|
Sahabat Sejati |
Jangan-jangan,
hal yang paling berharga dalam hidup manusia adalah sahabat. Sahabat atau teman
abadi yang akan menemani di sepanjang perjalanan. Tapi apakah sahabat sejati
itu benar-benar ada? Sahabat yang akan dengan setia menemani manusia di seluruh
perjalanan? Sahabat yang tak akan pernah meninggalkan manusia barang sedetik
saja. Sahabat yang akan menemani untuk membela atau bahkan mencampakkannya
sebagai pertanggungjawaban atas segalanya. Sahabat yang akan menemani manusia
untuk kembali menghadap kepada yang telah menciptakannya. Selama ini tak pernah
terdengar, ada teman yang sudi menemani sahabatnya dalam kubur ketika telah
tiada. Kalau sudah demikian, siapa sesungguhnya sahabat manusia yang sejati?
Sahabat dan
perjalanan merupakan dua diksi yang tak bisa dipisahkan. Lalu apakah yang
sesungguhnya disebut sebagai perjalanan itu? Pernahkah kita berpikir, apa yang
sedang dan akan terus-menerus kita jalani? Sebuah perjalanankah? Bagaimana kita
dan perjalanan ini bisa ada? Siapa yang sesungguhnya menciptakan perjalanan
ini? Untuk apa perjalanan ini ada? Bagaimana dan dari mana awal mula dari
segala perjalanan? Apakah kelak ada batas akhir dan pemberhentian dari
perjalanan yang selama ini kita jalani? Jika iya, kapan perjalanan ini akan
terhenti? Di mana titik perhentian perjalanan itu? Kemudian jika tidak,
bagaimana engkau bisa menjelaskan kepadaku bahwa perjalanan ini tidak pernah
ada batas akhirnya? Apakah ada perjalanan selanjutnya setelah perjalanan di
bumi? Ataukah perjalanan merupakan proses menuju keabadian dan alam yang kekal,
sedemikian hingga kita tidak akan pernah menemui titik perhentian? Apa yang
sebenarnya dan sesungguhnya kita cari dari perjalanan yang selama ini kita
lalui? Tahukah kita bagaimana cara melewati jalan yang benar? Tahukah kita
bagaimana cara memahami dan membaca dari setiap perjalanan agar kelak sampai di
dermaga yang dinantikan oleh setiap pejalan? Mengertikah kita, cakrawala mana
yang hendak kita tuju dari seluruh perjalanan ini? Kepada siapa kelak kita akan
kembali?
Semua
pertanyaan yang dulu selalu bergelayut di pikiranku itu kini telah terjawab.
Ya, semuanya telah terjawab. Aku dan setiap manusia yang barangkali pernah
berpikir seperti itu kini telah menemukan jawabannya. Aku telah melihatnya
sekarang, di hari ini. Engkau yang membaca tulisanku ini boleh percaya boleh
tidak. Aku akan menceritakan apa adanya. Jika saja aku mampu, akan kuberitakan
pada semua penduduk yang ada di bumi agar mereka percaya. Namun ternyata waktu
tidak pernah berjalan mundur. Hari kiamat telah benar-benar terjadi.
Orang-orang
seketika riuh, seperti semut yang mencoba berlari mencari perlindungan ke arah
timur, barat, selatan, utara, tapi sepertinya mereka sudah terlambat. Mereka
melihat kebenaran tentang apa yang selama ini mereka bohongkan. Terompet ajaib
itu kini telah ditiup, semuanya menjadi tiada, binatang-binatang itu menjadi
debu, para malaikat melesat dalam cahaya, sementara orang-orang itu lenyap
dalam tanah. Tanah akan kembali ke tanah. Sementara setiap ruh akan kembali ke
Pemilik ruh yang sejati. Sejarah tidak akan pernah mengkhianati ruh-ruh yang
sejati. Sekarang, setelah semuanya lenyap, benar-benar lenyap dan senyap.
Kecuali Yang Maha Ada yang akan senantiasa hidup dalam keabadian. Bumi telah
berganti menjadi kehidupan baru. Dan seketika, hujan deras menyiram bumi selama
empat puluh hari.
