Mencari Kekasih |
Sudah lama
lelaki itu mencari hakikat, sebuah kemurnian, sebuah cinta, mencari tempat yang
benar-benar menjanjikan ketenangan di setiap sudut kehidupan. Ia mencari
kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui. Walaupun yang harus ia
lewati adalah jalanan yang terjal, menanjak, penuh onak, berduri, bahkan
melewati tujuh samudra pun, ia akan tetap melewatinya. Namun, hingga kini belum
juga ia temukan. Pernah suatu ketika ia bermimpi menemukan tempat yang di
dalamnya bagai surga ilmu, ia seperti berlayar dalam samudra ilmu. Itulah
mengapa, sampai kini ia tak pernah lelah mencarinya. Ia sangat yakin akan
menemukan apa yang diimpikannya itu. Itu semua dilakukan hanya untuk
mendapatkan Cahaya-Nya yang kini hilang entah ke mana.
Ia tidak
memiliki apa-apa, melainkan hanya jejak perjalanan hidup yang begitu pahit,
perih, sakit, bahkan berada di ujung maut. Ia mengembara ke mana-mana mencari
dan ingin sekali bertemu dan melihat Cahaya-Nya walau hanya sedetik saja dan
itu harus ditebus dengan pengembaraan panjang. Tidak hanya pengalaman spiritual
yang ia dapat, namun juga perjalanan fisik. Ia pernah masuk hutan sendirian
pada malam hari, menyusuri sungai pada malam hari, masuk ke dalam gua pada
malam hari, terjun ke laut juga pada malam hari, bahkan sampai dikeroyok anjing
dan mau dibunuh orang hingga kepalanya retak, leher terluka karena akan digorok,
dan jari patah dengan darah membanjir membasahi sekujur tubuh. Ia pernah
dijebloskan ke dalam penjara dua hari dua malam dan dibebaskan begitu saja oleh
polisi tanpa proses hukum. Semua jejak luka itu membekas pada tubuhnya dan
menjadi bukti serta kenangan abadi.
Ia masih
setia melangkah. Mencari kebenaran yang adanya ibarat kekasih yang dirindui.
Setiap orang yang dijumpainya di jalan selalu ia tanya, di mana kekasihnya itu
berada. Orang-orang yang dijumpainya itu bukan menjawab semestinya, malah menganggapnya
gila.
“Lihat, dia
bertanya tentang kekasih, padahal dia punya mata, punya mulut, kaki, tangan,
dan telinga. Apakah tidak digunakan bekal kemanusiaannya?” Demikian kata
seseorang yang ia temui di pinggir jalan.
“Mungkin dia
punya masa lalu yang kelam, kemudian dicarinya kekasih itu dalam bayang malam.
Dan dia sibuk dengan pengembaraan yang tak ada ujung pangkalnya di saat
matahari hampir terbenam. Kasihan benar dia,” kata yang lainnya.
“Atau
jangan-jangan dia sudah gila!”
“Ya,
menggilai kekasih yang sudah tak sabar lagi untuk dicumbunya!”
“Hahaha…!”
“Kasihan…”
Mereka
tertawa-tawa, tapi ada pula yang mengelus dada. Lelaki itu hanya tersenyum
mendengar semua komentar. Ia merasa tak perlu sakit hati. Buat apa sakit hati
kalau ia memang tak mempunyai hak untuk merasa sakit karenanya? Bukankah orang
yang sedang mencari kekasih tidak boleh menyimpan sedikit pun rasa sakit di
dalam hati? Apalagi rasa benci, iri, dan dusta. Ya, dalam hatinya tak boleh
menyimpan sedikit pun dendam. Semua rasa mesti ia curahkan hanya untuk perasaan
cinta. Mencinta dan merindui kekasih sejati yang hingga kini belum juga ia
temukan.
Pernah ia
mampir ke kota dan masuk ke sebuah toko, lalu bertanya pada pelayan toko. Di
mana kekasihnya itu berada?
“Kekasih…?”
Pelayan mengernyitkan kening.
“Betul,
apakah dia ada di sini?”
