampaikan saja salamku padanya,”

“Iya, pasti akan kutitipkan salammu padanya,” bibik tersenyum melihatku.

“Risma menyukaimu,” bisik bibik ke telingku.

“Bagaimana Bibik tahu?”

“Aku perempuan!

***
Kembali di malam ini. Malam yang terang, sebab cahaya rembulan sepenuhnya menyinari bumi. Ah, kisah tadi masih saja tersimpan di memoriku. Aku ternyata baru mengerti apa yang dikatakan olehnya waktu itu. Kulihat jam tangan. Sudah pukul sebelas malam rupanya. Empat tahun sudah, tak terlihat kesakralan suara dari penggalan alenia kehidupanmu, resah risaumu. Aku menghela kenaifan diri yang menjelma. Apa kabar malammu, Risma?

Aku menguap berkali-kali. Badanku pun rasanya sudah sangat lelah. Aku harus tidur sekarang. Besok masih ada agenda yang harus kuselesaikan. Kubereskan kopiku dan segera kembali ke kamar.

***
Statusku di pesantren adalah sebagai santri sekaligus abdi ndalem. Di sini. Aku tidak hanya nyantri, tapi juga sambil belajar di sekolah aliah. Namun, bulan Mei kemarin telah wisuda dan dinyatakan lulus oleh sekolah. Seperti biasa, setiap pagi dan sore aku selalu menyiram tanaman, membersihkan halaman ndalem, membantu petugas dapur memasak, menyuci pakaian, dan juga membelikan bahan-bahan makanan. Ah, Pagi yang amat cerah ini membuatku semangat untuk beraktifitas.

Sekelebat, ada sepasang mata yang menyapaku, ramah sekali. Aku seperti teringat dengan sinar mata itu. Kucoba mengingat-ingat kembali. Aku menemukannya. Mata itu pernah hadir di kehidupanku, empat tahun silam. Ah, mata itu masih sama seperti yang dulu kulihat dan kurasa. Tak ada yang hilang! Sinar mata itu memancarkan kelembutan, ketulusan, kejujuran, dan kedamaian. Lewat matanya, seakan aku dapat membaca isyarat tentang segala yang melekat dalam dirinya; berhati lembut, berjiwa ibu.

“Assalamu’alaikum, Kak Ari…!!” Ia mengucap salam sambil berlari ke arahku.

Subhanallah, aku merinding mendengarnya. Risma. Mendengar suaramu itu, aku kembali menapaki gairah pagiku yang telah lama dimangsa angkara. Gerai suaramu telah mampu menjelma semangat pagiku.

“Apa kabar, Kak?” tanyanya sambil menyodorkan sebuah bingkisan.

“Alhamdulillah, baik, Ris. Kamu datang ke sini sama siapa?” dahiku mengernyit.

“Itu, mereka masih di sana,” ia menunjuk ke arah mobil Avanza yang diparkir di halaman pondok.
Kulihat Abi, Umi, Mbak Irma, Mas Ainun, Paman, dan Bibik menghampiri kami. Mereka tersenyum. Entah apa arti senyum itu. Segera kusalami mereka. Aku tak mampu menahan air mataku yang berderai. Hatiku berdentam. Tanganku bergetar merasakan keharuan yang membiru. Ilahi, apakah aku sedang berada di dunia mimpi?

“Ah, ternyata kalian masih sama seperti dahulu,” celetuk Bibik.

“Alhamdulillahirabbil aalamiin. Ari tidak menyangka akan bisa berkumpul lagi, dengan Abi, Umi, Mbak Irma, Mas Ainun, Paman, Bibik, dan Risma.”

“Iya, alhamdulillah, Nak.”

Kupersilakan mereka masuk ke ruang tamu. Tak lupa kuhidangkan aneka jajanan lebaran dan juga kubuatkan teh hangat. Kuberitahu Gus Rahman kalau keluargaku datang hari ini. Gus Rahman bersyukur sekali mendengarnya. Kemudian katanya, sebentar lagi Pak Kyai akan pulang, beliau habis dari acara Halal bi Halal.

“Selamat ya, kamu sudah menjalankan janji itu dengan baik!” Seru Abi kepadaku.
“Iya, Bi. Akhirnya saya bisa juga memenuhi janji itu, Bi. Hehe, sebelumnya kok ndak bilang ke Ari dulu kalau akan menjenguk Ari, Bi?”
“Itu idenya si Risma, Le. Sepertinya dia sudah kangen sama kamu,” sahut Bibik, dan semua yang ada di ruangan itu tertawa. Sementara Risma menyembunyikan wajahnya, dan mencubit dengan lembut lengan ibunya itu.
“Hmm.. Berangkat dari rumah kapan, Bi?” Kucoba untuk mengalihkan perhatian.
“Kemarin ba’da Dhuhur, Nak.”
“Wah, pasti capek sekali ya, Bi.”
“Ndak lah, kami banyak mampir di perjalanan,”
“Bagaimana kabar sekolah Aliyah mu?”

Sejak masuk pesantren Al-Hikmah, satu tahun kugunakan khusus untuk mendalami dasar ilmu agama agar tidak kaget, karena memang santri yang belum pernah belajar ilmu agama diwajibkan untuk mengikuti program satu tahun tersebut. Juga adaptasi yang lainnya, seperti bahasa Jawa, pergaulan, dan lain sebagainya. Setelah satu tahun berlalu, baru aku mendaftar sekolah aliah swasta yang ada di dalam yayasan Pesantren Al-Hikmah.

