Sebuah Kerinduan |
“Bagaimana kabar Rahma sekarang? Apakah dia sudah menikah?” Pertanyaan ini menyembul begitu saja dalam benaknya ketika ia turun dari bus kota yang berhenti di pinggir jalan desa. Desa yang ditinggalkannya selama tujuh tahun itu, tiba-tiba membersitkan kenangan aneh sekaligus perasaan asing dalam dirinya. Desa itu seolah bertambah sunyi. Dan perasaan sunyi itu semakin mendentam-dentam dalam jiwanya begitu kenangan kembali wajah Rahma.
Hari ini, ia memang memutuskan untuk secepatnya pulang. Kehidupan di kota telah membuatnya jenuh. Rasa rindu pada kampung halamannya tidak tertahankan lagi. Ia teringat pada kakek dan nenek. Ia ingin bersimpuh di hadapan kakek - neneknya itu, merekalah yang mengasuhnya sejak kecil. Ia ingin melihat kembali kebun kakek yang banyak di tumbuhi pohon buah-buahan. Ia ingin memanjat kembali pohon sawo yang katanya dihuni oleh genderuwo. Ia ingin memetik lagi buah itu untuk diimbu.
Bukan hanya pohon sawo itu yang membuat kerinduannya bertambah, juga pohon-pohon lainnya yang di kota tidak pernah ia jumpai, seperti sirsak, jambu mente, atau pohon trembesi, misalnya. Namun, dari sekian banyak pohon itu, pohon sawolah yang paling berkesan di hatinya, sebab pohon itulah yang membuat kaki kirinya sampai saat ini pincang. Dia jatuh dari pohon itu ketika memanjatnya, saat itu umurnya baru tujuh tahun. Kata kakek, genderuwolah yang mendorongnya hingga ia terjatuh. Dan ia percaya, walaupun saat itu ia hanya melihat kepakan kelelawar dan codot yang kaget karena kehadirannya di pohon itu. Kini, ia tahu bahwa gendruwo yang disebut-sebut kakek itu tidak lain adalah codot dan kelelawar yang membuatnya kaget hingga ia terjatuh dan kaki kirinya patah.
Ah, sesungguhnya banyak, banyak sekali yang membuatnya rindu. Tingkah polah si Bule misalnya, yang selalu menuruti perintahnya. Si Bule kini juga terbayang-bayang di pelupuk matanya. Ia ingin menaiki lagi punggung kerbau itu, yang berjalan melenggak-lenggok dan membuatnya serasa menaiki mobil yang paling mewah. “Sungguh, naik punggung si Bule terasa lebih enak dibandingkan naik mobil sedan,” pikirnya. Ia ingin sekali mengajak si Bule melakukan tur lagi dari tanah lapang yang satu ke tanah lapang yang lain, ke pematang-pematang sawah, lalu berkubang di sungai yang airnya sejuk. Ia juga ingin merasakan kembali kerasnya tanah sawah yang pernah ia cangkuli bersama kakek. Ya, pokoknya ia menginginkan segalanya seperti dulu lagi. “Seperti apakah kakek sekarang? Apakah rambutnya yang dulu hitam sudah ubanan? Dan, nenek, apakah dengan kulitnya yang sudah keriput itu masih juga senang menceker-ceker pematang sawah mencari jangkrik? Lalu, Rahma… gadis putih manis, anak Pak Imam tetanggaku itu, apakah masih setia menanti?” Ia benar-benar sudah tidak kuat lagi menahan gejolak batinnya yang diliputi kerinduan.
Dengan menyandang ransel yang serat oleh-oleh dari kota, ia tergesa-gesa menelusuri jalan desanya. “Kakek dan nenek pasti belum pernah merasakan enaknya biskuit. Mereka pasti belum pernah merasakan kepraktisan melap wajah yang kotor dengan tisu, dan lain sebagainya.” Semua produk kota itu dibawanya untuk diperkenalkannya kepada kakek dan nenek. Tidak ketinggalan ia juga membawa oleh-oleh khusus yang sangat mereka sukai, yaitu rokok lisang cap kerbau dan susur. Ah, mereka tentu bahagia sekali dan kaget melihat cucunya yang dahulu nakal dan cengeng telah berubah menjadi seorang pemuda yang sebentar lagi siap menurunkan cicit buat mereka. Akan tetapi, siapakah yang sudi dipersuntingnya? Rahma! Ya, harapan satu-satunya yang ada di hatinya selama ini adalah Rahma, gadis putih manis yang dahulu selalu membuatnya gelisah kalau tidak bertemu sehari saja.
Dengan langkah berpincang-pincang, ia berjalan lewat bulak yang sepi. Jalan setapak di tengah-tengah ladang yang menghubungkan desa dengan jalan raya menuju kota itu masih tetap seperti dulu, kering dan sunyi. Tidak ada perubahan.
Di sebuah ladang yang kering, tiba-tiba ia melihat seorang lelaki tua sedang mengayunkan cangkulnya bertubi-tubi. Tubuh lelaki tua itu hitam legam, keringat membanjir di sana, hingga tampak mengkilap terkena sinar matahari yang belum tegak di tengah. Dengan terpincang-pincang, ia menyusuri pematang sawah, mendekati lelaki tua itu. Ia yakin benar bahwa lelaki tua itu adalah kakek yang dahulu selalu menimang-nimangnya setelah simbok pulang ke pangkuan Tuhan, dan setelah Bapak gugur di medan perang. Ia tidak tahu bapaknya gugur dalam perang apa. Kakek hanya berkata bahwa bapak meninggal setelah bertempur melawan musuh-musuh yang merongrong rakyat. Siapakah musuh-musuh itu? Apakah mereka para pengedar dan perampok yang sering mengganggu ketenteraman penduduk? Entahlah, simbok sendiri meninggal setelah terserang penyakit TBC. Ia lahir ke dunia ini tanpa mengenal wajah bapaknya, dan sebentar berada di gendongan ibunya.
