Tak terasa kaki kita sudah sampai di sini. Di waktu yang telah dikabarkan oleh Kakanda Rasul Saw seribu empat ratus tahun yang lalu. "Tidaklah datang kepada kalian suatu masa kecuali setelahnya lebih kejam dari sebelumnya," begitu kata Rasul Saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari Ra.

Betapa kita telah benar-benar melihat. Menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi di hari ini. Apakah itu perihal pertentangan, permusuhan, kezaliman, dan lain sebagainya. Bahwa tubuh kita hampir sedemikian hancur, berurai, terpecah belah, tak lagi utuh. Yang pasti, ada dalang di balik semua ini, semacam pekerjaan haram, yang telah dibayar dan difasilitasi sedemikian rapinya untuk menghasut kita setiap saat, agar pandangan dan sikap kita atas persatuan dan kedamaian menjadi berubah. Sebab senjata api sudah tak layak pakai lagi, maka mereka menggunakan senjata hasut untuk merusak tubuh kita dari dalam.

Mari sejenak kita lupakan apa yang menjadi rel kebenaran bagi kita dan yang bukan. Apa yang menjadi ego kita dan yang lain. Bukankah para ulama dan pendiri terdahulu sudah sepakat untuk bersatu dan bersama-sama berjuang menurut apa yang diyakini masing-masing. Lakum dinukum waliyaddiin. Berbeda namun tetap satu.

Apalagi, kita sama-sama satu agama. Sama-sama mengucapkan syahadat, sama-sama salat, puasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan menjalankan haji bagi yang mampu. Lalu apalagi yang mesti kita risaukan. Tak ada yang salah, bukan. Hanya mungkin cara pandang kita saja yang berubah. Sudah menjadi keniscayaan, apa yang dikatakan Rasul Saw, bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Dan kita tak bisa mengelak hukum alam itu, yang telah benar-benar kental di hari ini.

Hal yang tidak baik, yang paling sering terjadi adalah sikap saling hujat dan adu kebenaran masing-masing. Sekarang sudah sangat banyak, media online yang menjembatani percekcokan itu. Entah itu di fb, wa, ig, line, dan lain sebagainya. Meraka mendirikan kubu dan kelompok masing-masing, lalu menyelenggarakan pertandingan ideologi, bisa dibilang semacam debat publik. Entah itu berupa teks, gambar, video. Setiap admin bertugas menyebar kebenaran dari kelompoknya untuk membunuh paham yang bukan darinya.

Saya benar-benar miris sekali melihat semua ini. Tak peduli siapapun. Yang berdiri di atas rel kebenaran sekalipun dengan akalnya, menjadikan dalil untuk membenarkan diri, menyalahkan yang lain, kemudian menyulap segalanya. Dan seketika, bim sala bim!

Kalau boleh meminjam kalimat dari saudara saya yang sangat menggemaskan, Achmad Fauzi, kira-kira begini. Mengapa Tuhan menciptakan persaingan? Saya pikir proses ini memberikan dorongan bagi manusia untuk berlomba-lomba. Bagus, itu positif. Tapi di balik semua itu ada celah dan lubang besar yang nyata jika bisa dicerna lebih dalam lagi. Mereka melupakan satu hal yang paling penting; adakah Tuhan di dalam dirinya. Sebab orientasi perbuatan sudah tak lagi karena Tuhan, melainkan karena ingin mengungguli manusia lainnya. Mereka berlomba-lomba bahkan dalam hal ketuhanan sampai lupa di mana posisi Tuhan dalam hatinya. Tipis dan naif? Memang, manusia adalah tempatnya. Silakan konstruksi ulang niat dan orientasi. Pingin tak cekel tengkorak sirahe, banjur tak kepruk e! Tak isine hal-hal sing berguna. Tapi gak wes, gak jadi. Selamat bertafakur, selamat ngopi!"

Apalagi yang diperdebatkan hanyalah masalah-masalah kecil, yang furu'iyyah, yang masih banyak terjadi perbedaan di kalangan para ulama. Sudahlah, jangan lagi berdebat ya. Kumohon, jangan. Kita kan sudah saling memahami, bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah.

Saya tidak pro dan kontra terhadap siapapun. Namun bukan berarti saya tak punya pijakan. Jika mereka datang kepada saya dan menggelar berbagai dalil, saya iya-iya saja. Nggah-nggih saja. Betapa saya hanya tak ingin menyinggung yang lain. Saya hanya ingin menghormati apa yang menjadi keyakinan mereka. Saya amalkan sembunyi dan terang-terangan sebagai apa yang saya yakini. Betapa saya menginginkan suasana yang harmonis. Suasana yang romantis.

Terhadap siapapun saja kita mesti berprasangka baik. Ada rahasia di balik segala penciptaan ini. Ada kisah yang sangat menarik. Suatu ketika datang seorang Badui penyembah berhala kepada Rasul. Ia berkata, "wahai Muhammad. Aku ingin bertanya. Siapa sesungguhnya Tuhanmu itu? Terbuat dari apakah ia? Apakah dari batu, atau emas, atau perak?" Saat itu Rasul bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang segera berkata, "ya Rasul, izinkan hamba memenggal kepala orang ini..!!" Rasul begitu tenang dan menjawab, "lho-lho, jangan dibunuh, Abu Bakar, bersabarlah sebentar." "Tuhanku adalah Allah, Tuhan dari segala penduduk langit dan bumi. Semua makhluk bertasbih kepada-Nya," lanjut Rasul kepada orang Badui itu. "Kalau begitu tunjukkan aku buktinya, aku ingin tahu kebenaran ucapanmu," kata orang Badui. Kemudian lewat di antara mereka seekor keledai. Lalu Rasul berkata, "wahai keledai, katakanlah siapa tuhanmu?" Tanya Rasul. Kemudian keledai itu menjawab, "Tuhan saya adalah Allah, Tuhan paduka juga, yang menjadi raja di langit dan bumi." Dan coba tebak, apa yang terjadi sesudahnya. Orang Badui itu seketika masuk Islam. "Sebelum ini, engkaulah orang yang paling kubenci. Tapi setelah melihat apa yang baru saja terjadi, engkaulah orang yang paling kucintai. Engkau begitu kasih sayang, sekalipun kepada orang yang telah mencelamu, maafkan hamba ya Rasul," ungkap orang Badui itu. Dan setelah pulang, ia menjumpai seribu orang Badui yang semua membawa pedang untuk membunuh Rasul. "Di mana Muhammad sekarang?" Tanya pemimpin pasukan itu. Seketika orang Badui tadi memberhentikan mereka. "Sebentar, tunggu dulu." Lalu ia menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Dan akhirnya, seribu orang Badui yang hendak membunuh Rasul itu beriman semua. Tuh, lihat. Apa yang terjadi jika saja Rasul membunuh orang Badui tadi, maka orang Badui itu bersama seribu orang Badui lainnya tidak akan masuk Islam. Betapa ramah dakwah Rasul itu. Sekalipun beliau dihujat, tapi hati beliau tetap lapang, tidak marah dan membalas menghujat. Tidak seperti orang-orang sekarang ini. Andai orang-orang bisa berdakwah seperti ini, berdakwah dengan kasih sayang, tanpa menjatuhkan yang lain. Mengerti segenap latarbelakang masyarakat dan bagaimana seharusnya berdakwah.

