Puisi Anak Kecil
Oleh: M. Fahmi

aku ingin
hanyut dalam desir angin
menggericik dalam setiap tetes air
melesat bersama cahaya
tersenyum dalam setiap butiran bening embun di dedaunan
berdenyut dalam tiap detak waktu
berbaur dengan semua elemen, semua nada, semua warna
dan bernyanyi bersama kicau segala burung di alam semesta raya ini!

Ilahi, Engkaulah
penolong di setiap gerak langkah hidupku;
di saat aku buta dan tertatih kehilangan-Mu,
Engkaulah kekasih abadi:
matahari hatiku, rembulan jiwaku,
pelipur dukaku, penyejuk mataku;
di saat semua sesungguhnya sirna
—karena hanya Engkau yang ada dalam ada,
Engkaulah yang bisa membawa langkahku
untuk mengenal siapa diriku dan juga Engkau,
Engkaulah tempat sejatiku bersujud dan berharap
dalam setiap bait hembus nafas-Mu,
yang telah Kau kirim jauh…
jauh sebelum aku lahir dari garba ibu,
Engkaulah hakikat dan inti pencarianku,
puncak tertinggi kerinduanku

Ilahi, ajarilah aku mencintai-Mu
dengan cinta yang setara dengan cinta-Mu
agar segera sampai aku kepada-Mu
cukuplah sosok sepi ini dengan ridho-Mu
yang menyeluruh tiada batas-tepi itu

Ilahi, telah kuterima surat agung-Mu
kan kugenggam erat-erat seluruh ayat-ayat cinta-Mu
kubawa berlari, berlari, dan berlari..
betapa pun, di sini
aku selalu berharap
Engkau masih setia menunggu
di ujung waktu
sebab, hanya Engkaulah
akhir dari segala kembara cintaku!

Ilahi, aku ingin…
berlayar dalam semesta maha karya akbar-Mu
di ruang dan waktu manapun

Jombang, 22/01/2013

Merahasiakan Maqam dan Amal Shalih
Oleh: M. Fahmi

"... dan ketahuilah, bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun," [QS. al-Baqarah: 235].

Nabi Muhammad Saw. bersabda, "barang siapa di antara kalian yang mampu untuk memiliki amal shalih yang tersembunyikan, maka lakukanlah!" Kemudian imam adh-Dhahabi R.a. berkata, "seseorang yang ikhlas adalah seseorang yang mampu menyembunyikan amal baiknya sebagaimana ia menyembunyikan dosanya."

Nabi Muhammad Saw. juga pernah bersabda, "ilmu itu membisik, jika disertai amal, ilmu akan meresponnya, tetapi jika tidak ia akan meninggalkannya." Hadits ini menunjukkan bahwa barokah ilmu bisa sirna, tinggal argumen-argumennya belaka, sehingga seseorang akan menjadi ilmuwan, 'ulama, dan cendekiawan yang yang terfitnah oleh ilmunya sendiri, yang tersisa hanyalah pohon pengetahuan, sedangkan buahnya sirna darinya.

Mohonlah kepada Allah Azza wa-Jalla agar Dia memberikan rezeki kondisi ruhani dan maqom di hadapan-Nya. Bila Allah Azza wa-Jalla memberikan rezeki maqom dan haal pada kita, mohonlah agar Allah Swt. merahasiakan semua itu, dan hendaknya kita tidak suka bila rahasia itu ditampakkan. Bila kita suka ditampakkan kondisi ruhani kita yang ada di hadapan-Nya, maka itulah yang akan menyebabkan kehancuran. Berhati-hati dan waspadalah terhadap rasa kagum pada prestasi ruhani dan amal baik kita. Karena orang yang kagum pada amal dan ruhaninya, sesungguhnya ia telah terpedaya dan terkena amarah dari Allah Azza wa-Jalla.

Hati-hati, janganlah kita terlalu banyak berbicara dengan sesama, dan merasa senang ketika ucapan kita diterima. Hal itu justru yang akan membuat diri kita terkena bahaya dan tidak ada gunanya. Janganlah kita bicara dengan suatu kalimat sampai kalimat itu benar-benar mendapatkan restu dari Allah azza wa-Jalla. Bagaimana mungkin kita mengundang banyak orang ke rumah kita, sementara kita tidak menyiapkan hidangan bagi mereka? Persoalan ini harus membutuhkan pondasi, kemudian bangunan. Cangkuli hati kita hingga tumbuh subur air hikmah lalu bangunlah dengan ikhlas, mujahadat, dan amal shalih hingga istana kita menjulang. Baru setelah itu kita bisa mengajak orang lain. Ya Allah, hidupkanlah jasad amal kami dengan ruh keikhlasan dari-Mu.

Bagaimana mungkin bersembunyi dari makhluk bisa memberi manfaat pada diri kita, sementara makhluk terus menerus ada di hati kita? Sungguh tak ada kehormatan dan tak ada artinya khalwat kita. Bila kita berkhalwat sementara makhluk masih bercokol di hati kita, nafsu, syetan, dan hawa kesenangan terus menyertai kita, maka sesungguhnya kita dalam kesendirian tanpa hadir di hadapan Allah Azza wa-Jalla. Bahagia mesra itu bersama Allah Azza wa-Jalla. Bila hati kita merasa senang bahagia bersama Allah Azza wa-Jalla di sepanjang hembusan nafas, pasti kita sepi dari makhluk, walaupun kita bersama riuhnya orang.

Bila kebahagiaan indah benar-benar teguh mandiri di hati kita bersama Allah Azza wa-Jalla, maka dinding wujud kita pun roboh, mata-hati kita akan melihat, lalu yang kita lihat adalah anugerah dan tindakan-Nya. Lalu kita ridho hanya kepada-Nya, bukan ridho pada selain-Nya. Maka di situlah syarat ridho, berselaras dan 'ubudiyah benar-benar didapatkan.

Jangan sampai kita berdusta. Kita mengaku ridho, tapi hati kita bisa dirubah oleh sayuran, oleh suapan makanan, kata, dan gengsi. Kita jangan sampai berdusta, betapa nyaringnya dusta kita, sementara amal dan kejujuran kita menjadi sirna, bahkan tak seorang pun makhluk yang membenarkan kita.

Allah Swt. mewahyukan kepada hati para kekasih-Nya dengan Kalimat-kalimat yang istimewa, di mana mereka mengenal kebaikan dan mereka berserasi dengan Kalimat itu. Mereka yang hatinya tercerahkan akan senantiasa mengikuti jejak Rasul dalam ucapan dan tindakannya. Bila Rasul Saw. mendapatkan wahyu secara dhohir, maka para kekasih Allah mendapatkan melalui hati mereka (Ilham) karena mereka adalah para pewaris Nabi, pengikut-pengikutnya dalam seluruh apa yang diperintahkan Allah Swt. kepada mereka.

Bila kita ingin mengikuti jejak Rasul secara benar, maka perbanyaklah mengingat mati, karena mengingat mati itu akan berarti bagi diri kita, nafsu kita, menjauhkan syetan, dan menepiskan duniawi kita. Barang siapa yang tidak meraih nasihat dari maut, maka ia tidak akan meraih jalan nasihat. Nabi Saw. bersabda, "Cukuplah maut itu sebagai penasihat."

Bagian kita akan tiba, meskipun kita sedang zuhud sekalipun, dan kita justru akan meraih kemuliaan. Tetapi jika bagian itu kita ambil dengan ambisi nafsu, maka kita akan meraihnya, tetapi tidak meraih kemuliaan. Orang munafik itu malu kepada Allah Azza wa-Jalla ketika bersama makhluk, dan ia merasa sinis ketika tidak berada di tengah publik itu. Ingat! Jika iman dan akidah kita benar, Dia akan senantiasa memandang kita, Maha dekat dan Maha Mewaspadai kita, maka sungguh kita akan sangat malu atas segala kelalaian dan dosa yang telah kita perbuat. Kita tak lebih dari serpihan debu atau sebiji sawi di muka bumi, karena kita melihat yang memberi bahaya dan manfaat itu tetap datang dari Allah Azza wa-Jalla, bukan dari yang lain. Budak dan tuan adalah sama.

Beranikanlah untuk mengingkari diri kita dan yang lain melalui jalan syara', bukan jalan nafsu kita, kesenangan atau naluri kita. Bila syariat diam, maka berselaraslah dengan diamnya. Bila syariat bicara, maka berselaraslah dengan ungkapannya. Janganlah kita mengingkari orang lain dengan hawa nafsu kita, tetapi lawanlah dengan iman kita. Iman itulah yang kontra terhadap kemungkaran, sedangkan yaqin itulah yang menghapus kemungkaran. Allah Azza wa-Jalla Yang akan Menolong dan Membela kita. Allah azza wa-Jalla berfirman, "Bila Allah menolong kalian, tak ada yang mengalahkan kalian," (QS. Ali Imron, ayat 160). "Bila kalian memohon pertolongan Allah, Dialah yang menolong kamu dan mengokohkan pijakanmu," (QS. Muhammad, ayat 7).

Bila kita mengingkari kemungkaran sebagai wujud kecemburuan bagi Allah Azza wa-Jalla, maka Dia akan menolong kita untuk menghapus kemungkaran itu, menolong kita mengalahkan ahli mungkar dan menghinakannya. Tetapi jika kita nahi mungkar dengan emosi nafsu kita, hawa nafsu syetan, dan watak hina kita, maka Allah Azza wa-Jalla tidak akan menolong kita untuk mengalahkan ahli mungkar.