“Kakek….!” Ia berseru setelah dekat.
Lelaki tua itu yang kepalanya penuh uban, berkulit keriput tetapi masih tampak tegar, menoleh kepadanya.
“Aku pulang, Kek!”
Lelaki tua itu menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Aku Ahmad, Kek!” pemuda itu langsung menyambar tangan lelaki tua itu, menciumnya lalu memeluk tubuhnya. Kini bajunya ikut basah oleh keringat si kakek.
“Ahmad….? Kau, cucuku….yang…yang…?” kakek itu ragu-ragu.
“Ya, aku cucumu Ahmad yang kakinya pincang!” kata pemuda itu sambil memperlihatkan kakinya yang cacat.
Setelah itu, tanpa dapat berkata-kata, si kakek memeluknya dengan erat. Tetes air mata mengalir dari pipinya. Itulah air mata kebahagiaan. Ia tidak menduga cucunya yang ia sangka telah hilang tidak tahu rimbanya itu, pulang kembali ke pangkuannya.
“Kukira kau telah tewas seperti bapakmu yang gugur dalam pertempuran, cucuku,” kata si kakek dengan suara tersendat-sendat karena terhalang oleh isakan tangisnya.
“Musuh memang terlalu berat, Kek. Tapi cucumu ini dapat menaklukkannya! Jawabnya dengan bangga.
“Berapa orang musuhmu itu, cucuku?”
“Berapa orang? Tak dapat dihitung, Kek! Sebab, musuhku bukan orang, melainkan kehidupan kota yang keras dan ganas. Karena aku sudah dapat menaklukkannya, hari ini aku pulang. Lihat, ransel ini berisi oleh-oleh buat kakek dan nenek, hasil kemenanganku bertempur itu!”
Si kakek memandangi ransel yang dipamerkan si pemuda dengan mata berlinang-linang.
“Tapi, sayang cucuku…,” katanya kemudian, kata-kata itu tidak dilanjutkannya. Kepalanya ditundukkan, menekuri tanah lempung yang lengket di kakinya.
“Tapi sayang? Apanya yang sayang, Kek?” si pemuda bertanya tidak mengerti.
“Nenekmu telah meninggal dunia, seminggu yang lalu. Ia meninggal karena merindukan kau. Lihat pusaranya di ujung sana masih merah,” tunjuk lelaki tua itu ke segundukan tanah di ujung ladang dekat sebatang pohon randu.
Pemuda itu merunduk. Batinnya meratap. Nenek yang sangat aku sayangi yang selalu mencarikanku jangkrik, telah tiada….
“Lalu… Rahma, Kek?” Entah dari mana datangnya pikiran itu, tiba-tiba saja ia mengeluarkan pertanyaan itu. Ya, pertanyaan tentang gadis, bagian dari kerinduannya, yang telah lama terselip di lubuk hatinya.
“Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, Ahmad. Ia sudah putus asa menantimu pulang. Apalagi, kau tidak pernah berkirim kabar. Jadi, jangan salahkan jika kini dia telah bahagia dengan suami dan dua orang anaknya,” jawab si kakek dengan kepala menunduk.
“Oh!” pemuda itu mengeluh dalam. Ia benar-benar terluka kini. Kegersangan tiba-tiba menyergap jiwanya, seperti gersangnya alam desanya, desa Bulak ini. Desa yang selalu gersang dan tidak berdaya dalam menghadapi kerasnya alam ini, kini tampak semakin kering di matanya. Ya, desa Bulak yang ia harapkan dapat memberikan kebahagiaan hidup bersama Rahma. Semua itu kini telah lenyap.
Sepuluh tahun ia berjuang di kota untuk mendapatkan segalanya. Ia telah menabung uang sedikit demi sedikit. Dan kini, harapan untuk membangun rumah yang mungil dan kesiapan ototnya untuk kembali menggali harta karun yang ada di ladang kakeknya itu telah hancur. Rahma telah bahagia dengan dua orang anaknya, dan dengan lelaki lain! Ah, betapa sukar hal ini untuk dipercaya.
“Tapi,…tapi.. si Bule masih ada kan, Kek?” tanyanya setelah diam beberapa saat. Suaranya hambar, tidak dapat menyembunyikan kesenduan hatinya yang sangat dalam.
“Bule tetap setia menantimu, Ahmad. Tapi tenaganya sudah tidak dapat diharapkan lagi!” jawab si kakek. Ia seperti dapat merasakan kegundahan yang terjadi pada diri cucunya.
“Biarlah, Kek. Mungkin ia dapat mengobati sebagian rasa rinduku!” jawab pemuda itu sambil meninggalkan kakeknya lalu berlari ke pondok dekat ladang itu.
Ia berlari dan berlari di antara kekecewaan dan kerinduan yang membukit. Kini, apalagikah yang dapat diharapkannya dari desa yang sunyi ini? ~