Sekali lagi, sesama muslim yang sama-sama menjalankan lima rukun islam kita tak perlu bertengkar lagi, tak perlu memperdebatkan perkara yang kecil-kecil itu. Yang perlu kita kerjakan saat ini adalah apa yang telah benar-benar nyata di mata kita, suatu kezaliman dan kemungkaran yang dilegalkan. Bahwa amar ma'ruf itu penting, tapi jangan sampai melupakan nahi mungkar. Iman kita sungguh tipis sekali. Lemah. Melihat semua kezaliman dan kemaksiatan, kita mungkin hanya bisa meneguhkan dalam hati. Padahal itu adalah iman yang paling lemah. Sebagimana bahwa, jika kita melihat suatu kemungkaran maka cegahlah dengan tanganmu. Jika tidak bisa, maka cegahlah dengan lisanmu. Dan jika masih tidak sanggup, maka kita harus mengingkarinya dengan hati. Itulah selemah-lemahnya iman.

Baru-baru ini saya melihat halaman fb bernama "Up Indonesia." Halaman fb itu tidak mutu sekali. Tiga ratus lima puluh ribu orang menyukainya. Betapa saya ingin memblokir halaman itu. Halaman itu memuat orang-orang yang dengan beraninya, dengan terang-terangan menunjukkan perilaku mungkar, ndak malu ya cerita kebejatannya sendiri di publik. Presenternya juga, ngapain pakai acara wawancara seputar hal gak genah gitu.. Astaghfirullah.. 😭 Ternyata benar, ya Rasul, kabar masa depan yang telah paduka ceritakan 1400 tahun yang lalu. Kebenaran kin sudah diinjak-injak, dan mereka berani-beraninya mempertontonkan zina dan kemungkaran di jalan-jalan. Hal yang tak biasa semakin menjadi hal biasa. Sedang hal yang biasa semakin menjadi aneh dan tak biasa.

"Jika zina dan riba sudah muncul di sebuah negeri, maka mereka telah menghalalkan azab yang ditetapkan Allah," (HR. Imam Baihaqi).

“Akan datang kepada manusia, di mana tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu pendusta dibenarkan, orang yang benar justru didustakan, pengkhianat diberikan amanah, orang yang dipercaya justru dikhianati, dan banyak orang bodoh yang berbicara di depan publik,” (HR. Ibnu Majah dan Imam Ahmad).

"Sesungguhnya Allah tidaklah menghapuskan ilmu begitu saja dari manusia. Tapi dihapuskan dengan mewafatkan ulama, sampai ulama tidak tersisa. Manusia pun mengambil tokoh-tokoh bodoh, lalu mereka ditanya, dan berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan," (HR. Imam Bukhari).

"Kita seharusnya malu. Sebagai warga akademis dan pesantren kita malu. Ilmu ditumpuk-tumpuk untuk apa kalau tidak bisa membantu membuat kehidupan yang damai. Kita merasa bersalah karena tidak bisa turut ikut mencegah kemungkaran. Kita seharusnya bisa. Tapi nyatanya tidak demikian. Kita hanya stagnan dan melihat semua itu berjalan-jalan di hadapan mata kita. Maka lebih dari berbelasungkawa, ini seharusnya menjadi tamparan, betapa kita tidak sedang melakukan upaya apapun untuk kehidupan. Maka Kumohon kuatkan iman kami, Kakanda Rasul. Selamatkan islam kami," (HR. Achmad Fauzi). 😅🙏

Sungguh, permusuhan itu menciptakan atmosfer dan cuaca yang buruk. Mendung hitam di sana sini. Hari yang kelam dan menakutkan. Sudahlah, kita jangan ikut-ikutan mereka yang mudah sekali terbakar. Lebih baik sayangi lemak kita. Bukankah kita sudah berjanji untuk setia sehidup semati. Bersedia menerima setiap kekurangan dan kelebihan kita masing-masing. Melengkapinya dengan doa-doa yang berhamburan di laut dan angkasa. Mari kita kubur rasa benci di antara kita. Kita semai dan rawat benih-benih kebaikan dan rasa cinta di dalam hati. Betapa indah cinta itu. Alangkah indah kerinduan itu. Alangkah indah kedamaian dan kasih sayang itu. Betapa indah keharmonisan dan keromantisan itu. Sungguh indah sekali keindahan itu. Sungguh rugi dan kasihan sekali mereka yang tidak bisa memahami apa itu cinta.

Ah, sekian dulu la ya. Selamat malam. Selamat menunaikan ibadah apa saja yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, semisal rindu.. 😇

Kota Rindu, akhir Juli, 2018.
Omah Sinau Koma.


Buku "Pesan-Pesan Rahasia"

Pesan-Pesan Rahasia
Penulis : Mukhammad Fahmi
ISBN : 978-602-443-740-4
Penerbit : Guepedia Publisher
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal :  268 halaman
Harga : Rp 97.000

Untuk pemesanan bisa di:


Email : guepedia@gmail•com
WA : 081287602508
Website : guepedia.com














Dulu. Dulu sekali. Kita, sedikit-sedikit sering melakukan amalan-amalan kecil. Seperti membaca doa sehari-hari. Doa masuk dan keluar masjid, doa ketika bersin, doa sebelum tidur dan bangun tidur, doa masuk dan keluar dari kamar mandi, doa sebelum dan sesudah makan, doa bepergian dan naik kendaraan, dan doa sehari-hari lainnya. Amalan-amalan kecil yang dahulu sering kita lakukan sehari-hari, tapi mungkin sekarang sudah mulai terlupakan dan terabaikan. Nastaghfirulloh. Saya pikir ini hanya masalah pembiasaan saja. Jika kita sudah terbiasa maka akan ingat secara otomatis.

Seberapa tidak pentingkah amalan-amalan tersebut? Bukankah doa sehari-hari itu juga penting? Orang-orang zaman sekarang ini lebih suka menyeplos bid'ah-bid'ah dan kafir-kafir saja tanpa melihat sisi kebaikannya, tanpa mengerti bahwa hal itu adalah bi'dah hasanah. Padahal doa sendiri ibarat pedang seseorang muslim untuk mengusir setan-setan yang mencoba untuk menjajah keimanan manusia. Kalau tidak dengan doa dengan apalagi kita bisa melawan.

Sekarang ini sudah jarang sekali orang yang berbicara soal setan. Lebih suka berbicara apa yang viral di hari ini dari pada membicarakan musuh bebuyutan manusia ini yang dianggap kelewat takhayul. Setan seolah sudah menjadi barang kadaluwarsa yang tak butuh lagi untuk dibicarakan atau terkadang setan menjelma menjadi barang lucu, yang setiap orang mudah sekali tertawa begitu mendengar namanya. Zaman telah benar-benar terbalik. Padahal ialah musuh sejati seorang anak manusia di muka bumi ini setiap sekonnya, yang tak kasat mata, padahal ia senantiasa menjelungupkan manusia ke jurang yang mahakelam, entah dari arah depan, kiri, kanan, belakang, bahkan atas, bawah, dan di dalam diri manusia itu sendiri. Anehnya manusia banyak yang tidak menyadari, bahwa mereka, para setan-setan itu benar-benar ada. Setiap seorang anak manusia lahir di bumi, maka lahir pula satu setan. Bedanya, manusia bisa mati, tapi setan tetap hidup sampai hari kiamat. Sehingga semakin mendekati hari akhir, semakin banyak pula setan-setan itu, semakin sesak bumi oleh setan di sana-sini.