Imanlah yang kontra terhadap kemungkaran. Setiap tindakan nahi mungkar yang tidak didasari iman, maka bukanlah sebagai nahi mungkar. Seharusnya motivasinya hanyalah Lillahi Ta’ala. Bukan kepentingan diri dan nafsu kita, atau kepentingan makhluk. Benar-benar untuk kepentingan Allah Azza wa-Jalla, bukan untuk kepentingan diri kita. Tinggalkan stres kita dan ikhlaslah dalam amal-amal kita.

Maut akan terus mengintai kita, sudah seharusnya kita berkontemplasi. Karena itu, tinggalkanlah ambisi kita yang telah membuat kita terhina. Apa yang menjadi milik kita bakal tiba, dan apa yang menjadi milik orang lain tidak bakal kita raih. Karena itu, sibukkan diri kita bersama Allah Azza wa-Jalla. Jangan berambisi mencari apa yang menjadi milik kita dan yang bukan milik kita.

Allah Swt. telah berfirman, "Janganlah engkau pandangkan kedua matamu pada apa yang Kami hiaskan pada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga-bunga kehidupan duniawi, di dalamnya sebagai cobaan dari Kami untuk mereka,..." (QS. Thaaha, ayat 131).

Tuban, 25 April 2017

Mempersiapkan Diri untuk Kehidupan Abadi di Negeri Akhirat
Oleh: M. Fahmi

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. al-Qashash: 77)."

Sebagai umat muslim kita wajib meyakini dengan seutuh-utuhnya, bahwa kelak akan ada kehidupan selanjutnya setelah kehidupan di dunia, yaitu kehidupan di alam kubur dan kemudian kehidupan akhirat yang kekal. Al-Quran merupakan kalam Allah yang mutlak kebenarannya. Maka jangan pernah mendustakan ataupun membohongkan segala yang ada di dalamnya. Pesan demi pesan kebenaran yang disampaikan al-Quran menggunakan bahasa yang lugas dan sederhana, sehingga mudah dipelajari oleh semua khalayak. Diksinya lebih utuh dari sekadar syair. Pun tidak ada satu pun syair yang mampu menandingi keindahan bahasa al-Quran. Al-Quran lebih rasional dari logika sekalipun. Malah, logika yang sesungguhnya harus banyak belajar pada al-Quran. Sebab sekarang banyak logika yang nakal. Mempertanyakan segala keberadaan yang dianggap tidak masuk akal. Maka setiap muslim harus meyakini dengan keyakinan dan keteguhan yang sempurna, bahwa negeri akhirat itu kelak akan benar-benar ada dan terjadi. Agama adalah keyakinan dan keteguhan.

Di kehidupan zaman yang semakin canggih dan transparan ini, banyak manusia yang disibukkan oleh segala macamnya sehingga tidak lagi mempedulikan negeri masa depannya: akhirat. Bagi yang tidak percaya akan datangnya negeri akhirat, mereka akan mengatakan bahwa negeri akhirat hanyalah dongeng nenek moyang yang telah kadaluwarsa di zaman sekarang yang telah melesat dengan cepatnya, menembus dinding-dinding cerita yang berbau takhayul.

Apakah mereka berkata dengan pandangan sebelah mata, "dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita masa lalu. Tidak baik tinggal dalam mimpi-mimpi..". Maka ungkapan logika yang rasional untuk menanggapinya ialah, "Saat ini, memang dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita. Tetapi, setelah mati. Dunia hanyalah cerita masa lalu, sementara engkau akan melihat, bahwa akhirat menjadi nyata..!"

Pertanyaannya, apakah kita sudah benar-benar mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan esok di akhirat? Sampai detik ini, apa saja yang telah kita siapkan untuk negeri akhirat? Sudah cukupkah bekal kita? Tentu jawabannya ialah belum. Sayangnya kematian telah menjadi penasihat yang sering disia-siakan oleh manusia. Bahwa pemberi nasihat yang berbicara ialah al-Quran, sementara pemberi nasihat yang diam ialah kematian. Dalam surat al-jumu'ah ayat 8 Allah Swt. berfirman, "Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Tidak ada satu pun manusia yang mengetahui, kapan ajalnya akan datang. Kematian selalu datang tiba-tiba. Sehingga mulai detik ini juga, mulai hembusan nafas ini juga, kita harus mempersiapkan bekal untuk menuju negeri akhirat.

Negeri akhirat dengan segala perjalanannya menuju pintu gerbang Surga amatlah jauh, mungkin butuh puluhan ribu lebih tahun akhirat untuk menjalaninya. Semua catatan perjalanan manusia selama hidup di dunia akan diperiksa satu demi satu oleh para malaikat, tidak ada yang tersisa. Maka berbahagialah bagi mereka yang membawa bekal dan persiapan menuju kehidupan abadi di akhirat. Ibarat seseorang melakukan perjalanan jauh di suatu negeri lain, maka mau tidak mau ia harus mempersiapkan segala sesuatunya, dan tentunya tidak lupa untuk membawa bekal. Sehingga tidak ada pilihan misi lain lagi bagi manusia di muka bumi selain hanya mempersiapkan segala bekal untuk kehidupan esok di negeri akhirat dengan cara mengumpulkan kebaikan demi kebaikan di muka bumi ini, di sepanjang detak masa.

Sesungguhnya jika pahala dan dosa itu ditampakkan, niscaya manusia akan berlomba-lomba dalam mencari kebaikan. Tak akan lagi ada manusia yang bermain-main, bergurau, apalagi melakukan maksiat. Sayangnya, tentang pahala dan dosa itu menjadi rahasia ilahi, sehingga banyak manusia yang terlupa dan mengabaikannya. Siapa-siapa yang paling banyak menanam kebaikan, ia akan paling banyak memetik kebaikan pula di negeri akhirat kelak. Banyak cara untuk mengumpulkan kebaikan. Mulai dari kebaikan yang tak kasat mata sampai kebaikan yang kasat mata sekalipun. Kebaikan yang tak kasat mata seperti berdzikir dalam hati, sementara kebaikan yang kasat mata seperti berdakwah dan mengingatkan kepada sesama. Semua boleh dilakukan asalkan niatnya benar.

Ada pula kebaikan yang bisa terus mengalir sampai datangnya hari akhir, seperti shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholih-sholihah. Jika manusia mau membuka mata dan hatinya, maka akan terlihat di setiap ia memandang, kebaikan-kebaikan yang bisa dilakukan untuk kehidupan.

Masalahnya, sekarang orang banyak yang lupa membawa bekal untuk menuju negeri akhirat. Masih banyak orang yang bergurau dan pura-pura tidak tahu kabar tentang negeri akhirat. Kelak di akhirat, orang kafir akan berkata kepada tuhannya, "ya Allah, berilah kesempatan sekali lagi kepada kami, kembalikanlah kami ke dunia, niscaya kami akan beragama Islam dan beriman kepada-Mu.." Maka sekali-kali mereka tidak akan bisa kembali ke dunia, karena mereka sendiri yang tidak memenuhi janji. Sebab setiap manusia sesungguhnya telah berjanji kepada tuhannya di alam azali, membenarkan bahwa Allah Swt. adalah tuhannya, namun ketika dilahirkan di dunia mereka mengingkari janji. Orang juga banyak mengejar sesuatu yang mereka anggap bekal, namun sesungguhnya itu bukanlah bekal.

Sesungguhnya mereka telah mengerti dan berulang kali mendengar kebenaran, tapi entah mengapa, manusia di kebanyakan waktunya banyak yang terlupa. Kebenaran seperti hinggap sejenak di telinga dan kemudian menguap entah ke mana. Padahal jika saja manusia mengetahui, bahwa di setiap pekerjaan dan aktivitas jika diniatkan setulus ikhlas untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, maka di sepanjang waktunya tidak akan ada yang sia-sia. Segalanya akan menjadi kebaikan, kalau itu memang benar-benar kebaikan dan diniatkan setulus ikhlas untuk beribadah. Mudah bukan untuk mencari bekal itu?
Setiap manusia memiliki skill dan kapabilitas masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang berprofesi menjadi kyai, ada yang menjadi tukang, sopir, pedagang, guru, siswa, petugas sampah, buruh, penulis, dan lain sebagainya. Semua itu telah menjadi hukum alam atau sunnatullah. Sehingga setiap pekerjaan yang baik dan bermanfaat itu mulia dan bisa mendatangkan pahala. Menjalankan segala aktivitas dunia jika benar-benar diniatkan untuk akhirat maka akan menjadi amal akhirat. Dan bisa jadi, terlihat amal akhirat tapi sesungguhnya itu adalah amal dunia. Maka janganlah kita memandang remah suatu pekerjaan yang terkesan bukan amal akhirat. Dan berhati-hatilah jika sedang menjalankan amal akhirat, jangan-jangan pekerjaan itu bukan karena Allah. Sesungguhnya segalanya bergantung pada kondisi hati dan niat seseorang. Sehingga mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi di negeri akhirat dapat dilakukan dengan mudah oleh siapa saja yang mau.

Pahala begitu penting, sebab hanya pahala yang dapat menyelamatkan dan menjadi bekal kelak di hari datangnya akhirat. Namun demikian, tidak semua orang yang melakukan kebaikan mendapat pahala. Hanya orang yang beragama Islam yang akan mendapat pahala jika melakukan kebaikan.

Sementara orang non-Islam, sekalipun ia telah berbuat baik sebanyak apapun, kebaikannya tidak dapat diterima oleh Allah. Agama Islam adalah kebenaran, jangan pernah sekali-kali meragukan. Agama Islam ibarat sebuah wadah, sementara pahala ialah isinya. Akan menjadi percuma jika seseorang hanya punya isinya, sementara ia tak memiliki wadahnya. Maka berbahagialah orang yang telah memiliki wadah, terlebih isinya.