Pelayan itu
agak lama menatap wajah sang lelaki. Wajahnya penuh tanda tanya. Beberapa
pelayan yang lain ikut datang menghampiri. Mereka melirik dan berbisik-bisik
lalu entah mengapa, tiba-tiba mereka tertawa.
“Mengapa
kalian tertawa?” ia terheran-heran.
Mereka
tambah tergelak-gelak. Beberapa pengunjung ikut menengok ke arahnya. Mereka
juga tersenyum-senyum. Betapa malunya ia. Dengan perasaan kesal,
ditinggalkannya toko itu.
Ia heran.
Mengapa orang-orang selalu tertawa setiap kali ia bertanya tentang kekasih?
Mengapa mereka menganggapnya tak waras? Apakah pertanyaannya aneh? Ataukah
kekasih itu sekarang telah menjadi barang langka sehingga orang-orang tak lagi
mengenalnya? Ataukah ia telah berubah menjadi makhluk lucu sehingga seseorang
mau tidak mau, harus tertawa begitu ia menyebutkan namanya? Entahlah.
Gedung-gedung
pencakar langit, tembok-tembok beton, berbagai instalasi listrik, dan
aspal-aspal yang menutup hampir seluruh permukaan kota itu seolah menutup hati
mereka sehingga mereka tak lagi mengenal kekasih. Ataukah kekasih itu sudah
mati sehingga tak perlu lagi dikenal?
Lelaki itu
benar-benar merasa asing di kota itu. Ia seperti berada di sebuah peradaban
antah berantah. Atau, kota itu sendirikah yang tampak asing di matanya?
Entahlah. Tak satu orang pun yang ia kenal di dalamnya. Celakanya, tak satu
orang pula yang mau mengenalinya. Orang-orang di kota itu sibuk dengan
urusannya. Jangankan yang bekerja di gedung-gedung, di mal-mal, atau di
pabrik-pabrik, yang di pinggir jalan pun mereka enggan bertegur sapa. Mereka
selalu bergegas, berpacu dengan waktu, seolah khawatir matahari besok tidak
akan terbit lagi.
Lelaki itu
mengitari kota dengan berjalan kaki. Debu-debu beterbangan di sana-sini.
Berbagai suara terdengar di telinga. Radio dan televisi pun tak henti-hentinya
menyiarkan berita perang dan bencana. Dunia telah berubah menjadi gaduh.
Di sebuah
halte, lelaki itu bertanya pada seorang pria berdasi yang sedang menunggu
taksi.
“Tuan,
tahukah Tuan, di mana kekasihku sekarang berada?”
Pria berdasi
itu membeliakkan matanya. Ditatapnya lelaki itu erat-erat.
Jawabnya,
“Bung, ini kota! Di sini yang bicara uang. Bekerjalah dan cari uang
sebanyak-banyaknya. Nanti kau dapat membeli seribu kekasih yang kau inginkan!”
“Tetapi,
kekasihku tak bisa dibeli, Tuan. Tak mungkin ia mengobral cinta,” ujarnya.
Pria berdasi
itu tambah membeliak. Dipandangnya lelaki itu penuh kejengkelan.
“Aku tak
punya waktu untuk romantis-romantisan, Bung! Apalagi bicara soal cinta. Bagiku
waktu adalah uang! Kau mengerti?” Pria berdasi itu pun berlari ke mobil taksi.
Langkahnya terburu-buru, membuat lelaki itu berdiri termangu.
Ah, soal
cinta pun mereka tak lagi punya waktu.
Itulah
pengalamannya di kota. Setelah itu, ia meneruskan langkahnya. Ia berjalan
menyusuri pantai, menyeberangi lautan, memasuki lembah-lembah, dan mendaki
bukit-bukit, akhirnya, tibalah ia di sebuah desa. Di situlah ia menjumpai
petani dan anak-anak gembala. Ia bertanya kepada mereka, di mana kekasihnya itu
berada. Mereka menatapnya terheran-heran, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Beberapa anak cuma menunjuk-nunjuk mega, setelah itu tertawa-tawa.
Hanya ada
satu kakek tua tiba-tiba datang. Dari ujung desa. Agak tergesa ia menemui
lelaki itu. Kakek tua itu menanyakan tujuannya. Lelaki itu menerangkan
maksudnya. Lalu dengan lugu, kakek tua itu mempertemukannya dengan seorang
perawan desa yang benar-benar ayu.