Jika saja orang tahu, alangkah indah arti dari semua doa-doa itu. Imam Al-Ghazali adalah ulama besar, hujjatul Islam, ahli tasawuf, karya dan tulisannya dipakai rujukan oleh banyak ulama. Beliau senantiasa mengamalkan doa-doa sehari-hari. Salah satunya adalah doa-doa yang dibaca ketika berwudhu. Sepele memang kelihatannya, tapi inilah esensi kehidupan.

Di dalam setiap gerakan wudhu, mempunyai bacaan doa-doa tersendiri, dari doa ketika melihat air, doa ketika berkumur, doa ketika membersihkan lubang hidung, doa ketika membasuh wajah, doa ketika membasuh tangan kanan dan kiri, sampai doa pada saat membasuh kaki.

Di dalam hadis imam Muslim dan imam Bukhari juga di riwayatkan bahwa Rasulullah Saw, pada saat berwudhu beliau juga membaca doa di setiap gerakan wudhu, dengan membaguskan di setiap gerakan wudhunya.

Rasulullah bersabda, "Barangsiapa berwudhu dengan membaguskan wudhunya, maka keluarlah dosa-dosanya dari kulitnya sampai kuku jari-jemarinya," (HR. Muslim).

Doa-doa yang dibaca ketika berwudhu ini diajarkan oleh imam Al-Ghazali. Doa-doa itu bisa ditemukan di kitab-kitab fiqh, seperti  al-mabadi' al-fiqhiyyah juz satu, dan lain sebagainya. Sungguh, suwer, betapa indah arti dari doa-doa itu jika orang mengetahuinya.

Berikut saya perinci satu demi satu, kalimat demi kalimat, agar kita menjadi lebih tertarik untuk mengamalkannya.

Ketika melihat air,  "alhamdu lillahilladzi ja'alal ma'an thohuron," segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menjadikan air suci lagi mensucikan.

Ketika membasuh telapak tangan,
"allohummahfadz yadi min ma'asyika kulliha," ya Allah jagalah kedua tanganku dari semua perbuatan maksiat kepada-Mu.

Saat berkumur, "allohumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatika," ya Allah bantulah aku untuk selalu berdzikir dan bersyukur kepada-Mu dan selalu memperbaiki ibadah kepada-Mu.

Ketika menghirup air ke hidung, "allohumma arihni roihatal jannah wa anta annii rodliin," ya Allah berikanlah aku penciuman wewangian aroma surga kelak, dan Engkau terhadap diriku yang selalu meridhoi.

Kemudian membasuh wajah disertai dengan niat berwudhu dengan lisan (sunah) dan dalam hati (wajib), "nawaitul wudhu-a lirof'il hadatsil ashghori fardhon lillaahi ta'aalaa," saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadas (kejadian) kecil fardu (wajib) karena Allah ta'ala.

Kemudian dilanjutkan dengan membaca doa membasuh wajah, "allohumma bayyidh wajhiy yauma tabyadhdhu wujuuhu wa taswaddu wujuuh," ya Allah putihkanlah wajahku pada hari menjadi putih berseri wajah-wajah orang yang beriman dan menjadi hitam legam wajah-wajah orang kafir.

Ketika membasuh tangan kanan, "allohumma a'thini kitabi biyamini wa hasibni hisaban yasiro," ya Allah berikanlah kepadaku, catatan amalku dari tangan kananku dan hisablah aku dengan perhitungan yang ringan.

Ketika membasuh tangan kiri, "allohumma laa tu'thini kitabi bisyimali wa laa min waro'i dzohrih," ya Allah jangan Engkau berikan kepadaku, catatan amalku dari tangan kiriku atau dari belakang punggungku.

Ketika mengusap rambut kepala, "allohumma harrim sya'ri wa basyari 'alannar," ya Allah haramkanlah rambutku dan kulitku atas api neraka.

Ketika membasuh kedua telinga, "allohummaj'alni minalladzina yastami'unal qoula fayattabi'una ahsanah," ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikuti sesuatu yang terbaik.

Ketika membasuh kaki, "allohumma tsabbit qodamii 'alash syirothi yauma tazillu fiihil aqdam," ya Allah, mantapkanlah kedua kakiku di atas titian (shirothol mustaqim) pada hari dimana banyak kaki-kaki yang tergelincir.

Kemudian setelah berwudhu, "asyhadu an laa ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariika lah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu wa rosuuluh, alloohummaj’alnii minat tawwaabiina waj’alnii minal mutathohhiriin, waj'alnii min 'ibaadikash shoolihiin," aku bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku mengaku bahwa Nabi Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah. Ya Allah, jadikanlah aku dalam golongan orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku dalam golongan orang-orang yang bersuci, dan jadikanlah aku dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.

Demikianlah bacaan doa-doa membasuh anggota dalam wudhu yang sangat jarang sekali diamalkan oleh kebanyakan orang. Semoga doa tersebut bisa bermanfaat bagi kita semua. Yang mengamalkan doa-doa kecil itu adalah para ulama-ulama besar. Sedangkan ulama-ulama kecil yang bermunculan akhir-akhir ini tidak mau mengamalkannya. So, kita ikut ulama besar apa ulama kecil?

Apalah arti sebuah gunung tanpa adanya kumpulan kerikil, pasir, dan tanah yang banyak? Apalah arti sebuah amal besar tanpa dilandasi oleh amalan-amalan kecil yang dilakukan secara istiqamah? Istiqamah katanya, itu lebih baik dari seribu karomah.

Seseorang bisa jatuh karena batu yang kecil, bukan batu yang besar. Batu yang besar sudah jelas terlihat di depan mata sehingga kita bisa dengan mudah menghindarinya. Tapi batu kecil, kalau tidak awas kita akan tersandung, dan akhirnya tersungkur jatuh.

Seseorang bisa diangkat derajatnya karena amalan yang kecil pula. Ada seorang pelacur yang dosanya sudah menjadi gunung. Tapi di akhir hayatnya ia diampuni dosa-dosanya karena memberi minum kepada seekor anjing yang kehausan.

Semua berkat kemahakasihnya Allah. Atas kuasa dan ketetapan-Nya. Allah memilih siapa-siapa yang dikehendaki-Nya diangkat ataupun dijatuhkan. Allah melihat hati, ketulusan, dan cinta, bukan amal besar yang tidak istiqamah, karena hanya butuh pada saat itu saja.

Istiqamah itu luar biasa sekali. Istiqamah dalam melakukan dan mengumpulkan kebaikan-kebaikan yang kecil sekalipun. Istiqamah itu akan melahirkan cinta dan keikhlasan. Istiqamah mencintai Allah dan juga mencintaimu. Mencintai kalian semua. ;)

Kota Rindu, 21.07.2018
Bumi Damai PPAH.
Omah Sinau Koma.
Mukhammad Fahmi.




Percayalah. Kata para ulama sufi, "kehidupan dunia dan kehidupan akhirat itu saling berkebalikan." Berbanding terbalik. Sebutlah "D" sebagai kehidupan dunia dan "A" sebagai  kehidupan akhirat. Maka bahasa matematika menyebutnya sebagai, "D=1/A atau A=1/D." Sebuah relasi yang tak sebanding. Apapun itu. Semakin besar nilai D, maka nilai A akan menjadi semakin kecil. Dan semakin besar nilai A maka akan semakin kecil nilai D.