Melihat kembali ayat al-Qur'an surat al-Qashash ayat 77 di atas, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat..." Sehingga telah sedemikian jelas, bahwa negeri akhirat adalah kebahagiaan yang harus dicari dari apa-apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kita di dunia ini. Tentu kita senantiasa merasakan, bahwa anugerah itu tak pernah lepas menyelimuti setiap makhluk di muka bumi ini. Maka atas segala anugerah itu, hanya dengan bersyukur kepada Allah lah jalan yang terbaik, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Kemudian lanjutan dari penggalan ayat tersebut, "dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.." Bahwa segala apa yang telah diberikan oleh Allah dengan cuma-cuma kepada manusia di dunia ini ialah juga bagian dari anugerah. Kita harus melangkah gembira dengan melafadzkan syukur serta puji atas segala nikmat yang telah diberikan Allah. Jangan sampai kesibukanmu beribadah melupakan melihat dan membaca karya agung-Nya yang terhampar di jagat raya ini. Sehingga ada manusia yang diangkat menjadi wali karena khusyu' melihat dan memikirkan keagungan dan kebesaran Allah.

Jangan melupakan bagian kita dari kenikmatan dunia, maksudnya bahwa kita memiliki bagian nikmat, berupa kesehatan, kesempatan, dan lain sebagainya, sehingga kita harus memainkan peran sebagai khalifah fil ardh untuk menyemai segala kebaikan dan kebenaran di bumi, dan mempergunakan segala nikmat di dunia ini dengan sebaik dan sebijak mungkin, dan menggunakan dunia sebagai sarana untuk menuju kebahagiaan di negeri akhirat. Namun demikian, jangan sampai terlena oleh gemerlap dunia yang sesungguhnya menipu ini. Kita harus cerdas dalam membedakan mana pahala mana dosa, mana nikmat mana laknat.

"...dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.." Semoga kita senantiasa diberi kesempatan untuk terus mengumpulkan kebaikan di setiap masa, dan menghapus kesalahan-kesalahan dengan cara mengakhiri kesalahan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah Swt., dzat Yang Maha menerima taubat setiap insan. Semoga esok kita dibangunkan dengan membawa bekal kebaikan-kebaikan jauh lebih banyak dari kesalahan, yang dengannya kita bisa sampai kepada ridho-Nya, yaitu surga dengan segala kenikmatannya. Aamiin..

Malang, 31 Januari 2017

Usaha Meredakan Hujan
Oleh: M. Fahmi

Inilah risiko bermain di tengah hujan
Pertarungan ego di altar jiwa
Menunggu hujan memahamiku
ataukah berusaha memahami
setiap dari cuaca?
Seperti selalu tumpah dalam gemuruh
bersama petir, badai, mendung, dan juga gerimis.
Segalanya menjadi gelap.
Tak mampu lagi kuraba
mana timur, mana barat.
Dan aku serasa tak menjadi diriku.

Akhirnya kuputuskan untuk tidak tertawa lagi,
dan bersandiwara dalam lugu
Sekali lagi, risiko memang
Tapi biarlah
Aku ingin sesegera ini pulang,
menjadi diriku.
Kutanggalkan segala baju, sepatu, topeng,
bahkan songkok sekalipun
yang memberatkan diriku
untuk bisa terbang, merobek langit
Kiranya cahaya itu datang
membelah hujan, mengusir gelap
Kini, kulepas diriku
(semoga) tepat dalam dekapan insyaf.

Malang, 14/04/2017.

Menggenggam Matahari
Oleh: M. Fahmi

Sekerdil (ini)/itu kah,
idealisme (kita)/mu?
Apa kau kira aku akan
-begitu saja-
menyerahkan matahari
dan lalu terbakar
oleh gincu, bedak, celak, paras,
pakaian, sampai semerbak aroma tubuhmu?
Rupanya (kita)/kau masih belum
benar-benar mengenal matahari,
meski telah sedemikian lama
kita saling mengenal.
Mengapa begitu ceroboh
meludahi matahari?
"Dengar, kita sudah hampir sampai
di penghujung waktu pura-pura. Tak ada salahnya
jika memperbaiki diri," bisikmu suatu ketika
"Memperbaiki diri?" ulangku
seraya mengernyitkan dahi.
"Kurasa, kita perlu lebih banyak belajar lagi
pada segala yang ditawarkan matahari," rayuku kemudian.
Tapi engkau seperti tak percaya.
Dan engkau semakin menjadi dirimu.
Sementara aku, (semoga) tetap menjadi diriku.

Malang, 14/04/2017.

Peran Santri dalam Menyebar Dakwah, Membangun Negeri, dan Menggapai Ridlo Ilahi
Oleh: M. Fahmi

Saat bumi, tak lagi mampu menampung kekafiran dari rimba yang bergema
Siang dan malam, memang telah menjadi kelam bagi sebagian besar manusia
Kala lautan manusia berselimut dosa, mengobral sensasi di depan khalayak
Langit menjadi saksi bisu, atas kebohongan di setiap untai gerak manusia
Dosa terus melekat, biarpun tanpa taubat
Maksiat terus saja mengalir, biarpun tak selaras dzikir
Siapakah kini, yang berani memungut puing-puing hikmah yang terserak, kalau bukan seorang Santri?
Siapakah kini, yang berani menghidupkan kembali kebenaran-kebenaran di antara kefasikan yang berhamburan di muka bumi, kalau bukan seorang Santri?
Berharap di setiap gerak langkah mewujud bijak
Berharap kuncup iman, lahir mekar sempurna
Namun, di zaman ini, bijak masih juga berjarak,
Sempurna rasa masih sebatas impian
Kemunafikan masih saja tenggelam di dalam diri manusia
Kapankah rintik hujan berubah menjadi gelombang insyaf?
di sini, saat ini, kalam Allah menampar diri

Ilahi, ke manakah kami harus berlari, saat bumi-Mu telah sesak oleh kemungkaran?
Ataukah memang saat ini kami sedang menuju akhiruzzaman?
Ilahi, biarlah kami genggam erat-erat firman-Mu
Kami bawa berlari, berlari, dan berlari..
Betapa pun, di sini kami selalu berharap
Engkau masih setia menunggu, di ujung waktu
Sebab, hanya kepada-Mu lah kami bersandar

***
Saat waktu, tak lagi mampu bicara tentang harap para rakyat di tanah air,
Negeri yang telah kehilangan kejujuran, masihkah kita pura-pura tak mengerti?
Lalu, menaruhnya di atas keniscayaan?
Ah, iya, memang mungkin sudah masanya, memang mungkin sudah zamannya
Para pemimpin negeri melupakan kebenaran, tak lagi peduli peduli kepada kebenaran
Kebenaran seakan menjadi boneka lucu yang layak ditertawakan
Wahai Santri, lihatlah, di ufuk cakrawala sana, sayup-sayup suara memanggil, terdengar jelas kebenaran yang membisik,

Bila Santri zaman dahulu mampu membangun kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya, kenapa sekarang tidak?
Kala para penjajah negeri terlelap di atas kursi kesewenang-wenangan
Para Santri bangun di sepertiga malam terakhir, mereka dirikan shalat, mereka wiridkan dzikir, lalu mereka rancang strategi bersama atas nama keadilan dan kebenaran
Ketahuilah, bahwa negeri kita sekarang ini sebenarnya masih terjajah;
Terjajah oleh kepentingan-kepentingan, terjajah oleh ketidakadilan, oleh kemaksiatan, oleh dosa, oleh kesewenang-wenangan, oleh kerakusan, oleh kemunafikan, oleh kedustaan,
Terjajah oleh nafsu dan materi, terjajah oleh para penjajah yang ternyata lahir dari bangsa sendiri:
Bangsa yang terlalu lama tertidur, hingga melupakan kebenaran-kebenaran
Lihatlah, betapa kebenaran kini telah lama mati bersama matinya hati nurani
Maka hari ini, di hari Santri ini, telah sepatutnya para Santri bangun dan bergerak
Berani dengan lantang dan teguh, menegakkan kembali kebenaran
Dengan dakwah, dengan syi'ar, dengan amal, dengan prinsip dan keyakinan
Perangilah segala kemaksiatan dengan kebenaran
Percayalah, bahwa kebenaran kelak akan muncul sebagai pemenang, meski datangnya kadang belakangan

Santri, betapa besar jiwamu, betapa mulia pengabdianmu, betapa agung perjuanganmu
Kau bangun negeri beserta manusianya dengan semangat dan gelora
Janganlah engkau takut menghadapi kemungkaran di atas muka bumi
Ingatlah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan selalu bersama langkahmu
Bersama langkah perjuanganmu, menuju ridlo Allah."

Malang, 3 Oktober 2017

Ayunan itu berderik semakin keras. Bunyinya terdengar seiring dorongan badan Putri. Mata indah Putri tertutup rapat menikmati sore yang dinantinya. Badannya terdorong jauh melambung dan terus terayun semakin tinggi. Putri ingat burung kecil yang dilihatnya seminggu lalu di ranting pohon besar yang ada di taman kompleks perumahan itu. Sayapnya yang kecil diangkat berkali-kali. Namun burung kecil itu tetap saja ragu, padahal sang induk telah berulang kali meyakinkannya. Mendahuluinya terbang dengan sempurna. Mata bulat Putri terus mengingat pemandangan itu. Setiap kali badannya terangkat naik, ia membayangkan seolah-olah ia adalah burung kecil itu.

Terbanglah Putri! Biarkan dirimu menyentuh atap langit. Ketuklah hati Tuhanmu. Terbanglah!

