|
Mutiara Hikmah Aulia |
Pengajian Syekh Abdul Qadir Al-Jilany,
Jumat pagi tanggal 5 Rajab 545 H di madrasahnya.
Rasulullah Saw. bersabda: “Jenguklah orang yang sakit, dan iringilah jenazah
mereka, karena sesungguhnya hal demikian bisa mengingatkanmu akan akhirat.” (HR.
Imam Ahmad)
Rasulullah
Saw. bermaksud agar kita banyak mengingat akhirat, sementara kita menghindari
mengingat akhirat dan lebih cinta pada dunia. Padahal dalam waktu dekat, segala
apa yang kita miliki akan diambil oleh Allah tanpa ada yang bisa menghalangi.
Kita senantiasa bersenang-senang dengan dunia dengan segala warnanya, hingga
yang muncul adalah rasa sakit hati, patah hati, kecewa, kesepian, purba sangka,
iri, pamer, dan lain sebagainya, sebagai ganti dari riang gembira kita. Sebab
kita tidak berharap kepada Allah, melainkan malah menggantungkan harapan pada
manusia-manusia.
Wahai diri
yang alpa, yang sedang berpuas-puas dengan dunia. Kita diciptakan bukan untuk
dunia. Kita diciptakan untuk akhirat. Hai diri yang alpa. Apa yang seharusnya
kita lakukan dari Allah? Sedangkan hasrat kita hanya demi menuruti syahwat dan kenikmatan-kenikmatan.
Agama kita jadikan untuk menumpuk dinar. Kita sibuk dengan permainan-permainan,
padahal sudah diingatkan berulang kali akan kehidupan akhirat dan kematian.
Namun kita malah mengatakan, “Aku masih susah hidupku dan masih berutang sekian
dan sekian.” Padahal peringatan maut telah datang melalui uban kita, sementara
kita berusaha mencukur agar tak nampak. Ketika ajal kita tiba, mana amal kita?
Ketika
Malaikat maut tiba dengan perangkatnya, dengan cara apa kita menolaknya? Jika rezeki
kita sudah habis dan usia kita sudah selesai, dengan cara bagaimana kita
merekayasa?
Tinggalkan
diri kita dari kerumitan ini. Dunia dibangun untuk kepentingan amal perbuatan
baik, jika kita beramal akan ada pahala. Jika tidak, apa yang akan diberikan
pada kita? Dunia adalah negeri amal dan negeri kesabaran atas bencana. Dunia merupakan
negeri kepayahan dan akhirat negeri santai. Orang beriman itu menyibukkan
dirinya, jelas akan ada istirahatnya. Sedangkan kita tergesa-gesa untuk santai,
tetapi menunda-nunda jalan taubat, berlarut-larut hari demi hari, bulan demi
bulan, tahun demi tahun, hingga selesai ajal kita. Dalam sekejap menjadi
penyesalan.
Bagaimana
kita menerima nasihat, bagaimana kita sadar dan benar, sedang kita tak pernah
membenarkan? Hati-hati, atap rumah kehidupan kita telah terbelah. Hai diri yang
tertipu, bengkak-bengkak tubuh kehidupan kita telah tiba. Negeri ini, di mana
kita telah roboh, mestinya kita beralih ke akhirat. Carilah negeri akhirat dan
langkahkan kaki kita ke sana. Langkah apakah itu? Langkah amal yang saleh.
Langkahkan apa yang kita punya menuju akhirat hingga bertemu dengan-Nya.
Hai diri
yang terpedaya dunia, hai diri yang terus berburu tanpa mendapatkan sesuatu.
Hai diri yang meninggalkan barisan pasukan jalan Allah, malah sibuk dengan
pembantu-pembantu dunia. Hati-hati, akhirat itu tidak mau berpadu dengan dunia,
karena akhirat tidak ingin menjadi pembantu dunia.
Keluarkanlah
dunia dari hati kita, kita akan melihat akhirat, bagaimana akhirat datang dan
menguasai hati kita. Jika sudah sempurna, maka dengarkan panggilan dari Allah
Azza wa Jalla, maka pada saat itulah lepaskan akhirat dan carilah Allah Swt. Di
sanalah kemudian kalbu menjadi benar dan rahasia kalbu menjadi bening.
Jika hati kita
benar, maka Allah menyaksikannya, begitu juga para malaikat dan mereka yang
diberi ilmu oleh Allah, yang menyaksikan kebenaran hati kita. Jika sudah
demikian, kita menjadi kokoh seperti bukit, tak akan runtuh oleh badai, tidak
pernah sirna karena gempuran dan di dalam hati kita tidak lagi terpengaruh oleh
pandangan makhluk, tidak terpengaruh oleh pergaulan. Tidak ada haru biru di
hati kita, juga tidak ada kotoran yang merusak kebeningan rahasia jiwa kita.
Hai diri, awas! Siapa yang beramal demi dipandang dan diterima makhluk maka dia
adalah hamba yang minggat dan sekaligus musuh Allah Azza wa Jalla. Ia telah
mengafiri-Nya dan telah terhijab dari nikmat, terkena dendam dan laknat-Nya.
Makhluk
telah merampas hati, kebajikan, agama, dan membuat diri kita jadi musyrik,
melupakan Tuhan kita Azza wa Jalla. Mereka menginginkan kita, bukan
membahagiakan kita. Sedangkan Allah menginginkan kita untuk kebahagiaan dan
keselamatan kita, bukan untuk mereka.
Carilah yang
menghendaki kita dan sibuklah bersama-Nya. Karena sibuk bersama-Nya itu lebih
utama dibanding sibuk dengan yang menghendaki kita untuk diri-Nya. Kalau toh
kita harus mencari, maka carilah dari Allah, bukan dari makhluk-Nya.
Sebab yang
paling dibenci Allah manakala hamba-Nya mencari dunia dari makhluk-Nya. Minta
tolonglah kepada Allah, karena Allah itu Maha Kaya, sedangkan semua makhluk itu
miskin dan fakir. Bahkan para makhluk itu tidak memiliki kekuasaan dan
kemampuan terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap makhluk lain, baik suka
maupun dukanya.
Carilah kasih sayang-Nya, karena Dialah yang menghendaki kita. Semula kita
menjadi murid (yang berkehendak pada-Nya) dan Allah yang kita kehendaki.
Akhirnya kita menjadi murod (yang dikehendaki-Nya) dan Allah yang menghendaki
kita. ~