Saat ini, sekolah aliah ku telah usai. Abi bertanya, apakah ingin melanjutkan kuliah atau tidak. Aku berpikir sejenak.

“Alhamdulillah, sudah lulus dengan hasil yang memuaskan, Bi. Hmm.. Segala kebutuhan saya di sini telah banyak dicukupkan oleh Pak Kyai, Bi. Maka sebagai kebijakannya, saya akan ikut dengan apa yang diperintahkan oleh Pak Kyai. Jika Pak Kyai meminta saya untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, maka saya akan kuliah, jika tidak saya akan menimba ilmu di sini dulu, Bi.”

“Abi kagum dengan ketaatanmu sama Pak Kyai, Nak,” puji Abi.
“Ah, bisa saja Abi berkata begitu,”

Selang beberapa saat, Pak Kyai pun datang, dan beliau masuk ke ruang tamu diantar oleh Gus Rahman. Kami semua yang di ruang tamu memberi takzim dan mengecup tangan beliau. Tangan beliau yang dingin menyejukkan sanubari kami. Akhirnya keluargaku dan Pak Kyai pun bercakap-cakap, memperbincangkan soal aku, soal kegiatanku, dan lain sebagainya. Sementara Risma mengajakku keluar, kami pun izin sebentar. Kami pun duduk di taman yang dipenuhi rumput hijau, dan juga burung-burung merpati.

“Kak..” Rengeknya begitu kami duduk.
“Iya, ada apa, Ris? Taman ini indah, bukan? Lihat, di sana juga ada sungai, ikannya warna-warni, bagus kan?” kucoba sedapat mungkin mengalihkan perhatiannya. Tapi ia tetap menatapku. Aku diam saja, dan ia pun diam saja. Ah, sayang, aku selalu mati kutu di hadapannya. Kata-kata yang kugubah dalam angan seakan menguap entah ke mana. Barangkali takdirku memang tak bisa romantis.
“Kak..” Seperti ada sesuatu yang membuatnya ingin menyelami mataku lebih lama. Ia seperti ingin melunaskan rindu yang selama ini telah sedemikian membukit.
“Ayo main petak umpet lagi!” katanya tiba-tiba di luar perkiraanku.
“Ah, kamu ternyata masih sama seperti dulu, masih kekanak-kanakan!”
Ia mencubit lenganku, namun aku berhasil menghindar. Tiba-tiba ia tertawa.
“Terkadang dunia anak-anak itu lebih luas dari dunia manapun. Di sana tak ada kesedihan, iri, dengki, sombong, pamer, yang ada adalah keceriaan dan kebahagiaan,” ungkapnya berfilsafat.

“Ayo kita bermain lagi, Kak!” sambungnya
“Ayo, siapa takut!” tantangku.
Ah, engkau datang tepat di saat hatiku sedang gundah. Di hari kemenangan ini, kami kembali ke masa lalu, bermain petak umpet dan kejar-kejaran. Ah, taman ini seperti berubah menjadi kebun teh Bukittinggi yang hijau dan luas. Sepoi-sepoi angin melayangkan jiwa kami, terbang menuju ruang yang tak akan pernah terjamah oleh siapa pun, kecuali hanya kami.

Malang, 2 September 2015

Cerita di Sore Hari
Oleh: M. Fahmi

engkau selalu datang di waktu sore hari
menemuiku, mengucapkan salam, lalu buru-buru pulang bersama perginya mentari
engkau selalu bercerita tentang berbagai fenomena dan rahasia hidup dan kehidupan
anehnya, tak satu pun dari ceritamu yang masuk akal
tapi aku tetap yakin dan percaya akan kebenaran cerita-ceritamu
aku mengangguk asal mengangguk tatkala engkau menanyakan perihal kepahamanku
engkau juga selalu sabar mendengar setiap untai keluh kesahku
di dadaku ini, sudah seperti senja:
tabah menampung risalah cahaya dan gelap
antara tawa dan air mata
antara duka dan bahagia
yang senantiasa datang, entah dari ufuk yang mana
engkau selalu datang membawa senja yang purnama
sinarmu mengingatkanku, untuk selalu pulang pada langitNya
itulah yang  membuatku selalu takjub kepada Yang Menjadikanmu
aku tak pernah tahu dari mana engkau datang dan ke mana engkau pergi
pernah suatu ketika kucoba diam-diam bersembunyi, membuntuti langkahmu ketika pergi
namun, aku tak pernah berhasil mengikuti jejakmu
engkau selalu hilang entah ke langit bagian mana, dikala matahari tenggelam sepenuhnya
pun juga tak pernah ku ketahui darimana datangmu
engkau selalu datang menemuiku secara tiba-tiba
waktu itu, tanpa ku duga-duga engkau telah duduk-duduk santai di ambang cakrawala, menikmati sore hari
bagiku engkau misteri
tapi aku tak begitu mempedulikan hal-hal semacam itu
kehadiranmu itu sudah merupakan bagian dari rasa bahagiaku
sebab, sudah lama aku tak melihat senja di sore yang sama
sudah lama aku menempuh sore seorang diri
ku lalui berbagai liku sore seorang diri, tanpa satu pun sahabat yang menemani
dan kini engkau datang, Senja
menemani perjalananku pada setiap momen di sore hari
kini aku selalu terhibur, karena kedatanganmu selalu mengundang tawa
entah dari mana asal tawa itu
dan sepertinya aku menyukaimu
dari sudut ufukmu saja aku sudah bisa melihat kejujuran, ketulusan, juga kasih sayang
Senja, maafkanlah bila dalam menyampaikan bahasa aku terlalu alay
ini kulakukan agar semua dapat terpahami secara menyeluruh
dan, justru dengan kealay-an ini aku bisa mengungkapkan rasa dengan kejujuran yang murni
Senja, tapi mungkin ini adalah senja terakhir kita bertemu
sebab, kini aku telah menjelma pecahan fajar di pagi hari
Senja, izinkan aku pamit dengan sebait puisi ini, di sore ini
maafkan aku
aku harus berjalan lagi seorang diri
menyusuri jalan yang tak dipilih oleh kebanyakan orang
menempuh berbagai liku waktu di sepanjang ruang
melewati dimensi lain yang tak pernah ada di waktu sore hari
karena aku tahu, engkau tak akan pernah bisa menemaniku di waktu fajar
tapi, tetaplah menjadi senja yang menghangatkan
dan aku akan memulai semesta baru, di ruang fajar
percayalah, justru aku sangat merindukan saat-saat bersamamu, di waktu sore hari