Angin sore mempermainkan kerudungnya. Pikiran Putri terus bermimpi membayangkan dirinya sebagai burung.

“Aduh, anak itu sebentar lagi pasti jatuh!” Seru seorang ibu dari seberang taman. Sebentar saja, aksi Putri di ayunan menjadi tontonan warga kompleks perumahan itu. Wajah mereka memancarkan kengerian sekaligus kecemasan setiap kali ayunan itu berderik.

“Hai, Nak, turunlah! Kau akan mencelakakan dirimu dan orang lain dengan ayunan itu.”

“Ahhhh…!” Riuh kecemasan warga terdengar semakin keras.

“Kita harus bertindak sebelum anak itu jatuh!” Seru salah seorang bapak dari kumpulan orang-orang itu.

Putri sepertinya tidak takut jatuh, padahal ayunannya berayun amat tinggi. Ia ingin terbang tinggi di langit dan bernyanyi dengan kicau segala burung di alam semesta raya ini.

Putri terus mendorong. “Lihatlah Tuhan, aku akan belajar terbang!” Hatinya memekik girang. Tangannya satu per satu mulai dilepaskan dari pegangan.

Putri kaget bukan main ketika ayunannya tersentak keras dan tubuh kecilnya ditarik kasar. Matanya terbelalak ketakutan. Begitu banyak orang berkerumun dan semua memandangnya marah. Apalagi bapak tadi yang telah menghentikan aksinya terus berbicara dengan sorot mata yang tajam. Pahamlah Putri, bahwa tindakannya tidak disukai. Ia merasakan tangan bapak itu mendorong punggungnya amat keras, keluar dari taman. Ingin sekali Putri berbicara, tapi ia bingung bagaimana caranya. Warga pun bubar. Tinggallah Putri memandang kosong ayunan yang terus bergerak, makin lama makin pelan, dan akhirnya berhenti.

Sinar matahari sore menyapanya lembut, menghibur hati gadis kecil yang gundah. Kepala Putri mendongak, menatap langit yang terasa jauh. Matanya terasa pedih. Hatinya terluka. Dan ia pun menangis. Mimpinya untuk bisa terbang mengelilingi angkasa raya tidak menjadi kenyataan. Padahal, ia ingin seperti burung, bisa terbang dan tidak perlu berbicara. Mereka hanya bernyanyi dan orang-orang akan menyukainya.

Kakinya melangkah menjauhi taman, menyeberangi jalan dan terus menuju sebuah masjid yang telah ramai oleh celoteh anak-anak sebayanya. Langkahnya yang kecil berlari menyongsong dua anak berkerudung biru yang baru keluar dari masjid. Putri berusaha menjejeri langkah kakaknya yang terus berbicara dengan temannya, tak memperhatikan Putri sama sekali. Kian lama Putri kian jauh tertinggal. Putri memandang punggung kakaknya letih. Sore itu, Putri sangat sedih.

***

Udara terasa dingin. Hujan masih menyisakan kehebatannya. Jalan-jalan basah dan selokan tak mampu lagi menampung air. Air meluap memenuhi sebagian badan jalan. Begitu kuasa Tuhan menurunkan air. Kaki Putri lincah berjingkat-jingkat menghindari genangan air. Badannya yang kecil kerepotan membawa payung yang ukurannya jauh lebih besar dari badannya.

Putri berusia enam tahun. Ia tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya di belakang perumahan pinggiran perkebunan teh. Ayahnya sudah tiada karena kecelakaan empat tahun yang lalu. Ibunyalah yang selama ini bekerja untuk makan dan hidup mereka, dengan menjadi pemetik daun teh.

Putri menghabiskan sebagian besar hidupnya di rumah. Terkadang ia keluyuran melihat dan menikmati alam. Seperti kemarin, Putri mencoba ayunan di taman kompleks. Putri kecil tidak pernah bermain dengan teman sebayanya karena tak seorang pun memedulikan ia. Tidak juga kakaknya. Ia hanya bermain dengan ibu dan teman-teman khayalannya. Namun Putri sangat gembira jika ibu menyuruh menjemput kakaknya di masjid kompleks. Seperti sore itu, dengan berbekal payung ia menyusuri jalan. Badannya yang kecil tertutup payung kuning besar.

Angin berhembus mempermainkan payungnya ke kiri dan ke kanan. Berat rasanya berpegangan, tapi tangan kecil itu tak menyerah. Tinggal beberapa langkah lagi ke masjid besar itu. Jendela serta kubahnya yang lebar dan putih menerangi hatinya. Putri sangat suka memandanginya. Dengan cara itulah, Putri menyapa rumah Allah. Cukuplah Putri menyapa dengan caranya sendiri.

Tiba-tiba payung besarnya terlepas. Putri kaget, namun angin telah menerbangkan payungnya jauh. Ia pun menangis, bahunya berguncang hebat.

“Apakah ini payungmu, Adik manis?” Sebuah tangan mengusap air mata Putri sambil memberikan payung itu pada Putri kecil yang terperangah kaget. Putri menatap sosok lelaki tinggi yang tersenyum itu. Hatinya berbunga. Dipersembahkannya senyuman paling manis sebagai tanda terima kasih.

“Adik tidak mengaji?”

Putri tak acuh. Ia memalingkan muka kesalnya ketika sosok lelaki tadi terus berbicara dan dirinya tidak mengerti sama sekali. Barulah lelaki bersarung kotak-kotak itu menebak, dan tebakannya benar. Gadis kecil di hadapannya tak bisa mendengar. Putri terlahir bisu dan tuli.

Lelaki itu mulai menggerakkan tangannya sebagai isyarat secara perlahan. Putri menggeleng putus asa. Ia punya cara tersendiri untuk menyuarakan isi hatinya atau diam sama sekali. Kepalanya terus menggeleng untuk menegaskan bahwa ia tidak mengerti isyarat sedikit pun. Tangannya menunjuk ke arah masjid. Usaha Putri membuahkan hasil. Lelaki itu paham maksudnya dan membantunya menuju masjid.

Putri tak bisa melukiskan apa yang dirasakannya saat itu. Baru kali ini ada orang yang mengerti dirinya, selain ibunya. Hatinya mengatakan bahwa lelaki itu baik hati dan bisa dipercaya. Putri menggenggam tangan itu erat. Mereka berdua tersenyum. Sore itu Putri sangat gembira.

***

Putri menggerakkan jari jemarinya perlahan, menyusun bahasa hati yang ingin disampaikan pada ibunya. Sesekali perempuan di hadapannya itu memperbaiki dan memberi contoh.

“Saya bangga dengan ketekunannya, Bu!”

“Ibu juga tidak menyangka, Neng Sahira. Anak Ibu sebetulnya cerdas sekali. Ia mempunyai impian agar bisa berbicara walaupun pakai isyarat. Ibu tidak tahu harus bagaimana cara mengajarinya. Ibu cuma bisa memberi kasih sayang saja,” tutur Ibu Putri pada Neng Sahira.

“Alhamdulillah, kebetulan saya juga menjadi guru di Sekolah Luar Biasa. Saya mengerti bahasa isyarat dan insya Allah saya bisa mengajari Putri.”

“Syukur kalau Putri bisa mengerti. Makasih banyak ya, Neng!” ujar Ibu Putri sambil mengusap air mata dengan sudut kerudungnya.

Neng Sahira adalah istri dari lelaki yang dijumpai Putri kemarin sore. Ia mendapat kabar dari suaminya. Lelaki itu sangat prihatin kepada gadis kecil itu yang tampaknya tak pernah mendapatkan perhatian khusus. Oleh sebab itu, perempuan itu langsung mengunjungi rumah gadis kecil pagi itu dan bermaksud untuk mengajak Putri belajar di sekolahnya.

“Kalau Ibu punya waktu, Ibu juga bisa ikut belajar. Putri pasti senang bisa mengobrol banyak dengan Ibu.”

“Iya sih, Neng. Ibu sangat ingin, tapi waktunya belum ada.”

Putri memegang tangan ibunya yang kasar, menggenggam dan menyentuhkan pada dadanya. Wajahnya terlihat gembira.

“Apa katanya, Neng Sahira?”

“Putri sangat sayang pada Ibu.” Arti gerakan tangan itu sudah membuat hati Ibu Putri hancur dan ia pun menangis tersedu-sedu.

“Ibu juga sayang sama Putri. Ibu… Ibu akan belajar bahasa Putri supaya kita bisa mengobrol banyak.” Ibu Putri memeluknya erat.

***

Sejak Putri belajar bersama Neng Sahira, hatinya bernyanyi lebih riang. Tangannya terus bergerak menyusun bahasa hati dan menyebarkan rasa sayangnya yang selama ini hanya dipahami sahabat-sahabat khayalannya saja. Ia menyapa langit, angin, hewan, dan bunga-bunga liar yang ditemuinya di perkebunan, tempat ia bermain dan menghabiskan waktunya saat sore.

“Oh lihat, saya sudah bisa bicara. Assalamu'alaikum, Pak Belalang. Bagaimana tarianmu hari ini? Indah, bukan? Apakah kau melihat burung kecil yang sedang belajar terbang? Sudah jauhkah ia? Oh, sayang sekali saya tak bisa menyapanya lagi,” celoteh Putri riang.

“Lihat Neng Sahira, semut itu bergotong-royong membawa remah makanan. Mereka berbaris rapi dan selalu saling menyapa setiap kali bertemu.”

“Subhanallah, Allah telah memberikan keistimewaan pada tiap-tiap makhluk yang diciptakan-Nya.” Kata Neng Sahira kala itu.

“Mmmmm… Kalau begitu, apa keistimewaan saya, Neng?”