Semakin banyak kita sibuk mengurus kepentingan dunia (bukan niat untuk kehidupan akhirat) maka akan semakin sedikit kita mengingat kehidupan akhirat (semakin melupakan kehidupan akhirat). Semakin banyak kita mengerjakan amal akhirat maka kita akan semakin sedikit tertarik dengan kehidupan duniawi (semakin mengabaikan kepentingan duniawi).

Ingin buktinya? Baik. Katakanlah uang di dunia adalah berharga, sedangkan pahala sama sekali tidak. Maka di akhirat nanti uang menjadi tidak berharga, sedangkan pahala menjadi alat pembayaran yang berharga. Allah akan membeli orang-orang yang beriman dengan surga, begitu dalam suatu hadis. Apakah di dunia ini ada orang yang ingin membeli pahala dengan uang? Tentu tidak karena pahala di dunia tak berharga. Atau apakah ada orang di akhirat nanti yang pahalanya ingin dibeli dengan uang? Tentu tidak pula, sebab uang di akhirat tidak berharga.

Kehidupan dunia dan akhirat itu saling berbanding terbalik. Orang-orang yang hura-hura dan senang-senang saja di kehidupan dunia, maka ia akan susah di kehidupan akhiratnya. Sementara orang-orang yang susah di dunia (untuk mentaati agama Allah) maka kelak ia akan bahagia di akhiratnya.

Bukankah ada pepatah yang mengatakan, "susah-susah dahulu, senang-senang kemudian?" Apakah kita tidak mengingatnya lagi.

Dalam suatu hadis disebutkan, "barang siapa yang kenyang di dunia, maka ia akan lapar di akhiratnya." Hadis tersebut juga menunjukkan pernyataan yang berlawanan antara kehidupan dunia dan akhirat. Kalimat kenyang di sini adalah kenyang dengan kenikmatan-kenikmatan dunia, sedang ia melupakan kehidupan akhirat.

Ulama sufi berbeda dengan ulama fiqh. Bisa jadi apa yang diperbolehkan ulama fiqh menurut syariat tidak baik menurut ulama sufi. Hal yang dianggap mubah oleh ulama fiqh bisa jadi menjadi hal yang tidak baik dan dijauhi ulama sufi. Seperti makan dan tidur. Keduanya halal dan mubah. Tapi bagi ulama sufi, mereka malah menjauhinya. Ulama sufi lebih senang berpuasa di siang hari dan tidak tidur di malam hari untuk beribadah. Ulama sufi lebih mementingkan ibadah dan cinta kepada Allah daripada kesenangan yang semu. Ulama sufi lebih mementingkan keselamatan daripada kesempatan.

"Menjadi ulama fiqh itu berbahaya," begitu kata ulama sufi. Ulama fiqh terkadang beribadah bukan atas dasar cinta, melainkan atas hukum-hukum. Terpenjara oleh hukum dan aturan-aturan. Bisa jadi juga mereka menggunakan dalil untuk membela diri dari kesalahan. Astaghfirullah. Dan kebanyakan ulama sufi itu kurus, sedang ulama fiqh itu gemuk, hehe.

Hari ini kita memberi, esok kita akan mendapatkan. Hari ini kita menabung, esok kita akan menuai. Hari ini kita berhutang, esok kita harus membayar. Hari ini kita melukai, esok kita akan dilukai. Hari ini kita menolong, esok kita akan ditolong. Demikianlah hukum alam, sunnatullah. Berbanding terbalik bukan, antara me- dan di-, kalimat aktif berbanding terbalik dengan kalimat pasif.

Kembali ke rumus awal di atas, D=1/A atau A=1/D. Semakin besar nilai D, maka nilai A akan menjadi semakin kecil. Dan semakin besar nilai A maka akan semakin kecil nilai D. Katakanlah nilai D 100, maka nilai A-nya menjadi 0.01. Jika nilai A 100, maka nilai D-nya 0.01. Benar, bukan. A=1/D, maka 100 = 1/0.01 ekuivalen dengan 100 = 100. Sehingga menjadi impas ruas kiri dan kanan. Semua kebaikan harus terbalas. Semua  keburukan harus terbalas. Tak lagi tersisa. Sebagaimana rindu, segalanya harus dibayar tuntas.

Demikianlah, masih ada tak berhitung contoh yang membuktikan bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu berbanding terbalik dengan kehidupan akhirat.

Hari ini dunia adalah nyata, akhirat hanya dongeng dan cerita belaka. Tapi setelah mati, akhirat menjadi nyata dan dunia hanyalah dongeng dan cerita masa lalu.

Kota rindu, Malang, 19.07.2018.
Ngaji pagi, Bumi Damai PPAH.
Omah Sinau Koma.
Mukhammad Fahmi.






Pagi sekali waktu itu. Pagi yang tenang. Aku melihat Kiai Sholihin akan melakukan ziarah ke makam Mbah Wahab Hasbullah, seperti yang beliau lakukan setiap kali berkunjung ke tempat ini, tempat yang senantiasa membuat beliau bisa merasa pulang, tempat yang senantiasa menjanjikan kedamaian di setiap sudut kehidupannya. Tanpa menunggu perintah, aku segera mengambil motor untuk mengantar beliau. Namun baru sebentar saja, aku celingukan, kulihat di sana-sini, beliau sudah tidak ada, beliau sudah tak nampak. Kukendarai motorku ke arah makam. Sesampainya di sana kulihat, ternyata beliau sudah khusyuk berzikir di depan makam. Kutunggu saja beliau di depan musholla.

Setelah usai ziarah, Kiai Sholihin mendekatiku yang tampak bengong  di depan musholla.

"Owalah, Le, ikut aku kontrol yuk...!" ajak Kiai Sholihin.

"Nggih, Kiai.." aku menyalami tangan Kiai Sholihin, kemudian mengantar, dan mengikuti petunjuk yang ditunjukkan beliau.

Kami mengendarai motor di antara dingin, hijau sawah, dan kilau mentari pagi. Tidak begitu jauh, kami kemudian berhenti di warung yang berada di samping persawahan. Suasana sangat damai sekali. Beliau memesan dua nasi jagung dengan lauk ikan asin dan dua teh hangat.

"Ayo, Le, sarapan dulu.." perintah Kiai. Kami pun sarapan pagi.

Seusai sarapan, di antara udara pagi yang sejuk, seperti biasanya, beliau selalu bercerita banyak hal tentang kehidupan dan hari ini. Kiai Sholihin berkata kepadaku, "manusia banyak melupakan nikmat yang sebetulnya paling dekat dengan diri manusia itu sendiri, di antaranya yaitu: nikmat menjadi manusia, nikmat menjadi umat Nabi Muhammad, nikmat menjadi orang Indonesia, dan nikmat menjadi santri al-Wahabiyah 2." Saya kaget mendengar kalimat beliau yang terakhir itu.

Setelah mengambil jeda, beliau melanjutkan, "Le, santri al-Wahabiyah 2 itu berbeda dengan santri-santri yang lain. Mereka punya karakter dan kekhasan sendiri yang mungkin tidak dimiliki oleh santri-santri yang lain. Mereka itu baik-baik orangnya karena dibimbing oleh seseorang yang baik pula. Ada seseorang yang hidup dari kebenaran dan kebaikan yang dengan tabah dan sabar merawat dan mendidik santri-santri al-Wahabiyah 2 yang unik itu untuk menjadi orang yang baik, tentu dengan cara dan metode yang unik dan khas pula. Warna matanya senantiasa menyerbukkan ketulusan kebenaran yang diperjuangkannya. Setiap orang selalu dibuat bergetar dengan kalimat-kalimatnya. Selalu. Beliau senantiasa menggunakan kalimat-kalimat bersayap yang menenangkan. Sekalipun tak banyak orang yang paham dengan jalan pikirannya. Betapa orang sebaik itu; Allah tak akan pernah melupakan kalimat-kalimat dan kebaikan-kebaikannya.." begitu dawuh Kiai Sholihin.