Malang, 14.11.14
Em Ef
Aku Merindukanmu, Muhammadku
Oleh: M. Fahmi

Bismillahirrohmanirrohim..
Ya Rasululloh,
Semenjak mengenalmu, aku selalu merindukanmu..
Kisah demi kisah, masih terekam jelas di benakku,
Sebab, engkaulah panutan umat sepanjang masa
Yang memberikan cahaya, agar kami tak salah langkah di ruang yang gelap
Namamu indah, seindah maknanya; “orang yang terpuji”
Manakala disebut namamu, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muhalib bin
Hasyim
Bergetar sukma terdalamku, sesegera aku menjawabnya, Allahumma shalli wa
sallim wa baarik alaih..
Di Subuh yang masih buta nan petang,
Terdengar kabar bahagia di rumah Abu Talib, Makkah Al-Mukarramah
Abdullah, Aminah binti Wahab, dan sekeluarga pun mengucap syukur
Adalah pertama kali engkau melihat kemegahan muka bumi ini, sebagai karya
akbarNya
Tepat di hari Isnin, 12 Rabiulawal, atau 20 April 571 tanggal Masehinya
Sementara, tahun gajah itu kembali mengingatkanku,
Tentang peristiwa tantara bergajah Abrahah
Yang begitu lancang menciumi pipi kota Ka'bah
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Barakah Al-Habsyiyyah telah menjadi pengasuhmu,
Kemudian Thuwaibah telah berjasa menyusuimu, untuk yang pertama kali
Kemudian berganti, Halimah binti Abu Zuaib As-Sa'diah menyusuimu, hingga
dua  tahun lamanya
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Di usiamu yang ke lima tahun,
Kembali teringat, tentang peristiwa pembelahan dadamu oleh dua malaikat
Untuk mengeluarkan serpihan penyakit hati yang mewujud di dalam hatimu
Di usiamu yang ke enam tahun,
Ibumu, Aminah binti Wahab tertimpa sakit
dan akhirnya meninggal dunia di Al-Abwa,
sebuah kampung di antara Makkah dan Madinah
Di usiamu yang ke delapan tahun,
datukmu, Abdul Muttalib meninggal dunia
Selain diasuh Ummu Aiman, engkau dipelihara pula oleh Abu Talib.
Di usiamu yang ke sembilan tahun,
—entah—sebab, setengah riwayat mengatakan di usiamu yang ke dua belas tahun
Bersama Abu Talib engkau bermusafir ke negeri Syam, berniaga
Di kota Busra,
Sementara, seorang pendeta Nasrani; Bahira (Buhaira)
Menemui ketua demi ketua rombongan,
Menceritakan tentang pengutusan seorang Nabi
Di kalangan bangsa Arab
Yang akan lahir pada masa itu
Di usiamu yang ke dua puluh tahun,
Engkau terlibat dalam peperangan Fijar
Engkau andil dalam peperangan itu selama beberapa hari,
Mengumpulkan anak-anak panah sahaja
Kemudian menyaksikan perjanjian Al-Fudhul; perjanjian damai,
Memberi pertolongan
Kepada orang yang dizalimi di Makkah
Di usiamu yang ke dua puluh lima tahun,
Engkau bermusafir kali kedua ke negeri Syam,
Bersama-sama Abu Talib dan beberapa orang
Pergi berjumpa dengan Amru bin Asad,
Untuk meminang Khadijah, yang berusia empat puluh tahun tahun ketika itu
Lalu engkau berikan mas kawin kepada Khadijah
Sebesar lima ratus dirham
Di usiamu yang ke tiga puluh lima tahun,
Banjir besar melanda Makkah, meruntuhkan dinding Ka'bah
Pembinaan semula Ka'bah oleh pembesar-pembesar, juga penduduk Makkah
Kemudian Engkau diberi kemuliaan
Untuk meletakkan Hajarul-Aswad ke tempat asal,
Pun meredakan pergolakan, dalam peletakan batu itu
Di usiamu yang ke empat puluh tahun,
Engkau terima wahyu di gua Hira
Sebagai pelantikan menjadi Nabi dan Rasul akhir zaman
Di usiamu yang ke lima puluh tiga tahun
Engkau berhijrah ke Madinah Al-Munawwarah
Bersama Sayyidina Ab u Bakar Al-Siddiq
Di usiamu yang ke enam puluh tiga tahun,
Engkau wafat di Madinah Al-Munawwarah
Tepat di hari Isnin, 12 Rabiulawal tahun 11 Hijrah, atau 8 Juni 632 Masehi
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Di antara istri-istrimu, mereka adalah wanita yang tabah nan sabar:
Kha dijah Binti Khuwailid, Saudah Binti Zamah, Aisyah Binti Abu Bakar, Hafsah
binti Umar, Ummi Habibah Binti Abu Sufyan, Hindun Binti Umaiyah (Ummi
Salamah),  Zainab Binti Jahsy, Maimunah Binti Harith, Safiyah Binti Huyai bin
Akhtab,  Zainab Binti Khuzaimah; Semuanya berakhlak mulia, menjaga kehormatanmu
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Kemudian, di antara putra-putrimu, engkau telah suskes mendidik mereka:
Qasim, Abdullah, Ibrahim, Zainab, Ruqaiyah, Ummi Kalthum, Fatimah Al-Zahra;
Semuanya shalih dan shalihah
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Aku menjadi penasaran dengan sosokmu yang agung nan mulia,
Aku hanya dapat mendengar, di antara pujian para Sahabat untukmu,
“Aku belum pernah melihat lelaki
setampan Rasulullah,”
“Apabila Rasulullah berasa gembira,
wajahnya bercahaya seperti rembulan purnama,” “Kali pertama memandangnya, sudah pasti kau akan terpesona,”
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Aku pernah mendengar, engkau bersabda, “Barang siapa yang menghidupkan
sunnahku, maka sesungguhnya dia telah mencintai aku,
Dan, barang siapa yang mencintai aku, maka niscaya dia bersama ku di dalam Surga kelak,”
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!
Itu, mungkin penggal demi penggal kisah perjalanan dan sirahmu
Yang terbaca di benakku
Ada bermilyar kisah lainnya sebenarnya,
Yang tak mampu kusebut satu demi satu
Sebab, pengorbanan dan perjuanganmu ikhlasmu telah sedemikian banyak..
Ya Rasululloh, aku merindukanmu!