Neng Sahira berpikir sejenak kemudian menjawab tenang sekali. “Oh, banyak. Salah satunya, gadis manis ini sangat baik hati dan pintar sekali mengungkapkan perasaannya. Jari-jemari yang diberikan Allah membuatnya istimewa. Ia berbicara dengan itu. Tidak semua orang bisa melakukannya.”

Cuping hidung Putri mekar. Hatinya bangga. Ia sangat menyayangi Neng Sahiranya. Putri belajar banyak hal. Kini, ia belajar cara lain untuk menyapa Allah dan rumah-Nya. Neng Sahira mengajarinya berdoa dan membaca alquran. Putri ikut mengaji pula di masjid dengan cara yang berbeda dari anak lainnya. Ia belum pernah mendengar bacaan ayat-ayat alquran, tapi ia senang mempelajarinya. Wajah mungilnya berhias kerudung merah muda, cantik dan manis sekali.

“Kata Neng Sahira, di akhirat nanti saya bisa bicara. Tidak hanya mulutku, tapi juga mataku, tangan, dan seluruh anggota badan yang Allah berikan, Bu. Aku bisa bicara banyak pada Allah. Hebat, bukan?” tangan Putri berhenti sesaat. Ibunya tersenyum mengiyakan walau pun dalam hatinya ada banyak hal yang tak ia mengerti.

Kebahagiaan Putri bertambah tatkala kakaknya mulai mengajaknya bermain di halaman bersama teman-teman lainnya. Senyum Putri terus mengembang dan bertambah lebar. Nyanyian hatinya kian bergema memenuhi rongga jiwa dan seluruh alam. Jemarinya lincah berkata-kata. Banyak ilmu yang ia dapatkan kini.

***

“Apa yang Putri pinta saat ulang tahun nanti?” Tanya Neng Sahira pada Putri.

“Saya ingin sekolah sampai tinggi seperti Neng Sahira dan Mbak Ri. Saya punya permintaan lain. Boleh tidak?”

“Boleh saja. Mintalah sebanyak yang Putri mau.”

“Kalau begitu, saya… ingin bisa mendengar walau pun cuma satu hari. Apakah Allah akan marah jika Putri minta itu?”

“Insya Allah tidak. Mengapa?”

“Bukankah Allah tidak menyukai orang-orang yang tidak bersyukur?”

“Tapi permintaan itu tidak ada salahnya.”

“Kalau begitu, Putri berharap Allah akan mengabulkan.”

“Jika Putri bisa mendengar, apa yang akan Putri lakukan?”

“Putri akan menyapa burung kecil, sahabat Putri.”

“Burung?”

“Iya, burung. Burung kecil itu selalu bertengger di pohon taman kompleks. Putri tahu suaranya indah dan merdu. Tapi sayang, Putri tidak bisa mengatakan betapa indah dan merdu suaranya karena tidak pernah mendengarnya. Burung itu pun tidak punya tangan. Kami tidak bisa saling menyapa.”

“Neng Sahira yakin burung itu mengerti betapa Putri menyukai nyanyiannya. Buktinya, ia tetap berkicau.”

“Neng, seperti apa sih enaknya mendengar?”

Neng Sahira tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa memeluk Putri. Semoga Allah mengabulkan doa anak ini, pintanya tulus.

***

Beberapa bulan kemudian Putri berulang tahun. Neng Sahira lama pergi ke luar negeri bersama suaminya untuk tugas penelitian. Di sana tak lupa ia membelikan alat bantu dengar sebagai hadiah yang sangat diinginkan Putri. Neng Sahira membayangkan seperti apa reaksi Putri. Mungkin dengan cara inilah doa Putri dikabulkan Allah. Begitu banyak yang mau membantu biaya sekolah Putri tatkala cerita tentangnya dimuat di media massa. Alhamdulillah, sesungguhnya jika Allah berkehendak, tak ada yang mampu menghalanginya.

Namun kejutan itu tidak bisa dinikmati Putri. Putri Senja yang ditemui Neng Sahira hanyalah seorang anak yang menunggu ajal. Sinar mata Putri redup.

“Maaf, Bu. Saya baru bisa datang hari ini. Bagaimana Putri bisa seperti ini?”

“Ibu yang salah, Neng. Putri memanjat pohon besar di taman kompleks. Katanya, ia ingin mendengar kicauan sahabat kecilnya. Dia bilang, jika lebih dekat mungkin ia bisa mendengar. Ibu sudah berusaha mencegah, tapi Putri begitu keras kepala. Akhirnya Ibu biarkan saja ia melakukannya. Dan… ah, musibah itu terjadi. Saat Putri makin dekat, burung itu kaget dan kemudian terbang. Putri berusaha menangkapnya tapi tidak berhasil dan ia terjatuh! Tangannya patah, sedang Ibu tidak punya uang untuk ke dokter. Putri tidak bisa lagi menggerakkan jarinya. Karena sangat kecewa, ia tidak punya semangat hidup lagi. Ia jadi sering sakit-sakitan, sementara uang Ibu sudah benar-benar tak bersisa. Ibu tidak tahu ke mana harus menghubungi Neng. Kami pasrah, jika ini yang terbaik bagi Putri,” Ibu Putri menjelaskan. Pipinya yang cekung basah oleh air mata. Ia tak mampu lagi menahan rasa sedih yang dideritanya.

“Tapi, Bu…”

“Ibu berterima kasih atas kasih sayang dan jerih payah Neng Sahira selama ini. Maaf, Putri jadi merepotkan semua.”

“Bu… Putri pernah mengajukan permohonan di hari ulang tahunnya. Ia sangat ingin tahu rasanya mendengar. Saya mohon, Bu. Izinkanlah ia mencoba alat bantu dengar ini. Putri pasti senang sekali…”

Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia membiarkan Neng Sahira untuk memakaikan alat itu pada telinga Putri.

Permintaan Putri pun menjadi kenyataan. Dan ia bisa mendengar! Putri tersenyum manis tatkala syahadat itu terdengar di telinganya. Itulah kata pertama dan terakhir yang ia dengar. Sepertinya Allah hanya rida kalimat tauhid itu saja yang memenuhi gendang telinga Putri.

“Di akhirat nanti saya bisa bicara, Bu. Tidak hanya mulut saya, tapi juga mata saya, tangan, dan seluruh anggota badan yang Allah berikan, Bu. Saya bisa bicara banyak pada Allah. Hebat, bukan?”

Kata-kata Putri kembali terngiang di telinga perempuan itu. Terbayang mata kanak-kanak Putri yang berbinar saat mengungkapkannya, menggambarkan sejuta bahagia yang ia rasakan.

Gadis yang terlahir bisu dan tuli itu tak pernah mati di hati orang-orang yang mencintainya. Elegi sunyi dan kasih sayang Putri membuatnya istimewa.


Mukhammad Fahmi.

Memoar Biru
Oleh: M. Fahmi

Biru memandang ke arah lautan. Biru laut terhampar di hadapannya. Lepas ia memandang, awan putih membentuk gumpalan-gumpalan dan sang mentari bersembunyi di baliknya. Angin bertiup semilir membelai rambutnya perlahan. Aroma laut mengingatkan akan masa lalunya. Ia berdiri di atas karang yang kokoh tegak ribuan tahun menahan terjangan ombak. Ia semakin larut dengan fikiran-fikirannya, lamunan-lamunannya, angan-angannya, dan semua yang ada di benaknya. Debur ombak di sela batu karang dan ikan-ikan berkejaran menikmati segarnya laut. Tiba–tiba ia dikejutkan dengan suara yang mengalahkan halilintar. Sampai pada akhirnya ia terbangun dari mimpi. Ia menatap seorang lelaki berdiri tegak di hadapannya, sambil membawa semprotan berisi air siap untuk menyiramnya. “Ampun Mas, ampun Mas! Dingin!”, air membasahi wajahnya dan ia segera berlari untuk wudlu.

Merupakan kesialan sekaligus keberuntungan baginya mempunyai ketua kamar sekaligus pengurus pondok PP. Bahrul ‘Ulum yang setiap pagi selalu membuyarkan mimpi-mimpi indahnya. Ia harus berhadapan dengan manusia yang luar biasa tangguh dan tak terkalahkan. Dengan segala perlengkapan semprotan berisi air di tangan kirinya, dan kayu menjalin yang hampir tak pernah lepas dari tangan kanannya. Begitulah cara Mas Syamsul menyapa para santri tiap pagi, jika ada santri yang masih tertidur pulas dan tidak sholat berjamaah di masjid. Gayanya mengalahkan pendekar dari negeri ‘Antah Berantah’. Itulah yang terjadi setiap kali Biru malas untuk bangun pagi.

***
Saat fajar mulai membentangkan sayap-sayapnya, sang subuhpun bersiap-siap menggantikannya. Hari itu Biru tidak lagi dibangunkan oleh Mas Syamsul. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan memegang prinsip tujuanya di sini. Ia berusaha membuang sifat malas, manja dan lain sebagainya. Pertama memang sangat berat baginya untuk bangun shubuh. Saat adzan shubuh terngiang di telinganya, ia pun beranjak bangun dan segera berwudlu. Ketika ia keluar dari kamarnya, hawa dingin tiba-tiba menyergapnya. Dengan segala tekad ia memberanikan diri untuk memeluk angin shubuh itu. Ia mengikuti sholat shubuh berjamaah lalu mengikuti rutinan pengajian kitab Riyadus-Shalihiin.