“Bagaimana?
Engkau cocok?” sang kakek bertanya.
“Bukan,
bukan itu, Pak. Bukan perawan desa yang sedang aku cari. Aku sedang mencari
Kekasih. Kekasih bukan sembarang kekasih, melainkan Kekasih Sejati yang
benar-benar Kekasih yang kini entah berada di mana. Padahal, dulu Dia pernah
hadir di hadapan kita penuh ketulusan. Senyum dan kasih sayang-Nya tebarkan
kedamaian. Dia pernah berkata kepada kita bahwa Dialah Kekasih Sejati, Cahaya
Abadi, Kebenaran, dan Cinta yang takkan lekang ditelan masa. Tapi, mengapa
orang-orang sekarang sudah melupakannya? Apakah Bapak juga tak mengingatnya
lagi? Bukankah Dia dulu selalu bersama kita di mana pun kita berada? Di mana
sekarang dia berada?”
Orang tua
itu terheran-heran. Dipandangnya lelaki itu penuh kecurigaan. Kepolosan di
wajahnya seketika itu menghilang. Lalu ditinggalkannya lelaki itu penuh
kekesalan.
“Dasar orang
gila!” umpatnya.
Lelaki itu
sedikit kecewa. Pak tua itu ternyata sama saja dengan orang-orang lain, tak
mengenal kekasih yang ia maksudkan. Lelaki itu akhirnya meneruskan
pengembaraan. Ah, sudah sampai manakah peradaban ini sehingga orang-orang tak
lagi mengenal kekasih?
Ia tak mau
putus asa, diteruskan langkahnya yang agak tertatih-tatih itu. Agak larut malam
waktu itu. Ia bertemu dengan seseorang yang berpenampilan sangat biasa sekali,
tidak ada hal yang mencurigakan sama sekali dalam diri orang itu. Lelaki itu
menerangkan maksudnya. Tanpa berkata sesuatu apa pun orang tersebut berjalan
seolah mengajak lelaki tersebut menuju tempat yang ia cari.
Ia
mengikutinya menuju jalan setapak, menerobos hutan-hutan, menyeberang
sungai-sungai kecil, melewati kebun-kebun, pematang, sampai akhirnya mereka
masuk kuburan. Suara-suara aneh dan bayangan yang melintas di kuburan membuat
lelaki itu merinding. Sementara orang itu sudah duduk-duduk di sekitar kuburan,
menunggu.
“Kita
istirahat sebentar ya,” katanya tanpa menengok lelaki yang sangat lelah sekali.
“Kita masih
punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sampai di tempat tujuanmu.”
Setelah
lelaki itu ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, orang
itu bertanya kepadanya.
“Sebenarnya
apa yang kau cari hingga membuatmu harus mengembara sekian jauh seperti ini?”
Dingin udara
malam itu rasanya semakin menusuk mendengar pertanyaan orang itu yang
menelanjanginya. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Orang itu yang kemudian terus
berbicara.
“Pengembaraanmu
yang panjang itu mengingatkan akan deritaku, mengingatkan akan pengembaraan
Bima dalam mencari sarang angin demi mengenal dirinya yang sejati guna
membuktikan kebenaran yang hakiki. Percayalah, Kawan. Doaku selalu menyertai
langkahmu. Sebab engkau adalah aku. Aku adalah engkau, yang sempat terusir dari
taman firdaus entah berapa miliar tahun yang lalu. Kini kusadari hidup
merupakan titipan Tuhan yang paling berharga. Telah kulihat “wajah”-Nya dengan
pandangan nyata. Tuhan ternyata ada dalam kehidupan. Kini aku pun mencintai
hidup. Tujuan hidup adalah untuk mengerti siapa yang menjadikan hidup itu.
Hidup adalah untuk menghidupkan. Zaman sebetulnya tidak berubah, Kawan. Yang
berubah hanya peradaban yang membuat kita kadang gagap menghadapinya karena
belum siap berdamai dengannya. Kau tak perlu risau hanya karena melihat banyak
misteri yang tak mampu diterima oleh nuranimu di setiap persimpangan jalan yang
kau lalui itu. Kawan, perjalanan manusia paling panjang tidaklah ke mana-mana,
melainkan hanya menuju kepada dirinya sendiri. Kenalilah dirimu, maka kau akan
mengenal Tuhanmu, kau akan menemukan kekasih yang kau cari selama ini.