Malang, 7 Desember 2015
Aku yang Tertawa
Oleh: M. Fahmi

Hihihi..
Tertawa aku tertawa
Melihat setiap buih, pernik, selaksa kisah
Kehidupan manusia
Yang bak gurau, Begitu aku melihatnya
Seperti serangkaian komedi
Di layar lebar saja
Entah. Mungkin lain lagi,
Bagaimana orang memandang
Tak apalah, ia sebut aku tak pernah serius
Menjalani setiap lembar sajak kehidupan
Atau seperti anak kecil saja
Yang masih setia membeli mainan
Di toko-toko terdekat;
Yang masih suka bermain dan belajar
Ke sana kemari;
Yang selalu gembira dan bersenang hati
Di tiap hari;
Yang masih belum mengerti perasaan.

"Cinta tak sebercanda itu, Kawan
Pun dendam, benci, juga amarah
Tak sebercanda itu, Kawan
Sebagaimana kebenaran dan kebathilan
Tidaklah sebercanda itu, Kawan," katanya suatu saat
Membuyarkan gurauanku
Dan aku, semakin terpingkal-pingkal saja
Mendengar setiap ungkapan seriusnya
Jujur saja
Saya telah melewati fase-fase semacam itu, Kawan
Saya hanya ingin serius
Dengan cara bergurau
Atau juga, saya hanya ingin bergurau
Dengan cara yang serius

Ahaha, kehidupan ini begitu indah, bukan, Kawan
Lihatlah, layaknya fiksi
Humorpun lahir dari sesuatu yang serius
Dan yang serius, sebetulnyalah juga muncul
Dari humor ringan, sederhana
Kehidupan tak perlu lah
Dibuat tegang dengan acara begini dan begitu
Kalaupun ingin tegang
Dengan cara bergurau saja
Hehe,
Tak perlu kita berburuk sangka
Apalagi menghina kemanusiaan
Toh, sejauh mana pengetahuan kita
Tentang kebenaran, dan kebathilan
Tidaklah penting mengurusi sesuatu yang tak penting
Cukupilah saja hidup ini
Kita isi dengan mengerjakan segala apa
Yang telah diperintahkanNya
Dan menjauhi segala
Yang menjadi laranganNya
Niscaya, kita kelak akan selamat
Oiya. Dan juga, jangan lupa
Untuk berhumor ria