Ketika lubuk langit memantulkan semburat kemilaunya yang putih menerangi belahan bumi, sang mentari mulai menyingsing menelan sisa-sisa malam yang merambat pagi. Ia melangkahkan kakinya sambil memantapkan niatnya. Tak lama kemudian ia tiba di madrasah yang sangat ia banggakan, yakni MAN Tambakberas Jombang.
Biru berlari-lari kecil memasuki halaman madrasah. Dihirupnya udara dalam-dalam. Sudah dua bulan ini ia dekat dengan seorang santri putri. Kegiatan OSIS di madrasahnya-lah yang mempertemukan dengannya. Bisa dibilang dia sangat sempurna. Wajahnya cantik jelita, berposter tubuh ideal dan tingginya tepat sebahu Biru. Ia biasa dipanggil dengan “Pink”. Entah karena memang nama aslinya demikian atau memang kesukaannya pada warna merah muda itu. Sebenarnya, hati Biru sangat tertarik pada santri itu. Tapi ia tak ingin terlalu cepat mengambil sebuah keputusan. Perasaan itu disimpan begitu saja sampai kelas akhir.

“Besok akan diumumkan siapa yang mendapat beasiswa pendidikan S1 di luar negri itu,” kata Pink pada suatu ketika.

“Ah, iya. Saya juga dengar, katanya besok Sabtu,” balas Biru.

“Enak ya, kalau bisa dapat. Kita tidak perlu keluar uang sampai lulus nanti!”

“Ah, kalau aku bisa dapat beasiswa itu, Emak pasti tak perlu bekerja keras untuk membiayaiku kuliah. Aku bisa meringankan beban Emak,” angan Biru.

“Mungkin kamu yang akan mendapat beasiswa itu Biru. Kamu kan selalu menjadi juara umum di madrasah kita,” cetus Pink membuyarkan lamunan Arif.

“Kamu saja Pink!”

“Lho, kenapa? Kalau kamu yakin akan berhasil, maka kamu akan benar-benar berhasil,” ucap Pink menyemangati temannya.

Biru dan Pink sama-sama akan menjalani ujian kelulusan bulan depan. Setelah lulus mereka yang mendapat beasiswa itu akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi luar negri tanpa biaya. Tentu saja Biru berharap agar dia mendapat beasiswa itu. Dia ingin membahagiakan hati Emak. Ia ingin Emak tidak lagi susah-susah membanting tulang untuk membiayai kuliahnya.

***
Pagi itu, langit tampak indah, matahari di ufuk timur bersinar cerah. Seindah suasana di madrasah itu.

“Wah, kamu jadi orang penting sekarang. Selamat ya, kamu telah berhasil untuk mendapatkan beasiswa itu!” ucap Pink.

“Ah, kamu sudah mengatakannya untuk yang keseratus kali,” cibir Biru. Suasana pun hening sesaat.

“Kamu ingin melanjutkan ke mana Pink?” Tanya Biru.

“Ah, aku ingin melanjutkan di sini saja!” sahut Pink datar.

Perasaan Biru berada di ambang ketidak-pastian. Di antara bahagia dan sedih. Bahagia karena bisa meringankan beban Emak. Dan sedih karena ia tak akan lagi dapat bertemu dengan Pink. Sahabat jiwanya.

Pagi itu adalah pagi perpisahan. Dan rasa itu dibiarkan mengalir begitu saja oleh Biru. Ia tak ingin Pink tahu akan perasaan yang dimilikinya.

***
Lima tahun kemudian...
Ah, rasanya sekarang aku seperti berada di ruang lima tahun lalu. Di mana kita pernah bersama di pesantren ini ini. Setelah lama meninggalkan pesantren ini, kini aku kembali dari negri sebrang untuk menyapa lagi pondok yang telah banyak mengajarkanku arti hidup. Pesantren yang pernah menggoreskan harapan tiada batas. Kita dulu pernah bersama di sini. Tapi sekarang engkau di mana? Setelah kepergianku, tak ada kabar sama sekali tentang dirimu. Mungkinkah engkau masih mengingatku Pink? Semoga saja.

Pikiranku kini melayang lagi. Engkaupun tersenyum. Ah, senyum yang menghadirkan berjuta kenangan. Senyum yang pernah hadir di masa kelamku. Senyum yang pada ujung-ujungnya menyimpan rindu, yang mengibarkan rasa perih. Aku hanya sekedar mengenang sesuatu yang telah retak di sela-sela bentangan sejarah.

Mungkin ini adalah bentangan alam rindu yang berada di ufuk jiwaku, yang selama ini terpendam jauh di lubuk hati terdalam ini. Namun, setiap kali aku berusaha melewati rindu, malah rindu itu yang kian membawaku pada lembah kebingungan. Akhirnya ia keluar sebagai pemenang dan aku menjadi pecundang. Begitulah angan panjang Biru saat akan menghadiri acara reuni di PP. Bahrul ‘Ulum.

Acara reuni santri-santri alumni PP. Bahrul ‘Ulum kali ini benar-benar ramai. Di sana Biru bertemu lagi dengan teman-temannya dulu, termasuk Mas Syamsul yang setiap paginya selalu membuyarkan mimpi-mimpi indahnya. Canda tawa merekahadirkan zona masa lalu yang sarat akan kenangan.

Dari kejauhan, di mata Biru tampak seorang santri putri alumni PP. Bahrul ‘Ulum.  Sejenak, Biru memperhatikannya. Dalam benaknya sempat bertanya-tanya. Siapakah dia? Mata yang dulu pernah hadir dalam hidupnya. Raut wajah itu tiba-tiba menghadirkan kelebat jejak dan riwayat. Ketika pikiran Biru melayang ke lima tahun lalu, rasanya tak kuat lagi ia untuk menyimpan rapi perasaan di benaknya. Harapan kini hanya tinggal bait-bait kerinduan yang mengalun merdu bersama kegirangan pucuk daun yang menikmati sentuhan angin. “Mungkinkah engkau masih mengingatku Pink?” gumam Biru. “Semoga saja Allah meng-iyakan atas rentetan pertanyaan yang tak mampu lagi untuk kubendung.” sambungnya. Tampak lelaki tegap itu telah berdiri di hadapan Pink. Gadis itu tampak sangat terkejut.

“Biru, kamu kah itu?” Pekik gadis itu sekuat tenaganya.

“Ah, ternyata kamu tak lupa padaku.”

“Akhirnya kau kembali juga.”

“Ya, karena ini amanat bagiku. Hmmm, ternyata kau masih saja seperti dulu Pink. Ya, seperti yang ku kenal dulu.”

“Hehehe…” tawa renyah pink.

“Dan masih kutemukan kunang-kunang di matamu. Masih hidup seperti dulu.”

“Ah, bisa saja kamu Biru. Dan kamupun masih seperti dulu. Ucapanmu tak pernah keseleo.”

Keduanya tertawa hampir bersamaan.

“Tidak… aku serius Pink. Aku seakan bisa melihat cahaya di kedua bola mata indahmu. Cahaya bening yang memancarkan semangat, kejujuran, dan ketulusan.”

“Aku rasa, setiap manusia juga memilikinya. Setiap orang juga mempunyai benih kebaikan di dalam hatinya. Tinggal apakah orang itu mau menyemainya atau tidak.” Kata Pink bijak.
Biru kini telah bertekad untuk mengungkapkan segalanya kepada Pink. Setelah sekian lama lama menimbang dan menunggu, kini kekuatan itu muncul lagi dengan membawa sinar terangnya. Terlalu cepat memang. Namun itulah Biru, jika sudah memutuskan sesuatu ia akan memegang teguh keputusannya. Dan di sanalah Biru berlutut menunggu jawaban Pink.

“Maukah engkau berubah menjadi ungu?” Pinta Biru penuh harap.

Pink merasa heran dengan pertanyaan Biru. Namun, sejenak kemudian Pink bisa memahami bahasa Biru. Ia memandang Biru sekilas. Sikap Biru yang malu-malu lebih tampak seperti seekor kucing yang memohon pada tuannya untuk sepotong kepala ikan. Ia berputar-putar gelisah di samping Pink menanti jawabannya.

“Maukah engkau berubah menjadi ungu, Pink?” Pinta Biru lagi.

“Maaf Biru, aku tak bisa……”

Jawaban itu sungguh di luar dugaan Biru. Uluran tangan Biru melemah, namun ia tetap tegar, menerima semua kemungkinan yang akan terjadi. Karena baginya, menyatakan perasaan adalah suatu keberanian yang dapat membuat hatinya lega.

“Aku tak bisa menolak permintaanmu….” Lanjut Pink di luar dugaan, sambil menerima cincin dari tangan Biru dan menyematkan di jari manisnya.
Ke empat mata itu saling menatap cukup lama. Keduanya membahasakan cinta dalam diam. Ada aura yang berbeda antara tatapan sekarang dengan sebelumnya. Entahlah, yang pasti tatapan itu tidak bisa dipahami oleh logika.

Biru tersenyum bahagia. Kini ia tak lagi merasa risau, karena semua rentetan pertanyaan yang ada dalam benaknya telah terjawab. Seseorang telah mau mengisi hatinya. Mereka tersenyum bahagia. Di luar sana, langit biru boleh berbangga. Karena rangkaian awan putih masih setia menghiasinya.

Jombang, 28 Maret 2013
Em Ef

Air Mata Cakrawala
Oleh: M. Fahmi

Sobat…
Aku tidak tahu dengan kalimat apa mesti kutulis setetes tinta ini untukmu. Malam begitu dinginnya, sementara angin tanpa permisi masuk menembus tulang-tulang persendianku. Suara deburan angin malam yang lirih terdengar bagai nyanyian orang kesepian. Lalu nyanyian itu berubah menjadi rintih kesedihan. Kesedihan dari orang-orang terluka, orang-orang kalah, orang-orang yang tersingkir, atau sengaja disingkirkan dari kehidupan. Boleh jadi, rintihan itu juga merupakan ratap keperihan dari harapan yang tak pernah sampai, atau cita-cita yang kandas di tengah jalan. Rintihan itu membuat mataku tak juga bisa terpejam.