"Nggeh, leres, Kiai.." aku hanya bisa manggut-manggut mendengar dan berusaha memahami semua dawuh beliau.

"Ayuk, kalau sudah kita pulang, sebelum nanti banyak siswa-siswi sekolah. Sekarang sekolah MAN 3 Jombang itu kan masuknya jam 6.30 WIB pagi. Padahal kegiatan mengaji di pondok baru selesai pukul 6 pagi, ada juga yang pukul 6 lebih malahan.." Kiai Sholihin kemudian berdiri dan membayari makanan kami.

Begitu akan melewati sekolah MAN 3 Jombang yang dahulu namanya adalah MAN Tambakberas itu, kami melihat banyak siswa-siswi yang telat dan berjejer di depan gerbang yang sudah ditutup karena waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 lebih, waktu Indonesia bagian barat. Aku hanya tersenyum melihat semua ini. Semua yang datang dan pergi. Alangkah indahnya kehidupan. Alangkah indahnya kerinduan itu.. ;)

Tambakberas, 14.07.18.

Suara Hati

Suara Hati

Coba dengar. Selama ini engkau bercerita uring-uringan di hadapan cermin. Tentang perasaanmu yang kalang kabut setiap kali ingin bertemu. Tentang rindu-rindumu yang tertahan. Tentang keinginanmu yang tak bisa tertuang. Sebab, kamu perempuan. Tidak dan jangan memulai duluan, katamu berulangkali.

Engkau berharap ia punya perasaan yang sama denganmu, sehingga perasaanmu tidak perlu kamu bunuh satu per satu. Engkau berandai bisa menjadi pendamping hidup yang dapat menguatkannya. Bersandar dan bergantung kepadanya. Melangkah dan menjalani kehidupan bersamanya dalam ibadah, membangun mahligai cinta keluarga yang senantiasa mesra.

Suaramu kini seperti kesiur angin dari kejauhan sana. Yang melayang-layang menempuh setiap jalanan. Bersenggolan dengan dedaunan pohon. Melewati celah-celah jendela rumah-rumah. Menembus segala semua. Angin sampaikan suara hatimu ke semesta. Hingga akhirnya sampai pula suara hatimu kepadanya. Membisikan dan mengatakan sesuatu dengan lembut dan hati-hati ke dekat telinganya, bahwa kamu saat ini sedang menunggunya di sana.

Betapa pada akhirnya engkau memberanikan diri. Menegurnya yang seorang diri. Bertanya sedang apa, apa kabar, dan lain sebagainya. Bahkan pada pernyataan yang lebih jauh dan dalam lagi perihal segala semua. Ia mungkin merasa terusik. Tapi ia tidak masalah. Sebab kamu yang mengusik.

Coba dengar. Harapanmu sungguh setinggi langit. Engkau tidak takut jatuh? Padahal di atas awan sana sama sekali tidak ada pegangan.

Coba dengar. Bila rasamu itu begitu jauh. Bagaimana bila engkau membuatnya jatuh cinta? Dan ia memiliki perasaan yang sama seperti yang engkau miliki kepadanya.

Ia sebelumnya tak habis pikir, kenapa ada orang yang mengaguminya. Apa istimewanya coba? Ia hanya seorang lelaki biasa. Ia tidak punya apa-apa yang mesti dibanggakan. Lalu apa yang membuatmu jatuh cinta padanya? Apa yang sesungguhnya kau harapkan dari seseorang lelaki yang sangat biasa seperti itu? Memang bahaya berangan-angan bagaimana perihal bersamamu kelak, tapi ia seperti kecanduan. Menikmati pikirannya yang penuh bayang-bayang.

Dalam ingatan namamu, juga kerinduan pada amanah itu. Ia mencoba masuk dalam bingkai alam pikiranmu. Merenungi titik-titik keresahan dalam dirimu dan berharap sebelumnya niatnya tak lebur. Awalnya ia mengira ini hanya usikan dari penglihatan pada kata-katamu, pada pernyataanmu yang sedemikian berani menyatakan padanya. Ia renungi semua kata-katamu. Suara puisimu ternyata terekam dan mengisi misel-misel terkecil di otaknya. Memberinya suatu pengalaman batin yang mungkin luput dari jangkauan ilmu apapun.

Bagaimana? Kini engkau telah membuatnya jatuh cinta lewat kata-katamu yang puitis. Lewat suara hatimu yang disampaikan angin padanya, juga degup rindumu yang menggemuruhkan semesta. Lewat keteguhan iman dan taqwamu. Tidak banyak orang yang punya keteguhan iman sepertimu. Dan ia saat ini sedang jatuh cinta padamu, pada keteguhan imanmu lebih tepatnya. Sedang engkau diam saja, membisu. Tidak percaya.

Orang-orang seperti ia perlu di selamatkan. Dibangunkan dari tidurnya logika. Disadarkan bahwa kehidupan nyata menanti pembuktian kata-kata. Sebab untuk membawamu ke rumahnya membutuhkan banyak pembuktian dan jalan yang panjang. Bahwa ia tidak menjanjikan sesuatu yang tidak bisa ditepati. Dan ia akan menunjukkan bahwa kata-katanya tidak berhenti sebagai angan-angan. Engkau suka diperjuangkan, bukan?

Semoga doa-doa dan usaha kita dapat mendekatkan diri kita kepada Allah, yang memiliki segala kuasa. Dan juga mendekatkan kepada cita-cita kita. ;) Aamiin..
Suara Cerita

Suara Cerita merupakan tulisan-tulisan karya Kurniawan Gunadi yang dibacakan oleh dokterfina.







Antara Kota dan Desa
(Sebuah permenungan di sela-sela Hikaman)
Oleh: M. Fahmi


Di kota.
Ia seperti sudah banyak kehilangan makna. Sudah hampir tak ada lagi tanah yang tidak dibangun rumah-rumah. Di kanan-kiri jalan berjejer warung dan hiburan malam. Di setiap meja sesak perempuan bersama pacarnya. Kebenaran dikubur di lembah-lembah mesum. Kebenaran dibunuh lewat janin-janin tak berdosa, hasil hubungan gelap dengan pacar. Cahaya kebenaran berkarat, tenggelam dalam minum-minuman laknat. Suaranya pun terjepit di antara ingar bingar musik jalanan. Kebenaran sudah mati kelaparan lewat derita orang-orang miskin di perkampungan rumah kardus pinggir sungai yang tak dihiraukan lagi tangisnya. Kebenaran disiksa lewat protes dan amuk masa yang mengobarkan nafsu amarah. Kebenaran diinjak-injak lewat kekuasaan angkara murka. Kebenaran ditipu lewat janji dan omong kosong yang tak pernah ditepati. Sementara, di alun-alun kota bergema zikir akbar. Berjejal orang mengikutinya. Mereka puja dan sebut nama Tuhan berkali-kali hingga bibir mereka kelu lewat teriakan zikir. Namun sayang, jiwa tak bisa menyatu dengan Tuhan, hati tak pernah bisa merasa tenang dan khusuk. Sebab di setiap sudut ruang terpasang kamera. Sedang hape lebih banyak digunakan untuk update status, sebagai kabar plus kebanggaan bahwa ia juga turut ikut merayakan gegap gempita zikir yang kosong, tak punya makna. Rumah-rumah ibadah dibangun dengan megahnya di kota. Tapi tak banyak orang bertandang ke sana. Paling hanya satu dua shaf. Sabda kebenaran pun tak laku lagi dijual di rumah-rumah ibadah kota, bahkan di mall-mall. Kota memang serba lengkap. Segala kebutuhan dapat ditemukan. Menjamin semua kebutuhan nafsu manusia. Pendidikan demi pendidikan yang diajarkan hanya membuat manusia kota menjadi pintar berdalih. Manusia-manusia kota hanya melihat sesuatu dengan mata dan pikiran. Kebenaran hanya ada dalam apa-apa yang mereka lihat. Sedang mata hatinya tak pernah dibuka untuk melihat. Hati mereka mati. Dan kota sudah benar-benar kehilangan makna.