Malang, 11 Maret 2016

Aku Tak Suka Kembang Api
Oleh: M. Fahmi

Kau tahu. Aku tak suka kembang api!
Nyalakan kembang api, laiknya membakar uang saja
Betapa pun, ia hanyalah sesosok benda
Dilahirkan cuma untuk kesuksesan dan kegembiraan temporal
Lihatlah! Ia mudah melejit, berusaha menyaingi langit paling tinggi
Namun, ia lupa siapa sesungguhnya dirinya
Sesaat kemudian, jatuhlah ia dihempas angin, tersungkur ke bumi paling rendah
Keindahan, kemegahan, serta kegemilangannya pun sirna. Lenyap!
Ia kehilangan cahaya, yang tersisa hanyalah selongsong kosong: abu hitam tak bermakna
Redup selama-lamanya! Mungkin, itu buah keangkuhan dan kesombongan
Padahal, langit tak pernah berkata kalau dirinya tinggi
Langit akan tetap tinggi, meski tak ada pengakuan dari yang lain
Betapa pun, setinggi apa saja puncak yang kita daki, tundukan kepala
Kembalilah pada dan bersama manusia-manusia
Apakah yang patut kita banggakan, kalau cuma keindahan sementara. Fatamorgana!
Dunia dan segala kemewahannya pun begitu, Kawan
Ia kadang mudah datang, tapi mudah pula pergi
Itulah sebabnya, aku tak suka kembang api
Aku hanya ingin mencari Cahaya Abadi
Yang tak pernah lekang oleh hempasan ruang dan waktu

Malang, 08 Januari 2016
Memoar Kambang Putih
Oleh: M. Fahmi

Kambang Putih
kota bak puspa itu, nan elok merekah
nan anggun sumringah
semilir wanginya, diterpa seribu angin laut utara
hingga melekat di segala layar-layar niaga
maka terdengarlah suaranya yang penuh gemuruh,
membahana, menggelegar, menggetarkan bumi Ronggolawe
tak ayal, rakyat Kambang Putih turun bersorak-sorai
di tanah-tanah lapang, di sepanjang jalan
menjemput gempita budaya

Guratan jejak sejarah, terpancar di wajah bumi wali
begitu setia menyangga petuah wali
deburnya menaungi, gelombangnya menghidupi,
kecipaknya mendamaikan
lihatlah, memoar yang hanya berdenyut di jantungnya:
tentang makam para wali, tentang bukit-bukit kapur,
tentang seribu goa, sumber air panas, kerajinan batik gedog, air terjun Nglirip,
terminal terapung, klenteng Kwan Sing Bio, siwalan, juga legen
atau tentang warisan kebudayaan: budaya Sandur, seni reog, haul Sunan Bonang,
adat shalawat Tombo Ati, budaya tayuban, peringatan ulang tahun klentang KSB,
kepercayaan sedekah bumi, atau tentang manganan
semua adalah milik Kambang Putih
jangan sampai usang, wasiat sejarah yang agung itu

Tapi katanya, kini Kambang Putih
mulai tergerus oleh arus badai
yang terpaannya menghantam kesadaran hari,
melenakan rakyat
hingga hilang rasa cinta hasil rasa, karsa, cipta kakek-neneknya
Kambang Putih, kini tanahnya bersalin rupa
menjadi gedung-gedung pencakar langit
pabrik-pabrik, mal-mal, sektor industri, pusat hiburan
hutan pun jadi hutan beton, sungai pun mulai kering kerontang
mungkin, hanya batu Tiban dan kuda sembrani yang masih tersisa di museum
zaman dan budaya modern, katanya
gaun warisan pun lupa tak dikenakan lagi, hingga tak tahunya
telah dicuri bangsa lain,
senyum jelata yang dirampas
tersedu, menangisi romantika sejarah
kota itu, teramat tua untuk diukur angka-angka
tak ada yang lebih tua dari kota itu, selain mitos yang menghuninya
tapi kini, mitos itu hanyalah mitos yang bahkan tak menyisakan petilasan budaya
kotaku tak seperti dulu

Tiga atau empat puluh tahun nanti
kota itu mungkin makin tua
dan aku, entah masih atau tiada
kuharap, ia akan terus belajar
pada kerasnya samudera zaman kehidupan, meski
dengan balutan luka yang menorehkan luka-luka sejarah:
semua sudah sepatutnya

Apakabarmu, Kambang Putih?
masihkah kau sejuk seperti dahulu kala
saat di mana para pejuang memerdekakan budayanya?
ataukah kini telah berubah, akibat hempasan pergolakan musim?
entahlah, semoga saja
berita yang berisi “katanya dan katanya” itu tidak benar
ah, hampir enam tahun sudah
kuhabiskan waktu di tanah seberang
hingga hampir aku melupakanmu, Kambang Putihku
sungguh, aku merindukanmu..!

Malang, 18 Mei 2016

Judulnya Lupa
Oleh: M. Fahmi

Lihatlah,
masa kini begitu indah, bukan?
Tapi ingatkah,
bahwa kita sedang terlupa?

Mungkin, kita terlalu lama tenggelam
di masa yang kini
hingga lupa
bagaimana harus merangkak naik
menuju keutuhan yang sempurna: tempat paling tinggi

Mungkin, kita terlalu asyik bermain-main
di masa yang kini
hingga lupa
pada kenangan-kenangan purba
yang menuntun kita, di sepanjang perjalanan

Mungkin, kita terlalu terlena
pada zaman yang kini
hingga lupa
bagamana dahulu
dengan tabah Sang Guru mengajarkan
pesan demi pesan rahasia Kehidupan

Mungkin, kita terlalu terbuai
di zaman yang tak punya hati
hingga lupa
pada segala yang diajarkan Kehidupan

Mungkin, kita terlalu jauh pergi
di peradaban yang entah mana
hingga lupa
bagaimana cara pulang
ke rumah, yang dahulu telah kita rajut

Mungkin, kita terlalu serakah melangkah
hingga lupa
bagamana cara menginjak bumi yang benar

Mungkin, kita terlalu munafik melihat
hingga lupa
bagaimana cara menatap langit yang jujur

Mungkin, kita terlalu sibuk
Mengatur seluruh isi bumi: rumah mimpi
hingga lupa
pada pagi—yang bernama ajal—
yang pasti datang.
Lalu Ia mengirim firman,
“...ketika engkau Kubangunkan esok pagi,
sapalah Aku
dengan sebaris puisi...”