Sobat…
Sedang apa kau malam ini? Mungkin selama ini aku yang bersalah padamu. Aku yang sering membuatmu marah. Maafkan atas segala tingkahku. Maaf, jika jejak–jejak masa itu menyisakan luka yang teramat mendalam. Bukan maksudku mengganggu ataupun mengotori kisah kehidupanmu yang putih. Ya, aku yang bersalah, meskipun munculnya keraguan itu sebetulnya datang darimu. Mengapa aku berkata demikian? Teramat sulit bagiku untuk menjelaskan kepadamu dengan kalimat-kalimat biasa di lembaran sesempit ini.

Sobat…
Setelah bertahun-tahun lamanya aku mengembara arungi semesta raya akhirnya terdamparlah aku disini. Di sinilah akhirnya aku menemukan hakikat kehidupan. Di sinilah akhirnya aku menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Di bumi Allah inilah aku berdiri dan mencoba untuk menyelami di kedalaman samudra ilmu. Walaupun jalanku menuju-Nya masih meraba-raba dalam gelap, tapi aku yakin, akan kutemukan ‘nur’ kearifan itu. Jika anugerah itu telah sampai kepada kita, mengapa kita tidak mencoba mengabadikan dan menyusunnya menjadi syair hidup yang kelak akan selalu kita kenang tentunya?

Pencarianku belum selesai sampai di sini, Sobat. Jalan yang harus aku tempuh masih panjang membentang di depan. Aku tak tahu, apa mungkin melewati jalan itu. Pada setiap persimpang jalan selalu kutemukan kepalsuan, kecurangan, kebohongan, dan keamburadulan. Kejujuran sangat sulit kutemukan di sepanjang sajak jalan ini.

Waktu terus mengalir dan tak mungkin berhenti mengalir. Aku ingin mengikuti aliran waktu, dan tak mau berhenti untuk menemukan apa yang aku cari. Pada setiap jalan yang kulewati, segala kejadian kurekam dalam ingatan, dan kucatat bagian-bagian penting di sebuah buku harian yang selalu menemaniku dalam perjalanan.
Aku hanya manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, dan hanya secuil kelebihan yang kumililki. Dari secuil kelebihan itulah aku mencoba memperkuat keimanan, menghindari semua godaan yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku.

Coba lihat, apa yang ada di luar sana? Gelap. Ya, gelap. Belakangan ini langit selalu tampak gelap. Sebagaimana dunia yang selalu dilanda kekacauan, kebohongan, kepalsuan, kecurangan, dan keamburadulan. Banyak orang yang “pura-pura” pintar, tapi tidak jujur dan tidak arif dalam menyikapi kehidupan. Jusrtu egonya yang berperan. Apakah kejujuran sudah menjadi barang langka, sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Aku prihatin, Sobat. Melihat dunia yang semakin hari semakin jauh dari garis yang hakiki. Kemaksiatan telah merajalela. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Seperti sudah tak ada lagi yang mengenal hukum Allah. Ah… sudah sampai zaman manakah ini, sehingga orang-orang tak lagi mengenal hakikat?

Sobat. Lihatlah, tak satupun bintang terlihat di sana. Mendung hitam sedang menjadi raja dan sudah beberapa hari ini bumi terus diguyur hujan. Bagaimana dengan daerahmu di sana? Apakah  malam ini juga sedang turun hujan? Ataukah hanya sekedar bermendung? Aku yakin, sebentar lagi hujan deras pasti akan segera turun.
“Segeralah turun, wahai hujan. Biar pohon-pohon yang telah mengakar pada bumi tumbuh subur. Biar mereka dapat meminum air kehidupan.” Mataku pun berkaca-kaca melihat langit. Sesuatu yang kudambakan itu akhirnya menjadi kenyataan. Hujan pun turun. “Terimakasih, ya Allah...! Terimakasih. Oh, ternyata Engkau masih mendengar suara batinku.” Aku pun kegirangan.
Sobat. Aku tahu, semua yang ada di dunia ini fana dan tidak ada yang abadi. Termasuk kebersamaan kita yang dipisahkan oleh garis ketakdiran, hingga berujung pada sebuah perpisahan. Termasuk sajak kenangan yang pernah kita tanam bersama itu, mungkin juga akan sirna.

Tapi aku yakin, di balik semua ini ada yang Abadi. Kau harus tau itu. Sesuatu yang Abadi adalah sesuatu yang Hakiki, yang akan Hidup untuk selama-lamanya, karena Ia adalah Sang pemilik Cinta itu sendiri. Dialah yang lebih dekat dari segala sesuatu. Dialah puncak Keagungan, Keindahan, dan Sang Kebenaran. Dialah yang memberikan sebuah pertemuan dan perpisahan.
Dulu. Saat aku mengenal cinta untuk pertama kalinya, dan saat aku bertempur secara habis-habisan dengannya, sesungguhnya aku telah ditipu dan diperbudak olehnya. Ah, cinta. Betapa cengeng tampaknya. Mestikah seumur hidup manusia hanya cukup mengurusi persoalan cinta? Padahal, betapa banyak persoalan lain yang mesti dituntaskan dalam kehidupan ini di luar cinta. Tapi setidaknya, beginilah aku berpendapat. Aku seperti tidak dapat hidup bila jiwaku membisu tanpa mengkidungkan nyanyian cinta. Padahal untuk selamanya, atau mungkin hingga akhir hayat kelak seseorang yang pernah kurindukan siang dan malam hingga bertahun-tahun lamanya itu, tak akan pernah kembali dan tak mungkin menjadi milikku.

“Aku memang tak akan pernah memilikinya. Tapi salahkah aku, bila hanya ingin sekedar menanam rasa itu di lubuk jiwaku yang terdalam agar cinta itu tetap mekar untuk selamanya sebagai penyegar Kehidupan? Siapa  tahu, nanti aku dapat memetiknya di kurun waktu yang lain.” Demikianlah aku beralasan.

Sobat. Engkau mungkin tidak tahu apa yang sedang merasuk dalam sukma terdalamku malam ini. Hatiku telah menjadi serpihan kepingan luka sejak pengembaraan ini kulakukan. Hidupku memang busuk. Tapi kau harus ingat, seburuk apapun realita yang menimpa diriku, aku masih menyimpan harapan. Ya, harapan untuk memperoleh cinta itu kembali meskipun harus kutebus dengan seribu penderitaan. Inilah milikku satu-satunya yang paling berharga!

Ketika Cakrawala telah buncahkan air yang hakiki, kubiarkan musim bersemayam dalam dekap harap. Air hujan yang menetes dari cakrawala itulah mungkin yang akan menjadi saksi atas lahirnya tetesan pena ini. Sampai akhirnya, tak bisa kusimpan rahasia dingin malam ini. Salahkah aku bila hanya ingin menyapamu malam ini? Mungkin, ini dapat mengobati jiwaku yang senantiasa dilanda badai kerinduan. Yaa Rabb.. kuasa-Mu di atas segalanya. Aku hanya bisa berharap, sedangkan skenario telah tercatat di Lauhul Mahfudz sana. Kini, aku hanya bisa bersandar pada perlintasan waktu yang masih menetes perlahan.

Jombang, 8 November 2011
M. Fahmi

Pengembara Sunyi
Oleh: M. Fahmi

Sudah lama lelaki itu mencari kekasihnya. Kekasih yang dulu pernah hadir di kehidupannya, namun kini entah ke mana. Dicarinya kekasih itu sepanjang siang dan malam, sepanjang waktu, dan sepanjang ruang, namun tidak kunjung juga ia menemukan kekasih yang dicarinya itu. Dicarinya kekasih itu dalam pengembaraan yang tak ada hingga, hingga berabad-abad lamanya, hingga pengembaraan itu serasa tidak ada titik akhirnya. Setiap orang yang dijumpainya di jalan selalu ia tanya, di mana kekasihnya itu berada. Orang-orang yang dijumpainya itu bukan menjawab semestinya, malah menganggapnya gila.

Pernah suatu ketika ia mampir ke sebuah toko, lalu bertanya kepada pelayan toko.

“Kekasih…?” Pelayan toko itu mengernyitkan keningnya. Ditatapnya wajah lelaki itu penuh keheranan.

“Betul, apakah dia ada di sini?”
Pelayan itu agak lama menatap wajah lelaki itu. Wajahnya penuh tanda tanya, lalu entah mengapa tiba-tiba pelayan toko itu tertawa.

“Mengapa engkau tertawa?” Ia terheran-heran.

“Dasar orang gila!” Umpat penjual toko itu.

Betapa malunya ia. Dengan perasaan kesal, ditinggalkannya toko itu. Ia heran. Mengapa orang-orang selalu tertawa setiap kali ia bertaya tentang kekasih? Mengapa mereka menganggapnya tak waras? Apakah pertanyaannya aneh? Ataukah kekasih itu sekarang telah menjadi barang langka sehingga orang-orang tak lagi mengenalnya? Ataukah ia telah berubah menjadi makhluk lucu hingga seseorang mau tidak mau, harus tertawa begitu ia menyebutkan namanya? Entahlah.
Lelaki itu melanjutkan perjalanannya. Menyusuri sungai, pematang sawah, bukit, lembah, dan sampailah ia di suatu pedesaan. Ia bertemu dengan seorang kakek tua. Kakek tua itu menanyakan tujuannya. Lelaki itu menerangkan maksudnya. Lalu dengan lugu, kakek tua itu mempertemukannya dengan seorang perawan desa yang benar-benar ayu.