Di desa.
Ia memang terlihat sunyi. Tak banyak ingar bingar kendaraan atau musik jalanan yang memekakkan telinga. Jika engkau melewati jalan desa pada malam hari, seperti yang kulakukan saat ini, maka engkau akan seperti melakukan perjalanan sunyi mencari kitab suci. Di desa tak banyak rumah-rumah ibadah yang berdiri megah. Tapi jangan ditanya perihal jamaahnya. Sebuah surau atau lebih tepatnya masjid kecil tak bertingkat dipenuhi oleh ribuan jamaah dari berbagai daerah. Mereka duduk berjejer rapi mendengarkan nasihat kebenaran hingga penuh di halaman luar masjid. Pengajian yang tak pernah sepi oleh para salik pencari hikmah. Suasana malam menjadi begitu damai dalam gema suara yang mengaliri kalbu lewat pesan demi pesan yang abah berikan. Aku benar-benar terharu. Belum pernah kurasakan keheningan seperti ini setelah pengembaraan ini kulakukan. Aku seperti diseret ke masa lalu, saat di mana perjalanan sunyi itu kumulai. Dan aku benar-benar merasakan, suasana keheningan di desa jauh berbeda dengan suasana riuh kota. Dan entah setelah ini, aku akan hidup di kota lagi ataukah di desa. Tapi yang pasti, aku lebih memilih desa sebagai perjalanan akhirku kelak. Sungguh menyedihkan sekali jika kuhabiskan sisa umurku di kota. Aku ingin menulis kisah sejarah panjang hidupku di desa bersama dengan orang-orang yang kucintai.


Catatan Ngaji al-Hikam, Tambakberas, 30.04.18:

1. Tanda-tanda hati mati: tidak susah jika ketinggalan ibadah; tidak getun jika melakukan dosa; tidak bisa menerima petuah kebenaran.


2. Orang-orang yang tidak diangkat dari neraka ketika malam Nishfu Sya'ban: orang musyrik; orang yang tidak menyapa kepada saudaranya ketika bertemu; memutuskan tali persaudaraan; orang yang menjulurkan baju hingga menyeret tanah dengan rasa sombong; dan orang yang meminum minuman keras.



Jombang, 30.04.18

Perjalanan Rindu yang Indah
Turun dari taksi, Putri ragu-ragu memasuki gang yang ada di pinggir jalan dekat pasar itu. Hari sudah sore. Langit hitam. Sebentar lagi pasti turun hujan. Putri mencoba mengingat-ingat. Ia yakin tidak salah turun. Warung yang ada di seberang jalan itu adalah ancar-ancarnya. Dan rumah Dimas, sahabat yang dicari-carinya itu, pasti ada di dalam gang, di depan warung itu.

Putri heran, gang itu sudah berubah. Di depannya berdiri gapura megah. Rumah-rumah yang berderet di dalamnya juga banyak yang berubah. Dulu, gang itu selalu becek bila turun hujan. Sekarang beraspal mulus. Dulu penghuninya miskin-miskin, kini rata-rata rumah mereka bertembok rapi, bahkan beberapa di antaranya bertingkat. Di gang itulah Dimas, sahabat kuliah yang pernah menjadi kekasihnya dulu itu, tinggal. Di situ ia dulu pernah menumpahkan kegelisahan hatinya saat hidupnya dilanda kemelut antara memilih dan dipilih.

Gang Kauman, demikian nama jalan setapak yang hanya bisa dilewati satu mobil itu, tiba-tiba membersitkan kenangan aneh dalam dirinya. Kenangan yang membuat hatinya tiba-tiba begitu sepi seperti di ujung kutub. Mengapa? Entahlah, ia sendiri tak mengerti. Gang itu ia rasakan bagai lorong panjang yang tak bertepi. Setidaknya, di gang itulah dulu ia pernah berjalan bersama dengan Dimas untuk pertama kalinya di bawah cahaya bulan purnama. Sebuah kenangan indah yang takkan terlupakan. Dan sekarang entah mengapa pula, untuk memasuki gang itu kembali, Putri menjadi ragu-ragu. Mungkinkah Dimas masih mengenalinya.

Untuk meyakinkan perasaannya, Putri menghampiri tukang rokok di warung itu. Menanyakan alamat rumah Dimas.

“Dimas? Oh, pengarang yang menjadi wartawan itu, ya? Itu rumahnya, yang bertingkat dan bercat putih!” tunjuk tukang rokok itu ke arah rumah bertingkat.

Mata putri mengekor, mengikuti arah telunjuk tukang rokok. Ia mengangguk-angguk. Ah, rumahnya sudah bertingkat rupanya, batin Putri. Betapa cepat perubahan ini terjadi. Secepat perjalanan waktu yang kadang tak bisa diajak kompromi. Setelah mengucapkan terima kasih, Putri meninggalkan tukang rokok itu.

Sudah berapa tahun ia tak ke sini? Sepuluh tahun, sebelas tahun, dua belas… atau ah, mungkin lebih dari itu. Putri tak tahu persis. Ia tak sempat lagi menghitung-hitung hari, apalagi mencatat tanggal perjumpaan terakhir dengan sahabatnya itu sejak ia memutuskan menikah dengan Zainal, seorang pengusaha kaya yang berhasil merebut hatinya. Lima tahun sudah ia hidup berumah tangga dengan pengusaha itu, sebelum akhirnya mahligai perkawinan mereka hancur berantakan begitu diketahuinya Zainal selingkuh. Diam-diam, ternyata ia mempunyai istri simpanan. Pengkhianatan ini teramat melukai hati Putri. Sulit untuk memaafkannya. Tapi, Putri sudah terlanjur dikaruniai dua anak. Ia mencoba hidup mandiri. Kesibukan kerja telah membuatnya terbenam dalam kesuntukan sehingga ia tak memikirkan lagi soal cinta.

Dan Dimas, sudah berapa anaknya sekarang? Apakah ia jadi menikah dengan artis sinetron yang pernah diwawancarainya itu? Ah, rasa rindu tiba-tiba berkecamuk  dalam dada Putri. Dalam keadaan suntuk seperti ini, entah mengapa tiba-tiba ia teringat Dimas. Teringat seperti dulu, ketika setiap kali mengalami kebuntuan, ia selalu ingin cepat-cepat menemui Dimas untuk menumpahkan segala beban pikirannya. Betapa ia ingin berbincang-bincang seperti dulu lagi dengan mantan kekasihnya itu saat mereka masih sama-sama menjadi mahasiswa di kampus tercinta yang terletak di pinggir kota itu. Mungkinkah Dimas masih mengenalnya? Mungkinkah Dimas masih mau menerimanya sekedar untuk menyambung tali persahabatan? Lagi-lagi, Putri mengalami keraguan ketika ia mendekati rumah yang cukup besar itu.