Itulah sebabnya,
kutulis “sebaris” puisi ini.
Barangkali
—atau mungkin,—
ini hanyalah puisi tentang lupa
yang mengingatkan

Mari kita mengingat kembali.

Mungkin, kita terlalu keterlaluan
hingga terlalu
kurang waspada
pada segala waktu

Mungkin, kita terlalu buta
hingga ayat-ayatNya
tak mampu kita baca

Mungkin, kita terlalu tuli
hingga firmanNya
tak lagi kita dengar

Mungkin, karena hilang ingatan
kita melupakan segalanya
tentang bagaimana cara
menyapaNya
dengan cinta yang setara dengan cintaNya

Apakah kita memandang
bahwa kita telah gila?
yang hanya sekadar mempersoalkan
tentang lupa atau ingat,
bahwa kita terlalu berat menafsir
setiap detik masa
di Kehidupan?
Tidak, kita salah terka.
kita tidak sedang gila,
juga tidak sedang menggurui
dengan kata.
kita hanya sekadar memberi
kepada kita
yang membutuhkan.
dan hanya ini
yang bisa kita berikan
kepada kita yang—mungkin—sedang lupa

Mungkin, kita terlalu lupa
di masa yang lupa
hingga tak lagi dapat mengingat
bagaimana dahulu
kita senantiasa ingat, pada Yang tak pernah lupa

Mungkin, kita terlalu lalai
di sepanjang waktu
hingga lupa, lupa, dan lupa
menjamuri seluruh waktu

Sudah ingatkah kita? Ataukah masih terlalu lupa?
Atau jangan-jangan pura-pura lupa?
Cobalah ingat-ingat kembali
ingatan-ingatan itu
ke mana perginya?

Ah, barangkali
kita juga lupa judulnya
ataukah memang judulnya lupa?
Tentang lupa-lupa itu semua,
lupakan!
dan semoga
lupa hanya ada
di negeri mimpi


Malang, 05.02.2015
Em Ef

Pernyataan (7)
Oleh: M. Fahmi

hitam putih mengabu dalam nurani
merabunkan penglihatan hati
di sepanjang perjalanan hari..

aku, manusia pencari firmanMu
izinkan aku
menemukanMu
dalam pengembaraan panjang,
menuju keabadian..

selarik cahaya akhirnya tiba
menyapa rinduku;
menyibak sekat-sekat rimba cakrawala jiwa,
..ragu merayap yakin

kini kusadari, hanya Engkau
tempat sejati bersandar
selamanya..
sebab, bahagiaku hanyalah bersamaMu

.sementara Engkau selalu berfirman
di dalam hati
hingga, kalbuku semakin lapang
akan bentangan ketakberhingganya firmanMu
yang haq nyatanya

kan kugenggam erat-erat janji firmanMu
kubawa berlari, berlari
dan berlari..

betapa pun
di sini,
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari kembara cintaku!

Malang, 11 September 2014
Perjalanan Manusia
Oleh: M. Fahmi


Konon, filsafat merupakan induk dari segala ilmu. Semua ilmu berawal dari filsafat dan akan berakhir menjadi seni. Filsafat memiliki arti cinta kepada kebijaksanaan. Filsafat dirangkum berdasarkan pertanyaan-pertanyaan untuk mencari jawab atas sebab musabab terjadinya gejala, fenomena, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, setiap orang adalah philosof, apalagi yang sempat mempertanyakan asal-usul dirinya, dari mana aku ini? mau ke mana aku pergi? untuk apa aku ada? mengapa alam ini diciptakan? berapa sebenarnya umur alam semesta raya ini? siapa Tuhan itu sebenarnya? dan lain sebagainya. Berbahagialah mereka yang mau merenungi semua ini dan berusaha mencari jawabnya.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan perjalanan itu? Pernahkah kita berpikir, apa yang sedang dan akan terus-menerus kita jalani? Sebuah perjalanankah? Atau apakah ada jawaban lain yang mendekati benar? Entahlah. Lalu, bagaimana kita dan perjalanan ini bisa ada? Siapa yang membuat perjalanan ini bisa ada? Untuk apa perjalanan ini ada? Dari mana awal mula perjalanan ini? Sejak kapan kita memulai sebuah perjalanan? Apakah ada titik akhir dari perjalanan yang selama ini kita jalani? Jika iya, kapan perjalanan ini akan terhenti? Di mana titik perhentian perjalanan ini? Kemudian jika tidak, bagaimana engkau bisa menjelaskan kepadaku bahwa perjalanan ini tidak pernah ada batas akhirnya? Apakah ada perjalanan selanjutnya setelah perjalanan di bumi? Ataukah perjalanan merupakan proses menuju keabadian dan alam yang kekal sedemikian hingga kita tak akan pernah menemui titik perhentian? Apa yang sebenarnya kita cari dari perjalanan yang sedang kita lalui? Tahukah kita bagaimana cara menginjak bumi yang benar? Tahukah kita bagaimana cara memahami perjalanan agar kita menjadi manusia yang bijak? Mengertikah kita, cakrawala mana yang hendak kita tuju dari seluruh perjalanan ini? Kepada siapa kelak kita akan kembali?