“Bagaimana? Engkau cocok?” Tanya kakek itu.

“Bukan. Bukan itu, Kek. Bukan perawan desa yang sedang aku cari. Aku sedang mencari kekasih. Kekasih bukan sembarang kekasih, melainkan kekasih sejati yang kini entah berada di mana. Kekasih sejati adalah cinta yang tak akan lekang ditelan masa. Dialah pemilik kebenaran dan cinta abadi yang sesungguhnya. Padahal, dulu Dia pernah hadir di hadapan kita penuh kasih dan sayang, tapi mengapa orang-orang sekarang sudah melupakanNya? Apakah Kakek juga tak mengingatnya lagi?"

Kakek tua itu menatapnya tajam. Kepolosan di wajahnya seketika itu menghilang, lalu ditinggalkan lelaki itu tanpa kata. Lelaki itu agak kebingungan. Ternyata kakek tua itu juga tidak mengerti dan mengenal kekasih yang dimaksudkannya.

Ia tak pernah patah semangat. Diteruskan langkahnya yang patah-patah itu. Di setiap perjalanan banyak peristiwa yang terekam dalam benaknya. Pada setiap persimpangan jalan, selalu ia temukan misteri yang tidak sejiwa dengan semangatnya, misteri yang tidak mampu diterima oleh nuraninya. Dan anehnya, ia belum kunjung mengerti juga. Ia atau mereka yang benar. Ia atau mereka yang salah. Ia atau mereka yang munafik. Pencurian, penghianatan, kekejaman, kebohongan, dan kemunafikan seakan telah menjadi nafas kehidupan, hingga banyak orang yang melupakan atau bahkan tidak mengenal kekasih.

Ah, sudah sampai peradaban manakah aku ini, hingga tak satupun dari mereka yang mengenal kekasih? Gumamnya di sela-sela langkahnya.
Di sepanjang perjalanan tidak sedikit orang yang mengejeknya.

“Lihat, dia bertanya tentang kekasih, padahal dia punya mata, punya mulut, kaki, tangan, dan telinga. Apakah tidak digunakan bekal kemanusiaannya?” Demikian kata seseorang yang ia temui di pinggir jalan.

“Kasihan benar orang itu. Dicarinya kekasih itu sepanjang malam dan ia lupa jika hari telah kembali pagi.” Kata yang lainnya.

“Semoga ia cepat sembuh.”

“Semoga ia cepat mengingat kembali jati dirinya.”

“Atau jangan-jangan dia sudah gila!”

“Ya, menggilai kekasih yang sudah tak sabar lagi untuk dicumbunya!”

“Hahaha…!”
“Kasihan…”

Dan bebagai umpatan lain yang ia dapatkan. Namun ia tetap tegar. Buat apa sakit hati kalau ia memang tak mempunyai hak untuk merasa sakit karenanya? Bukankah orang yang sedang mencari kekasih tidak boleh menyimpan sedikitpun rasa sakit di dalam hati? Apalagi rasa benci, iri, dan dusta. Ya, dalam hatinya tidak boleh menyimpan sedikitpun dendam. Semua rasa mesti ia curahkan hanya untuk perasaan cinta. Mencinta dan merindui kekasih sejati yang hingga kini belum juga ia temukan.

Ia tetap melangkah. Melewati jalan setapak, menyeberangi sungai-sungai kecil, menerobos pematang sawah, kebun-kebun, menyusuri berbagai jalan, dan sampailah ia di suatu kota. Lelaki itu benar-benar merasa asing di kota itu. Ia seperti berada di sebuah peradaban Antah Berantah. Atau, kota itu sendirikah yang tampak asing di matanya? Entahlah. Tak satu orang pun yang ia kenal di sana. Celakanya, tak satu orang pula yang mau mengenalinya.

Lelaki itu mengitari kota. Debu-debu beterbangan di sana-sini. Berbagai suara terdengar di telinga. Radio dan televisi pun tidak henti-hentinya menyiarkan berita perang dan bencana. Dunia telah berubah menjadi gaduh.

Di sebuah halte, lelaki itu bertanya pada seorang pria berdasi yang sedang menunggu taksi.

“Maaf, Tuan. Apakah Tuan mengerti di mana kekasihku berada?”

Pria berdasi itu membeliakkan matanya. Ditatapnya lelaki itu lekat-lekat.

“Bung, ini kota! Di sini yang bicara uang. Bekerjalah dan cari uang sebanyak-banyaknya. Nanti kau akan dapat membeli seribu kekasih yang kau inginkan!!” Teriak pria berdasi itu.

“Tetapi, kekasihku tak bisa dibeli, Tuan. Tak mungkin ia mengobral cinta.” Ujarnya.

Pria berdasi itu semakin garang. Dipandangnya lelaki itu penuh kejengkelan.

“Aku tak punya waktu untuk romantis-romantisan, Bung! Apalagi bicara soal cinta. Bagiku waktu adalah uang! Kau mengerti?” Pria berdasi itu pun berlari ke mobil taksi. Langkahnya terburu-buru, membuat lelaki itu berdiri termangu.

Ah, soal cinta pun mereka tak lagi punya waktu. Gumamnya dalam hati.

Gedung-gedung pencakar langit, tembok-tembok beton, berbagai instalasi listrik, dan aspal-aspal yang menutup hampir seluruh permukaan kota itu seoalah menutup hati mereka, hingga mereka tak lagi mengenal kekasih. Ataukah kekasih itu sudah mati sehingga tak perlu lagi dikenal?

Orang-orang di kota itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Jangankan yang bekerja di gedung-gedung, di mal-mal, atau di pabrik-pabrik, yang di pinggir jalan pun mereka enggan bertegur sapa. Mereka selalu begegas, berpacu dengan waktu, seolah khawatir matahari esok tidak akan terbit lagi.

Kala itu, lelaki itu hampir saja putus asa dan memilih untuk mengakhiri langkahnya. Namun, di suatu malam yang teramat malam itu ada bocah kecil bermata buta yang menyapanya.

“Hai, Kak. Apakah Kakak sedang mencari kekasih?”

Lelaki itu kagum bukan main. Bagaimana mungkin, bocah yang buta dapat melihat dan mengerti apa yang ia cari.

“Betul, saya sedang mencari seorang kekasih. Apakah engkau mengenalnya?”

“Oh. Sebenarnya kekasih yang Kakak cari itu tidak ke mana-mana. Ia akan tetap Ada, menyertai Kakak di mana pun berada.  Saya bisa merasakan kehadiran kekasih itu setiap saat.”

“Oh, ya? Benarkah?” Lelaki itu nampak agak kebingungan.

“Benark, Kak. Oh, iya. Ada hal yang belum pernah saya katakan kepada siapapun. Orang-orang mengira saya ini bocah buta, namun berkat kehadiran kekasih itu saya dapat melihat dan merasa tanpa mata. Bahkan semuanya serasa lebih jelas dari penglihatan mata itu sendiri.”

“Bagaimana bisa?!”

“Lihat, ada seekor semut yang akan menggigit punggung Kakak!”

Lelaki itu mencari semut yang dikatakan bocah itu. Dan benar. Ada seekor semut yang merayap di punggungnya. Ia mencoba menangkapnya, namun sayang, semut itu berhasil menggigit penggung lelaki itu lebih dulu. Lelaki itu semakin linglung,  merasa bodoh, dan tak mengerti kata-kata bocah itu.

“Kakak tak perlu bingung, saya akan mengantarkan Kakak menuju apa yang selama ini Kakak cari.” Tegas bocah itu.

“Be-be-be-nar-kah?” Dengan suara terbata-bata dan perasaan gembira yang tiada tara lelaki itu berkata.

“Mari ikuti saya, Kak!”

Akhirnya lelaki itu mengikuti bocah itu. Bocah itu terus berjalan mengikuti aliran ruang dan waktu. Dan di sebuah tempat bocah itu berhenti.

“Kak, wudhulah dan sholatlah di surau yang sudah tua ini. Nanti Kakak akan menemukan kekasih yang selama ini Kakak cari.” Kata bocah itu mantap sambil menunjuk sebuah surau yang sudah sangat tua. Sepertinya orang-orang sekitar sudah tidak pernah lagi mengunjunginya atau mungkin sudah melupakannya, hingga nampak tidak terawat dan usang.

Lelaki itu sempat merasakan kedamaian yang tidak ada hingga ketika melihat surau yang termakan usia itu. Ia seperti menemukan kerinduan yang telah lama hilang dan kini ia seperti sedang mendekati kerinduan itu. Ia seperti teringat kata-kata kakeknya, “kalau engkau ingin menemuiNya, rajin-rajinlah mengunjungiNya dalam sujud, lalu dengan tengadah tanganmu ke langit, supaya Dia mau membukakan pintu langit dan mempertemukanmu denganNya.” Belum sempat lelaki itu mengucapkan terimakasih, bocah bermata buta itu sudah tidak ada di sampingnya. Lelaki itu terus mencari di sekelilingnya, namun tetap tidak ada.

Kini ia mengerti, bahwa bocah bermata buta itu bukan sembarang bocah. Lelaki itu melangkah perlahan mendekati surau itu. Seperti ada yang mengalir membasahi jiwanya yang telah lama kering.

Lelaki itu pun bersujud panjang di surau itu. Entah apa yang membuat tubuhnya terasa teramat ringan diterpa angin. Ia serasa melayang, terbang menembus awan menuju puncak tertinggi alam semesta dan menemui kekasihnya yang sejati. Ia kini telah menjadi pengembara sunyi, pengembara abadi yang benar-benar abadi.

Malang, 22 Maret 2014