Rumah itu terlihat sunyi dari luar, seperti tak berpenghuni. Ataukah memang sudah ditinggalkan penghuninya? Putri segera menekan bel yang berada di pojok pagar, begitu ia berdiri di depannya. Sebentar kemudian, seorang lelaki tua keluar dari dalam rumah menyambut kedatangannya.

“Kaukah yang bernama Putri Senja?” tanya lelaki tua itu tiba-tiba setelah Putri menerangkan maksud kedatangannya.

Pertanyaan yang mendadak itu, membuatnya terheran-heran. “Betul, Pak. Saya Putri Senja. Sahabat Dimas waktu kuliah,” akhirnya Putri menerangkan.

“Sayang, rumah ini sudah dijual, Nak. Baru tiga bulan lalu.”

“Dijual…?” Putri terhenyak. “lalu… Dimas pindah ke mana, Pak?

“Ia tidak memberi alamat yang baru,” jawab lelaki tua itu.

“Ahh…,” Putri mendesah kecewa. “Maaf, Bapak siapa?” tanyanya kemudian, berusaha mengalihkan kekecewaannya.

“Saya penjaga rumah ini. Sejak Dimas menempati rumah ini, saya yang menjadi tukang kebunnya. Ketika rumah ini berganti pemilik, ternyata saya masih dipercaya menjadi tukang kebun di sini.”

“Kalau begitu, tentu Bapak tahu keadaan terakhir Dimas?”

“Belakangan, dia sering sakit-sakitan.”

“Sakit-sakitan?” Putri membelalak.

“Dia terserang paru-paru.”

Putri kembali mendesah. “Lalu, bagaimana dengan anak istrinya?” tanya Putri kemudian.

“Anak Istri…?” ganti lelaki tua itu yang heran. “Yang saya tahu, dia itu masih hidup sendiri, Nak. Membujang,” terang lelaki tua itu.

Putri terhenyak. Ia seperti tak percaya mendengar ucapan lelaki tua itu. Dimas masih hidup sendiri? Membujang? Benarkah demikian? Mengapa? Ada apa dengan Dimas? Ah, sepuluh tahun lebih, mereka berpisah. Putri sudah memiliki dua anak, tapi Dimas masih hidup sendiri. Betapa ini sulit dipercaya. Ya, mengapa? Ada apa dengan Dimas? Mengapa ia masih membujang? Kembali Putri dibuat bertanya-tanya. Namun, pertanyaan itu semakin menumbuhkan taka-teki dalam dirinya tanpa pernah ia ketahui jawabannya. Lalu, dengan perasaan lesu, akhirnya Putri pamit meninggalkan rumah itu.

“Tapi, nanti dulu, Nak!” tiba-tiba lelaki tua itu mencegah.

Putri berhenti sejenak. Tak jadi pergi.

“Apakah benar, engkau yang bernama Putri Senja?”

Putri memandang lelaki tua itu dengan tatapan tajam bercampur heran. Tapi, pandangan itu cukup sudah sebagai tanda jawaban.

"Tunggu sebentar! Dimas meninggalkan sepucuk surat untukmu." Dengan cepat, lelaki tua itu masuk, mengambil sepucuk surat. Sebentar kemudian, ia muncul kembali dan menyerahkan surat itu  kepada Putri. “Ia Cuma berpesan, bila ada seorang wanita datang kemari bernama Putri Senja, saya disuruh menyerahkan surat ini kepadanya.”

Entah mengapa, tangan Putri gemetar ketika menerima surat itu. Setelah itu, ia cepat-cepat meninggalkan rumah itu. Sesegera, ia memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Langit yang sejak tadi mendung, tiba-tiba menurunkan hujan dengan lebatnya. Putri berlari-lari kecil menyetop taksi. Bajunya basah kuyup.

***

“Putri Senja. Saat membaca suratku ini, kau pasti kecewa karena tak berjumpa denganku. Aku memang sudah pindah. Tapi, aku yakin suatu saat kau akan kembali. Itulah sebabnya kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu. Hari-hari belakangan ini, aku merasa pertemuan kita sudah dekat. Musim kemarau yang panjang sebentar lagi terhapus oleh datangnya musim penghujan, dan bunga-bunga akan kembali bermekaran…!”

Demikian bunyi surat Dimas ketika Putri membacanya di rumah. Hanya satu paragraf, tak lebih. Dan Dimas tidak meninggalkan alamat rumahnya yang baru. Putri dibuat penasaran. Apalagi kalimat terakhir yang ditulis Dimas begitu puitis dan seperti mengandung misteri. Ada apa dengan Dimas? Ke mana ia pindah? Dan ke mana pula aku harus mencari sahabat karib sekaligus mantan kekasih pertamaku itu?

Tiba-tiba, Putri teringat bahwa Dimas bekerja menjadi wartawan di sebuah majalah terkenal. Tentu ia ada di sana. Keesokan harinya, Putri mencoba mendatangi kantor majalah itu.

“Apakah Anda yang bernama Putri Senja?” tanya sekretaris majalah itu ketika Putri menanyakan Dimas.

“Betul. Saya dulu sahabat karibnya waktu kuliah. Sudah sepuluh tahun lebih, kami berpisah,” jawab Putri.

“Sayang, dia sudah keluar dari majalah ini, tiga bulan yang lalu,” terang sekretaris itu.

Putri mendesah kecewa. “Dia pindah ke mana, mbak?”

“Itulah, dia tidak memberi tahu pindah ke mana dan juga tidak meninggalkan alamat yang bisa dihubungi. Dia baru saja sembuh dari sakit, setelah berbulan-bulan terbaring di rumahnya. Setelah itu, dia memutuskan berhenti dari majalah ini. Dia hanya berpesan pada saya, bila ada seorang wanita datang kemari bernama Putri Senja, maka saya disuruh menyerahkan titipannya.” Sekretaris itu membuka laci mejanya, mengambil sesuatu. “Ia meninggalkan surat ini untuk Anda,” katanya kemudian sambil menyerahkan sepucuk surat pada Putri.
Putri lagi-lagi terhenyak. Tangannya gemetar ketika menerima surat itu. Setelah mengucapkan terima kasih, ia buru-buru pulang.

***

“Putri Senja, saat membaca suratku ini, pasti kau kecewa karena tak berjumpa denganku. Ku yakin bahwa suatu saat, kau pasti datang ke kantorku untuk menemuiku. Itulah sebabnya, kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu. Aku memang sudah pindah. Lima belas tahun aku bekerja menjadi wartawan, kurasa pengabdianku cukup. Setelah lama kiranya menulis segala peradaban yang terbentang di alam semesta raya ini, sekarang, aku ingin hidup dengan tenang. Giliranku kini menuliskan kisah hidupku sendiri. Aku akan menulis sebuah kisah perjalanan rindu yang indah…”

Demikian surat yang ditulis Dimas. Lagi-lagi, Cuma satu paragraf, tak lebih. Dan lagi-lagi, Dimas tidak meninggalkan alamat pada suratnya itu juga nomor telepon atau HP yang bisa dihubungi. Dimas seolah sengaja menyembunyikan teka-teki yang membuat Putri bertambah penasaran. Apa maksud dia meninggalkan surat-surat itu? Lalu, ke mana aku harus mencari mantan kekasihku yang belakangan ini tiba-tiba kembali mengusik alam pikiranku?