Setelah empat
puluh hari lamanya dari peristiwa kiamat itu, terompet ajaib itu kembali
ditiup. Kini akhirnya aku merasakan benar-benar terlahir kembali. Tiba-tiba aku
teringat, cerita masa depan yang dahulu pernah disampaikan oleh guruku ternyata
sama persis, memang benar nyatanya, kini aku melihatnya sendiri sekarang.
Setelah sekian
entah dihujani bertubi pertanyaan oleh sosok raksasa mengerikan yang tak
kukenal di alam tanah, sekarang aku bersama kawananku yang lain hidup kembali
dan berjalan menuju entah. Kulihat ada yang berjalan menggunakan tubuhnya, ada
yang berjalan menggunakan kepalanya, ada pula yang melesat menaiki kereta
cahaya.
“Maaf, kenapa
wajahmu bisa begitu putih bercahaya?” tanyaku pada salah satu di antara mereka
yang lewat. Tapi menoleh pun tidak. Orang-orang itu seperti sibuk
sendiri-sendiri atas pertanggung-jawabannya, tak peduli pada kanan dan kirinya.
Lalu seperti
ada suara tapi bukan datang dari orang yang kutanya tadi.
“Ia adalah
orang yang ahli menjaga kesuciannya dengan senantiasa berwudu.”
“Oh, pantas
saja,” batinku seraya mangut-mangut.
Lalu kami
berjalan lagi, melewati ratusan ribu tahun waktu yang melelahkan. Hingga
tibalah kami di sebuah tempat, di mana seluruh kawananku dikumpulkan. Tempat di
mana matahari tepat di atas kepala. Tempat di mana tidak ada payung kecuali
payung perlindungan-Nya. Suasana sangat panas sekali, sampai keringat yang
keluar dari banyaknya manusia itu membanjiri padang ini. Kami tenggelam
kepanasan.
Kemudian satu
demi satu dari kami dipanggil. Pada saat inilah, waktu dari segala
pengungkapan. Setiap dari anggota tubuh kami berbicara, bersaksi. Mulai dari
mata, telinga, hidung, tangan, kaki, otak, hati, farji. Sementara mulut kami
dibungkam. Bahkan, setiap benda yang dulu pernah kami gunakan pun bersaksi.
Satu demi satu benda-benda itu datang dari arah yang entah. Sandal, buku, pena,
tas, tasbih, sorban, laptop, hape, kaca mata, uang, sampai jam dinding juga.
Semua berbicara dan diperhitungkan sebagai saksi. Tak ada yang luput dari satu
perhitungan sekalipun.
Kini, setelah
melihat semuanya. Aku mengerti. Siapa sesungguhnya sahabat sejati itu. Sahabat
yang akan dengan sangat setia menemani di sepanjang usia perjalanan manusia.
Sahabat yang membantu menjawab pertanyaan ketika di alam tanah. Sahabat yang
menolong memberatkan ketika pertimbangan amal. Sahabat yang akan membantu
menerima buku ajaib. Sahabat yang akan membantu menyeberangi jembatan. Sahabat
yang tak akan membiarkan manusia kesepian sendiri dan hanya akan melepaskannya
setelah tiba di sebuah tempat pulang yang damai. Sahabat sejati manusia ialah
amal kebaikan dan keburukan. Amal kebaikan dan keburukan itu serupa hal-hal
abadi. Betapa kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tidak akan pernah
mati. Mereka akan hidup abadi hingga tiba hari yang dijanjikan.
Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu membersamai orang yang dulu
pernah merawatnya ketika hidup di dunia. Kebaikan-kebaikan dan
keburukan-keburukan itu menjelma makhluk yang menemani perjalanan manusia di
alam ini. Makhluk yang tahu balas budi.
“Kau siapa?”
kucoba memberanikan bertanya pada makhluk berwajah damai itu.
“Aku adalah amal
bacaan surat as-Sajdah yang setiap sebelum tidur kau lantunkan itu,” balasnya.
“Kalau yang
kamu siapa?” tanyaku pada makhluk yang berwajah jelek.