Pertanyaan demi pertanyaan mengenai perjalanan begitu menggugah saya untuk lebih dalam memahami dan menguak interior semesta raya ini.  Konon, setiap manusia ditakdirkan menjadi pengembara dalam hidupnya yang tak pernah berhenti pada satu titik perhentian. Ia berkelana menjelajah jagat raya dengan langkah dan imajinasinya hingga sampai pada batas ketakberhinggaan.

Konon juga, hidup ini tidak akan pernah tuntas sebelum seorang anak manusia menyelesaikan misinya yang agung. Setiap orang di muka bumi ini memainkan peran sentral dalam sejarah dunia, tanpa ia menyadarinya. Mengenai tujuan dan pemilik arah dari sepanjang perjalanan, saya teringat beberapa firman Allah dalam Al-Quran. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS. Al-Baqarah: 115).

...Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus (QS. Al-Baqarah: 142).

...Tuhan Yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal (QS. Asy-Syuaraa: 28)

“Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur dan barat (QS. Al-Maaarij: 40).
Dari kesamaan makna berbagai ayat tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya Allah-lah pemilik arah timur dan barat. Maka setiap detik pencarian seorang pengembara bisa jadi merupakan momen perjumpaan dengan Allah yang sangat berharga.

Semua manusia pada hakikatnya hanif dan baik. Namun, dalam menempuh perjalanan mengarungi hidup di kehidupan ini ada berbagai warna alam yang mempengaruhinya, sehingga menjadilah ia sebagaimana ia menjadi. Manusia dinilai bukan dari seberapa lama ia melewati perjalanan, melainkan bagaimana ia melewati perjalanan. Keberanian yang kita harapkan dan kita junjung tinggi bukanlah keberanian untuk menjadi orang yang terhormat di sepanjang perjalanan ini, melainkan adalah bagaimana melewati perjalanan ini secara jantan. Jantan itu bukan terletak pada kekuatan, kekayaan, atau kemasyhuran, melainkan pada keberanian. Keberanian muncul karena adanya kejujuran, kebenaran, dan keikhlasan.

Manusia akan terus melewati semua perjalanan untuk mencari dan mencari. Sebuah pencarian merupakan proses yang tak ada habis-habisnya. Apalagi pencarian sebuah hakikat, sebuah kemurnian, dan sebuah cinta. Begitulah manusia pencari, bersunyi-sunyi dan terasing dari sekitarnya karena realita sesungguhnya telah menjauhkannya dari inti pencarian itu; sebuah Kebenaran. Kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui. Pada puncak kesunyian itulah, rindu pada Kebenaran terpuaskan. Sementara cinta merupakan bahasa universal yang usianya lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun, sebuah bahasa yang hanya bisa dipahami oleh setiap manusia di muka bumi ini dengan hati merdeka; juga sesuatu paling mulia yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sepahit apa pun perjalanan manusia, di sana akan tetap ditemukan isyarat keindahan dari bahasa yang universal itu. Sebab, hanya dengan bahasa universal itulah yang akan dapat mengantarkan perjalanan manusia sampai pada inti kesadaran dan hikmah.

Hidup setelah mati merupakan proses perjalanan panjang menuju keabadian. Jangan sampai kita kembali kepada Allah dalam keadaan dimurkai. Jangan sampai manusia pergi dengan tidak membawa bekal. Berbahaya. Bisa kelaparan di tengah jalan itu. Dan, kelak manusia akan menangis dalam dua perkara: menangis bahagia atas jerih payah dan perjuangan dalam mencintai kebaikan selama hidup di dunia dan menangis sedih atas kebodohannya tidak menetapi agama Allah selama hidup di dunia. Barang siapa menanam kebaikan, maka ia akan memperoleh buah kebaikan. Barang siapa menanam keburukan, maka ia juga akan memperoleh buah keburukan.  Kehidupan itu seperti siklus memberi dan menerima. Hari ini kita memberi, esok kita akan menerima, dan akan selalu berjalan seperti itu. Peristiwa timbal balik dalam kehidupan akan selalu ada, sebab semua yang ada ini merupakan sunnatullah dan hukum alam yang terbantahkan.

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (melakukan perjalanan) dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. Al-Insyiqaaq: 6).

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih dan kekal baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-Anaan: 32)

Malang, 21 September 2014

Qolbun Salim
Oleh: M. Fahmi

Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat berkarat seperti halnya besi. Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat menjadi gersang, segersang padang pasir yang tandus. Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat menjadi beku, sebeku es di daerah kutub. Tidak diragukan lagi, bahwa hati dapat menjadi kotor. Tidak diragukan lagi, bahwa hati itu bisa sakit. Tidak diragukan lagi, bahwa hati itu bisa menjadi batu. Tidak diragukan lagi, bahwa hati ibarat cermin, tempat segala bentuk dan rupa menjadi tampak di dalamnya. Dan, tidak diragukan lagi, bahwa cermin dapat berdebu dan hitam, sehingga ia tak lagi berfungsi sebagai cermin.