Sebetulnya kekasih itu selalu menyertai langkah kita, hanya saja karena
kebutaan kita tak mampu melihatnya. Kekasih selalu ada di setiap tempat, di
setiap kita memandang. Dan karena engkau telah bermimpi menemukan tempat yang
bak samudra ilmu itu, maka aku akan menunjukkannya padamu. Sesungguhnya setiap
detik dari pencarianmu adalah momen perjumpaan yang sangat berharga dengan
Tuhan.”
Lelaki itu
hanya bisa menunduk. Sementara orang itu terus berbicara sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Kita selamanya hanyalah seorang murid dalam pelayaran panjang yang sedang belajar
dan terus belajar pada kehidupan. Kita pada hakikatnya adalah pengembara yang
tidak pernah berhenti pada satu titik perhentian. Dan di akhir pengembaraan, kita
kelak akan bertemu dengan-Nya.”
Malam itu,
lelaki itu benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa
yang selama ini dijalaninya.
“Ayo kita
menuju tempat yang kau cari!” tiba-tiba orang itu bangkit. “Sebentar lagi
subuh. Nanti setelah terdengar azan Subuh kau harus cepat-cepat pergi ke Masjid
terdekat dan laksanakanlah salat Subuh berjamaah di sana. Yakinlah, kau akan
menemukan apa yang selama ini kau cari.” Lelaki itu menyepakatinya dan
mengingat-ingat pesan orang itu.
Setelah
melewati kuburan-kuburan, orang itu berbelok. Ketika kemudian lelaki itu ikut
belok, ia kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Ia pun celingukan. Orang
itu sudah tak tampak lagi. Baru ketika beberapa saat ia mengerti, bahwa yang
ditemuinya tadi bukanlah sembarangan orang. Dengan perasaan cemas, ia terus berjalan.
Didengarnya azan subuh berkumandang dari sebuah Masjid. Seperti orang linglung,
ia mendatangi Masjid itu. Ia pun mengambil wudu dan berjamaah dengan amat
khusyuk. Dalam perjalanan menuju keabadian itu, ia seakan menemukan cahaya yang
selama ini telah hilang. Ia seakan berada di tempat yang benar-benar
menjanjikan ketenangan di setiap sudut kehidupan. Ia pun sangat bersyukur,
berkat pemahaman baru yang didapatnya dari orang yang sama sekali tak
dikenalnya, yang masih menjadi misteri dalam hidupnya.
Tak seorang
pun dari mereka yang berada di Masjid itu yang ia kenal. Baru setelah salat, ia
bertanya kepada salah seorang yang ada di masjid itu.
“Maaf Pak,
saya ini sebenarnya ada di mana ya?” tanyanya bingung.
“Oh, sekarang
Nak Mas ada di Masjid Bahrul ‘Ulum. Bahrul ‘Ulum adalah samudra ilmu. Saya
mengucapkan selamat datang kepada Nak Mas. Semoga engkau betah di sini. Di sini
ada banyak taman ilmu, kau bisa mereguk sebanyak dan seluas ilmu yang ada di
sini. Sudah tepat tempat yang kau tuju.” Kata salah seorang yang bertugas
menyapu masjid.
Lelaki itu
berpikir sejenak. Diingat-ingatnya kembali mimpi yang dulu pernah singgah
sejenak dalam lelapnya. Dan ternyata benar. Kini ia mengerti mengapa orang tadi
mengirimnya ke tempat ini, tempat yang di dalamnya bagai surga ilmu. Ia seperti
merasakan udara baru dan seakan benar-benar berlayar di keluasan samudra ilmu. Tempat
yang benar-benar menjanjikan ketenangan di setiap sudut kehidupan. Kini legalah
segala perasaannya sebab ia telah menemukan apa yang selama ini diimpikannya
itu. ~
Tuban, Januari 2016.
Mukhammad Fahmi.