Otak Putri berpikir keras. Dikenangnya kembali kisah perjalanan dirinya dengan Dimas selama ini, sejak mereka bertemu di kampus, hingga akhirnya Putri memutuskan menikah dengan Zainal. Dan sejak Putri menikah, Dimas memang tidak pernah lagi menemui Putri, begitu pula sebaliknya. Perpisahan mereka meninggalkan sebuah teka-teki panjang yang tak pernah terselesaikan. Benarkah selama ini mereka saling mencintai?

Ah, Dimas. Lelaki tinggi kurus berkulit sawo matang itu memang sering sakit-sakitan. Batuk kronisnya selalu kambuh. Tapi, Putri tetap yakin, bahwa Dimas memiliki semangat hidup dan daya juang yang tinggi, inilah yang membuat Putri mengaguminya. Dimas pantang menyerah dalam melawan ganasnya kehidupan kota.

Tiba-tiba, Putri teringat riwayat hidup Dimas yang pernah diceritakan kepadanya. Umur lima tahun, ia ditinggal mati oleh ayahnya. Dimas lebih banyak menghabiskan masa kecilnya bersama Ibu, kakek dan neneknya di desa. Setelah besar, ia pergi ke kota, kuliah dan akhirnya menjadi wartawan. Dari sekian keluarganya, hanya Dimas yang meneruskan hidup di kota. Mungkinkah Dimas sekarang ini pulang ke kampung halamannya? Ya, siapa tahu.

Keesokan harinya, Putri mengambil cuti dari kantor. Ia membeli tiket pesawat terbang menuju kampung halaman Dimas yang terletak di seberang pulau. Dulu, waktu libur kuliah, Putri bersama teman-temannya pernah diajak Dimas ke kampung halamannya itu. Ia diperkenalkan kepada Ibu, kakek, dan neneknya. Kini Putri yakin, Dimas pasti berada di kampung halamannya itu.

Turun dari pesawat, Putri harus naik bus beberapa kali menuju perkampungan Dimas yang terletak di kaki sebuah gunung. Bus menempuh jalan berliku, menembus hutan dan melewati sawah-sawah. Turun dari bus, ia masih harus berjalan kaki lagi untuk mencapai daerah pedalaman. Akhirnya, sore harinya, sampai juga ia. Ah, desa yang dimasukinya itu masih tetap sunyi seperti dulu. Tapi, di kesunyian itulah Putri menemukan kedamaian dan ketenangan. Alangkah jauh bedanya dengan kehidupan kota yang hiruk-pikuk. Putri kadang tak habis pikir, mengapa orang-orang desa yang tinggal di daerah setenang ini banyak yang memilih merantau ke kota yang sudah padat dan gaduh. Apa yang mereka kejar di sana?

“Apakah engkau yang bernama Putri Senja?” Kedatangan Putri disambut oleh wanita tua yang langsung bertanya demikian kepadanya. Ditatapnya wajah tua yang kulitnya mulai keriput itu. Dan Putri mengenalnya, wanita itu adalah ibu Dimas.

“Benar, Bu. Saya Putri Senja, sahabat Dimas waktu kuliah di kota. Sudah sepuluh tahun lebih, kami tak saling jumpa. Kemarin saya ke rumahnya yang berada di dekat pasar Kauman, ternyata rumah itu sudah dijual. Lalu saya cari ke kantornya, tapi katanya ia sudah pindah. Dimas Cuma meninggalkan surat-surat kepada saya, namun dalam suratnya ia tak memberi tahu alamatnya yang baru. Akhirnya saya punya keyakinan, pasti dia kembali ke kampung halamannya. Itulah sebabnya saya datang kemari,” demikian Putri menjawab.

Ibu tua itu tiba-tiba tertunduk. Wajahnya mendadak menyendu. Lalu, dengan suara serak ia berkata, “Ia memang telah kembali ke kampung halamannya, Nak, dan pasti ia akan kembali, sebab di sinilah ia dilahirkan, dan dari sini pula ia mengawali pengembaraannya. Tapi sayang, kedatanganmu sedikit terlambat…”

“Sedikit terlambat?” Putri terperanjat.

“Ya, ia telah kembali berangkat mengembara yang lebih panjang lagi. Baru kemarin pagi ia meninggalkan desa ini…”

“Oh…,” Putri mendesah kecewa. Benar-benar kecewa. Intuisinya memang berjalan dengan baik, tapi ia selalu terlambat. Ya, mengapa ia selalu terlambat? Putri sejenak terdiam dan bungkam. Ah, kalau saja ia berangkat lebih awal, tentu ia dapat bertemu dengan Dimas.

“Jangan bersedih, Nak Putri. Sebelum berangkat, Dimas sempat menulis sepucuk surat untukmu. Ia berpesan kepada Ibu apabila ada seorang wanita datang kemari bernama Putri Senja, maka Ibu disuruh menyerahkan surat itu kepadanya. Sebentar, Ibu ambilkan, ya?!” Ibu tua itu segera masuk. Sebentar kemudian, ia telah kembali menyerahkan sepucuk surat kepada Putri.

Tangan Putri gemetar menerimanya. Setelah itu, Putri buru-buru pamit untuk kembali ke kota.

***

Di atas pesawat Putri membuka surat Dimas.

“Putri Senja, tibalah engkau membaca lagi suratku, dan pasti engkau kecewa karena lagi-lagi tak menjumpaiku. Ku yakin kau pasti datang ke kampung halamanku untuk menemuiku. Itulah sebabnya kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu. Sepuluh tahun lebih kita tak bertemu. Setelah engkau menikah, engkau tak pernah menemuiku kembali atau sekedar berkirim kabar. Bukan salahmu. Perputaran kota yang demikian sibuk kadang bisa melupakan segalanya. Mungkin arti persahabatan, kasih sayang, dan ketulusan telah kehilangan makna di kota, tergilas oleh derasnya arus kehidupan. Tapi, aku tidak akan pernah lupa kepada arti persahabatan, ketulusan, kasih sayang, dan cinta. Itulah sebabnya, kutinggalkan sepucuk surat ini untukmu karena ku yakin suatu saat, kau pasti datang ke kampung halamanku. Tapi inilah suratku yang terakhir untukmu, sebab setelah hari ini kau pasti takkan pernah menemuiku lagi. Kini aku telah menjadi pengembara abadi…”

Putri gemetar membaca tulisan itu. Dadanya berdegup kencang. Ia diselimuti berbagai keheranan sekaligus teka-teki oleh bunyi surat itu surat itu. Dimas telah menjadi pengembara abadi? Apa maksudnya? Sementara itu, di kejauhan sana, ibu Dimas terisak dan menitikan air mata begitu melihat keberangkatan Putri yang ingin kembali ke kota. Ibu tua itu sengaja tidak mengatakan kepergian Dimas yang sebenarnya. Hal ini sesuai dengan pesan Dimas sebelum anaknya itu pergi untuk selama-lamanya.


(Untuk cinta yang tidak pernah mati).
Malang, Maret - April, 2018.
Mukhammad Fahmi.