“Aku adalah
rasa sombong yang pernah melekat di hatimu,” jawabnya.
Seketika
semuanya menjadi pembenar. Aku benar-benar terhenyak, seperti menjadi manusia
yang bodoh. Betapa mengumpulkan hal-hal yang kelak abadi di kehidupan dunia itu
lebih menjanjikan. Dan kini, hal-hal yang abadi itu telah membersamai manusia.
Sayangnya, manusia dahulu lebih sering tertipu oleh hal-hal yang tidak abadi.
Oleh hal-hal yang sebentar saja rapuh.
Setelah
orang-orang itu melewati timbangan amal, kini mereka akan menerima buku maha
ajaib yang akan menentukan tujuan selanjutnya dari perjalanannya. Aku kembali
teringat, sahabatku dulu pernah berkata, “Sesungguhnya setiap manusia adalah
penulis.” Dulu aku tak mengerti apa maksudnya ia berkata demikian. Tapi kini,
aku telah memahami apa maksudnya itu. Sesungguhnya setiap manusia adalah
penulis. Di kehidupan dunia yang telah berlalu itu, manusia pada setiap
nafasnya senantiasa menulis untuk dirinya sendiri. Kelak di kehidupan
selanjutnya, sekarang ini, mereka akan menerima tulisan-tulisannya sendiri,
berupa buku besar yang maha ajaib. Tak ada satu pun kalimat di buku itu yang
terlewat untuk dicatat, semunya lengkap. Adalah berupa tulisannya sendiri dari
semenjak balig sampai meninggal.
Kulihat, ada
yang menerima buku itu dengan tangan kanan. Ada yang menerima dengan tangan
kiri. Bahkan, ada pula yang menerima dengan punggungnya. Pada waktu itu pula,
sebagian dari mereka menangis dan sebagian dari mereka berbahagia, seperti yang
kuingat ketika acara pembagian rapor sekolah. Hanya saja bedanya, rapor sekolah
ditulis oleh guru, sementara buku maha ajaib ini ditulis oleh tulisan mereka
sendiri. Mereka yang menulis dengan tinta merah semerah api akan diseret menuju
ruang yang berapi-api. Sedangkan mereka yang menulis dengan tinta hijau sehijau
taman, akan dipersilakan menuju taman-taman hijau yang sejuk dan damai, yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai yang lebih putih dari air susu sekalipun.
Setelah
mendapatkan buku masing-masing, orang-orang itu melewati sebuah jembatan yang
di bawahnya ruang berapi-api. Jembatan yang bukan sebarang jembatan. Jembatan
itu memiliki ukuran serupa rambut dibagi tujuh dengan tajamnya tujuh kali
pedang. Di penghujung jembatan itulah tempat taman yang hijau berada. Tapi
banyak orang yang terpeleset di jembatan itu, terutama bagi orang memiliki
catatan merah penuh. Mereka kekal di dalamnya. Orang dengan buku catatan merah
dan hijau akan dihilangkan catatan merahnya di ruang berapi dulu, baru setelah
bersih dari merah akan diangkat dan dipersilakan ke dalam taman yang hijau.
Sementara orang dengan catatan hijau penuh, ia akan dengan mudah melewati
jembatan itu dan langsung dipersilakan ke dalam taman hijau yang damai.
Namun, di
tengah-tengah jembatan itu aku seperti melihat seseorang yang kukenal.
Bagaimana mungkin, orang sebaik itu, yang dulu senantiasa meneriakkan makna
kebenaran sekarang bisa berada di ruang berapi-api. Bagaimana mungkin sahabat
sejatinya mengajak ke dalam ruang berapi-api itu, gumamku. Lagi-lagi datang
suara dari arah yang entah.
“Demikianlah.
Di kehidupan dunia, terkadang Tuhan menghiasi musuh-Nya dengan pakaian
kekasih-Nya, dan terkadang Tuhan menghiasi kekasih-Nya dengan pakaian
musuh-Nya. Betapa Tuhan Maha Mengetahui segala yang tersembunyi.” ~
Malang,
Februari 2018.
Mukhammad Fahmi.