Berkaratnya hati disebabkan oleh dua perkara, yakni lalai dan dosa. Keduanya adalah penyakit yang membentuk noktah-noktah hitam di dalam hati. Ketika noktah tersebut semakin bertumpuk, hati menjadi gelap, sehingga bentuk-bentuk kebenaran tidak tergambar di dalamnya sebagaimana adanya. Apabila hati telah menjadi hitam, maka pandangannya menjadi rusak, sehingga ia tidak dapat menerima kebenaran dan tidak dapat mengingkari kebatilan. Ia akan melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran dan melihat kebenaran dalam bentuk kebatilan. Segala sesuatu tidak akan tergambar di dalamnya sesuai dengan faktanya. Kegelapan sebenarnya hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima. Di dalam kegelapan, orang tak mengerti jalan dan bagaimana berjalan. Ia akan melangkah dari kegelapan, bersama kegelapan, dan menuju kegelapan. Inilah siksaan hati yang paling berat. Sumber dari semua itu adalah kelalaian dan dosa.
Sesuatu yang dapat membersihkannya juga ada dua perkara, yakni istighfar dan menghadirkan Allah di dalam hati. Setiap kali seseorang membaca istighfar dan berdzikir, maka akan ada cahaya putih di hatinya. Ketika cahaya putih itu semakin banyak, maka hati akan menjadi terang, sehingga jelaslah segala bentuk dan gambar kehidupan. Di dalam cahaya, orang akan mengerti jalan dan bagaimana berjalan. Ia akan melangkah dari cahaya, bersama cahaya, dan menuju cahaya. Mengingat Allah dapat membersihkan segala karat hati, sehingga ia menjadi seperti cermin yang bersih. Orang yang senantiasa mengingat Allah di tengah-tengah orang-orang yang lalai mengingatNya seperti pohon hijau yang berada di tengah-tengah tanaman yang kering dan seperti rumah yang berpenghuni di antara reruntuhan rumah.

Mengingat Allah adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus-menerus damai bersamaNya. Mengingat Allah merupakan unsur terpenting dalam perjalanan manusia menuju al-Haq. Bahkan, ia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Tidak ada sesuatu setelah mengingat Allah. Semua perangai mulia dan terpuji akan selalu bermuara kepadanya dan bersumber darinya. Mengingat Allah adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menujuNya. Sungguh, ia adalah landasan bagi perjalanan itu sendiri. Tidak seorang pun dapat sampai kepadaNya, kecuali dengan terus-menerus berdzikir kepadaNya. Ada hukuman atas tiap-tiap sesuatu, dan hukuman bagi seorang yang telah sampai kepadaNya adalah terputus dari mengingatNya.

Dengan mengingat Allah, hati manusia akan menjadi bersih dan selamat (qolbun salim), sebab ia merupakan lembaran cahaya penghubung, tanda awal perjalanan yang benar, dan bukti akhir perjalanan menuju Allah. Orang yang hatinya selamat adalah mereka yang gemetar hatinya manakala menerima kebenaran dan sering menangis ketika mendengar nasihat orang bijak. Sebaliknya, orang yang hatinya hitam adalah mereka yang merasa diri paling benar, selalu berburuk-sangka, dan tertawa apabila diberi nasihat.

sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. QS. Al-Anfaal: 2.

dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari (dimana) mereka dibangkitkan,kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertakwa. QS. Asy-Syuaraa: 87, 89-90.

(yaitu) surga ´Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan). QS. Thaahaa: 76.
Diantara indera-indera lahiriah, tidak ada yang lebih mulia daripada mata, maka jangan penuhi semua keinginannya, karena itu akan menyebabkan hati menjadi buta. Tidak ada yang lebih mulia dari telinga, maka jangan penuhi semua keinginannya, karena itu akan menyebabkan hati menjadi tuli. Tidak ada yang lebih mulia dari hati, maka jangan sampai lupa menyiramnya dengan air kebenaran, karena jika tidak, akan menyebabkan hati menjadi gersang.

Sekarang ini, banyak orang yang hatinya gersang, karena mungkin sedang musim kemarau ya, hehe. Malang saja yang dikenal kota hujan dalam dua bulan ini baru sekali turun hujan. Oh, kemarau, segeralah berlalu, agar kebenaran tidak terlanjur kaku menjadi batu! Dengan berbagai perkembangan teknologi, manusia sekarang lebih mengedepankan akal dan rasio daripada hal-hal yang berbau tahayul. Banyak yang tidak memercayai nasihat orang tua, para kyai, dan orang-orang shalih, padahal orang dahulu telah berfikir, menulis, dan mencari kebenaran dengan perjuangan keringat dan darah, hati para ulama terdahulu pun juah lebih bening dan bersih daripada orang-orang zaman sekarang. Tahukah kau? Kekayaan terbesar dalam hidup adalah keyakinan.

Maka temukan Allah dalam diri, dan diri dalam Allah. Carilah kemanisan dalam tiga hal: shalat, dzikir, dan membaca Al-Quran. Kemanisannya dapat ditemukan di sana, atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa saat itu hati sedang tertutup. Jangan sampai gelap menjadi jalan, karena masing-masing manusia kelak akan sendiri menghadap tuhannya.

Malang, 17.10.2014

Note: Diterbitkan dengan judul yang berbeda, pada buletin Al-Anwar PP. Anwarul Huda Malang:

https://ppanwarulhuda.com/buletin-al-anwar/endapan-belajar/